Anda di halaman 1dari 7

TRANSFORMASI NILAI-NILAI KARAKTER MELALUI PELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH

Oleh: Kusaeri1

Pendidikan karakter menjadi isu menarik dan hangat dibicarakan kalangan praktisi pendidikan akhirakhir ini. Mengapa? Sebab, dunia pendidikan kita selama ini dianggap terpasung oleh kepentingankepentingan yang absurd, hanya mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Output pendidikan kita memang menghasilkan orang-orang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, apresiasi terhadap keunggulan nilai humanistik, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal (Sudarsono, 2008:XXI). Dalam konteks yang demikian, pendidikan kita dianggap telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hedonis, tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi dan nurani. Tidaklah mengherankan jika kasus-kasus yang merugikan negara dan masyarakat (seperti kasus Bank Century, kasus cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur BI, kasus Gayus, kasus Malinda Dee dan masih banyak kasus lainnya) justru melibatkan orang-orang yang secara formal berpendidikan tidak rendah. Ini artinya, pendidikan kita selama ini, setidaknya telah memiliki andil terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyebabkan negara kita tergolong sebagai salah satu negara yang tingkat korupsinya tertinggi di dunia. Menyadari kenyataan tersebut, maka perlu dilakukan reorientasi dan penataan terhadap apa yang hilang dan kurang disentuh oleh dunia pendidikan, yakni lebih fokus pada pembentukan karakter anak. Proses pembelajaran perlu didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya pembentukan karakter melalui beragam aktivitas dan metode pembelajaran. Untuk itu, tulisan ini sedikit akan memberikan urun rembug bagaimana matematika memiliki peran dan berkontribusi dalam pembentukan karakter anak. A. Karakter dan Dimensi Terkait Menurut Wyne (1991:128), kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan memfokuskan pada aplikasi nilai kebaikan dalam bentuk perilaku atau tindakan. Wyne & Walberg (1984) mendefinisikan karakter sebagai pengikutsertaan dalam tingkah laku atau tutur yang secara moral relevan, atau penahanan diri dari tingkah laku atau tutur tertentu. Walaupun seseorang tidak memiliki kesempurnaan, namun seseorang tetap sebagai individu yang unik dan mengagumkan dengan banyak ciri karakter positif yang kuat. Strom (2002) mendefinisikan karakter sebagai suatu gabungan dari atribut-atribut pola sikap dan perilaku yang terpadu untuk mengangkat identitas seseorang dan membedakan setiap individu dengan yang lainnya. Dari ketiga definisi di atas, secara implisit karakter memuat dua kata kunci: sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Sikap merupakan faktor yang ada pada diri seseorang yang dapat memotivasi dan mendorong seseorang untuk berniat melakukan suatu tindakan (berperilaku). Sikap yang dimiliki seseorang tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan produk dari sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterima. Sikap seseorang terhadap objek atau rangsangan akan terbentuk melalui lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, terbentuknya sikap melalui proses pembelajaran dan diperoleh melalui pengalaman. Sikap menjadi dasar bertindak, dan tindakan menjadi ungkapan sikap itu. Bila tindakan dilakukan terus menerus secara konsisten sampai menjadi kebiasaan maka terjadilah pembentukan karakter seseorang. Sekali sikap terbentuk, maka sikap akan cenderung bertahan. Oleh karena itu, sikap tidak hanya mempengaruhi niat untuk melakukan perilaku tertentu, melainkan juga mempengaruhi aspek-aspek psikologis lainnya, seperti dorongan untuk bekerja, berpendapat, berpersepsi dan sebagainya. Seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap orang lain akan menunjukkan sikap positif pula terhadap kelompok di mana seseorang itu bergabung di dalamnya (Wening, 2007:60). Sikap yang telah terbentuk dan merupakan nilai dalam kehidupan seseorang akan relatif bertahan lama dan sulit berubah pada diri seseorang, akan tetapi sikap yang belum mendalam pada diri seseorang akan relatif tidak bertahan lama dan akan mudah berubah. Ciri-ciri karakter positif merupakan sesuatu yang bisa dan memang seharusnya dikembangkan. Ciri karakter positif perlu dimiliki setiap manusia, karena ciri karakter ini baik bagi diri sendiri, baik bagi keluarga dan baik pula bagi bangsa. Lewis (2004: 5) menyatakan bahwa ciri-ciri karakter seperti mengasihi, peduli, menghormati kehidupan, jujur, bertangung jawab, dan adil merupakan ciri karakter positif. Mengembangkan ciri-ciri karakter positif seseorang berhubungan dengan nurani, keyakinan-keyakinan moral, pengalaman pribadi, pola asuh, hak-hak dan tanggung jawab, kebudayaan, hukum serta ekspektasiekspektasinya yang berhubungan dengan diri sendiri, sesama dan dengan dunia.
1

Pengajar di Jurusan Tadris Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Contac person: HP. 081330576356, e-mail:erinda_1@yahoo.co.id.

Seseorang yang berperilaku kejam, rakus, suka berfoya-foya dikatakan berkarakter jelek atau berkarakter negatif, sementara berperilaku suka menolong, berhemat, dan sederhana dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi, istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang, di mana seseorang bisa disebut orang yang berkarakter jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Kaidah moral itu memiliki kaitan erat dengan nilai moral yang diyakini benar oleh sekelompok masyarakat. Suparno (1992:87) berpendapat bahwa nilai moral berisikan suatu pandangan dalam diri seseorang, bila moral dilihat dari aspek sikap. Nilai moral bila dianggap sebagai perilaku, maka harus berwujud tindakan yang mencerminkan sikap seseorang. Lickona (1992:87) menambahkan bahwa memiliki pengetahuan nilai moral tidak cukup untuk menjadi manusia berkarakter. Namun, nilai moral itu harus disertai dengan karakter bermoral, dengan maksud agar manusia mampu memahami, merasakan, dan sekaligus mengerjakan nilai-nilai kebajikan. Termasuk karakter bermoral adalah pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral action).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi anak untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh anak, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

Pengetahuan moral, keterampilan pemikiran moral, dan perasaan moral menurut Kirschenbaum (1995:28) merupakan perilaku-perilaku dan kegemaran-kegemaran lain yang merupakan kedewasaan moral. Perilaku dan kegemaran-kegemaran ini sebagai kecenderungan moral yang menimbulkan dorongan seseorang berperilaku sesuai dengan nilai yang dipahami sebagai nilai yang benar. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang berbuat baik (act morally) juga harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu: kompetensi (competency), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). Tanpa kemauan yang kuat, meski orang sudah tahu tentang tindakan yang harus dilakukan, ia tidak akan melakukannya. Membentuk karakter yang baik dan kepribadian yang utuh dalam diri seorang anak dapat dilakukan melalui suatu proses pembudayaan. Proses pembudayaan dapat dilakukan dengan menumbuhkembangkan seseorang menjadi pribadi manusia yang berbudaya dan beradab, yang tercermin dari sistem nilai yang dianut oleh pribadi yang bersangkutan dan masyarakat. B. Nilai-nilai Karakter Uraian sebelumnya, menjelaskan secara detail karakter dan berbagai dimensi terkait. Namun, uraian belum menggambarkan secara jelas nilai-nilai karakter sehingga memberikan panduan mengimplementasikannya dalam dunia pendidikan. Untuk maksud tersebut, Kemendiknas (2010) mengidentifikasi 80 butir nilai-nilai karakter. Ke-80 butir itu secara garis besar dihimpun ke dalam lima kelompok dan disajikan pada Tabel 1. Kelima kelompok itu: nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan, nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri, nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama manusia, nilainilai perilaku manusia terhadap lingkungan dan nilai-nilai kebangsaan.
Tabel 1 Taksonomi Nilai-nilai Karakter No 1. 2. Kategori Nilai-nilai Karakter Nilai-nilai perilaku manusia Taat kepada Tuhan, syukur, ikhlas, sabar, terhadap Tuhan tawakkal (berserah diri kepada Tuhan) Nilai-nilai perilaku manusia Reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, terhadap diri sendiri analistis, kreatif, inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhatihati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet atau gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat, efisien, menghargai, dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan, sportif, tabah, terbuka, dan tertib. 1

3.

4.

5.

Nilai-nilai perilaku manusia Taat peraturan, toleran, peduli, kooperatif, terhadap sesama manusia demokratis, apresiatif, santun, bertanggung jawab, menghormati orang lain, menyayangi orang lain, pemurah (dermawan), mengajak berbuat baik, berbaik sangka, empati dan konstruktif Nilai-nilai perilaku manusia Peduli dan bertanggung jawab terhadap terhadap lingkungan pelestarian, pemeliharaan dan pemanfaatan tumbuhan, binatang dan lingkungan alam sekitar Nilai-nilai kebangsaan Cinta tanah air, cinta damai, tidak rasis, menjaga persatuan, memiliki semangat membela bangsa dan negara, berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, bangga sebagai bangsa Indonesia, mencintai produk sendiri, mencintai seni sendiri, mencintai budaya sendiri, dan memiliki semangat berkontribusi kepada bangsa dan negara.

Dalam implementasi di lapangan, idealnya ke-80 butir nilai karakter tersebut dapat terinternalisasi secara utuh. Disadari bahwa memfasilitasi semua nilai tersebut agar dapat terinternalisasi memang sangat berat. Oleh karena itu, sekolah dapat mengidentifikasi nilai-nilai pokok sebagai fokus internalisasi. Nilai-nilai yang dijadikan fokus tersebut dapat berupa nilai-nilai yang bersifat universal, sedangkan nilai-nilai lainnya dapat terinternalisasi secara otomatis sebagai dampak pengiring dari proses internalisasi nilai-nilai pokok tersebut. Berikut sebuah contoh nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan dari standar kompetensi lulusan (SKL) SMP/MTs. Subtansi nilai-nilai karakter yang mengacu SKL SMP/MTS tersebut disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Subtansi Nilai Karakter pada SKL SMP/MTS No. Rumusan SKL 1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja 2. Menunjukkan sikap percaya diri 3. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas 4. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkungan nasional 5. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif 6. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif 7. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya 8. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari 9. Mendeskripsi gejala alam dan social 10. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab 11. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia 12. Menghargai karya seni dan budaya nasional 13. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya 14. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang 15. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun 16. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat 17. Menghargai adanya perbedaan pendapat 18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana 2 Nilai-nilai Karakter Iman dan taqwa Adil Disiplin Nasionalis

Bernalar, kreatif

Bernalar,kreatif Gigih, tanggung jawab Bernalar Terbuka, bernalar Tanggung jawab Nasionalis, royong gotong

Peduli, nasionalis Tanggung jawab, kreatif Bersih dan sehat Santun, bernalar Terbuka, tanggung jawab Terbuka, adil Gigih, kreatif

19.

20

Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah

Gigih, kreatif

Visioner, bernalar

C. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Lickona (1992) mengartikan pendidikan karakter sebagai upaya penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang mencakup komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai itu, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun masyarakat. Elkind & Sweet (2004) menyatakan bahwa pendidikan karakter sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh guru, yang mampu mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal lainnya yang terkait. Dari kedua pengertian di atas, pendidikan karakter memiliki tujuan sama yakni membentuk pribadi siswa, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri dalam rangka membina kepribadian generasi muda (Harta, 2010:2). Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pada pendidikan moral, karena bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Yang lebih utama, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang halhal yang baik, sehingga anak menjadi paham tentang mana yang baik dan salah (domain kognitif), mampu merasakan nilai yang baik (domain afektif) dan mau melakukannya (domain psikomotor). Nilai-nilai karakter terinternalisasi pada diri anak setidaknya melalui tiga jalur, yakni lingkungan keluarga, sekolah dan teman sebaya. Pada jalur pertama, anak memperoleh pendidikan pengetahuan dasar, keterampilan dan aspek-aspek religius serta kepribadian dasar. Sebagai lingkungan yang paling akrab dengan anak, keluarga memiliki peran sangat penting dan strategis bagi penyadaran, penanaman dan pengembangan nilai. Selain itu, anak juga mempelajari aturan-aturan serta tata cara berperilaku sesuai dengan norma dan nilai sosial yang dianut keluarga dan masyarakat sekitar. Dengan intensitas komunikasi dan interaksi yang selalu terjadi dalam kehidupan keseharian, proses penanaman nilai dapat berlangsung dalam beragam bentuk dan cara. Ikatan emosi antara orang tua dan anak yang demikian kuat menyebabkan pendidikan di keluarga memiliki sisi keunggulan dalam pembinaan moral anak. Nilai-nilai seperti kedisiplinan, tangung jawab, ketaatan pada orang tua, kejujuran dan kasih sayang merupakan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua kepada anak. Norton (1977) menjelaskan tentang bagaimana anak belajar bertingkah laku melalui orang dewasa dalam keluarganya. Perilaku orang tua yang teramati menjadi acuan bertingkah laku anak, meski itu tak disengaja, baik yang ditiru maupun yang meniru. Lingkungan sekolah tentunya juga berperan besar dalam pembentukan karakter anak. Intensitas pertemuan yang hampir setiap hari dengan guru dan teman-teman sekolah, membuat anak mencari-cari dirinya melalui hal yang mereka lihat, rasakan, dengar dan tiru. Selain itu, sekolah tempat bertemunya nilainilai kehidupan yang lahir secara pribadi dan ditampilkan dalam bentuk pikiran, ucapan, dan tindakan perorangan. David & Frank (1997) mengatakan bahwa sekolah adalah tempat strategis untuk pendidikan karakter, karena anak dari semua lapisan akan mengenyam pendidikan di sekolah. Selain itu, anak-anak menghabiskan sebagian waktunya di sekolah, sehingga apa yang didapatkannya di sekolah akan mempengaruhi pembentukan karakternya. Penelitian Harvey (Wening, 2010) menghasilkan temuan bahwa pola perilaku guru yang bersifat membantu berkorelasi positif dan signifikan dengan kecenderungan siswa melakukan hal-hal yang sesuai dengan norma, aturan-aturan dan harapan guru. Dengan demikian, hubungan antara guru dan siswa yang kondusif sangat membantu proses penanaman nilai-nilai kehidupan pada diri siswa dan akan bermuara pada pembentukan karakter siswa. Pada jalur ketiga, yakni teman sebaya juga tidak bisa dianggap remeh pengaruhnya. Ini mengingat, sejak usia sekolah anak juga mengenal lingkungan ini dengan intensitas yang tidak sedikit baik di rumah maupun di sekolah. Kelompok tersebut memiliki norma dan nilai tersendiri pula dalam kehidupannya. Pengaruh teman sebaya tampak nyata melalui peran imitasi dalam interaksi sosial. Peran imitasi juga tampak dalam hal anak meniru apa saja yang didengarnya kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Barry & Darrel (1983) menunjukkan bahwa teman sebaya berpengaruh positif dalam pembentukan sikap beilmu dan meraih prestasi. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa teman sebaya berperan dalam pembentukan sikap dan tingkah laku.

Berdasarkan ketiga jalur yang mempengaruhi karakter anak di atas, tulisan ini lebih fokus pada jalur sekolah. Dalam konteks demikian, pendidikan karakter di sekolah pun perlu sadar dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga dalam proses pembelajarannya terjadi proses pembentukan sikap dan perilaku yang baik. Nilai-nilai yang diajarkan juga harus termanifestasikan dalam kurikulum, sehingga semua siswa paham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu menerjemahkannya dalam perilaku nyata. Dalam pembinaan kepada siswa, kebiasaan-kebiasaan yang baik penting untuk dilatihkan. Bila seorang anak selama di sekolah dibiasakan bertindak baik dalam hal-hal yang kecil, akan lebih mudah untuk melakukan tindakan baik dalam hal yang lebih besar. Sebagai contoh, disiplin pada siswa akan lebih mudah dikembangkan jika disiplin telah menjadi kebiasaan sehari-hari di sekolah. Jujur, kerja keras, saling toleransi dan sebagainya akan mudah dikembangkan jika aspek-aspek tersebut sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di sekolah. Ibarat anak yang memasuki gedung yang bersih, tentu akan berpikir dua kali kalau membuang sampah di sembarang tempat. Jika kepala sekolah dan guru selalu datang ke kelas beberapa menit sebelum pelajaran dimulai, tentu secara bertahap siswa akan mengikutinya. Jika kepala sekolah dan guru terbiasa membaca dan kemudian membuat rangkuman yang ditempel di majalah dinding sekolah, tentu akan mendorong siswa menirunya. Jika antara guru dan karyawan terjadi kebiasaan saling menyapa dan menghormati bahkan saling menolong akan menumbuhkan hal serupa pada siswa. Dari contoh di atas, budaya sekolah memang harus dirancang dan dilakukan dengan keteladanan. Kepala sekolah, guru, karyawan dan bahkan orangtua siswa dapat berunding bagaimana memulai dan mengembangkan budaya itu. Pada jenjang tertentu, siswa juga dapat dilibatkan untuk merancang dan memutuskan budaya apa yang akan dikembangkan, termasuk sangsi apa yang diberikan bagi mereka yang tidak mematuhinya. Dengan demikian, pada akhirnya nilai-nilai karakter itu dapat terwujud dalam tindakan nyata. Dalam struktur kurikulum kita, ada dua mata pelajaran yang terkait langsung dengan pengembangan karakter (khususnya budi pekerti dan akhlak mulia), yaitu pendidikan Agama dan PKn. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai. Pengintegrasian pendidikan karakter pada mata pelajaran lain (di luar pendidikan Agama dan PKn) lebih menekankan kepada penginternalisasian nilainilai melalui serangkaian kegiatan-kegiatan di dalam proses pembelajaran, Hal ini tentu tanpa menafikan ada unsur-unsur pada mata pelajaran tertentu yang tanpa disadari mempengaruhi dalam pembentukan karakter anak, seperti dalam matematika. Mengapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, perhatikan pembahasan bagian D berikut. D. Nilai-nilai Edukatif (Karakter) Pelajaran Matematika Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Dengan bernalar, anak bisa membedakan sesuatu yang baik dan buruk, bermanfaat atau tidak. Bahkan dengan bernalar, anak bisa mengambil tindakan dari permasalahan yang ada. Ada yang berpendapat hanya melaui kemampuan bernalar, karakter anak terbentuk. Pertanyaannya adalah: Benarkah kesimpulan itu? Tentu jawabannya belum cukup. Kemampuan bernalar hanya menyentuh aspek pertama (moral knowing) dari tiga komponen karakter yang diuraikan sebelumnya. Ada beberapa aspek dalam matematika bila diajarkan melalui perencanaan yang terarah, dengan bimbingan yang ketat dari guru, serta ditunjang keteladan, maka akan memberikan dampak terinternalisasinya nilai-nilai karakter pada diri anak. Soejadi (1999:129) berpendapat bahwa pelajaran matematika di sekolah dapat memberikan dampak material (akibat adanya penerapan matematika serta keterampilan matematika) dan formal (tertantanya nalar dan serta terbentuknya karakter anak). Keduanya akan bermuara pada terinternalisasinya nilai-nilai karakter pada anak, seperti sikap hemat, berpikir kritis, berpikir logis, berpikir inovatif, taat asas, jujur, gigih atau ulet, kreatif, teliti, tekun, dan berinisiatif. Sebagian dari nilai karakter di atas, akan diuraikan secara rinci pada beberapa sub bagian berikut. 1. Kesepakatan Sadar ataupun tidak, seorang anak yang mempelajari matematika telah menggunakan kesepakatankesepakatan tertentu. Kesepakatan-kesepakatan itu dapat berupa simbol atau lambang, istilah atau konsep, definisi, serta aksioma. Sebagai contoh, lambang bilangan yang selama ini digunakan seperti 1, 2, 3, dst merupakan lambing yang disepakati. Kesepakatan itu tanpa disadari telah tertanam sejak seorang anak belajar di kelas satu SD atau bahkan di TK. Bilangan yang dilambangkan dengan 2 disepakati dan disebut dengan dua. Mengapa? Itulah yang ternyata selalu digunakan hingga sekarang. Bagaimana peran kesepakatan dalam pergaulan di masyarakat? Sadar ataupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari terdapat banyak kesepakatan-kesepakatan, baik yang tertulis maupun yang tidak. Apabila seseorang berperilaku tidak sesuai dengan kesepakatan tertentu dalam masyarakat, tentulah ia dianggap sebagai melanggar suatu aturan. Dengan demikian, seorang anak yang dibiasakan belajar matematika yang penuh dengan kesepakatan yang harus ditaati, kiranya akan mudah memahami perlunya kesepakatan dalam
4

kehidupan masyarakat. Inilah salah satu aspek matematika yang memiliki peran pembentukan karakter anak pada aspek taat peraturan, malu berbuat salah, dan jujur. 2. Ketaatasasan Yang dimaksud ketaatasaan atau konsistensi adalah tidak dibenarkannya muncul kontradiksi. Bila pernyataan Melalui satu titik P di luar garis a dapat dibuat tepat satu garis sejajar dengan a, diterima sebagai hal yang benar, maka pernyataan Jika garis a sejajar garis b dan garis p memotong garis a, maka garis p tidak memotong garis b, harus dianggap salah. Inilah salah satu contoh konsistensi dalam matematika. Seorang anak yang terbiasa berpikir matematik, tidak terlalu sulit untuk memahami perlunya sikap konsisten dan tidak sulit melihat inkonsistensi yang terjadi dalam kehidupan. Bila sikap ini dipupuk dan dibiasakan pada anak selama belajar matematika, akan memberikan dampak bagi mereka bersikap jujur, menepati janji, dapat dipercaya, disiplin, dan tertib. 3. Semesta Dalam matematika, terdapat simbol-simbol atau lambing-lambang yang berbentuk variabel, seperti x, y, z dan sebagainya. Apa makna lambang tersebut? Terserah kepada si pemakai, akan diberi makna apa. Mungkin diberi makna bilangan atau yang lain, sesuai dengan kebutuhan pemakai. Hal itu menunjukkan adanya lingkup pembicaraan yang dapat juga disebut sebagai semesta pembicaraan. Dalam matematika, disadari atau tidak terdapat banyak permasalahan yang amat memperhatikan semesta. Bila semesta tidak diperhatikan, maka sangat besar kemungkinan jawab yang diberikan akan salah. Perhatikan contoh berikut: Tulislah lambang bilangan asli yang sesuai pada titik-titik, sehingga kalimat menjadi benar: 5 + 2 x . = 10! Kalau tidak disadari semestanya, maka tidak mustahil anak akan menjawab 2,5. Benarkah? Tentulah tidak sulit, bahwa manusia di bumi ini diciptakan dalam kelompok-kelompok, menjadi berbangsa-bangsa, suku bangsa atau bahkan menjadi satuan organisasi. Dalam masing-masing kelompok tersebut, berlaku suatu aturan tertentu. Seseorang yang akan melakukan tindakan atau melontarkan kata-kata tertentu, perlu memperhatikan di mana dia berada atau di lingkup mana dia berada. Bila seseorang terbiasa dengan aturan matematika, maka mereka tidak sulit melakukan penyesuaian seperti halnya dampak yang diinginkan keterikatan semesta selama belajar matematika. Beberapa aspek atau unsur dalam matematika di atas, dalam proses belajar mengajar sering kali hal itu tidak disadari secara penuh, dan kurang eksplisit. Sementara itu, tujuan dan manfaat pelajaran matematika tidak hanya aspek material (penerapan dan keterampilan) tetapi yang lebih penting adalah aspek formal. Aspek dan unsur penting tersebut, bila mendapat perhatian secara sungguh-sungguh dalam proses belajar mengajar akan semakin terasa adanya nilai-nilai karakter yang dapat dimunculkan. E. Penutup Tulisan ini ingin penulis akhiri berupa ajakan kepada Bapak/Ibu peserta seminar untuk memulai dari sekarang mengubah mindset dari pengajar ke pendidik. Dengan demikian, apa yang kita lakukan tidak semata-mata melakukan transfer ilmu kepada anak didik, akan tetapi bagaimana moral, sikap, dan perilaku anak didik kita juga diperhatikan. Dalam konteks demikian, perlu adanya keikhlasan, dedikasi, dan pengabdian yang tinggi. Memang berat, tetapi tidak ada salahnya kalau dicoba, bila kita tidak ingin menyaksikan kehancuran generasi penerus kita kelak karena hancurnya morak dan akhlaknya. E. Referensi Buchori, M. (2001). Selamat tinggal EBTANAS dan selamat datang kurikulum baru. Kedaulatan Rakyat, 19 Desember 2001, hal. 5. Elkind, D. H. & Sweet, F. How to do character education. Artikel diambil pada tanggal 11 April 2011 dari http://www.goodcharacter.com/Article-4.html. Harta, I. (2010). Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran matematika SMP/MTs. Artikel diakses dari internet pada tanggal 14 April 2011. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). (2010). Grand Desain Pendidikan Karakter. Kirschenbaum, H. (1995). Enhance values and moralityin schools and youth setting. Boston: Allyn & Bacon. Lewis, B.A. (2004). Character building untuk remaja (Terjemahan Arvin Saputra dan Lyndon Saputra. Buku asli diterbitkan 1987). New York: Publishing Group. Lickona, T. (1996). Eleven principles of effective character education. Journal of Moral Education, 25, 93100. Norton, G. R. (1977). Parenting. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc. Strom, T. (2002). Celebrating the character building aspects of agricultural education in school and community. The Agricultural Education Magazine, 75, 6-12.

Soedjadi, R. (1999). Kiat pendidikan matematika di Indonesia: Konstatasi keadaan masa kini menuju harapan masa depan. Jakarta: Depdikbud. Sudarsono, J. (2008). Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.). Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita (pp. XVII-XXII). Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Suparno. (2002). Pendidikan budi pekerti di sekolah: Suatu tinjauan umum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Wening, S. (2010). Metode aktivitas evaluasi reflektif dan pembentukan karakter. Prosiding Seminar Nasional Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 29-30 Januari 2010. Wening, S. (2007). Pembentukan karakter remaja awal melalui pendidikan nilai yang terkandung dalam pendidikan konsumen: Kajian evaluasi reflektif kurikulum SMP di Yogyakarta. Disertasi tidak dipublikasikan. Yogyakarta: PPs Universitas Negeri Yogyakarta. Wyne, E. A. (1991). Character and academics in the elementary school. Dalam J.S. Benninga (Ed.). Moral Character and Civic Eduation in The Elementary School. New York: Teachers College Press. Wynne, E., & Walberg, H. Developing character: Transmitting knowledge. Diambil pada tanggal 9 April 2011 dari http://www.wilderdom.com/ character.html F. a) b) c) Sekilas tentang Pemakalah Nama lengkap : Drs. Kusaeri, M.Pd Unit Kerja : Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah Jabatan/Pangkat : Lektor Kepala (IV-A)/Pembina

Pendidikan Formal: a) S-1 : Pendidikan Matematika IKIP Malang b) S-2 : Pendidikan Matematika PPs Universitas Negeri Suraba-ya. c) S-3 : Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (sedang proses penyelesaian disertasi). Pendidikan Non Degree: a) Mengikuti Public accountability training di University of Canberra Australia (2007). b) Sebagai visiting scholar di Ohio State University, USA. Khusus mendalami bidang pengukuran pendidikan dan aljabar (2010-2011).

Anda mungkin juga menyukai