Anda di halaman 1dari 3

Masih Ada yang Belum Sepaham

Selasa, 17 April 2012 10:11 Paripurna Ranperda Hasilkan Pembentukan Pansus JAMBI Tiga Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) yang disampaikan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi pada DPRD Provinsi Jambi untuk disahkan masih membutuhkan proses panjang. Ini karena masih ada beberapa isi Ranperda itu yang belum sepaham antara Pemprov dan DPRD. Wakil Gubernur (Wagub) Jambi, Fachrori Umar dalam wawancara dengan wartawan mengatakan, sebagian dari isi Ranperda sudah sama pemikirannya dengan DPRD. Tapi masih ada yang belum sepaham, karena itu nanti akan dibahas di Pansus yang dibentuk DPRD, urainya pada sejumlah wartawan usai paripurna kemarin. Masih menurut Wagub, perlu pembahasan lebih lanjut terkait tiga Ranperda yang diajukan ini. Namun tidak ditargetkan berapa lama penyelesainnya. Secepatnya kita selesaikan, sebutnya. Dalam penjelasanya mengenai Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Wagub menanggapi seluruh kritikan dewan. Termasuk kritikan Fraksi Golkar yang menyebut masih terdapat titik rawan dalam RTRW tersebut, terutama pada alih fungsi lahan. Mengenai persoalan ini, Wagub mengatakan, dalam RTRW hanya menekankan pada tatanan implementasi konsep untuk membangun koridor dan arahan pemanfaatan ruang bagi kabupaten/kota. Aturan-aturan tentang arahan zonasi pada dasarnya telah dituangkan dalam Ranperda RTRW Provinsi Jambi, namun tidak secara spesifik menetapkan prosedur alih fungsi lahan. Mekanisme alih fungsi lahan sendiri telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2010 tentang Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kemudian, terkait kritikan Fraksi Gerakan Keadilan (FGK), Wagub mengatakan, soal kondisi eksisting Hutan Lindung dalam naskah Ranperda RTRW Provinsi Jambi sesungguhnya sudah disusun untuk memetakan dan menegaskan kembali batas-batas kawasan hutan termasuk hutan lindung. Namun tidak secara tegas menjelaskan kondisi eksisting Hutan Lindung karena selain ada batasan kewenangan pengelolaan yang berada di tingkat pusat. Namun RTRW Provinsi Jambi lebih memfokuskan pada fungsi kawasan secara umum sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, katanya. Ia mengakui, kondisi hutan termasuk hutan lindung telah banyak yang rusak yang disebabkan oleh berbagai faktor baik akibat kebijakan masa lalu maupun perambahan secara masif sebagai dampak dari kebutuhan terhadap lahan yang terjadi selama 10 tahun terakhir. Kondisi ini pada gilirannya juga memberikan ekses negatif terhadap keberadaan Hutan Lindung yang kita miliki, katanya. Sementara, terkait tidak spesifiknya Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) serta Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dalam RTRW ini, menurut Wagub, proses penetapan Wilayah Pertambangan (WP) diajukan terlebih dahulu oleh pihak kabupaten/kota untuk disahkan Pemerintah sesuai dengan rencana pola ruangnya, yang dalam pelaksanaannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Sehingga penetapan WUP, WPN dan WPR merupakan kewenangan Pemerintah dan ditetapkan berdasarkan usulan dari Kabupaten/Kota. Sampai dengan saat ini, usulan tersebut masih dalam kajian dimasing-masing wilayah Kabupaten/Kota. Sehingga dalam Ranperda

RTRW Provinsi Jambi yang yang Kami sampaikan, memang belum dapat menggambarkan kategori WUP, WPN dan WPR. Tapi nanti dilampiran, kata Wagub. (Reporter:Anton)

Kutai Timur Kalah di MK


Kutai Timur Kalah di MK

Kewenangan Penetapan Wilayah Pertambangan Tetap Milik Pemerintah Pusat JAKARTA- Pemkab Kutai Timur (Kutim) yang diwakili Bupati Kutim Isran Noor kalah melawan Kementerian Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM) di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materiil atau judicial review (JR) tiga pasal dalam UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), kemarin (17/1). Isran menggugat kewenangan Pemerintah Pusat lewat Menteri ESDM tentang kewenangan penetapan wilayah pertambangan (WP), wilayah usaha pertambangan (WUP), dan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Kewenangan kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara baru ada setelah Menteri ESDM menetapkan WP, WUP, dan WIUP seperti diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e dan Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan pasal 17 ayat (1). Kekalahan ini adalah kekalahan kali kedua Pemda di Kaltim dalam setahun belakangan setelah pada Oktober 2011 lalu Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Andi Harahap juga kalah melawan Kementerian Kehutanan di MK setelah mencoba menggugat kewenangan Menteri Kehutanan yang diatur oleh UU Kehutanan. Sedangkan rencananya bulan depan MK juga bakal menggelar sidang putusan JR 14 (e) dan (f) UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat, dimana beberapa anggota DPD RI dari Kaltim menggugat dana bagi hasil (DBH) Migas. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, kata ketua majelis hakim konstitusi, Mahfud MD, saat membacakan putusan di ruang sidang MK. Dalam pertimbangannya, MK berpendapat para pihak adalah lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 sehingga memenuhi syarat sebagai pemohon. Namun yang menjadi objek sengketa dari 50 permohonan bukanlah kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Sehingga dalam sengketanya, Pemohon tidak memiliki kekududukan hukum (legal standing, Red.), ucap Mahfud. Namun terlepas dari pemohon yang tidak memiliki kedudukan hukum, MK menegaskan agar menteri yang diberi wewenang oleh Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 memerhatikan aspirasi masyarakat daerah serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan. Permasalahan yang terjadi antara pemohon dan termohon seharusnya diselesaikan secara internal sebagai kesatuan pemerintahan NKRI, antara lain bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia sebagaimana dalam pembukaan UUD 1945, tutur Mahfud dalam membacakan putusan perkara bernomor registrasi 3/SKLN-IX/2011 tersebut. Disebutkan Mahfud, mengenai kewenangan untuk menetapkan WP, WUP, dan WIUP, sepenuhnya sudah diatur dalam UU 4/2009 dan harus dilaksanakan secara transparan, partisipatif, bertanggung jawab, terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi,

sosial budaya, serta berwawasan lingkungan dengan memperhatikan aspirasi daerah. Pada Juli tahun lalu, empat saksi ahli pernah bersaksi untuk Isran sebagai pemohon. Mereka adalah Prof Dr Laica Marzuki (Guru Besar Fakultas Hukum Hasanuddin dan mantan Hakim MK), Prof Muchsan (Mantan Hakim Agung), Dr. Indra Prawira (Dosen FH Unpad), dan Prof Masud Said (Dosen FH Universitas Muhammadiyah Malang). Laica Marzuki menyampaikan, yang menjadi urusan pemerintah pusat menurut UUD 1945, yaitu urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Di luar urusan pemerintah pusat tersebut, urusan pemerintahan lainnya merupakan kewenangan daerah-daerah otonom. Hal pertambangan tidak termasuk urusan pemerintah pusat, tegas Laica. Laica juga mengatakan UU Minerba telah membuat Pemda, terutama Pemkab Kutim tidak dapat menjalankan kewenangan konstitusionalnya dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. Hal pertambangan mineral dan energi memang seyogianya merupakan kewenangan konstitusional pemerintan daerah provinsi, kabipaten/kota in casu Pemohon Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, tandas Laica. Hal senada juga diutarakan Guru Besar UGM, Muhsan. Terkait otonomi daerah, Muhsan mengatakan bahwa Pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berstatus sebagai daerah otonom memiliki kewenangan onotom seluas-luasnya juga. Menurut Prof Mr Durpsteen dalam bukunya Administratiief Recht, kewenangan otonomo merupakan wewenang untuk mengurus rumah tangga sendiri yang meliputi kewenangan untuk mengatur dan mengelola SDM sendiri, kewenangan mengatur keuangan sendiri, dan kewenangan untuk memberdayakan masyarakat, papar Muhsan. Selanjutnya, Muhsan mengatakan, sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Pemda berhak untuk menggali sumber-sumber keuangan termasuk mengelola sumber daya alam di wilayah pemerintahannya. Namun, setelah munculnya UU 4/1999 yang secara jelas menyatakan pengelolaan pertambangan Minerba menjadi kewenangan pemerintah pusat. Seharusnya, suatu kewenangan harus bersifat komprehensif baik yang bersifat prosedural maupun substansial. Ini berarti, kewenangan pengelolaan pertambangan yang meliputi perizinan, penetapan wilayah, maupun operasional dari kegiatan pertambangan tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah, tandas Muhsan. (dtc/mk)

Anda mungkin juga menyukai