JENDELA
BUKU
Metamorfosis si Bocah Pasar
BUKU ini berjudul Sandal Jepit. Namun, ilustrasi yang ditampilkan adalah gambar metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu bersayap biru. Para pembaca bisa menebak isi buku ini lebih banyak bertutur tentang kisah perubahan seseorang. Tapi, apa hubungannya dengan si sandal jepit? Pertanyaan pembaca akan langsung terjawab pada bagian prolog. Tokoh utama yang tak lain adalah pengarang sendiri, Slamet Riyadi (Didi). Ia menuturkan dengan gamblang. Sandal jepit itu merupakan teman pelindung si tokoh utama dalam perjalanan. Itu karena Didi harus melewati wilayah pasar yang becek setiap saat ia akan bepergian. Didi menceritakan kisahnya dengan alur kilas balik. Prolog dibuka dengan cerita Didi yang baru saja menjejakkan kaki di kampus kuning, Universitas Indonesia (UI). Kebanggaan menjadi salah satu bagian dari almamater UI terpancar kuat dari kalimat yang disajikan. Hal itu mengingat perjuangan menembus kampus tersebut dilewati secara dramatis. Tak mengherankan jika ia bertutur dengan nuansa dramatis yang lumayan kental. Didi mengandalkan deskripsi untuk menggambarkan kisahnya. Anak lelaki tertua ini tinggal di lingkungan Pasar Jembatan Merah, kawasan Manggarai, Jakarta yang ia sebut sebagai ring satu. Para pedagang pekerja keras, karakter pedagang culas, hingga remaja tanggung yang gemar mabuk menjadi pemandangan Didi kecil seharihari. Meski ia dan keluarganya hidup pas-pasan, masa-masa di bangku Sekolah Dasar 09 Pagi bisa dilalui Didi dengan relatif lancar. Perolehan nilainya cukup lumayan. Ia pun memutuskan untuk hijrah ke kampung neneknya dan memondok di pesantren. Namun, kehidupan pesantren ternyata tak sesuai dengan jiwanya. Ia pun kembali ke Jakarta untuk melanjutkan di sebuah SMP terbaik di Jakarta. Namun keputusan itu pula yang membawa Didi menjadi pemuda bengal. Berawal dari pertemanannya dengan biang tawuran, ia pun ikut-ikutan menghajar anak SMP tetangga demi mendapat pengakuan. Jiwa pemberontakan ala remaja tanggung ini semakin sesat karena lingkungan yang dipilihnya salah. Tak pelak jika orangtua Didi diselimuti kesedihan. Antiklimaks dari kebengalan Didi terjadi saat ia bertemu dengan seorang guru agama, Pak Suryadi. Lelaki itu mengajaknya ngobrol untuk menghindari kesan menggurui. Kalimat-kalimat yang disampaikan ternyata mengena karena tak jarang Pak Guru menggunakan bahasa gaul untuk mengakrabkan diri. Didi perlahan berubah. Lingkungan pertemanan kini menjadikannya lebih baik. Energi positif mengantarkannya menjadi siswa yang cukup disegani karena prestasinya. Dalam buku yang ditulis mengalir ini, penuturan yang disampaikan penulis buku ini cukup ringkas. Untungnya, hal itu tidak mengurangi atmosfer dan emosi yang ingin dibangun bagi pembaca. Sekali lagi, kita belajar bahwa jika kita mau berubah menuju lebih baik, balasan ke baik an pula yang akan kita diterima. (Din/M-1)
Sirkum Kekuasaan
Ironis memang. Tragedi kemanusiaan di depan mata ditangani pemerintah dengan cara tawar-menawar kepentingan politik.
ANTARA/ERIC IRENG
LAPINDO ENAM TAHUN: Kondisi terbaru pusat semburan lumpur panas Lapindo, difoto dari udara di atas Porong, Sidoarjo, Selasa (22/5). Jelang enam tahun semburan lumpur panas Lapindo pada 29 Mei 2012, pembayaran ganti rugi di sejumlah kawasan peta terdampak belum beres.
SOELISTIJONO
ANGGAL 29 Mei nanti menjadi hari sejarah kelabu bagi warga Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Hari itu, pada 2006, akibat aktivitas industri pertambangan yang dilakukan secara ceroboh oleh PT Lapindo Brantas, sebanyak 100 hingga 150 ribu meter kubik lumpur panas menyembur dari perut bumi dan tak terkendali hingga menjelma menjadi bencana kemanusiaan yang mengerikan. Lumpur Lapindo (seperti banyak orang Jawa Timur menyebutnya), jika dihitung hingga tahun ini, sudah enam tahun mengubur wilayah Sidoarjo, sebuah wilayah yang dulunya kawasan pertanian yang subur dan industri yang berpenduduk padat. Sekitar 13.237 kepala keluarga menerima dampak buruk dan harus hengkang dari kampung halaman mereka. Tragedi kemanusiaan itu, yang hingga sekarang masih berlangsung, menorehkan tangis duka, hilangnya harta benda penduduk, dan dampak psikologis yang tidak ringan pada masyarakat Sidoarjo. Bila dilihat dari dampak dan derita rakyat yang tak tertangani dengan baik oleh pemilik industri dan pemerintah, peristiwa lumpur Lapindo nantinya akan dicatat sebagai sejarah tragis kemanusiaan yang terabaikan. Lewat buku Kronik Lumpur Lapindo, Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo, pengarang Bosman Batubara dan Paring Waluyo Utomo mencoba mengingatkan kita kembali untuk lebih respek melihat bencana lumpur itu dan menggugah pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperhatikan penderitaan masyarakat yang menjadi korban. Ide penulisan buku ini begitu saja menghampiri kami, katanya seperti dikutip dalam catatan penulis. Dengan jujur penulis buku ini
menyatakan bahwa menulis tentang lumpur Lapindo tak ada bedanya dengan menulis biogra orang yang masih hidup. Itu karena peristiwa bencana dan kronik lain yang menyertainya hingga kini masih berlangsung dinamis.
sia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam buku ini juga diulas bagaimana per gumulan bisnis dan politik memengaruhi berlarut-larutnya penanganan dampak lumpur Lapindo yang merugikan rakyat. Juga, kekhawatiran penulis terhadap dampak semburan lumpur Lapindo yang belum bisa dihentikan dan bisa mengubur peradaban di Jawa Timur. Penulis buku ini bahkan berani menyimpulkan penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang dihadapi korban serbatidak pasti. Itu terjadi lantaran sedari awal pemerintah bersikap gamang. Awalnya keluar keputusan pre siden yang meminta PT Lapindo Brantas bertanggung jawab atas segala hal terkait penanganan kasus ini. Tak sampai setahun, pemerintah merevisi kebijakan itu. Melalui perpres, pemerintah membagi tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas dan pemerintah. Bagi saya ini kebijakan yang aneh. Sebuah bencana kasatmata, tetapi diselesaikan secara politik, ujar tokoh nasional asal Jombang, Jawa Timur, yang memberi pengantar dalam buku ini. Buku ini, jika dilihat dari kepentingan masyarakat, berhasil memberikan gambaran bagaimana penanganan sebuah bencana kemanusiaan di Tanah Air bisa dilipat menjadi kepentingan politik karena ketidaktegasan pemerintah. Rakyat yang akhirnya menjadi bulan-bulanan penguasa dan (sekaligus) pengusaha. (M-1)
miweekend@mediaindonesia.com