Anda di halaman 1dari 11

1

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

ASUS (AWIG-AWIG SATU UNTUK SEMUA) SEBAGAI PARAMETER GENERAL PENGELOLAAN PARIWISATA LUMBA-LUMBA LIAR BERBASIS KEARIFAN LOCAL (LOCAL GENIUS) DI KAWASAN PARIWISATA LOVINA BIDANG KEGIATAN: PKM-GT

Diusulkan oleh : I Gede Dana Santika I Gede Arjana (1113021077/2011) (1013021014/2010)

I Gede Hendra Riawan (1013021050/2010)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2012

2 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam (SDA) secara optimal dengan tetap mempertahankan kelestariannya adalah salah satu landasan pemikiran terhadap keberlanjutan pembangunan. Wilayah laut Indonesia dengan panjang garis pantai 81.000 km, merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada (Sutikno, 1993:4). Wilayah laut Indonesia memiliki luas 3.166.163 km2 ditambah dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2 yang mengandung bermacam-macam sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan menjadi salah satu tumpuan penting bangsa Indonesia (Sutikno, 1993:7). Pantai sebagai salah satu bagian dari laut, juga memberikan potensi yang dapat dimanfaatkan, terutama dalam pengembangan pariwisata. Pada wilayah pantai, orang yang berkunjung dapat melakukan kegiatan berlayar, berenang, berdayung, berselancar, menyelam, dan sebagainya. Namun, pengembangan pariwisata yang tanpa disertai dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik, akan menimbulkan permasalahan yang besar terhadap lingkungan, seperti pencemaran pada perairan, banyaknya sampah, serta kerusakan-kerusakan yang terjadi pada objek wisata yang ada. Kawasan Wisata Pantai Lovina merupakan salah satu objek wisata bahari yang terletak di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Kawasan wisata ini telah dikembangkan sejak tahun 1970-an oleh Panji Tisna. Kata Lovina merupakan kependekan dari Love Indonesia. Pantai Lovina terletak 10 km di sebelah Barat kota Singaraja. Potensi wisata yang menjadi andalan kawasan pantai Lovina adalah ekosistem terumbu karang dan populasi ikan lumbalumba (dolphin). Menurut Data dan Norma Program Pantai Lestari Provinsi Bali yang merupakan bagian Rencana Strategis Kawasan Lovina, terumbu karang yang terdapat dikawasan Pantai Lovina memiliki luas penyebaran sebesar 1,5 km2 (Bappeda Provinsi Bali, 2000). Jenis karang yang ada terdiri dari karang masif (karang otak) dan karang tanduk, yang saat ini kondisinya sudah mulai rusak (Siti Amanah dan Hamidah Nayati Utami, 2006). Jenis layanan wisata yang ditawarkan di Pantai Lovina adalah melihat lumba-lumba liar (dolphin-watching boat tours), diving, dan snorkeling. Dolphin-watching boat tours merupakan jasa wisata yang paling diminati baik oleh wisatawan. Agar bisa menikmati jasa wisata ini, seorang wisatawan harus menyewa perahu bermotor untuk mengantarnya ketengah laut. Berdasarkan Buku Induk Pedoman Organisasi Pemandu Wisata Catur Karya Bhakti Segara, pemandu wisata menyewakan perahu pada wisatawan untuk mengamati perilaku lumba-lumba mulai pukul 06.00 hingga pukul 09.00 pagi dengan harga sewa perahu berkisar antara Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu per trip. Dengan semakin pesatnya perkembangan pariwisata di kawasan ini, serta semakin banyaknya wisatawan yang ingin menyaksikan panorama bawah laut dan atraksi lumbalumba, maka akan berdampak pada kerusakan ekosistem terumbu karang dan populasi ikan lumba-lumba. Wisatawan yang ingin menyelam, baik disengaja maupun tidak, menginjak terumbu karang yang ada. Para pemandu wisata bahari dalam memandu wisatawan membuang jangkar perahu secara sembarangan pada areal terumbu karang, sehingga terumbu karang mengalami kerusakan dan mati. Meningkatnya minat wisatawan terhadap ikan hias, mengakibatkan terjadinya penangkapan ikan hias oleh masyarakat dengan menggunakan bahan beracun, seperti sianida dan potasium, yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang. Kerusakan terumbu karang sebagaian besar juga disebabkan karena faktor alam yaitu lumpur yang dibawa aliaran sungai dan bermuara di Pantai Lovina. Kerusakan lain yang juga merupakan dampak dari perkembangan pariwisata ini adalah terusiknya keberadaan populasi lumba-lumba yang ada. Beberapa sistem pelaksanaan wisata lumba-lumba yang merugikan keberadaan lumba-lumba itu sendiri diantaranya, melihat lumba-lumba dari jarak yang sangat dekat, mengejar, bahkan tidak jarang ada lumba-

3 lumba yang terluka karena terkena kipas mesin perahu bermotor. Beberapa tahun sebelumnya, atraksi lumba-lumba dapat disaksikan dari pantai. Namun saat ini lumba-lumba hanya dapat disaksikan di tengah laut. Itu pun dalam jumlah kecil dan jarang muncul. Menjauhnya lumba-lumba dari pantai juga merupakan dampak dari rusaknya terumbu karang dan hilangnya ikan-ikan kecil, serta gangguan peningkatan aktivitas pariwisata, seperti penyelaman dan deru mesin perahu bermotor. Beberapa penelitian terkait dengan pengaruh biologis watching boat tours terhadap perkembangan tingkahlaku lumba-lumba liar di beberapa tempat di Australia, menemukan bahwasanya 1) terjadi peningkatan perilaku menghindar lumba-lumba (menyelam ke dasar laut atau mengubah arah renang) disekitar tour boats, 2) peningkatan whistling (bersiul), 3) bubar dari habitat tersebut, 4) istirahat yang kurang, 5) peningkatan travelling (bepergian), 6) penurunan aktivitas bermain, 7) bersosialisasi dan kawin, 8) penurunan kemampuan berkembang biak serta penurunan jumlah bayi lumba-lumba yang lahir (Zepple, 2009). Masalah yang sama dikhawatirkan akan terjadi terhadap populasi lumba-lumba di kawasan Lovina. Peranan pemerintah, pihak swasta dan masyarakat terhadap pelestarian potensi wisata lumba-lumba (dolphin) di Kawasan Pariwisata Lovina, menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan. Dewasa ini, pengelolaan wilayah pesisir terpadu disinyalir terbukti memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian potensi pariwisata dan pemanfaatan ekonomi potensi pariwisata tersebut. Namun demikian, parameter terhadap pelaksanaan kegiatan pariwisata lumba-lumba tersebut sangat dibutuhkan. Parameter ini akan berfungsi sebagai pembatas bagi masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders) dalam mengeksplorasi dan memanfaatkan potensi pariwisata yang ada serta meminimalisir terjadinya kerusakan potensi pariwisata tersebut. Revitalisasi awig-awig sebagai perangkat aturan yang dibuat melalui kesepakatan bersama masyarakat setempat, dapat dijadikan sebagai parameter yang adaptif terhadap permasalahan ini. Hal ini disebabkan awig-awig mengandung unsur agama yang merupakan keyakinan masyarakat setempat, sehingga mereka termotivasi untuk mematuhi peraturan tersebut. Namun demikian, awig-awig juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya aturan yang disepakati dimuat secara konvensi, sehingga timbul ketidak jelasan aturan yang ditetapkan. Kedua, awig-awig berlaku secara lokal, dalam artian orang lain yang tidak berasal dri wilayah tempat awig-awig dibentuk, tidak terikat aturan yang ditetapkan. Ketiga, tidak jelasnya lembaga monitoring dan penegak awig-awig. Berdasarkan paparan diatas, penulis tertarik untuk merevitalisasi keberfungsian awigawig sebagai parameter terhadap pengelolaan pariwisata lumba-lumba di Kawasan Pariwisata Lovina dengan merevisi kekurangan dan kelemahan sehingga terbentuk suatu sistem parameter yang efektif dan adaptif.

4 Tujuan Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut. 1) Merekomendasikan revitalisasi awig-awig sebagai parameter general pengelolaan pariwisata lumba-lumba liar berbasis kearifan lokal (local genius) di Kawasan Pariwisata Lovina. 2) Mensinergiskan keberfungsian pihak Desa Pekraman dengan pihak Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam meningkatkan kelestarian potensi pariwisata lumba-lumba di Kawasan Pariwisata Lovina. Manfaat Manfaat yang diharapkan dapat tercapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut. 1) Bagi penulis, untuk meningkatkan kemampuan diri dalam menganalisis permasalahan lingkungan hidup yang ada, yaitu di kawasan wisata Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali. 2) Bagi masyarakat, adalah untuk meningkatkan persepsi, sikap, dan peran sertanya dalam melestarikan potensi pariwisata yang akan berimplikasi terhadap penghasilan penduduk di kawasan wisata Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali. 3) Bagi pemerintah, adalah sebagai pedoman dalam merencanakan bentuk pengelolaan dan pelestarian lingkungan pantai dan potensi pariwisata secara berkelanjutan, serta untuk merumuskan kebijakan terhadap lingkungan terutama dalam pelestarian potensi pariwisata lumba-lumba di kawasan wisata Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali.

5 GAGASAN Kawasan Pariwisata Lovina Kawasan Pariwisata Lovina, sebagai salah satu kawasan pariwisata yang terletak di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, merupakan lokasi wisata yang cukup diminati oleh wisatawan. Jenis wisata yang berkembang disini adalah wisata bahari, yang mengandalkan potensi terumbu karang dan lumba-lumba (dolphin). Wisata bahari merupakan salah satu jenis pariwisata yang banyak berkaitan dengan aktivitas air, danau, bengawan, pantai, teluk atau laut, berselancar, menyelam sambil melakukan pemotretan, mendayung, melihat taman laut dengan pemandangan indah di bawah permukaan air serta berbagai rekreasi perairan lainnya (S. Pendit, 1999 : 96). Jenis layanan wisata yang ditawarkan di Kawasan Pariwisata Lovina adalah melihat lumba-lumba liar (dolphin-watching boat tours), diving, dan snorkeling Dalam hal ini, pemandu wisata bahari merupakan jenis pekerjaan yang banyak diminati oleh masyarakat dikawasan ini. Mereka bertugas memandu wisatawan ketengah laut maupun di sepanjang pesisir pantai, untuk menyaksikan panorama bawah air dan atraksi lumba-lumba. Jenis perahu yang mereka gunakan untuk mengantar wisatawan mengamati perilaku lumba-lumba adalah jenis perahu bermotor. Jumlah perahu yang aktif beroperasi mencapai 127 perahu bermotor (Bappeda Provinsi Bali, 2000). Pada awalnya pemandu wisata bahari ini tumbuh secara liar, sehingga sering terjadi persaingan diantara pemandu itu sendiri, utamanya dalam mencari wisatawan yang mau dipandu. Hal ini dikhawatirkan dapat merusak potensi pariwisata yang ada, karena tingkah laku pemandu yang membawa wisatawan secara sembarangan disekitar areal terumbu karang. Juga perilaku mereka yang ingin memandu wisatawan menyaksikan lumba-lumba dengan cara mengejar satwa tersebut dalam jarak yang sangat dekat. Lumba-lumba (dolphin) yang terdapat di Kawasan Pariwisata Lovina merupakan salah satu potensi wisata yang memiliki daya tarik sendiri bagi wisatawan. Jenis populasi lumba-lumba yang hidup di kawasan laut Lovina adalah jenis Lumba-lumba Hidung Botol/Bottlenose Dolphin (Tursiops spp.), sejenis dengan lumba-lumba yang hidup di perairan Australia. Sesuai dengan hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan penulis dengan anggota organisasi Pemandu Wisata Bahari, maupun dengan Kelompok Nelayan, jumlah populasi lumba-lumba yang ada di kawasan ini sekitar 350 ekor. Banyaknya populasi lumba-lumba di kawasan ini membuat Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng menjadikan ikan lumba-lumba sebagai lambang atau maskot Kawasan Pariwisata Lovina. Sistem pengelolaan wisata lumba-lumba di kawasan Lovina, khususnya dolphinwatching boat tours belum menggunakan pedoman tetap serta aturan yang bersifat mendukung kelestarian potensi wisata di kawasan tersebut. Proses pelaksanaan dolphinwatching boat tours di kawasan Lovina dapat digambarkan sebagai berikut. Sekitar pukul 06.00 pagi, ratusan perahu bermotor berangkat ke tengah laut untuk mengantar wisatawan menyaksikan perilaku lumba-lumba. Ketika lumba-lumba muncul ke permukaan, ratusan perahu berlomba mendekati lumba-lumba dengan jarak yang sangat dekat, mengejar gerombolan lumba-lumba, bahkan tidak jarang, ada lumba-lumba yang terluka akibat terkena kipas mesin perahu bermotor. Suara deru mesin perahu bermotor yang digunakan oleh para pemandu wisata juga berimplikasi terhadap keberadaan lumba-lumba. Dala upaya menjaga kelestarian potensi andalan pariwisata, terutama ekosistem terumbu karang, maka pada bulan Mei 2008 yang lalu, organisasi Pemandu Wisata Bahari menetapkan aturan untuk tidak membuang jangkar perahu bermotor di areal ekosistem terumbu karang. Sedangkan dalam upaya menjaga kelestarian lumba-lumba, dalam jarak dua puluh meter dari satwa tersebut, para pemandu harus mematikan mesin perahu bermotor. Hal ini dilakukan sebab dikhawatirkan suara deru mesin perahu bermotor akan mengganggu satwa tersebut sehingga mereka menjauh dari Kawasan Pariwisata Lovina. Namun, karena

6 larangan tersebut tidak disertai sanksi yang tegas, para nelayan yang menyewakan perahu bermotornya kembali melakukan kesalahan yang sama. Awig-awig Masyarakat atau sistem sosial merupakan hasil interaksionis simbolik dari berbagai komponennya. Model interaksionis simbolik memandang perilaku budaya berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebaliknya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Aturan-aturan lokal yang disepakati dan diimplementasikan dengan baik, serta didukung oleh identitas komunal yang kuat, terbukti mampu menunjang kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Prinsip dasar pengelolaan potensi wisata kemasyarakatan menyebutkan bahwasanya tidak ada hak-hak pribadi atas potensi pariwisata tersebut. Jika ada bagian hak-hak pribadi berupa hasil dari suatu potensi pariwisata, maka hasil tersebut harus diakomodasi dengan cara tidak menimbulkan pertentangan. Hal itulah yang kemudian mendasari pentingnya membangun konsensus sebagai seperangkat aturan yang disepakati bersama. Seperti halnya aturan lokal, oleh masyarakat di Pulau Lombok yang dikenal dengan istilah Awig-awig yang dijadikan instrumen dalam melaksanakan program HKm di kawasan hutan lindung Sesaot. Terminologi Awig-awig hanya ada di masyarakat suku Sasak (Lombok) dan masyarakat suku Bali. Awig-awig umumnya tidak tertulis namun sebatas konsensus tentang tata tertib untuk membangun harmonisasi kehidupan dalam suatu komunitas tertentu, baik harmonisasi antar sesama manusia maupun harmonisasi dengan lingkungan. Awig-awig umumnya berisi nilai-nilai atau norma-norma yang tumbuh dan berkembang, menyatu dengan budaya, kepercayaan yang diekspresikan dengan mitos dan simbol-simbol tertentu, sehingga masyarakat suku Sasak memandang Awig-awig sebagai kearifan lokal (local genius). Nilai-nilai tersebut diterima dan dilestarikan terbatas pada komunitas tertentu dan muatannya hanya mengikat sebatas teritori tertentu pula. Nilai-nilai kearifan kemudian diturunkan atau diwariskan secara turun temurun dalam arti masyarakat menerima dan melestarikan. Selanjutnya informasi nilai-nilai kearifan menyebar dari mulut kemulut dan pendidikan nilai-nilai dilakukan secara informal. Awig-awig sebagai aturan hukum lokal untuk mengatur harmonisasi dalam sistim sosial maupun harmonisasi dengan lingkungan hidup, dapat tinjau dari beberapa sudut pandang yakni, sifat, nilai-nilai atau norma, institusi penegak dan muatannya. Apabila dikaji dari segi sifatnya, Awig-awig diterima secara turun temurun dan menjadi dogma bagi masyarakat yang terikat pada batas teritorial atau lokal dimana Awig-awig tersebut berlaku. Dengan kata lain, Awig-awig diterima oleh masyarakat tanpa pertentangan dan dilestarikan. Dikaji dari aspek nilai atau norma, Awig-awig secara umum dipahami berisi perintah, kebolehan dan larangan. Perintah memuat hal-hal yang tegas, dan mengharuskan. Bila dalam anggota masyarakat melakukan hal-hal yang tidak seharusnya seperti mengambil atau merusak hak orang lain, akan mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Awig-awig. Kebolehan berisi anjuran-anjuran yang apabila tidak dilakukan yang bersangkutan tidak mendapatkan sanksi. Nilai kebolehan umumnya memuat nilai-nilai yang berisi kebaikan bagi pelaku maupun bagi orang lain maupun bagi lingkungan hidupnya. Sedangkan bagi pihak luar tidak terikat terhadap keharusan nilai-nilai yang ada namun sebatas kebolehan, karena pihak luar tidak termasuk bagian sosial masyarakat yang tinggal menetap. Namun demikian karena sebatas kebolehan maka pihak luar ditekankan pada penghormatan atau penghargaan terhadap nilai-nilai yang ada, sehingga terkadang bagi pihak luar batasan antara keharusan dan kebolehan sangat tipis. Sedangkan larangan berisi sejumlah sanksi dan tata cara melaksanakannya. Kekuatan nilai-nilai dalam Awig-awig berbeda-beda. Astiti (2005) menyebutkan, norma-norma yang ada dalam masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat

7 berbeda-beda. Ada yang lemah, sedang dan terkuat daya ikatnya. Norma yang mempunyai daya ikatan terkuat umumnya masyarakat tidak berani untuk melanggarnya. Awig-awig sebagai seperangkat norma sering dipadukan dengan lembaga yang bertugas menegakkan norma-norma tersebut, seperti pemangku atau lokaq, dan lang-lang. Astiti (2005), memberikan batasan terkait dengan definisi lembaga sebagai institusi merupakan organ yang berisikan struktur dalam menjalankan fungsi masyarakat. Kekuatan Awig-awig terletak pada institusi penegakannya yang bersifat mendidik dan memberikan rasa efek jera secara sosial bagi anggotanya. Biasanya yang ditunjuk sebagai penegak normanorma tersebut berdasarkan ketokohan, terutama keteladanan, keturunan, kebijaksanaan dan bukan berdasarkan tingkat kekayaan dan jabatan fungsional diluar komunitasnya. Dengan kata lain, penegak Awig-awig memiliki kewibawaan yang kuat di dalam kelompoknya. Dikaji dari aspek muatannya, Awig-awig biasanya menggunakan idiom-idiom lokal dan simbol-simbol, yang hanya sebagian kecil yang menggunakan kalimat yang menegaskan subjek dan objek yang diatur. Sebagai contoh penyawek sebagai simbol larangan. Penyawek biasanya dilakukan dalam hubungannya dengan lingkungan yang menegaskan tentang larangan bagi orang lain dalam satu areal tertentu. Sebagai contoh bila seseorang memelihara rumput di pematang sawah dengan maksud agar pemiliki sawah tidak kesulitan mencari pakan ternak ke tempat lain, biasanya dipasangkan penyewek. Hal itu berarti orang lain tidak boleh mengambil rumput pada pematang yang sudah diberikan penyawek tersebut. Berdasarkan definisi dan pelaksanaan umumnya, maka Awig-awig memiliki beberapa kelemahan, yaitu 1. Secara konseptual, setiap muatan perintah dan larangan yang termuat dalam Awigawig memiliki konsekwensi hukum tertentu apabila dilanggar. Bentuk sanksi yang ditetapkan terhadap pelanggaran awig-awig masih tergolong lemah, dalam artian sanksi yang diberikan terhadap pelanggar tidak setegas sanksi yang termuat dalam peraturan tertulis. 2. Aspek penegakan aturan yang termuat dalam Awig-awig belum terpadu dengan lembaga penegak. Secara umum, biasanya penegak Awig-awig tersebut adalah ketua kelompok atau ketua Desa Pakraman tempat Awig-awig diterapkan. Hal ini berimplikasi terhadap objektifitas sanksi yang diberikan. 3. Jangkauan Awig-awig hanya dalam batas lokal saja. Jika terjadi kasus pelanggaran Awig-awig lintas kelompok, lintas desa ataupun pihak lain yang tidak berasal dari desa tempat Awig-awig ditetapkan, maka timbul kendala terhadap penerapan sanksi dari awig-awig tersebut. Sebagai contoh, apabila pelaku pembunuhan ikan lumba di Kawasan Pariwisata Lovina adalah wisatawan asing, maka pemberian sanksi terhadap pelaku sulit diberlakukan.

8 ASUS (Awig-awig Satu Untuk Semua) ASUS (Awig-awig Satu Untuk Semua) merupakan suatu bentuk revitalisasi Awigawig yang dirancang dengan merevisi kelemahan-kelemahan yang ada sehingga relevan untuk diterapkan sebagai parameter general terhadap pengelolaan pariwisata lumba di Kawasan Pariwisata Lovina. Secara umum ASUS bertujuan untuk men-generalisasikan mengimplementasikan awis-awig terhadap semua pihak (stakeholders) yang terkait dengan pariwisata lumba-lumba di Kawasan Pariwisata Lovina (wisatawan, pemandu wisata, masyarakat terkait, dan Pemerintah Kabupaten Buleleng). Sistem pelaksanaan dan monitoring ASUS merupakan sinergitas dari pihak masyarakat dengan pihak Pemerintah Kabupaten Buleleng. Dengan diimplementasikannya awig-awig terhadap stakeholders, diharapkan keberfungsian dan keefektifan aturan dan sanksi yang telah ditetapkan dalam awig-awig tersebut dapat berlaku secara general, tidak hanya bagi masyarakat sekitar Kawasan Pariwisata Lovina, namun terhadap semua pihak yang terkait. Dengan demikian, jaminan kelestarian potensi pariwisata lumba-lumba di kawasan ini dapat ditingkatkan sehingga keberlanjutan pariwisata lumba-lumba dan implikasinya terhadap kesejahteraan warga setempat juga terjamin. Berikut merupakan bagan deskripsi ASUS (Awig-awig Satu Untuk Semua) secara umum. ASUS (Awig-awig Satu Untuk Semua)

Stakeholders 1. 2. 3. 4. Wisatawan Pemandu Wisata Masyarakat Terkait Pemerintah Kabupaten Buleleng

Kelestarian potensi pariwisata, keberlanjutan pariwisata, dan kesejahteraan masyarakat

9 Strategi Pengimplementasian ASUS (Awig-awig Satu Untuk Semua) Pengimplementasian ASUS ditetapkan dalam beberapa tahapan yang merupakan Berikut merupakan bagan strategi pengimplementasian ASUS (Awig-awig Satu Untuk Semua). Observasi Karakteristik Potensi Pariwisata

Perencanaan dan Penetapan ASUS

Sosialisasi ASUS

Pelaksanaan dan Monitoring ASUS

Evaluasi ASUS a. Observasi Karakteristik Potensi Pariwisata Observasi terhadap karakteristik potensi pariwisata, yang dalam hal ini adalah lumbalumba liar yang hidup dikawasan laut Lovina, diperlukan untuk mengumpulkan informasi terkait spesifikasi dan karakteristik lumba-lumba tersebut, seperti jenisnya, habitat ideal, serta sejauh mana lumba-lumba liar tersebut dapat berinteraksi dengan manusia. Informasi inilah yang akan dijadikan panduan dalam merumuskan awig-awig sehingga awig-awig yang dirumuskan bersifat relevan dan adaptif dengan potensi pariwisata yang ada. Perencanaan dan Penetapan ASUS Data dan informasi yang telah diperoleh kemudian dianalisis dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan lingkungan. Data dan informasi yang diperoleh tersebut kemudian dijadikan panduan dalam menetapkan aturan dan sanksi yang akan diterpakan. Dalam hal perumusan dan penetapan aturan dan sanksi, perlu dilibatkan semua pihak yang terkait (stakeholders) atau paling tidak perwakilan dari setiap pihak. Hal ini

b.

10 disebabkan pihak-pihak tersebutlah yang akan melaksanakan, memonitoring, dan mengevalusi pelaksanaan awig-awig tersebut. Sosialisasi ASUS Sosialiasi merupakan salah satu langkah penyebarluasan informasi. Hal ini diperlukan agar semua pihak yang terkait mengetahui awig-awig yang telah ditetapkan sehingga dapat dilaksanakan dengan maksimal. Metode sosialisasi yang dapat digunakan diantaranya sosialisasi lisan oleh setiap perwakilan yang mengikuti perencanaan dan penetapan awig-awig ataupun dengan metode tulisan, dengan memasang baliho atau papan aturan disekitar kawasan pariwisata. Pelaksanaan dan Monitoring ASUS Tahap ini merupakan hal yang terpenting dalam proses pengimplementasian awig-awig yang telah ditetapkan. Pada tahap pelaksanaan, semua stakeholders diharapkan mampu melaksanakan awig-awig yang telah disepakati. Pemandu wisata dalam melakukan pekerjaan pokoknya diharapkan secara aktif mensosialisasikan awig-awig yang telah ditetapkan kepada wisatawan baik itu aturan maupun sanksi terkait dengan aturan tersebut. Pelanggaran terhadap awig-awig ditindak oleh institusi penegak yang sebelumnya telah ditetapkan pada saat perencanaan awig-awig. Institusi penegak yang dibentuk merupakan sinergi antara pihak Desa Pekraman dengan pihak Pemerintah daerah Kabupaten Buleleng sehingga objektivitas dan ketegasan pemberian sanksi lebih maksimal. Monitoring terhadap pelaksanaan ASUS dilakukan oleh pihak Pemerintah Kabupaten Buleleng sebagai langkah antisipasi terhadap ketimpangan proses pelaksanaan. Evaluasi ASUS Evaluasi merupakan tahap akhir proses pengimplementasian sistem ASUS ini. Dalam tahap ini, stakeholders mengevaluasi kembali proses pelaksanaan dan monitoring sistem ASUS dan merekomendasikan solusi terhadap kendala serta kelemahan yang ada pada sistem asus yang telah ditetapkan.

c.

d.

e.

Pihak-pihak yang Terlibat dalam Pengimplementasian ASUS a. Desa Pekraman Desa Pakraman merupakan manifestasi dari lembaga adat di Bali, khususnya di Kawasan Pariwisata Lovina, sehingga mendapat dukungan dari segenap lapisan masyarakat. Dengan demikian, Awig-awig yang telah ditetapkan dan pengetahuan yang diperoleh oleh perwakilan masyarakat, bendesa adat, kelompok nelayan dari ketiga belas desa Pakraman di sekitar Kawasan Pariwisata Lovina, diharapkan bisa ditularkan ke semua lapisan masyarakat yang tidak langsung terlibat dalam kegiatan kemitraan. Pemandu Wisata Peran serta pemandu wisata dalam hal ini adalah terkait dengan proses sosialisasi awigawig. Disisi lain, pemandu wisata sekaligus berperan sebagai penanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh wisatawan. Hal ini didasarkan pada rasional bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh wisatawan terjadi akibat kurangnya sosialisasi terkait awig-awig (aturan dan sanksi) yang telah ditetapkan.

b.

11 c. Pemerintah Kabupaten Buleleng Pemerintah Kabupaten Buleleng, dalam hal ini, berperan dalam proses monitoring pelaksanaan ASUS. Proses monitoring dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten Buleleng agar proses pengawasan dan kontrol terhadap pelaksanaan tersebut lebih bersifat tegas. Institusi Penegak Penanganan terhadap pelanggaran awig-awig merupakan tanggung jawab dari institusi penegak. Institusi penegak dibentuk pada saat perencanaan program, dimana dalam hal ini anggota institusi penegak merupakan sinergitas antara pihak Desa Pekraman dengan pihak pemerintah.

d.

KESIMPULAN Dalam pengelolaan pariwisata lumba-lumba di Kawasan Pariwisata Lovina, perlu adanya sebuah parameter yang menjadi batasan sampai dimana proses pemanfaatan dan eksplorasi potensi pariwisata dapat dilakukan. Salah satu parameter yanng dapat digunakan adalah ASUS (Awig-awig Satu Untuk Semua). ASUS merupakan suatu bentuk revitalisasi awig-awig yang dirancang dengan merevisi kelemahan-kelemahan yang ada sehingga relevan untuk diterapkan sebagai parameter general terhadap pengelolaan pariwisata lumba di Kawasan Pariwisata Lovina. Secara umum ASUS bertujuan untuk mengimplementasikan awis-awig yang telah ditetapkan terhadap semua pihak (stakeholders) yang terkait dengan pariwisata lumba-lumba di Kawasan Pariwisata Lovina (wisatawan, pemandu wisata, masyarakat terkait, dan Pemerintah Kabupaten Buleleng). Teknik yang digunakan untuk mengimplementasikan gagasan ini adalah dengan melakukan observasi terhadap potensi wisata untuk mengumpulkan data terkait dengan jenis dan karakteristik potensi pariwisata lumba-lumba kemudian digunakan sebagai pedoman dalam perumusan dan penetapan aturan dan sanksi, yang dikemas dalam sebuah awig-awig yang berlaku general. Manfaat yang diperoleh dari gagasan ini adalah jaminan kelestarian potensi pariwisata lumba-lumba di kawasan ini dapat ditingkatkan sehingga keberlanjutan pariwisata lumba-lumba dan implikasinya terhadap kesejahteraan warga setempat juga terjamin. DAFTAR PUSTAKA Amanah Siti dan Hamidah Nayati Utami. 2006. Jurnal Penyuluhan. Perilaku Nelayan dalam Pengelolaan Wisata Bahari di Kawasan Pantai Lovina, Buleleng, Bali. Vol. 2. Terdaftar pada www.journal.ipb.ac.id/10988/1/2002MIL1734.pdf (diakses 22 Pebruari 2012). Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana. Bappeda Provinsi Bali. 2000. Rencana Pengembangan Kawasan Strategis Lovina, Kabupaten Buleleng. Denpasar: DPSC BUIP. Pendit S., 1999. Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramitha. Zeppel, Heather. 2009. Managing Swim with Wild Dolphin Tourism in Australia: Guidelines, Operator Practices and Research on Tourism Impacts. James Cook University: Australia. Terdaftar pada www.eprints.jcu.edu.au/8724/ (diakses 22 Pebruari 2012).

Anda mungkin juga menyukai