Anda di halaman 1dari 11

FILSAFAT AGAMA PROBLEMA EPISTEMOLOGI

KELOMPOK 2 Dina Maftuha Ryan Zeini Rohidin

ILMUAGAMA ISLAM UNIVERSITAS EGERI JAKARTA 2012


0

A. Teori Kebenaran (Korespondensi, Koherensi, pragmatism, dan hudhuri)

Dalam filsafat kajian tentang standar kebenaran amat penting, karena salah satu definisi filsafat adalah cinta pada kebenaran. Aristoteles, filosof Yunani yang termashur, sangat menghormati dan kagum kepada gurunya plato. Namun dia lebih menghargai kebenaran daripada plato. Aristoteles pernah berkomentar, plato bernilai dan kebenaran juga bernilai, tapi kebenaran lebih bernilai daripada plato1 Al Gazali adalah ilmuan Islam yang sangat serius mencari kebenaran, sampai dia mengalami keraguan yang sangat hebat, sehingga melemahkan fisik dan mentalnya. Pertama ia mempelajari ilmu kalam, tapi dalil ilmu kalam tidak memuaskan dan belum bisa mengobati keraguannya. Menurut Al Gazali dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang berbeda. Selanjutnya setiap pedapat atau golongan merasa dirinya yang paling benar, sehingga timbullah tanda Tanya dalam dirinya, aliran manakah yang paling benar? Kemudian al gazali mempelajari filsafat, ternyata dalam filsafat dia tidak menemuka apa yang dicari, bahkan dia melihat dalili-dalil filsafat bisa menyesatkan. Karea itu, dia mengkritik pendapat filosof dalam buku tahaful al falasifah (kerancuan para filosof). Selanjutya dia mencari ajaran batiniah, yang beranggapan bahwa kebenaran itu berasal dari iman yang maksum (bebas dari dosa).pada awalnya al gazali tertarik pada ajaran ini, tetapi kemudian ia bertanya-tanya apakriteria imam yang maksum itu. Bukankah nanti muncul orang yang mengaku-ngaku dirinya imam yang maksum sehingga akan muncul taklid buta kepada guru yang maksum itu? Kata al gazali. Keinginan al gazali adalah untukmencari kebenaran yang tidak diragukan lagi, seperti sepuluh lebih banyak dari tiga. Sekiranya ada orag yang mengatakan bahwa tiga lebih banyak daripada sepuluh degan mengatakan tongkat bisa dijadikan ular, dan hal itu memang dia lakukan. Al gazali kagum akan kemampuanya, tetapi sungguh pun demikian keyakinannya sepuluh lebih banyak dari tiga tidak digoyang. Kebenaran semacam inilah yang ingin dicari oleh al gazali.
1

Al Gazali, Mi Yar al-ilm, Sulaiman Dunya (ed.), (Mesir:Dar al-Maarif,1960), hlm 26.

Akhirnya, al gazalisampai pada hal yang kebenaran dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang amat panjang dan berbelit-belit. Tasawuflah yang menghilangkan keraguannya. Pengetahuan mistik, menurutnya adalah cahay yang diturunkan oleh Allah kedalam dirinya. Cahaya itulah yang menyinari diri seseorang, sehingga terbukanya tabir yang merupakan sumber segala pengetahuan Al gazali adalah gambaran sosokyang haus akan kebenaran, kendati demikian, kebenaran yang dicapainya akhirnya bersifat subjektif atau inter-subjektif. Al gazali kesulitan menerangkan criteria objektif dari kebenaran yang dia dapatkan karena tidaksemua orang mengakui pegalaman yang diperolehny. Padahal suatu ilmu menuntut criteria yang jelas, metode yang konsiste, dan objektif. Dengan demikian al gazali baru memberikan standard kebenaran. Dalam tradisi yunani kebenaran dibahas dari segi hakikat da sifatnya. Kaum sofis berpendapat bahwa kebenaran itu bersifat relative dan subjektif. Setiap orang memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Protagoras adalah salah seorang tokoh sofis yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran untuk segala sesuatu. Paham kaum sofis kendati tidak berlanjut sampai sekarang. Namun semangat skeptisisme ini tetap mendapat respon dari beberapa filosof, seperti rene Descartes dan karl popper. Descartes terkenal dengan semboyan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). Pada mulanya dia benar-benar ragu tentang segala sesuatu, namun akhirnya dia sampai pada suatu yang tak bisa diragukan lagi, yaitu kenyataan bahwa dia ragu tidak bisa diragukan. Kepastian ini adalah puncak dari keraguan Descartes yang sekaligus menjelaskan eksistensi personal dan paradigm pemikirannya. Karl popper,filosof jerman menegaskan bahwa pemikiran yang sudah dianggap benar itu harus digugat kembali. Caranya adalah dngan mengadakan dokontruksi pemikiran, yaitu dengan mengadakanpengkajian ulang terhadap data-data yangbelum terkumpul. Suatu teori yang sudah dianggap benar maka teori itu harus tahan uji, yakni dengan mencari data baru yang bertentangan dengan itu. Jika ada data itubertentangan dengan teori yang ada, maka otomatis teori tersebut batal. Sebaliknya, kalau data itu cocok dengan teori lama, maka teori itu semakin kuat. Harun nasution tokoh pembaharuan islam jugameragukan kemutlakan kebenaran ilmiah karena data yang belum terungkap lebih banyak daripada data yang sudah
2

terungkap. Dengan demikian , kebenaran ilmiah tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran yang telah sampaipada hakikat sesuatutetapi hanya mendekati hakikatnya. Karena itu, menurut harun , kebenaran ilmiah juga tidak mendatangkan keyakinan yang mutlak. Padangan skeptic kaum sofis tentang kebenaran ditentang oleh Socrates. Socrates menjelaskan bahwa kebenaran itu ada da bersifat universal, dan dibawa sejaklahir etika, menurutnya bukan hal yang relative, tetapi suatu yang bisa dipelajari. Socrates menyamakan kebenaran dengan pengetahuan. Pengetahuan berasal dari akal. Oleh karena itu, seseorang berbuat jahat disebabkan kebodohannya, sementara seseorang yang berbuat baik itu disebabkan oleh pengetahuan. Plato dan aristoteles pada prinsipnya menyetujui pendapat Socrates. Hanya saja aristoteles pada pembahasan logika membedakan antar kebenaran dan kesahihan. Kebenaran, menurutnya lebih menekankan kandungan silogisme, sedangkan kesahihan pada keruntutan berpikir. Silogisme pada dasarnya lebih mementingkan kesahihan berpikir ketimbang isinya. Silogisme aristoteles tersebut kendati sangat berpengaruh pada zaman pengetahuan. Namun pada masa renaisans pemikiran tersebut mulai digugat. Copernicus dan Galileo tokoh gereja pertama kali membantah cara deduktif itu mengemukakan hasil penemuannya yang bersifat empiris. Sebagaimana diketahui, Claudio ptolomeus, ahli berpikir abad kedua masehi, menganut paham bahwa bumi adalh pusat jagadraya, matahari-lah yang mengelilingi bumi. Setelah mengadakan penelitian beberapa lama. Nicoleus Copernicus membuktikan bahwa teori itu tidak benar dan sebaliknya bahwamatahari alaha pusat jagad raya sedangkan bumi yang mengelilinginya. Disamping itu bertrad Russell juga mengkritik silogisme aristotele karena silogisme tidak membawa hal yang baru. Lagipula, silogisme lebih mementingkan urutan proposisi yang sah tanpa memerhatikan isinya. Kendati logika aristoteles dikritik dari berbagai pihak, sumbangan logika pada filsafat dan ilmu sangat besar artinya, terutama dalam hal epistemology. Paham lai adalah kebenaran yang berdasarkan kepada teori Korepondensi, yang dipelopori oleh Bertrand Russell. Menurut korespondensi adalah suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikadung oleh pernyataan itu berkorespondensi atau cocok dengan objek yang dituju oleh pernyataan itu.
3

Kedua teori kebenaran itu digunakan dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoretis yang berdasarkan logikan deduktif jelas mempergunakan teori koherensi. Sementara itu proses pembuktian secara empiris dalam bentuk penyimpulan fakta-fakta digunakan teori korespondensi. Teori ini disebut juga dengan logika induktis, yaitu menarik kesimpulan umum dari hal-hal yang khusus. Sebaliknya, logika defuktis atau silogisme menarik kesimpulan khusus dari hal yang umum. Pedekatan deduktif menggunakan akal sebagai sarana utamanya, sedangkan pedekatan iduktif atau empiris menggunakan pancaindra dan pengalaman sebgai sarananya. Disamping kedua teori itu ada lagi teori yang bisa dijadika ukuran kebenaran, yaitu pragmatism. Teori ini dicetuskan oleh Charles S. Pierce dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjuful How to make Our ideas clear. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berasal dari Amerika, sehingga sering juga disebut dengan filsafat Amerika. Tokoh-tokohnya antara lain adalah William James, John Dewey, George Herbert Mead, dan C. l Lewis. Menurut teori pragmatism, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau implikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupa manusia. Mehdi Hairi Yazdi, professor filsafat Universitas Teheran, menambahkan bahwa ukuran kebenaran itu tidak hanya koherensi, korespondensi, atau pragmatism, tetapi ada tambahannya, yaitu ilmu hudhuri, ilmu ini menurutnya adalah pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan neotic dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuan swaobjek. Ilmu hudhuri ini berbeda dengan korespondensi karena kalau dalam korespondensi membutuhkan objek diluar diri, seperti meja dan kursi. Sedangkan ilmu Hudhuri tidak memiliki objek diluar darinya, tetapi objek itu sendiri ada, yaitu subjektif yang ada pada dirinya.

B. Hakikat Pengetahuan Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang pengetahuan yang berkaitan dengan apa itu pengetahuan dan bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut. Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada diluar akal. Persoalannya kemudian adalah apakah gambaran itu sesuai dengan fakta atau tidak ? apakah gambaran itu benar ? Atau apakah gambaran itu dekat pada kebenaran atau jauh dari kebenaran.? Ada dua teori untuk mengetahui hakekat pengetahuan : a. Realisme Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang ada diluar akal. Hal tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan. Ajaran realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta menunjukkan, sustu meja tetap sebagaimana adanya, kendati tidak adanorang didalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi meja itu tidak tergantung kepada gagasan kit mengenainya, tetapi tergantung pada meja tersebut.2 Para penganut realisme mengakui bahwa seseorang bisa salah lihat pada benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh keadaan sekelilinginya. Namun, mereka paham ada benda yang dianggap mempunyai wujud tersendiri, ada benda yang tetap kendati diamati. Menurut Prof. Dr. Rasjidi, penganut agama perlu sekali mempelajari realisme dengan alasan :

Louis O. Kattsoft, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta : Tiara wicana, 1996), cet. VII, hlm. 114.

Dengan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam pikiran. Kesulitan pikiran tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian dapat diketahui hanya dari segi subyektif. Menurut Rasjidi, pernyataan itu tidak benar sebab adanya faktor subjektif bukan berarti menolak faktor obejektif. Kalau seseorang melihat sebatang pohon, tentu pohon itu memang yang dilihat oleh subyektif. Namun, hal ini tidak berarti meniadakan pohon yang mempunyai wujud tersendiri. Begitu juga ketika orang berdoa kepada Tuhan, bukan berarti Tuhan itu hanya terdapat dalam pikiran, tetapi mempunyai wujud tersendiri. Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, menurut, Rasjidi, umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab. Contohnya, apa yang menyebabkan Ahmad sakit. Biasa kita puas ketika kita dijawab karena kuman. Sebenarnya, sebab sakit itu banyak karena ada orang yang bersarang kuman dalam tubuhnya, tetapi dia tidak sakit. Dengan demikian, penyakit si Ahmad itu mungkin diakibatkan oleh badannya, iklim, dan sebagainya. Prinsip semacam ini, menurut Rasjidi bisa digunakan untuk mempelajari agama karena adanya perasaan yang subyektif tidak berarti tidak adanya keadaan yang objektif. b. Idealisme Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah prosesproses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu , pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui , yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakekat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui. Kalau realisme mempertajam perbedaan antara yang mengatahui dan yang diketahui, idealisme adalah sebaliknya. Bagi idealisme, dunia dan bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu kebulatan bukan kesatuan
6

mekanik, tetapi kebulatan organik sesungguhnya yang sedimikian rupa, sehingga satu bagian darinya dipandang sebagai kebulatan logis, dengan makna inti yang terdalam. Premis pokok yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan utama dalam alam semesta. Idealisme tidak mengingkari adanya materi. Namun materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab, seseorang yang akan memikirkan materi dalam hakikatnya terdalam, dia harus memikirkan ruh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu. Sebenarnya, realisme dan idealisme memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Realisme ekstrim bisa sampai pada monisme materialistik dan dualisme. Seorang pengikut materialisme mengatakan jika demikian halnya, sudah barang tentu dapat juga dikatakan bahwa jiwa adalah materi dan materi adalah jiwa, bahkan jiwa dan materi sepenuhnya sama. Lebih lanjut, realisme tidak mementingkan subjek sebagai penilai. Padahal, subjek yang menilai memiliki peran penting dalam menghubungkan antar objek dengan ungkapan tentang objek tersebut. Idealisme objektif juga akan menimbulkan kebenaran yang relatif karena setiap individu berhak untuk menolak kebenaran yang datang dari luar dirinya. Akibatnya, kebenaran yang bersifat universal tidak diakui. Kalau demikian jadinya, aturan-aturan agama dan kemasyarakatan hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi kelompok lain. Lagi pula, idealisme terlalu mengutamakan subjek sebagai si penilai dengan merendahkan objek yang dinilai. Sebab, subjek yang menilai kadangkala berada pada keadaan yang berubah-ubah, seperti sedang marah dan gembira.

C. Sumber pengetahuan a. Empirisme Empirisme, kata ini berasal dari kata Yunani (empereikos = pengalaman). Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Bila dirujuk kebali kepada kata asalnya, pengalaman yang dimaksud ialah pengaaman inderawi. Dalam hal ini harus ada 3 hal, yaitu yang mengetahui (subjek), yang
7

diketahui (objek) dan cara mengetahui (pengalaman). Menurut aliran ini pertamatama manusia itu kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya yang mengisi jiwa yang kosong itu.

b. Rasionalisme Aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Aliran ini tidak mengingkari peranan indera peranan indera dalam memperoleh pengetahuan tetapi ia hanya sebatas perangsang akal, tetapi untuk sampai kepada kebenaran adalah dengan akal.

c. Iluminasionisme Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama di dalam Islam disebut teori Ksyf, teori ini menyatkan bahua manusia yang hatinya telah bersih, telah siap, sanggup menerima pengetahuan tuhan. Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu dengan cara latihan, dalam Islam disebut suluk. Secara umumnya teori ini lebih banyak diajarkan dalam tashawwuf.

KESIMPULAN Dalam kenyataannya kini, kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atau lebih dari tiga pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam. Masing-masing metode epistemologi bagus dan cocok menurut kerangka dan pola epistemologi mereka masing-masing. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa masalah epistemologi adalah masalah yang berkaitan dengan eksistensi epistemologi dan hal ini sangat penting dalam mengantarkan manusia berpengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA Inu kencana Syafii, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995. Abbas, H.M., 1997, Kebenaran Ilmiah dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta. Awing, A.C., The Fundamental Questions of Philosophy, London: Routledge and Kegan Paul, 1951. Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philasophy, Lihat juga Terj. H. M. Rasyidi, PersoalanPersoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1980. Suriasumantri, Junjun S. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. William James. The varieties of religious experience. New York: The Penguin American Library. 1982. Jujun S. Sumiasumantri. Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.

10

Anda mungkin juga menyukai