Anda di halaman 1dari 2

Organisasi Mahasiswa: Revisi Agent of Change Paradigma Baru Organisasi Mahasiswa ***** Organisasi Mahasiswa saat ini menunjukkan

tren menurun baik segi kualitas maupun kuantitas. Buktinya adalah berkurangnya anggota baru yang terekrut dan ketidakjelasan arah perjuangan. Ujaran-ujaran bahwa aktivis mahasiswalah yang berhasil menumbangkan rezim otoriter dan pujian sebagai the agent of change agaknya menjadi euforia, yang kini tak mampu lagi membangkitkan idealisme. Selama ini agent of change dimaknai sebagai heroisme melalui aksi-aksi turun ke jalan dalam mengkritisi ketimpangan-ketimpangan yang dilakukan oleh pemerintah dan parlemen. Militansi dipahami ketika demonstrasi berujung bentrok dengan aparat. Mungkin banyak aktivis yang mengobarkan semangat melalui kilasan sejarah keberhasilan mahasiswa 1966 menumbangkan Orde Lama, 1974 meradang ke Soeharto, 1998 melengserkan penguasa Orde Baru ke Prabon. Kesan yang ditonjolkan adalah adanya musuh bersama yang mesti dilawan. Itu sah-sah saja sebagai fakta sejarah republik ini. Namun, harus dipahami bahwa kegarangan mahasiswa pada saat itu tidak terlepas dari kungkungan rezim otoriter yang mengekang kekebasan demokrasi. Hari ini situasi berbeda. Tidak ada lagi tindakan refresif, pemerintah tidak lagi alergi dengan demonstrasi mahasiswa, ruang menyampaikan pendapat dibuka seluas-luasnya baik di depan umum maupun lewat media, dan tidak ada lagi aktivis yang ditahan karena sikap keras terhadap pemerintah. Mencermati situasi ini sebuah keniscayaan organisasi mahasiswa harus merubah paradigma. Harus ada warna kekinian yang menjiwai gerakan organisasi mahasiswa. Penulis merumuskan paling tidak ada tiga paradigma baru yang mesti menjadi roh organisasi mahasiswa. Pertama, ideologi kemanusiaan. Organisasi Mahasiswa sampai hari ini masih terjebak pada persoalan ideologi yang membuat mereka saling bertarung satu sama lain. Akibatnya, terjadi perebutan lahan dan kader-kader baru. Hal ini menjadi kontraproduktif dalam penyelesaian masalah-masalah bangsa. Oleh karena itu, perlu dilakukan migrasi dari ideologi sektarian menuju ideologi kemanusiaan yang bersifat universal.

Kedua, aksi berbasis intelektual. Selama ini demonstrasi yang dilakukan organisasi mahasiswa cendrung tidak matang karena emosi dan keharusan respon yang cepat. Sehingga pembahasan konsep tidak matang. Di Jerman misalnya, para mahasiswa sebelum turun ke jalan mengkaji secara komprehensif problem yang akan mereka suarakan. Bahkan kajian dilakukan layaknya penelitian. Jadi lewat pemikiran yang matang dan perencanaan yang sistematis, aksi dapat terkontrol, berbobot, dan bisa menyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan. Ketiga, tak sekedar wacana. Organisasi mahasiswa memang telah berhasil membentuk kader yang kritis, vokal dan pintar beretorika. Namun, persoalan tidak terpecahkan hanya lewat diskusi dan dataran teorititasi saja. Oleh karena itu, wacana yang diusung oleh mahasiswa juga mesti menyentuh aspek-aspek aplikatif. Misalnya ketika mahasiswa marah karena pemerintah menaikkan harga bbm harusnya dibarengi aksi nyata memakai sepeda. Demikianlah, tiga tantangan yang menjadi pekerjaan rumah khususnya bagi para pengurus organisasi mahasiswa, dan mahasiswa secara keseluruhan, yang mesti segera ditindaklanjuti. Mudah-mudahan dengan dinamisasi ini, organisasi mahasiswa tetap eksis dalam peran perubahan bangsa menuju rakyat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Anda mungkin juga menyukai