Anda di halaman 1dari 8

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG GOOD GOVERNANCE

Pandangan Lembaga Bilateral/Multilateral Beberapa lembaga bilateral/multilateral memberikan rekomendasi mengenai karakteristik dari istilah good government, governance, dan good governance, antara lain: United Kingdom Overseas Development Administration (UK/ODA), 1993 UK/ODA menjelaskan karakteristik good government, yaitu: legitimasi, akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum/ hak-hak asasi manusia. Pengertian dari karakteristik-karakteristik yang dimaksud, ialah: Legitimasi Menekankan pada kebutuhan terhadap sistem pemerintahan yang mengoperasikan jalannya pemerintahan dengan persetujuan dari yang diperintah (rakyat), dan juga menyediakan cara untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan tersebut. Akuntabilitas Mencakup eksistensi dari suatu mekanisme (baik secara konstitusional maupun keabsahan dalam bentuknya) yang meyakinkan politisi dan pejabat pemerintahan terhadap aksi perbuatannya dalam penggunaan sumber-sumber publik dan performan perilakunya. Akuntabilitas membutuhkan keterbukaan dan kejelasan serta keterhubungannya dengan kebebasan media. Kompetensi Pemerintah harus menunjukkan kapasitasnya untuk membuat kebijakan yang efektif dalam setiap proses pembuatan keputusannya, agar dapat mencapai pelayanan publik yang efisien. Pemerintah yang baik membutuhkan kapabilitas manajemen publik yang tinggi, dan menghindari penghamburan dan pemborosan, khususnya pada anggaran militer yang tinggi. Pemerintah harus menunjukkan perhatiannya pada biaya pembangunan sosial seperti: antikemiskinan, kesehatan, dan program- program pendidikan. Penghormatan terhadap hukum/hak-hak asasi manusia Pemerintah memiliki tugas (bukan hanya yang terdapat pada konvensi-konvensi internasional) untuk menjamin hak-hak individu atau kelompok dalam mengekspresikan hak-hak sipil dan politik yang berhubungan dengan kemajemukan institusi. Dalam pandangan UK/ODA, istilah good governance atau good government tidak dibedakan. Keduanya dianggap sama-sama merujuk aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri, khususnya kepada negara-negara berkembang. United Nations Development Program (UNDP)

UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu: legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan partisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (finansial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Karakteristik yang dibangun UNDP melalui anggapan dasar sebagai berikut: Gejala-gejala dari kegagalan pemerintah terlihat sebagai keseluruhan yang sama, yaitu: pelayanan yang rendah, kapabilitas kebijakan yang rendah, manajemen keuangan yang lemah, peraturan yang terlalu berbelit-belit dan sewenang-wenang, alokasi sumber-sumber yang tidak tepat. Tetapi UNDP kurang menekankan pada asumsi mengenai superioritas majemuk, multipartai, sistem orientasi pemilihan umum, dan pemahaman bahwa perbedaan bentuk kewenangan politik dapat dikombinasikan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dengan cara-cara yang berbeda. Hal-hal tersebut juga berkaitan terhadap argumentasi mengenai nilai-nilai kebudayaan yang relatif; sistem penyelenggaraan pemerintahan yang mungkin bervariasi mengenai respon terhadap pe rbedaan kumpulan nilai-nilai ekonomi, politik, dan hubungan sosial, atau dalam hal-hal seperti: partisipasi, individualitas, perintah dan kewenangan. UNDP menganggap bahwa good governance dapat diukur dan dibangun dari indikatorindikator yang komplek dan masing-masing menunjukkan tujuannya.

Berdasarkan Dokumen Kebijakan UNDP dalam Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan, Januari 1997, yang dikutip dari buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia), 2000, disebutkan: Tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Tata Pemerintahan yang baik (good governance) memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Mengikutsertakan semua; 2. Transparan dan bertanggung jawab; 3. Efektif dan adil; 4. Menjamin adanya supremasi hukum; 5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat; 6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan. World Bank (Bank Dunia) dalam proses

World Bank, Development in Practice, Governance: The World Bank Experience, World Bank Publication, Washington D.C, 1994 Bank Dunia mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance, yaitu: masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi; eksekutif yang bertanggung Jawab; birokrasi yang profesional; dan aturan hukum. Karakterisik yang dimaksud Bank Dunia memiliki perbedaan dengan ODA/UNDP. Bank Dunia menghindari pernyataan mengenai sistem politik dan hak-hak, dan lebih mengacu kepada manajemen ekonomi suatu negara, sumber-sumber sosial untuk pembangunan, dan kebutuhan untuk kerangka kerja aturan dan institusi yang dapat diperhitungkan dan jelas (terbuka). Hal demikian banyak ditempatkan untuk manajerial pemerintah dan kapabilitas kebijakan, serta sebagai sumbangan penting terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Meskipun demikian, Bank Dunia juga memberikan catatan terhadap kebutuhan untuk masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris dan pelaksanaan terhadap aturan hukum. Bank Dunia lebih suka menggunakan istilah good (public) governance. Dalam perspektif Bank Dunia, governance adalah sifat dari kekuasaan yang dijalankan melalui manajemen sumber ekonomi dan sosial negara yang digunakan untuk pembangunan. Bank Dunia mengidentifikasi tiga aspek yang terkait dengan governance, yaitu: 1. Bentuk rejim politik (the form of political regime); 2. Proses dimana kekuasaan digunakan di dalam manajemen sumber daya sosial dan ekonomi bagi kegiatan pembangunan; 3. Kemampuan pemerintah untuk mendisain, memformulasikan, melaksanakan kebijakan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya. Dari ketiga aspek tersebut, Bank Dunia memfokuskan pada aspek kedua dan ketiga sesuai dengan kapasitas kelembagaannya. OECDs Development Assistance Committee (DAC) Good governance memiliki kriteria yang mencakup ruang lingkup sebagai berikut: a.) b.) c.) Pembangunan partisipatoris (participatory development); Hak-hak azasi manusia (human rights); Demokratisasi (democratization).

Secara lebih spesifik, ketiganya dijabarkan dalam tolok ukur sebagai berikut: (a) Pemerintahan yang mendapat legitimasi ( legitimacy of government mencerminkan degree of democratization) ; (b) Akuntabilitas politik dan perangkat pejabat pemerintahan (tercermin dari kebebasan pers , pengambilan keputusan yang transparan, mekanisme akuntabilitas); (c) Kemampuan pemerintah untuk menyusun kebijakan dan mendistribusikan pelayanan yang baik;

(d) Komitmen yang nyata terhadap masalah hak asasi manusia dan aturan hukum (baik yang berkaitan dengan hak-hak individu dan kelompok, keamanan, aktivitas sosial dan ekonomi, serta partisipasi masyarakat). Pandangan beberapa pemikir Indonesia Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. Dikutip dari bulletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia), kerja sama antara UNDP, World Bank, Asian Development Bank beserta negara-negara sahabat, masyarakat madani dan pemerintah Indonesia. Nurcholish Madjid memandang jauh kebelakang mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan memberikan perbandingan pada kondisi objektif kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Menurutnya, tata pemerintahan yang baik sudah mulai ada dengan diperkenalkannya konsep-konsep penting seperti partisipasi, konsensus, keadilan, dan supremasi hukum oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau membangun Madinah tahun 622 M. Kata Madinah bermakna sebuah tempat yang didiami orang-orang yang taat peraturan dan saling memenuhi perjanjian yang diciptakan (disebut al-uqud). Supremasi hukum merupakan salah satu pilar penting dalam Islam, karena tanpa supremasi hukum, keadilan tidak akan pernah terwujud. Selain itu, dalam tata pemerintahan di Madinah tiap individu berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka melalui pertimbangan dan konsultasi bersama (disebut syura dan musyawarah). Faktor-faktor penting yang perlu diupayakan untuk mencapai tata pemerintahan yang baik, yaitu: masing-masing pelaku menaati kesepakatan yang telah disetujui bersama. Tiap manusia mempunyai hak mendasar seperti yang diutarakan Nabi Muhammad SAW dalam pidato perpisahan Nabi Muhammad SAW (disebut khutbah al-wada), yaitu: hak atas hidup, hak atas milik dan kehormatan. Ditekankan juga bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan kebebasan, yang hanya akan bertahan bila ada sistem hukum, dimana pemimpin dan masyarakat saling bertanggung jawab. Hal ini dapat diwujudkan di Indonesia bila ada konsensus mengenai tata pemerintahan yang baik. Peran pemimpin dipandang penting dalam menciptakan pemerintahan yang baik, yaitu: pemimpin bervisi strategis dan pemimpin yang mampu melihat jauh ke depan. Pemimpin tersebut harus mampu mengembangkan potensi anggota masyarakatnya dan menciptakan konsensus di antara semua pihak yang berkepentingan, seperti teladan Nabi Muhammad SAW. Ir. Erna Anastasjia Witoelar Dikutip dari bulletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for Governance Reform in Indonesia), kerja sama antara UNDP, World Bank, ADB beserta negara-negara sahabat, masyarakat madani dan pemerintah Indonesia. Dalam pandangan Erna Witoelar, governance atau tata pemerintahan mempunyai makna yang jauh lebih luas dari pemerintahan. Tata pemerintahan menyangkut cara- cara yang disetujui bersama dalam mengatur pemerintahan dan kesepakatan yang dicapai antara individu, masyarakat madani, lembaga- lembaga masyarakat, dan pihak swasta. Ada dua hal penting dalam hubungan ini: a. Semua pelaku harus saling tahu apa yang dilakukan oleh pelaku lainnya.

b. Adanya dialog agar para pelaku saling memahami perbedaan-perbedaan di antara mereka. Melalui proses di atas diharapkan akan tumbuh konsensus dan sinergi di dalam masyarakat. Perbedaan yang ada justru menjadi salah satu warna dari berbagai warna yang ada dalam tata pengaturan tersebut. Ukuran tata pemerintahan yang baik adalah tercapainya suatu pengaturan yang dapat diterima sektor publik, sektor swasta dan masyarakat madani. a. Pengaturan di dalam sektor publik antara lain menyangkut keseimbangan kekuasaan antara badan eksekutif (presiden), legislatif (DPR dan MPR), dan yudikatif (pengadilan). Pembagian kekuasaan ini juga berlaku antara pemerintah pusat dan daaerah. b. Sektor swasta mengelola pasar berdasarkan kesepakatan bersama, termasuk mengatur perusahaan dalam negeri, besar maupun kecil, perusahaan multinasional, koperasi, dan sebagainya. c. Masyarakat madani mencapai kesepakatan bersama guna mengatur kelompok-kelompok yang berbeda seperti kelompok agama, kelompok olahraga, kelompok kesenian, dan sebagainya. Menurut Erna, masyarakat dapat terlibat dalam tata pemerintahan yang baik, antara lain: a. Pertama, dengan mengawasi sektor publik dan sektor swasta, dan juga memberikan masukan-masukan yang konstruktif pada pemerintah dan sektor swasta demi berlangsungnya pelayanan yang baik bagi masyarakat luas. Kedua, terlibat langsung dalam proses-proses pembangunan yang menyangkut diri sendiri dan masyarakat. Warga masyarakat misalkan saja dapat membentuk paguyuban- paguyuban lokal atau bergabung dengan LSM-LSM yang ikut ambil bagian aktif dalam pembangunan di daerah setempat.

b.

Prof. Bintoro Tjokroamidjojo Prof.Bintoro Tjokroamidjojo, Good Governance, (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), Jurnal Manajemen Pembangunan No.30 Tahun IX, Mei 2000. Bintoro Tjokroamidjojo memandang good governance sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, yang menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi agent of change dari suatu masyarakat berkembang/developing di dalam negara berkembang. Agent of change dan karena perubahan yang dikehendakinya, menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut juga agent of development. Agent of development diartikan pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, bahkan industri-industri, d peran perencanaan dan an anggaran penting. Dengan perencanaan dan anggaran juga menstimulusi investasi sektor swasta. Kebijaksanaan dan persetujuan penanaman modal di tangan pemerintah. Dalam good governance peran pemerintah tidak lagi dominan, tetapi juga citizen, masyarakat dan terutama sektor usaha/ swasta yang berperan dalam governance. Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar untuk menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha. Usaha pembangunan dilakukan melalui

koordinasi/sinergi (keselarasan kerja) antara pemerintah-masyarakat-swasta). Masyarakat dan dunia usaha mempunyai peran lebih dalam perubahan masyarakat. Drs. Setia Budi, M.A. Aparatur Pemerintah yang Profesional: Dapatkah diciptakan?, hal. 7-9, Jurnal Perencanaan Pembangunan, No.17, Oktober 1999. Setia Budi mengungkapkan bahwa sedikitnya terdapat lima ciri sebagai prinsip utama yang harus dipenuhi dalam kriteria good public governance sebagai prinsip yang saling terikat, yaitu: (1) Akuntabilitas (accountabilty), ialah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan; (2) Keterbukaan dan transparan (openess and transparency); (3) Ketaatan pada aturan hukum; (4) Komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, dan bukan pada kelompok atau pribadi; (5) Komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Penjabaran kelima prinsip tersebut sebagai berikut: Akuntabilitas Aparatur pemerintah harus mampu mempertanggung-jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Aparatur pemerintah harus dapat mempertanggung jawabkan kebijaksanaan, program dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk pula yang terkait erat dengan pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan, yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumber daya manusianya. Prinsip akuntabilitas mensyaratkan adanya perhitungan cost and benefit analysis (tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi juga sosial, dan sebagainya tergantung bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan dan tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabiltas juga berkaitan erat dengan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian sasaran atau target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian, tidak ada satu kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan yang dapat lepas dari prinsip ini. Keterbukaan dan transparan (openess and transparency) Masyarakat dan sesama aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh data dan informasi dengan mudah tentang kebijaksanaan, program, dan kegiatan aparatur pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah, atau data dan informasi lainnya yang tidak dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan juga dalam arti masyarakat atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan dalam perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dengan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan publik yang terkait dengan dirinya. Data dan informasi yang berkaitan dengan tugas/fungsi aparatur pemerintah (instansi) yang bersangkutan harus disediakan secara benar, misalnya data PNS oleh BAKN, data guru oleh Depdiknas, data realisasi panen padi oleh

Departemen Pertanian, dan sebagainya. Perlunya dihindari adanya data dan informasi yang bersifat menyenangkan tetapi menutupi yang sebenarnya. Sebab keputusan atau kebijakan publik (public policy) yang diambil pimpinan yang tidak didasarkan pada data dan informasi yang sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan tersebut akan menimbulkan masalah baru seperti masalah lingkungan, anggaran (pemborosan), dan penderitaan transmigran yang ditempatkan di sana. Ketaatan pada aturan hukum Aparatur pemerintah menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada aturan hukum, baik yang berkaitan dengan lingkungan eksternal (masyarakat luas) maupun yang berlaku terbatas di lingkungan internalnya, misalnya: aturan kepegawaian dan aturan pengawasan fungsional. Prinsip ini juga mensyaratkan terbukanya kesempatan kepada masyarakat luas untuk terlibat dan berpartisipasi dalam perumusan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan masyarakat. Prinsip komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, dan bukan pada kelompok, pribadi atau partai yang menjadi idolanya Prinsip ini merupakan hal yang mutlak dimiliki oleh aparatur pemerintahan. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara pemerintahan umum dan pembangunan (dalam batas -batas tertentu). Prinsip komitmen untuk mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan Prinsip ini menegaskan bahwa tanpa komitmen ini, maka yang timbul bukan partisipasi masyarakat tetapi antipati dan ketidaksukaan dalam diri masyarakat terhadap perilaku dan kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada saat yang sama, dalam diri aparatur pemerintah akan tumbuh secara perlahan tetapi pasti sikap mendominasi, anggapan atau perasaan paling tahu, paling bisa dan paling berkuasa, dan cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang lain, yang pada akhirnya menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Membangun Pondasi Good Governance di Masa Transisi, MTI, Jakarta, Mei 2000. Dalam perspektif MTI, good governance mensyaratkan empat azas, yaitu: transparansi (transparency), pertanggungjawaban ( accountability), kewajaran atau kesetaraan (fairness), dan kesinambungan (sustainability), dengan pengertian sebagai berikut: Transparansi, bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang kebijakan publik, dan proses pembentukkannya. Dengan ketersediaan informasi seperti itu, masyarakat dapat ikut sekaligus mengawasi sehingga kebijakan publik yang muncul bisa memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat, serta mencegah terjadinya kecurangan dan manipulasi yang hanya akan menguntungkan salah satu kelompok masyarakat saja secara tidak proporsional. Akuntabilitas, bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah, sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances system). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan), serta legislatif (MPR dan DPR). Selain itu,

peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini menempatkannya sebagai pilar keempat. Kewajaran atau kesetaraan, bermakna memberikan kesempatan yang sama bagi semua kelompok masyarakat untuk ambil bagian dalam pengambilan pengambilan keputusan publik.

Anda mungkin juga menyukai