Anda di halaman 1dari 27

REFERAT TB MDR(MULTI DRUG RESISTANCE)

PENYUSUN:

AYU WULAN A NORFAHANA BT. KATERI VANIA WAHYUNI CYNTIA NATALIA NAJIBAH BT YA PEMBIMBING:

030.05.046 030.07.315 030.07.260 030.07.054 030.07.308

dr. Johni Sinaga, Sp. P dr. Hj. Nurhayati, Sp.P


KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 5 MARET 12 MEI 2012
1

BAB I PENDAHULUAN

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil surveilans secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap M. tuberculosis sudah menyebar dan mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara. Pada survei WHO dilaporkan lebih dari 90.000 pasien TB di 81 negara, ternyata angka TB-MDR lebih tinggi dari yang diperkirakan. Enam negara dengan kekerapan TB-MDR tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan Uzbekistan. WHO memperkirakan ada 300.000 kasus TB--MDR baru per tahun. OAT yang resisten terhadap kuman tuberculosis akan semangkin banyak, saat ini 79% dari TB-MDR adalah super strains yang resisten paling sedikit 3 atau 4 obat antituberkulosis. Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan masalah terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2010 WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Prevalens TB diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di dunia. Di Negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.WHO Report On Tuberculosis Epidemic 1995 menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya. Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten.
2

Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%. 5 Banyak negara sudah menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan TB hal ini tenyata sangat bermanfaat untuk meningkatkan angka kesembuhan sehingga mengurangi angka resitensi termasuk resitensi ganda.

BAB II TB MDR(MULTI DRUG RESISTANCE)

2.1. DEFINISI Resistensi ganda adalah M. tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan pada strategi DOTS. Secara umum resitensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :2 Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu 1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis 2. Penggunaan panduan pengobatan yang tidak memadai, baik karena jenis obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan Etambutol pada awal pengobatan, maupun karena lingkungan itu telah tercatat adanya resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya Rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat itu sudah cukup tinggi. 3. Fenomena addition syndrome (crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu panduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuma TB telah resisten pada panduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja. 4. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. Hal ini dilaporkan terjadinya di India.
4

5. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang obat datang ke suatu daerah dan kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan. 6. Pemberian obat TB yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, lalu setelah dua bulan berhenti lalu berpindah dokter mendapat obat kembali untuk dua atau tiga bulan lalu stop lagi, dan demikian seterusnya.

2.2. EPIDEMIOLOGI WHO Report On Tuberculosis Epidemic 2008 menyatakan bahwa resisitensi ganda kini menyebar dengan amat cepat di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususunya Rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula ditambah obat lainnya. 7 Laporan menghebohkan pertama tentang resisitensi ganda ini datang dari Amerika, khususnya pada penderita TB dengan AIDS, ternyata menimbulkan angka kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian). Laporan kemudian berdatangan dari berbagai rumah sakit dan penjara, mula-mula dari daerah New York dan kemudian di berbagai negara dari Hongkong yang menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20% infeksi TB terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru yang telah diteliti detemukan 35% adalah resisten terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resisten terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6%, tiga macam obat 3,9% dan empat macam obat 2,8%. Di Pakistan resistensi terhadap RM, INH, dan EMB dilaporkan masing-masing adalah 17,7%, 14,7%, dan 8,7%. Di India resisitensi terhadap INH dan SM adalah 13,9% dan 7,4%, sementara resistensi terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Penelitian dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa resistensi terhadap RMP, SM dan INH adalah 7,2%, 3,3% dan 1,2%. 2.3. ETIOLOGI 5 PENYEBAB TERJADINYA TB-MDR (SPIGOTS ): 1. Pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat ditakuti karena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama
5

2. Masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resitensi obat. .Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien 3. Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman. Pengobatan TB-MDR sulit diobati serta memerlukan pengobatan jangka panjang dengan biaya mahal 4. Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten ( The amplifier effect). Hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multipel dan tidak efektif 5. HIV akan mempercepat terjadinya terinfeksi TB mejadi sakit TB dan akan memperpanjang periode infeksious

2.4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA TB-MDRK Kegagalan pada pengobatan poliresisten TB atau TB-MDR akan menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman M. tuberculosis. Kegagalan ini bukan hanya merugikan pasien tetapi juga meningkatkan penularan pada masyarakat. TB resistensi obat anti TB (OAT) pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, Sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat yang menyebabkan terjadinya penularan dari pasien TB-MDR ke.orang lain / masyarakat. Faktor penyebab resitensi OAT terhadap kuman M. tuberculosis antara lain :

1. FAKTOR MIKROBIOLOGIK Resisten yang natural Resisten yang didapat Ampli fier effect Virulensi kuman Tertular galur kuman MDR

2. FAKTOR KLINIK A. Penyelenggara kesehatan Keterlambatan diagnosis Pengobatan tidak mengikuti guideline Penggunaan paduan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya yang kurang atau karena lingkungan tersebut telah terdapat resitensi yang tinggi terhadap OAT yang digunakan misal rifampisin atau INH Tidak ada guideline/pedoman Tidak ada / kurangnya pelatihan TB Tidak ada pemantauan pengobatan Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan ini terjadi karena kuman tuberkulosis telah resisten pada paduan yang pertama maka penambahan 1 jenis obat tersebut akan menambah panjang daftar obat yang resisten. Organisasi program nasional TB yang kurang baik

B. Obat Pengobatan TB jangka waktunya lama lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan kompllit atau sampai selesai gagal Obat tidak dapat diserap dengan baik misal rifampisin diminum setelah makan, atau ada diare Kualitas obat kurang baik misal penggunaan obat kombinasi dosis tetap yang mana bioavibiliti rifampisinnya berkurang Regimen / dosis obat yang tidak tepat Harga obat yang tidak terjangkau Pengadaan obat terputus

C. Pasien Kurangnya informasi atau penyuluhan Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll
7

Efek samping obat Sarana dan prasarana transportasi sulit / tidak ada Masalah sosial Gangguan penyerapan obat

3. FAKTOR PROGRAM Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan Ampli fier effect Tidak ada program DOTS-PLUS Program DOTS belum berjalan dengan baik Memerlukan biaya yang besar

4. FAKTOR AIDSHIV Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar Gangguan penyerapan Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar

5. FAKTOR KUMAN Kuman M. tuberculosis super strains Sangat virulen Daya tahan hidup lebih tinggi Berhubungan dengan TB-MDR

2.5. KATEGORI RESISTENSI M. Tuberculosis TERHADAP OAT Terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat TB: 1. Mono- resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT 2. Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin 3. Multidrug-resistance (MDR): Kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampicin.
8

4. Extensive drug-resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin) 5. Total Drug Resistance : resisten baik dengan lini pertama maupun lini kedua. Pada kondisi ini tidak ada lagi obat yang bisa dipakai

2.6. PATOFISIOLOGI Multidrug resistant tuberculosis (MDR Tb) adalah Tb yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. Tb) resisten in vitro terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati sebelumnya. Kasus baru resisten obat Tb yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien baru didiagnosis Tb dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten obat disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu terdapatnya galur M. Tb resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb sedikitnya 1 bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired). Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. Tb wild type tidak terpajan. Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT. Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. Tb sensitif terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat. Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi Tb yang tidak adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi juga merupakan sumber kasus resistensi
9

obat baru. Meningkatnya koinfeksi Tb HIV menyebabkan progresi awal infeksi MDR Tb menjadi penyakit dan peningkatan penularan MDR Tb.

2.7. SUSPEK TB-MDR Pasien yang dicurigai kemungkinan TB-MDR adalah : 1. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu 2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 2 3. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin 4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1 5. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1 6. TB paru kasus kambuh 7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2 8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR 9. TB-HIV Pasien yang memenuhi kriteria suspek harus dirujuk ke laboratorium dengan jaminan mutu eksternal yang ditunjuk untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat.

2.8. DIAGNOSIS TB-MDR Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan Semua suspek TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaaan terdapat M.tuberculosis yang rrsisten minmal terhadap rifampisi dan INH maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB-MDR didukung oleh:
10

pengenalan factor risiko untuk TB-MDR pengenalan kegagalan obat secara dini uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasi

Pengenalan kegagalan pengobatan secara dini : Batuk tidak membaik yang seharusnya membaik dalam waktu 2 minggu pertama setelah pengobatan Tanda kegagalan : sputum tidak konversi , batuk tidak berkurang , demam , berat badan menurun atau tetap Hasil uji kepekaan diperlukan : Untuk diagnosis resistensi Sebagai acuan pengobatan

Bila kecurigaan resistensi sangat kuat kirim sampel sputum ke laborstorium untuk uji resitensi kemudian rujuk ke pakar.

2.9. PENATALAKSANAAN TB-MDR Klasifikasi OAT untuk MDR Kriteria utama berdasarkan data biologi dibagi menjadi 3 kelompok OAT : 1. Obat dengan aktiviti bakterisid : amnoglikosid, tionamid dan pirazinamid yang bekerja pada pH asam 2. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah : fluorokuinolon 3. Obat dengan aktiviti bakteriostatik : etambutol, cycloserin, dan PAS

Fluorokuinolon Fluorokuinolon (moksifloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin) dapat digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1. Resistensi silang

11

Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbangkan resistensi silang dalam memilih jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang. * Tionamid dan tiosetason Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan resistensi silang antara tionamid dengan tiosetason, galur yang biasanya resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitif dengan etionamid dan proteonamid. Galur yang resisten terhadap etionamaid dan proteonamid biasanya juga resisten terhadap tiosetason pada lebih dari 70% kasus. * Aminoglikosid Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitif terhadap kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin dapat menyebabkan resisten silang terhadap amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisisn dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap steptomisin. Galur yang resisten terhadap streptomisin, kanamisin, amikasin biasanya masih sensitif terhadap kapreomisin. Kesimpulan : Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin

* Fluorokuinolon Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan ofloksasin harus hati-hati karena beberapa kuinolon yang lebih aktif (levofloksasin dan moksifloksasin) dapat menggantiakn ofloksasin di masa datang. * Sikloserin dan terizidon Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat golongan lain.
12

* Hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang distandarisasi untuk pasien MDR TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor mode, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif. * Obat lini-2 yang digunakan yaitu golongan fluorokuinolon,aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin + as klavulanat. * Saat ini panduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2-3 OAT lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu Siprofloksasin dengan dosis 1000-1500 mg atau ofloksasin 600-800 (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari). * Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan. * Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR TB. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR TB Tingkatan Obat Dosis Harian Aktiviti antibakteri Rasio kadar Puncak Serum terhadap MIC 1 Aminoglikosid a.Streptomisin b. Kanamisin atau amikasin c. Kapreomisin 15 mg/kg Bakterisid menghambat organisme yang multiplikasi aktif 10-15 20-30 5-7,5

13

Thionamides (etionamid Protinamid)

10-20 mg/kg

Bakterisid

4-8

Pirazinamid

20-30 mg/kg

Bakterisid pada pH asam

7,5-10

Ofloksasin

7,5-15 mg/kg

Bakterisid mingguan

2,5-5

5 6 7

Ethambutol Sikloserin PAS asam

15-20 mg/kg 10-20 mg/kg 10-12 g

Bakteriostatik Bakteriostatik Bakteriostatik

2-3 2-4 100

Tabel 4. Tingkatan OAT untuk pengobatan MDR-TB 6 2.10 STRATEGI PENGOBATAN Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT dinegara tersebut. Dibawah ini beberapa strategi pengobatan TB-MDR Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan indivisual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.

14

Pilihan berdasarkan : Ketersediaan OAT lini kedua (second-line) Pola resistensi setempat dan riwayat penggunaan OAT lini kedua Uji kepekaan obat lini pertama dan kedua

Klasifikasi obat anti tuberkulosis dibagi atas 5 kelompok berdasarkan potensi dan efikasinya, yaitu : Kelompok 1: Sebaiknya digunakan karena kelompok ini paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik (Pirazinamid, Etambutol) Kelompok 2: Bersifat bakterisidal (Kanamisin atau kapreomisin jika alergi terhadap kanamisin) Kelompok 3: Fluorokuinolon yang bersifat bakterisidal tinggi (Levofloksasin) Kelompok 4: Bersifat bakteriostatik tinggi (PAS, Ethionamid, Sikloserin) Kelompok 5: Obat yang belum jelas efikasinya. Tidak disediakan dalam program ini.

Paduan obat TB MDR Paduan obat TB MDR yang akan diberikan kepada semua pasien TB MDR (standardized treatment) adalah : Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB MDR Paduan obat standard diatas harus disesuaikan kembali berdasarkan keadaan di bawah ini: a. Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap salah satu obat diatas. Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan b. Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga dicurigai ada resistensi, misalnya : pasien sudah pernah mendapat kuinolon untuk pengobatan TB sebelumnya, maka dipakai levofloksasin dosis tinggi. Apabila sudah terbukti resisten terhadap levofloksasin regimen pengobatan ditambah PAS, atas pertimbangan dan persetujuan dari tim ahli klinis atau tim terapeutik c. Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat diidentifikasi sebagi penyebabnya
15

d. Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan. Halhal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak, demam, penurunan berat badan

Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah: 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin

Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten. 2.11. PRINSIP PADUAN PENGOBATAN TB-MDR 1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4 macam obat dengan efektifitas yang pasti atau hampir pasti. 2. PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir dipastikan ada pada fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila terbukti resisten kanamisin. 3. Dosis obat berdasarkan berat badan. Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan sekurangkurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Periode ini dikenal sebagai fase intensif. Lama fase intensif: Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik diteruskan sekurangkurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil kultur, sputum, foto thorax dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik. 4. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan 5. Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. ` 6. Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan rawat jalan. Obat per oral diminum setiap hari. Pada fase intesif obat oral diminum didepas petugas kesehatan kecuali pada
16

hari libur diminum didepan PMO. Sedangkan pada fase lanjutan obat oral diberikan maksimum 1 minggu dan diminum didepan PMO. Setiap pemberian suntikan maupun obat oral dibawah pengawasan selama masa pengobatan. 7. Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan Piridoxin (vit.B6), dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin 8. Semua obat sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal

2.12. FASE-FASE PENGOBATAN TB MDR I. Fase Pengobatan intensif Fase intensif adalah fase pengobatan dengan menggunakan obat injeksi (kanamisin atau kapreomisin) yang digunakan sekurang-kurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan a. Fase rawat inap di RS 2-4 minggu Pada fase ini pengobatan dimulai dan pasien diamati untuk: Menilai keadaan pasien secara cermat Tatalaksana secepat mungkin bila terjadi efek samping Melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang intensif

Dokter menentukan kelayakan pasien untuk rawat jalan berdasarkan: Tidak ditemukan efek samping Pasien sudah mengetahui cara minum obat dan suntikan sesuai dengan pedoman pengobatan TB MDR b. Fase rawat jalan Selama fase intensif baik obat injeksi dan obat minum diberikan oleh petugas kesehatan dengan disaksikan PMO kepada pasien. Pada fase rawat jalan ini obat oral ditelan di rumah pasien hanya pada libur II. Fase pengobatan lanjutan Fase setelah pengobatan injeksi dihentikan Fase lanjutan minimum 18 bulan setelah konversi biakan Pasien yang memilih menjalani pengobatan di RS Rujukan TB MDR mengambil obat setiap minggu dan berkonsultasi dengan dokter setiap 1 bulan
17

PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil uji kepekaan TB MDR dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pada pasien TB MDR adalah: Penilaian klinis termasuk berat badan Penilaian segera bila ada efek samping Pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan Pemeriksaan biakan setiap bulan pada fase intensif sampai konversi biakan Uji kepekaan obat sebelum pengobatan dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan pengobatan Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin) Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid

Konversi dahak definisi konversi dahak : pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif. `Tanggal set pertama dari sediaan apus dahak dan kultur yang negatif digunakan sebagai tanggal konversi (dan tanggal ini digunakan untuk menentukan lamanya pengobatan fase intensif dan lama pengobatan).

Penyelesaian pengobatan fase intensif Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi kultur Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur

18

Lama pengobatan Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama pengobatan Hasil pengobatan TB MDR (atau kategori IV) Sembuh. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Jika hanya satu kultur positif dilaporkan selama waktu tersebut, dan bersamaan waktu tidak ada bukti klinis memburuknya keadaan pasien, pasien masih dianggap sembuh, asalkan kultur yang positif tersebut diikuti dengan paling kurang 3 hasil kultur negatif berturut-turut yang diambil sampelnya berselang sekurangnya 30 hari Pengobatan lengkap. Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis Meninggal. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR. Gagal. Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping. Lalai/Defaulted. Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik Pindah. Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil pengobatan tidak diketahui

19

PENANGANAN EFEK SAMPING A. Pemantauan efek samping selama pengobatan OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih berat dan lebih sering dari pada OAT lini pertama Deteksi dini efek samping penting karena makin cepat ditemukan dan ditangani makin baik prognosanya, jadi pasien harus di monitor tiap hari Efek samping sering terkait dosis Gejala efek samping harus diketahui oleh PMO dan pasien sehingga pasien tidak menjadi takut saat mengalaminya dan drop-out Efek samping bisa ringan, sedang dan berat atau serius. Semua hal harus tercatat dalam pencatatan dan pelaporan B. Tempat penatalaksanaan efek samping RS rujukan TB MDR dan UPK satelit menjadi tempat penatalaksanaan efek samping tergantung berat ringan gejala. Dokter Puskesmas akan menatalaksana efek samping ringan dan sedang. Tim klinis TB MDR di RS rujukan TB MDR akan mendapat laporannya Pasien dengan efek samping berat atau serius dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus segera dirujuk ke Tim Klinis RS rujukan MDR dengan transportasi dari Puskesmas Efek samping berat atau serius: Pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk dengan didampingi ke RS rujukan TB MDR Contoh kulit dan mata pasien nampak kuning Pendengaran berkurang (tuli) atau telinga berdengung mendengar suara-suara, halusinasi, delusi/waham, bingung Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema, harus segera ditangani oleh dokter puskesmas sesuai standard penanganan syok sebelum segera dirujuk ke RS rujukan TB-MDR

20

Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa (selaput lendir) seperti mulut, mata dan dapat mengenai seluruh tubuh berupa pengelupasan kulit (Steven Johnsons Syndrome)

PENGOBATAN TB MDR PADA KEADAAN KHUSUS Pengobatan TB MDR pada wanita usia subur Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan kehamilan. pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia produktif yang akan mendapat pengobatan TB MDR. Pengobatan TB MDR pada ibu hamil Kehamilan bukan kontraindikasi untuk pengobatan TB MDR tetapi sampai saat ini keamanannya belum diketahui Pasien hamil tidak disertakan pada uji pendahuluan ini Sebagian besar efek teratogenik terjadi pada trimester pertama sehingga pengobatan bisa ditangguhkan sampai trimester kedua Pengobatan TB MDR pada ibu menyusui Ibu yang sedang menyusui dan mendapat pengobatan TB MDR harus mendapat pengobatan penuh Sebagian besar OAT akan ditemukan kadarnya dalam ASI dengan konsentrasi yang lebih kecil Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu sampai BTA nya menjadi negatif atau ibu menggunakan masker N-95 Pengobatan TB MDR pada pasien yang sedang memakai kontrasepsi hormon Tidak ada kontraindikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral dengan rejimen yang tidak mengandung riyfamycin Seorang wanita yang mendapat kontrasepsi oral sementara mendapat pengobatan dengan rifampycin bisa memilih salah satu metode berikut: gunakan kontrasepsi oral yang mengandung dosis oestrogen yang lebih besar (50 g) atau menggunakan kontrasepsi bentuk lain Pengobatan pasien TB MDR dengan diabetes mellitus
21

Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi selama pengobatan TB MDR, tetapi mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus

Penggunaan ethionamida lebih sulit penanganannya Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan

Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan ginjal Pemberian OAT lini kedua pada pasien dengan gangguan ginjal harus dilakukan dengan hati hati Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan Pemberian obat, dosis dan atau interval antar dosis harus disesuaikan dengan tabel diatas (jika terjadi gangguan ginjal). Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan hati OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini pertama Pasien dengan riwayat penyakit hati bisa mendapat pengobatan TB MDR jika tidak ada bukti klinis penyakit hati kronis, karier virus hepatitis, riwayat akut hepatitis dahulu atau pemakaian alkohol berlebihan. Reaksi hepatotoksis lebih sering terjadi pada pasien diatas sehingga harus lebih diawasi Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan Pirazinamid Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada tim therapeutic advisory Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama hepatitis akut, kombinasi empat OAT yang tidak hepatotoksis merupakan pilihan yang paling aman Pengobatan pasien TB MDR dengan gangguan kejang-kejang (epilepsi) Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat anti kejang

22

Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian pengobatan anti kejang diperlukan sebelum mulai pengobatan Bila tidak terkendali tidak masuk dalam proyek ini Jika ada sebab lain yang menyebabkan kejang, kejangnya harus diatasi Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan tidak cukup terkontrol dengan pengobatan

dengan gangguan psikiatris

STRATEGI DOTS PLUS Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sana dengan strategi DOT , dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan TB MDR Strategi DOTS plus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci : 1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR/XDR. 2. Strategi penemuan kasussecara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjaminmutunya. 3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT). 4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu 5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku Setiap komponen dalam penanganan TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional.

2.13. PEMBEDAHAN TB-MDR Prosedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB-MDR. Dari hasil beberapa penelitian pembedahan efektif dan relatif aman. Pembedahan tidak diindikasikan pada penderita
23

dengan gangguan paru luas bilateral. Pembedahan dilakukan pada kasus awal-awal seperti kelainan suatu lobus atau paru dan setelah pemberian pengobatan selama 2 bulan untuk menurunkan infeksi bakteri dalam paru. Setelah pembedahan, pengobatan tetap diberikan selama 12-24 bulan.

24

BAB III KESIMPULAN Harus diakui bahwa pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini amat sulit dan memerlukan waktu yang amat lama dan pada beberapa keadaan bahkan sampai 24 bulan lamanya. Ada yang menganjurkan agar pasien dirawat di rumah sakit untuk mencegah penularan dan mengontrol pengobatannya dengan lebih baik. Obat yang dapat digunakan antara lain adalah golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin, dan kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin + as klavulanat dan lain-lain. Pemberian pengobatannya pada dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji kepekaan. Untuk mereka yang resisten terhadap SM misalnya Iseman menganjurkan pemberian PZA, EMB, kuinolon dan amikasin selama 18 sampai 24 bulan. Hasil pengobatan terhadap resistensi ganda tuberkulosis ini juga kurang

menggembirakan. Pada penderita non HIV maka konversi hanya didapat sekitar 50% kasus, sementara pada penderita dengan HIV (+) maka kematian biasanya terjadi dalam waktu 8 bulan dengan 72%-89% diantaranya meninggal dalam 4 sampai 9 minggu. Laporan lain menyebutkan bahwa pada penderita non HIV, response rate didapatkan pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus. Sedangkan penderita TB resistensi ganda dan HIV (+), angka kematiannya sekitar 70% sampai 80%. Kepustakaan juga menyebutkan tentang upaya profilaksis khususnya bagi tenaga kesehatan yang merawat penderita TB dengan resistensi ganda. Beberapa upaya fisik yang memungkainkan dapat menolong adalah pemberian sinar ultraviolet, penggunaan masker yang baik, filtrasi udara dan penggunaan negative pressure ventilation. Walaupun WHO telah menyatakan bahwa upaya-upaya fisik diatas semata-mata adalah partial protection. Pemberian kemoprofilaksis juga diupayakan, khusus terhadap TB denagn resitensi ganda ini. Obat yang dianjurkan antara lain adalah kombinasi Pirazinamid 1500 mg/hari dan siprofloksasin 750 mg dua kali sehari selama empat bulan. Resistensi ganda terhadap obat tuberkulosis adalah masalah besar dalam penanggulangan tuberkulosis dewasa ini. Pemberian obat tuberkulosis yang benar dan terawasi secara baik
25

merupakan salah satu kunci penting untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Konsep Direcly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah tuberkulosis khususnya resistensi ganda ini. Perkembangan obat baru mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal ini.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 3. Balai Penerbit FKUI; 2001. 2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 3. PDPI. Standard Pelayanan Medik Paru. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang Jakarta; 1998 4. Rasad sjahrir, Sukonto Kartoleksono, dan Iwan Ekayuda. Radiologi Diagnostik. Balai Penerbit FKUI; 2000. 5. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis ; 2000 6. Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ; 2006. 7. World Health Organization. Guideline for the programmatic management of drugresistant tuberculosis . Emergency Update 2008 8. Priantini NN. MDR-TB masalah dan penanggulangannya. Medicinal 2003;4:27-33 9. Why DOTS-Plus for MDR-TB (cited 2008 april).http://www.who.int/gtb/publication/busdocs/index.html 10. Rabia J, Elizabeth MS, Gail EL, Warren RM, Paul DH, Thomas CV . Drug Resistance in Mycobacterium tuberculosis. Curr. Issues Mol.Biol.8:97-112

27

Anda mungkin juga menyukai