Anda di halaman 1dari 2

Review Diskusi Basa Basi: Islamku, Islam Anda, Islam Kita Kamis, 31 Mei 2012 Islam dan Sastra:

a: Ideologi Ataukah Kultural Judul diatas, memang nampaknya, entah saling tumpang tindih ataukah saling melengkapi, kami akan mencoba men-jama-kan keempatnya. Pemakalah yang menyampaikan adalah Syarif Hyde Hidayatullah1, namun ia menyoroti teks Islam: Ideologis ataukah Kultural (01) dari sisi sastra. Mengapa ? Karena dalam pandangannya selama ini penilaian atas sebuah puisi, dalam karakter sastra cenderung ditengarai dari sisi subjektivitas penulisnya. Apalagi, ketika teks tersebut dihadapkan dengan perspektif agama, Islam misalnya maka antara sastrawan yang murni dengan penganut Islam yang sangat memegang teguh apa yang termaktub dalam teks keagamaan akan mengalami benturan yang cukup kuat, bisa disebabkan karena seorang sastrawan bereksperimen, atau berimajinasi katakanlah, dengan gaya gaya bahasa puisi, ataupun diksi/pemilihan kata yang mengarah kepada kecabulan, dan lainnya yang bertentangan dengan ajaran ajaran moralitas, atau juga yang mengarah kepada permasalahan eksistensi ketuhanan/tauhid, yang mana keduanya bisa menimbulkan reaksi yang keras dari para muslimin. Pemakalah kemudian melampirkan sebuah cerita tentang seorang penyair yang dimasa praIslam/jahiliyah yang dikritik puisinya setelah masuk Islam, beserta pandangannya akan posisi sastra dengan Islam seperti yang dibawah ini:

Al-Ashmai pernah mengomentari puisi Hasan bin Tsabit, Puisi itu berarti, pintunya adalah kejahatan. Jika ia masuk kedalam kebaikan, ia akan melemah. Ini adalah kritik yang diungkapkan kritikus arab tetang puisi maestro penyair di masa jahiliyah itu. Adonis menafsirkan komentar tersebut bahwa puisi Hasan bin Tsabit sangat bagus ketika ia belum memeluk Islam, tetapi setelah ia memeluk Islam maka lenyaplah keindahan puisinya. Hal inilah yang menjadikan sastra dan Islam terpisah diantara jurang yang sangat besar. Hal ini semakin kentara dengan komentar kritikus dan pekerja sastra arab dengan mengatakan bahwa puisi harus mengikuti pola perpuisian pada masa jahiliyah, yang dianggap sebagai pola perpuisian satu-satunya. entah apa yang menjadi penyebab permasalahan ini sehingga berkembang dualisme yang sangat kuat antara puisi dan agama. Hal inilah, yang disoroti pemakalah yang nampaknya, sepakat dengan penafsiran yang diangkat oleh Ali Ahmad Said alias Adonis, dalam menyoroti sebuah teks sastra. Lalu kemudian, bukankah Islam sendiri punya fase fase yang saling melengkapi antara puisi dengan pesan pesan agama. Bahkan, al-Quran sejak masa turunnya kepada nabi Muhammad SAW secara berangsur, telah diklaim sebagai sastra terindah dan mengalahkan syair syair, atau diwan diwan yang telah ada pada masyarakat arab sebelum adanya al-Quran, bahkan bahr (birama syair arab) yang telah ada, diadopsi dalam diskursus keilmuan Islam, selain sastra itu sendiri hingga merambah ke bidang lain, seperti nahwu, fiqh, tauhid, dan sebagainya.

Mahasiswa semester 4, Fak. Dirasat Islamiyah, pegiat kajian sastra majelis kantiniyah, dan ketua divisi kesenian BEM FDI. Mengklaim sebagai calon penyair Dirosat, perokok, dan penongkrong

Sehingga, secara praktikal mungkin kita akan melihat bahwa sosok Adonis, dengan kritiknya yang mengatakan bahwa puisi puisi Arab menjadi menurun pasca al-Quran, adalah pandangan yang tergesa gesa, bahkan mungkin tidak objektif. Padahal, misalnya melihat salah satu teks Gus Dur dengan judul Islam: Ideologis ataukah Kultural 2 banyak memberikan contoh contoh bentuk keharmonisan antara kesenian dengan pesan pesan Islam, apakah itu dalam bentuk qasidah Sholawat Badar yang diciptakan K.H. Ali Mansyur asal Tuban di Banyuwangi tahun 1962 kemudian dipopulerkan oleh kalangan nahdhiyyin, begitu juga dengan dzibaiyyah yang dibacakan pada event-event tertentu pada tradisi keislaman dikalangan NU, ataukah perayaan Tabot, yang pada asalnya adalah budaya kaum Syiah untuk memperingati wafatnya Sayyidina Husein, yang dilakukan setiap tahun di Bengkulu, dan kesemuanya itu kemudian terserap menjadi habits bagi masyarakat. Lebih jauh, pembicara kemudian menyampaikan bahwa bahwa seni (dalam kapasitasnya dibidang sastra) dengan Islam, bisa berjalan bersamaan ketika bertolak dari mainset berpikir menyampaikan pesan pesan Islam. Seperti Mawlana Jalaluddin Rumi, dalam sebuah diwan-nya yang berjudul Matsnawi, dalam pandangannya dinilai sebagai puisi yang mesti dijadikan sandaran karena kandungan estetikanya begitu tinggi, bahkan dikatakan sebagai al-Quran (entah ini bermakna majas, dari sisi bahwa kandungan kandungannya sejalan dengan pesan-pesan al-Quran, ataukah yang lain). Yang jelas, titik temu antara seni dengan Islam, adalah bagaimana keduanya ini ingin mengedepankan posisinya sebagai kultural, yang berideologis. Sehingga, ada beberapa pandangan yang menyatakan bahwa ketika Islam menjadi sangat kultural, maka ia menjadi membumi, namun ketika berideologis dengan kuat, maka ia menjadi melangit. Hemat kami, keduanya harus berjalan bersamaan seiringan sehingga bagaimana pesan pesan langit ini kemudian bisa membumi dengan cara melakukan pemaknaan secara utuh bagi cultural behaviours, sehingga letupan letupan seni dalam sastra misalnya, yang sering menggunakan bahasa bahasa majas, yang terlalu membumi dalam menyampaikan pesan pesan langit pada akhirnya bisa didialogkan. Karena, yang terpenting adalah bahwa fungsi Islam adalah menjadi ishlah menjadi lebih baik, bagi seluruh aspek kehidupan manusia.*masrur

Dalam Buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita

Anda mungkin juga menyukai