Anda di halaman 1dari 14

Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(3): 329-342

ISSN 0125-9830

STRUKTUR KOMUNITAS EKHINODERMATA DI PADANG LAMUN PERAIRAN KEMA, SULAWESI UTARA oleh SUPONO dan UCU YANU ARBI UPT Loka Konservasi Biota Laut Bitung LIPI
Received 15 Desember, Accepted 16 November 2010

ABSTRAK
Perairan Kema merupakan perairan dengan tutupan vegetasi lamun yang sangat rapat. Kehadiran fauna ekhinodermata di lokasi ini mengingatkan bahwa padang lamun merupakan produsen primer dan sebagai tempat berlangsungnya siklus rantai makanan biota di wilayah pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman ekhinodermata di padang lamun perairan Kema. Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus 2008 menggunakan metode transek kuadrat. Selama pengamatan diperoleh 31 jenis ekhinodermata, terdiri dari tujuh jenis kelas Asteroidea, enam jenis kelas Ophiuroidea, sepuluh jenis kelas Holothuroidea dan delapan jenis kelas Echinoidea. Protoreaster nodusus merupakan jenis yang hadir pada hampir setiap stasiun. Diadema setosum memiliki tingkat kepadatan jenis tertinggi di setiap stasiun. Secara umum, padang lamun perairan Kema memiliki tingkat kekayaan jenis ekhinodermata relatif tinggi. Nilai indeks keanekaragaman jenis (H) tertinggi terdapat pada Stasiun 35 (1,646) dan terendah pada Stasiun 11, 46 dan 54 (0). Nilai indeks kemerataan jenis (J) berkisar antara 0 0,964 dan nilai indeks kekayaan jenis (D) berkisar antara 0 2,222. Jumlah jenis dan jumlah individu ekhinodermata di perairan Kema relatif lebih kaya dibandingkan dengan perairan Sulawesi Utara lainnya (Wori, Likupang Timur dan Tanjung Merah).

Kata kunci: Komunitas ekhinodermata, padang lamun, perairan Kema, Sulawesi Utara

329

SUPONO & ARBI

ABSTRACT
COMMUNITY STRUCTURE OF ECHINODERMATA AT SEAGRASS BEDS OF KEMA WATERS, NORTH SULAWESI. Kema waters represent waters has high percentage of seagrass cover. The existence of echinoderms in this location confirmed that seagrass beds as primary producer and the site where food chain take place in coastal area. The aim of this study is to know the biodiversity of echinoderms in seagrass beds of Kema waters. The data was collected on August 2008 using quadrat transect method. Thirty one species of echinoderms were found that consisted of seven species of class Asteroidea, six species of class Ophiuroidea, ten species of class Holothuroidea and eight species of class Echinoidea. Protoreaster nodusus almost present in all station. Diadema setosum has higher density at all station. In general, Kema waters has high species richness. The highest diversity index (1.464) was found at Station 35 and the lowest (0) was found at Stations 11,46 and 54. An evenness index was 0 to 0.964 and richness index was 0 to 2.222. Number of species and individuals of echinoderms in seagrass beds of Kema waters relatively higher compared to other area in North Sulawesi such as Wori, East Likupang and Tanjung Merah Waters.

Key words: Echinoderms community, seagrass beds, Kema waters, North Sulawesi.

PENDAHULUAN
Perairan Kema terletak di selatan Selat Lembeh yang masuk ke dalam wilayah kecamatan Kema, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Perairan ini terkenal dengan tutupan lamun dan terumbu karang yang luas. SUSETIONO (2004) menyatakan bahwa perairan Tanjung Merah, yang terletak di utara perairan Kema, memiliki padang lamun seluas 20 hektar dengan persentase tutupan mencapai 95 %. Dari 13 jenis lamun di Indonesia, delapan jenis diantaranya ditemukan di perairan Tanjung Merah, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halodule pinifolia dan Halodule uninervis. Padang lamun dihuni oleh banyak jenis invertebrata bentik, organisme demersal serta pelagis yang menetap maupun yang tinggal sementara di ekosistem tersebut. Beberapa jenis biota yang tinggal di padang lamun untuk mencari makan dan tempat perlindungan selama masa kritis dalam siklus hidupnya, terutama saat masih anakan. Selain itu, beberapa jenis lainnya adalah pengunjung yang datang setiap hari untuk mencari makan. Banyak di antara jenis-jenis biota yang tinggal menetap maupun tinggal sementara tersebut memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, terutama jenis epibentik, misalnya berbagai kepiting, udang, keong, kerang, cumicumi, gurita, teripang dan berbagai jenis ikan (HOWARD et al. 1989).

330

STRUKTUR KOMUNITAS EKHINODERMATA

Asosiasi fauna dengan lamun merupakan salah satu kajian yang paling menarik serta mudah untuk diamati oleh para peneliti di Indonesia. Padang lamun yang tersebar di seluruh Kepulauan Indonesia, merupakan ladang penelitian yang sangat potensial untuk dikembangkan lebih intensif di masa yang akan datang (http ://web.ipb.ac.id/~dedi_s/indek.php?option=com.content&task=view&id=26&itemid =54). Tingginya tutupan vegetasi lamun di perairan memungkinkan kehadiran berbagai biota yang berasosiasi dengan ekosistem padang lamun untuk mencari makan, tempat hidup, memijah dan tempat berlindung untuk menghindari predator (http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/indek.php?option=com.content&task=view&id=26&it emid=54). Namun sampai saat ini, penelitian di ekosistem lamun masih belum banyak dilakukan. Ekhinodermata merupakan salah satu biota yang berasosiasi kuat dengan padang lamun dan berperan dalam siklus rantai makanan di ekosistem tersebut. Studi ekologi fauna ekhinodermata telah banyak dilakukan di perairan wilayah Sulawesi Utara diantaranya oleh DARSONO & AZIZ (2002) di Teluk Kwandang, Pulau Paniki, Pulau Tiga dan Pulau Tagulandang, YUSRON & SUSETIONO (2005) di perairan Tanjung Merah, SUPONO & SUSETIONO (2008) di perairan Wori dan SUPONO (2009) di perairan Likupang Timur. Akan tetapi data yang ada belum mencakup area padang lamun yang sangat luas di provinsi ini, sehingga diperlukan kajian-kajian lebih lanjut, terutama di wilayah-wilayah lain yang belum dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur komunitas ekhinodermata di perairan Kema, Sulawesi Utara. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai sebaran fauna ekhinodermata pada habitat, substrat dan kondisi perairan dari perairan ini. Lebih jauh lagi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengelolaan wilayah pesisir oleh pihak-pihak terkait.

BAHAN DAN METODE


Penelitian dilakukan di beberapa desa di perairan Kema, Kecamatan Kema, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara pada bulan Agustus 2008 pada posisi antara 1o1534,79 N, 125o0334,19 E dan 1o2530,26 N, 125o0750,05 E (Gambar 1). Metode yang digunakan adalah metode transek kuadrat, dengan menggunakan kerangka frame (LOYA 1978) berukuran 15 x 15 m yang diletakkan pada 56 stasiun, dimana masing-masing transek pada jarak yang agak berjauhan. Kemudian dilakukan pencatatan fauna ekhinodermata yang terdapat dalam kerangka frame, meliputi jumlah jenis dan jumlah individu. Jenis ekhinodermata yang belum diketahui namanya, untuk kepentingan identifikasi di laboratorium, kemudian diawetkan dalam larutan formalin 5%. Untuk penyimpanan lebih dari 2 hari, dilakukan pengawetan dengan alkohol 70% (POHLE & THOMAS 2001). Identifikasi jenis-jenis ekhinodermata merujuk pada kepustakaan CLARK & ROWE (1971), ROWE (1969), ROWE & DOTY (1977) dan LANE & VANDENSPIEGEL (2003).

331

SUPONO & ARBI

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di padang lamun perairan Kema, Agustus 2008. Figure 1. Map of observation at seagrass beds of Kema waters, August 2008.

Beberapa indeks struktur komunitas dihitung dengan menggunakan program BioDiversity Professional version 2 Copyright (LAMBSHEAD et al. 1997). Beberapa indeks struktur komunitas tersebut adalah indeks keanekaragaman jenis (diversity index) atau indeks Shannon (H), indeks kemerataan jenis (evenness index) atau indeks Pielou (J) dan indeks kekayaan jenis (richness index) atau indeks Margalef (D) dihitung mengikuti cara ODUM (1971). Nilai kepadatan jenis dihitung dengan merujuk pada MISRA (1985). Kemiripan kuantitatif komunitas ekhinodermata antar lokasi dihitung dengan indeks kemiripan Sorensen (BROWER & ZAR 1977).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Deskripsi lokasi penelitian Perairan Kema terletak di ujung selatan Selat Lembeh yang dikenal memiliki keanekaragaman jenis invertebrata yang sangat kaya, sedangkan di bagian timur berhadapan langsung dengan Laut Maluku yang terkenal dengan keunikan kondisi fisik-kimia, serta biota laut yang berasosiasi di dalamnya. Karakteristik

332

STRUKTUR KOMUNITAS EKHINODERMATA

perairan Kema termasuk salah satu pantai di Sulawesi Utara yang memiliki ekosistem pantai yang lengkap, mulai dari hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Ketiga ekosistem penting tersebut ada kalanya hadir secara berurutan dari darat ke laut pada satu lokasi. Pada beberapa tempat, terutama di dekat muara sungai, masih dapat dijumpai hutan mangrove, walaupun keberadaannya semakin berkurang karena pemanfaatan yang berlebihan oleh masyarakat maupun pengembangan pemukiman dan industri. Padang lamun di lokasi penelitian termasuk dalam kategori sangat baik dengan persentase tutupan rata-rata di atas 80%, dan kebanyakan dengan persentase tutupan hingga 100%. Lebar pertumbuhan lamun dari bibir pantai ke arah laut ratarata sekitar 200 meter, bahkan pada beberapa titik ada yang mencapai 600 meter. Pada saat surut terendah, dasar pertumbuhan lamun tidak tergenang oleh air laut hingga lebih dari 100 meter ke arah laut. Kondisi terumbu karang di daerah ini ratarata tidak terlalu bagus karena berbagai hal. Lingkungan menjadi faktor utama yang menyebabkan kondisi terumbu karang rusak, terutama karena besarnya gelombang pada saat musim angin selatan. Selain itu, kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam laut juga menjadi faktor kerusakan terumbu karang. Kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia yang merusak terumbu karang masih berlangsung sampai sekarang. Struktur komunitas Hasil penelitian terhadap komunitas ekhinodermata yang dilakukan pada 56 plot transek kuadrat di padang lamun perairan Kema didapatkan 7898 individu dari 31 jenis ekhinodermata yang terdiri dari 7 jenis kelas Asteroidea, 6 jenis kelas Ophiuroidea, 10 jenis kelas Holothuroidea dan 8 jenis kelas Echinoidea (Tabel 1). Penelitian YUSRON & SUSETIONO (2005) melaporkan di perairan Tanjung Merah didapatkan 21 jenis ekhinodermata dengan metode transek kuadran. Tingkat kekayaan jenis maupun kepadatan individu ekhinodermata di perairan Kema ini tergolong tinggi jika dibandingkan dengan perairan Sulawesi Utara lainnya. Penelitian ekhinodermata di perairan Sulawesi Utara yang dilakukan oleh YUSRON & SUSETIONO (2005), SUPONO & SUSETIONO (2008), SUPONO (2009), YUSRON (2009) ditemukan berkisar antara 20 28 jenis ekhinodermata. Hal ini dikarenakan ukuran frame transek yang lebih besar dan perbedaan karakteristik perairan termasuk tutupan lamun, sehingga bisa mendapatkan lebih banyak jenis dalam satu transek. Pentaceraster alveolus dan Pentaster obtusatus, Holothuria fuscogilva, Euapta godeffroyi, Opheodesoma spectabilis dan Pseudoboletia indiana merupakan jenis-jenis yang jarang ditemukan di tempat lain. Indeks keanekaragaman (H) fauna ekhinodermata di lokasi transek perairan Kema sangat rendah jika dibandingkan dengan di perairan Sulawesi Utara lainnya. Indeks keanekaragaman (H) tertinggi di stasiun transek yang di amati adalah 1,64 (Tabel 2). Dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan di tempat lain, hasil ini termasuk rendah. Hasil penelitian di perairan Likupang Timur, Sulawesi Utara memiliki nilai indek keanekaragaman jenis tertinggi sebesar 2,47 (SUPONO 2009). Tinggi rendahnya nilai indeks keanekaragaman jenis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain jumlah jenis atau individu yang didapat, adanya beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah, homogenitas substrat dan

333

SUPONO & ARBI

kondisi tiga ekosistem penting di daerah pesisir (padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove) sebagai habitat dari fauna perairan. Berpedoman pada DAGET (1976), bahwa jika nila H bekisar antara 1,0 - 2,0 maka nilai keanekaragaman jenis di suatu wilayah perairan termasuk dalam kategori sedang dan jika nilainya kurang dari 1,0 maka nilai keanekaragaman jenisnya rendah. Dengan demikian, keanekaragaman jenis ekhinodermata di perairan Kema termasuk dalam kategori rendah sampai sedang (H= 0-1,64). Nilai indeks kemerataan jenis (J) ekhinodermata yang didapat di perairan Kema berkisar antara 0 - 0,964 (Tabel 2). Nilai indeks kemerataan jenis dapat menggambarkan kestabilan suatu komunitas. Suatu komunitas bisa dikatakan stabil bila mempunyai nilai indeks kemerataan jenis mendekati angka 1, dan sebaliknya dikatakan tidak stabil jika mempunyai nilai indeks kemerataan jenis yang mendekati angka 0. Sebaran fauna seimbang atau merata apabila mempunyai nilai indeks kemerataan jenis yang berkisar antara 0,6 - 0,8 (ODUM 1963). Sebaran jenis suatu organisme berkaitan erat dengan dominasi jenis, bila nilai indeks kemerataan jenis kecil (kurang dari 0,5) menggambarkan bahwa ada beberapa jenis yang ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibanding dengan jenis yang lain. Jika dilihat secara umum, nilai indeks kemerataan jenis ekhinodermata pada lokasi penelitian sebagian cenderung mendekati 1, yang berarti dapat dikatakan bahwa komunitas berada dalam kondisi yang cukup stabil. Hal ini menunjukkan tidak adanya dominansi jenis-jenis tertentu di beberapa stasiun. Sebagian lainnya cenderung mendekati angka 0, bahkan beberapa stasiun memiliki nilai indeks kemerataan jenis 0, sehingga dapat dikatakan bahwa komunitas berada dalam kondisi tidak stabil. Hal ini disebabkan karena pada stasiun yang memiliki nilai indeks kemerataan jenis tersebut tidak ditemukan ekhinodermata. Kehadiran fauna ekhinodermata berhubungan dengan kondisi substrat maupun tutupan lamun di setiap stasiun pengamatan. Beberapa stasiun yang tidak ditemukan kehadiran ekhinodermata bisa disebabkan rendahnya tutupan lamun di stasiun tersebut dan substrat didominasi oleh pasir. Nilai indeks kekayaan jenis (D) pada masing-masing stasiun berkisar antara 0 2,222 (Tabel 2). Artinya bahwa berdasarkan pada kriteria ODUM (1971), maka kekayaan jenis ekhinodermata di perairan Kema termasuk dalam kategori rendah. Secara umum, kekayaan jenis ekhinodermata dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan, terutama oleh faktor kualitas lingkungan, baik fisik maupun kimia. Kualitas lingkungan sangat dipengaruhi oleh tingkat tekanan yang diterima oleh lingkungan tersebut. Secara umum, kondisi padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang yang masih baik seharusnya berperan besar dalam menyediakan makanan, tempat perlindungan dan berbagai bentuk kebutuhan hidup lainnya. Kemungkinan lainnya, terjadi degradasi lingkungan perairan yang menyebabkan adanya perubahan sifat fisik maupun kimia perairan yang pada akhirnya mempengaruhi keberadaan ekhinodermata, maupun fauna lainnya. Penelitian mengenai pengaruh polutan di perairan terhadap ekhinodermata telah di lakukan oleh SHLESINGER (1986). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan yang tercemar oleh fosfat akan menyebabkan menurunnya kehadiran ekhinodermata dari kelompok teripang dan lili laut serta hewan lain yang hidup di dasar perairan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh DAFNI (2008) yang mengamati pengaruh limbah rumah tangga (deterjen) terhadap kelainan ekhinodermata kelompok bulu

334

STRUKTUR KOMUNITAS EKHINODERMATA

babi, diantaranya tubuh bulu babi memipih dan duri-duri tubuh rusak. Selain itu juga diperlukan penelitian lebih lanjut yang tidak dilakukan pada penelitian ini yaitu mengukur kualitas air di lokasi penelitian untuk mengetahui apakah ada faktor pencemaran.
Tabel 1. Kepadatan dan frekuensi kehadiran jenis ekhinodermata setiap stasiun. Table 1. Density and frequency of occurence of echinoderms at each stations.
Species ASTEROIDEA Culcita novaeguineae Echinaster luzonicus Linckia laevigata Nordoa tuberculata Pentaceraster alveolatus Pentaster obtusatus Protoreaster nodosus OPHIUROIDEA Ophiolepis superba Ophiocoma erinaceus Ophiocoma dentata Ophiomastix anulosa Macrophiothrix rugosa Ophiarachna incrasata HOLOTHUROIDEA Bohadschia argus Bohadschia marmorata Euapta godeffroyi Holothuria atra Holothuria hilla Holothuria fuscogilva Stichopus variegatus Synapta maculata Holothuria nobilis Opheodesoma spectabilis ECHINOIDEA Diadema savignyi Diadema setosum Echinometra mathaei Echinothrix calamaris Mespilia globulus Pseudoboletia indiana Toxopneustes pileolus Tripneustes gratilla Number of Individu Number of Species Number of individual (per 15m2) 11 1 55 2 3 2 688 2 2 1 26 2 2 2 1 75 16 925 1 15 107 1 4 2.025 2.953 67 149 24 4 25 707 7.898 31 Number of station 9 1 25 2 3 2 50 1 2 1 2 1 1 2 1 9 8 8 1 3 19 1 2 25 34 7 21 5 4 9 18 Density (ind/m2) 0.013 0.001 0.065 0.002 0.004 0.002 0.819 0.002 0.002 0.001 0.031 0.002 0.002 0.002 0.001 0.089 0.019 1.101 0.001 0.018 0.127 0.001 0.005 2.411 3.515 0.080 0.177 0.029 0.005 0.030 0.842 Frequency of occurence (%) 16.07 1.79 44.64 3.57 5.36 3.57 89.29 1.79 3.57 1.79 3.57 1.79 1.79 3.57 1.79 16.07 14.29 14.29 1.79 5.36 33.93 1.79 3.57 44.64 60.71 12.50 37.50 8.93 7.14 16.07 32.14

335

SUPONO & ARBI

Kepadatan dan frekuensi kehadiran tiap jenis Kepadatan tiap jenis ekhinodermata pada tiap transek bervariasi antara 0,0013 3,51 individu/m2 (Tabel 1). Kepadatan jenis ekhinodermata tertinggi adalah dari kelompok bulu babi Diadema setosum di kelas Echinoidea, yaitu sebesar 3,51 individu/m2 dengan frekuensi kehadiran tiap lokasi transek 60,71 %, sedangkan jenis ekhinodermata yang hampir ditemukan di setiap lokasi transek adalah jenis bintang laut Protoraster nodusus dari kelas Asteroidea. Hal ini ditunjukkan dengan prosentase frekuensi kehadiran jenis tersebut sebesar 89,29%. CRANDALL et al. (2008) menyatakan bahwa P. nodusus lebih banyak ditemukan di area padang lamun dengan substrat pasir. SUSETIONO (2007) menambahkan bahwa makanan utama jenis P. nodusus adalah lamun, detritus dan rumput laut. Tingginya jumlah individu Diadema setosum per luasan transek pada penelitian ini berhubungan dengan preferensi jenis Diadema terhadap makanan yang melimpah, yaitu lamun. Penelitian dengan menganalisis isi lambung bulu babi ditemukan beberapa jenis lamun seperti jenis Thalassia hemprichi dan Syringodium isoetifolium (MUKAI & NOJIMA 1985), yang menunjukkan kecenderungan preferensi pakan jenis Diadema terhadap lamun (CLINTOCK et al. 1982). Selain Diadema setosum, jenis lain dari kelompok bulu babi yang memiliki tingkat kepadatan yang tinggi jika dibandingkan kelompok lainnya adalah Diadema savignyi (2,41 individu/m2) dan Tripneustes gratilla (0,84 individu/m2). Kedua jenis bulu babi tersebut umumnya ditemukan hidup berkelompok di balik daun lamun atau di antara vegetasi lamun. CHIU (1985) menyatakan bahwa makanan utama kelompok bulu babi yang hidup di perairan dangkal adalah alga dan lamun. Kelompok bulu babi yang hidup di perairan dalam dimana alga bentik sudah tidak bisa tumbuh lagi, umumnya mereka bersifat omnivora (NAGAI & KANEKO 1975), yaitu dengan memakan berbagai jenis cacing, moluska, krustasea, diatom dan sisa alga yang terbawa arus. Sifat hidup berkelompok beberapa jenis bulu babi di padang lamun tidak selalu memberi pengaruh positif terhadap siklus rantai makanan di ekosistem tersebut bagi setiap penyusun rantai makanan tersebut. Kebiasaan jenis bulu babi tertentu untuk hidup mengelompok (agregasi) seperti pada marga Diadema dan Strongulocentrotus ternyata mempengaruhi komunitas alga dan lamun sebagai makanannya. Penelitian PAINE & VADAS (1969) tentang hubungan antara kehadiran bulu babi dengan kelimpahan alga dan lamun terhadap sifat agregasi bulu babi marga Strongulocentrotus menunjukkan bahwa marga tersebut mempunyai efek negatif yang langsung terhadap kelimpahan jenis alga tertentu. Dari penelitian yang dilakukan oleh kedua pakar tersebut di Teluk Mukkaro, Washington ternyata bahwa apabila semua bulu babi disingkirkan pada luas areal tertentu, pada kedalaman antara nol sampai dengan enam meter, maka akan terlihat alga dari marga Hedophyllum menjadi predominan. Hal yang sama juga terlihat pada kedalaman sampai dengan delapan meter di mana "kelp" marga Laminaria akan menjadi predominan setelah bulu babi disingkirkan. MOORE (1966) melaporkan bahwa bulu babi jenis Paracentrotus lividus dengan kepadatan 4 individu/m2 dapat mereduksi tutupan alga sebesar 33-50% dan apabila kepadatan bulu babi ini meningkat sampai 11 individu/m2, maka beberapa jenis alga akan habis.

336

STRUKTUR KOMUNITAS EKHINODERMATA

Tabel 2. Table 2.

Indek keanekaragaman jenis (H), Indek kemerataan jenis (J) dan Indek kekayaan jenis (D) fauna ekhinodermata di perairan Kema. Diversity index (H), evenness index (J) and richness index (D) of echinoderm at Kema waters.
Number of Species (S) 2 6 3 2 7 4 7 5 4 4 1 8 7 5 9 6 9 11 5 6 6 5 5 2 8 8 4 4 2 8 3 4 Number of Individu (N) 13 112 23 40 35 5 32 31 135 54 2 93 217 397 1363 938 476 562 23 69 21 37 190 17 177 52 6 12 3 83 368 7 Richness Index (d) 0.39 1.06 0.638 0.271 1.688 1.864 1.731 1.165 0.612 0.7521 0 1.544 1.115 0.669 1.108 0.731 1.298 1.579 1.276 1.181 1.642 1.108 0.762 0.762 1.352 1.772 1.674 1.207 0.91 1.584 0.339 1.542 Evenness index (J') 0.391 0.677 0.4281 0.769 0.816 0.961 0.794 0.8 0.704 0.814 0.672 0.423 0.497 0.52 0.565 0.489 0.667 0.558 0.809 0.874 0.755 0.331 0.331 0.473 0.589 0.896 0.865 0.918 0.354 0.534 0.921 Diversity Index (H') 0.271 1.213 0.47 0.533 1.591 1.332 1.545 1.287 0.975 1.129 0 1.397 0.822 0.8 1.143 1.012 1.074 1.599 0.898 1.45 1.566 1.214 0.533 0.533 0.984 1.224 1.242 1.199 0.637 0.735 0.586 1.277

Station St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10 St 11 St 12 St 13 St 14 St 15 St 16 St 17 St 18 St 19 St 20 St 21 St 22 St 23 St 24 St 25 St 26 St 27 St 28 St 29 St 30 St 31 St 32

337

SUPONO & ARBI


St 33 St 34 St 35 St 36 St 37 St 38 St 39 St 40 St 41 St 42 St 43 St 44 St 45 St 46 St 47 St 48 St 49 St 50 St 51 St 52 St 53 St 54 St 55 St 56 6 3 3 8 6 2 5 4 4 4 6 2 6 1 5 2 2 7 10 11 2 1 2 4 57 305 7 47 32 30 70 95 867 280 57 4 34 1 89 20 5 55 102 90 36 1 3 17 1.237 0.35 1.028 1.818 1.443 0.294 0.942 0.659 0.444 0.532 1.237 0.721 1.418 0.891 0.334 0.621 1.497 1.946 2.222 0.279 0.91 1.059 0.807 0.205 0.725 0.792 0.869 0.211 0.802 0.334 0.308 0.593 0.811 0.811 0.701 0.435 0.286 0.722 0.565 0.693 0.608 0.964 0.918 0.689 1.447 0.226 0.796 1.646 1.556 0.146 1.291 0.464 0.427 0.823 0.562 0.562 1.256 0 0.7 0.119 0.5 1.099 1.597 1.459 0.668 0 0.637 0.955

Bulu babi jenis Echinometra mathaei memiliki tingkat kepadatan yang rendah, karena jenis ini umumnya hidup bersembunyi atau meliang di dalam lubang bongkahan karang atau batu. Jenis-jenis bulu babi meliang seperti Echinometra mathaei, yang memperlihatkan cara makan yang unik, belum banyak dilaporkan oleh para pakar. Ada sebagian pakar yang berpendapat bahwa bulu babi ini tidak pernah meninggalkan lubangnya baik siang ataupun malam dan hidupnya tergantung sepenuhnya dari potongan-potongan alga atau lamun yang hanyut terbawa arus ke dalam lubangnya (RUSSO 1977). Pendapat lain yang bertentangan dari pendapat pertama, menyatakan bahwa bulu babi meliang tersebut keluar dari lubangnya pada malam hari dan mencari alga yang terdapat di sekitar lubangnya (PHERSON 1969). Dari kelompok teripang, kepadatan tertinggi adalah Holothuria hilla (1,10 individu/m2) dan Synapta maculata (0,13 individu/m2) (Tabel 1), sedangkan tingkat kehadiran jenis tertinggi dari kelompok teripang adalah S. maculata (33,93%). Kedua jenis ini merupakan jenis-jenis yang banyak terdapat di padang lamun, dan biasanya aktif mencari makan di malam hari yaitu berupa detritus di dasar perairan. Pada siang hari kedua jenis teripang tersebut menyembunyikan diri di antara akar lamun atau di balik seresah. Teripang jenis Holothuria hilla di lokasi ini memiliki

338

STRUKTUR KOMUNITAS EKHINODERMATA

kepadatan yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan hasil yang didapat di lokasilokasi lainnya. Pada kelompok bintang laut, kepadatan tertinggi ditemukan pada jenis Protoreaster nodusus. Jenis ini banyak ditemukan di padang lamun dan sedikit ditemukan di daerah karang mati, area dengan substrat berpasir dan daerah tubir. Hal ini disebabkan makanan utamanya adalah lamun, detritus dan rumput laut (SUSETIONO 2007). Pada saat surut terrendah jenis ini memanfaatkan dedaunan lamun untuk melindungi tubuh dari panas matahari. Selain itu jika terjadi surut kering maka lengan-lengan tubuh jenis ini akan melipat untuk mengurangi sengatan matahari. Oleh karena itu jenis Protoreaster nodusus jarang ditemukan di area rataan terumbu terbuka dengan komposisi subsrat pasir dan karang mati yang kelimpahan lamunnya sedikit.

KESIMPULAN
Di ekosistem lamun perairan Kema, ditemukan 31 jenis ekhinodermata, yang terdiri tujuh jenis kelas Asteroidea, enam jenis kelas Ophiuroidea, sepuluh jenis kelas Holothuroidea dan delapan jenis kelas Echinoidea. Protoreaster nodusus merupakan jenis ekhinodermata yang hadir pada setiap stasiun. Secara umum keanekaragaman jenis ekhinodermata di ekosistem lamun perairan Kema berada dalam kondisi rendah sampai sedang.

PERSANTUNAN
Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim survey dari Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta dan nelayan setempat yang telah banyak membantu pengambilan data di lapangan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada tim editor yang telah mengoreksi dan memberikan masukan selama proses perbaikan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
BROWER, J.E., & J.H. ZAR 1977. Field and laboratory methods for general ecology. MWC Brawn Company Publishing, IOWA: 194 pp. CHIU, S.T. 1985. Feeding biology of the short-spined sea urchin Anthocidaris crassispina (Agassiz) in Hong Kong. In: B.F. KEEGAN and B.D.S. O'CONNOR (eds.). Echinodermata, A.A. Balkema, Rotterdam: 223232.

339

SUPONO & ARBI

CLARK, A.M., & F.W.E. ROWE 1971. Monograph of shallow sater Indo West Pasific Echinoderms. Trustees of the British Museum (Nat. Hut). London: 238 pp. CLINTOCK, J.B., T.S. KLINGER & J.M. LAWRENCE 1982. Feeding preference of echinoids for plant and animal food models. Bull. Mar. Sci. 31 (1): 365 369. CRANDALL, E. D., M. E. JONES, M. M. MUNOZ, B. AKINROBI, M. V. ERDDMANN & P. H. BARBER. 2008. Comparative phylogeography of two Seastars and their ectosymbionts within the coral triangle. Molecular Ecology : 5276-5290. DAFNI, J. 2008. Diversity and recent changes in the echinoderm fauna of the Gulf of Aqaba with Emphasis on the Regular Echinoids. In : F. D. POR (ed.) Aqaba-Eilat, the Improbable Gulf : Environtment, Biodiversity and Preservation. Magnes Press Jerusalem : 225-242. DAGET, J. 1976. Les Modeles Mathematiques en Ecologie. Masson, Coll. Ecol. No. 8, Paris: 172 pp. DARSONO, P., & A. AZIZ. 2002. Komunitas ekhinodermata dari beberapa pulau di daerah Sulawesi Utara. Majalah Ilmu Kelautan 26 (7): 77-88. HOWARD, R.K., G.J. EDGAR and P.A. HUTCHINGS 1989 Faunal assemblages of seagrass beds. In: A. W. D, LARKUM., A.J, Mc. COMB and S.A. SHERPHERD (eds.). Biology of Seagrass. Elsevier. Amsterdam : 536564. LAMBSHEAD, P.J.D., G.L.J. PATERSON and J.D. GAGE 1997. Biodiversity professional version 2 (Software). Natural History Museum and The Scottish Association for Marine Science. LANE, D. J. W., & D. VANDENSPIEGEL. 2003. A guide to Sea Stars and other Echinoderms of Singapore. Singapore Science Center : 187 pp. LOYA, Y. 1978. Plotless and transect methods, In: D.R. STODDARD and R.E. JOHANNES (eds.). Coral Reef Research Methods, (UNESCO). Paris: 22 32. MISRA, R. 1985. Ecological workbook. Oxford and IBM. Publs. Co., New Delhi: 224 pp. MOORE, H.B. 1966. Ecology of echinoids. In: BOO-LOOTIAN, R.A (ed.). Physiology of Echinodermata. Wiley Interscience, New York: 7386. MUKAI, H., & S. NOJIMA. 1985. A Preliminary report on the distribution pattern, daily activity and moving pattern, of a seagrass grazer, Tripneustes gratilla

340

STRUKTUR KOMUNITAS EKHINODERMATA

(L.) (Echinodermata: Echinoidea), in Papua New Guinean seagrass beds. Spec. Publ. Mukaishima Mar. Biol. St. : 173183. NAGAI, Y. and K. KANEKO 1975. Culture Experiments on the Sea Urchin Strongylocentrotus pulcherimus Feed and artificial diet. Mar. Biol., 29: 105 108. ODUM, E.P. 1963. Ecology. The University of Georgia, USA: 152 pp. ODUM, E.P. 1971. Fundamental of ecology. W.E. Saunders, Philadelphia, USA: 574 pp. PAINE, R.T. and R.L. VADAS 1969. The effects of grazing by sea urchin Strongylocentrotus spp., on Benthic Algal Populations. Limnol. Oceanogr. 14 (5): 710719. PHERSON, B.F. 1969. Studies on the biology of the tropical Sea Urchin, Echinometra hicunter and Echinometra viridis. Bull. Mar. Sci., 19: 194213. POHLE, G.W. and M.L.H. THOMAS, 2001. Monitoring Protocol for Marine Benthos: Intertidal and Subtidal Macrofauna, http:// attentionnature.ca / English / monitoring / protocols / marine / benthics / benthos.html, browsing 20 Desember 2008. ROWE, F.W.E. 1969. A Review of family Holothuroidae (Holothuroidea: Aspidochirotida). Bull. Br. Mus. Nat. His. Zool. : 117170. ROWE, F.W.E. and J.E. DOTY 1977. The Shallow - water Holothurian of Guam. Micronesica 13 (2): 217250. RUSSO, A.R. 1977. Water flow and the distribution and abundance of Echinoids (Genus: Echinometra) on an Hawaiian reef. Austr. J. Mar. Freswat. Res. 28: 693702. SHLESINGER, Y. 1986. Distribution patterns of the holothurian Actynopyga bannwarthi, as correlated with levels of phosphate pollution in Gulf of Eilat (Red Sea). In : DAFNI (ed). Environmental Quality and Ecosystem Stability. Proceedings of the 3rd International Conference. Vol. IIIa: 195-203. SUPONO 2009. Komunitas ekhinodermata padang lamun perairan Likupang Timur, Sulawesi Utara. Dalam: Perairan Maluku dan Sekitarnya. UPT LKBL Ambon : 12 hal. SUPONO dan SUSETIONO,2008. Struktur komunitas ekhinodermata di beberapa Lokasi perairan Wori, Sulawesi Utara : 17 hal (unpublished).

341

SUPONO & ARBI

SUSETIONO 2004. Fauna padanglLamun Tanjung Merah, Selat Lembeh. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta: 106 hal. SUSETIONO 2007. Lamun dan fauna Teluk Kuta, Pulau Lombok. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta: 99 hal. YUSRON, E. dan SUSETIONO 2005. Fauna ekhinodermata dari perairan Tanjung Merah, Selat Lembeh Sulawesi Utara. Makara Sains 2 (9) : 6065. YUSRON, E. 2009. Biodiversitas fauna ekhinodermata di perairan Selat Lembeh, Bitung-Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35 (1):225237. SOEDHARMA, D. 2009. Asosiasi dan Interaksi. http://web.ipb.ac.id / ~dedi_s/index.php option=comcontent&ask=view&id=26&Itemid=54. Diakses pada tanggal 21 Januari 2009.

342

Anda mungkin juga menyukai