I. PENDAHULUAN
II. EPIDEMIOLOGI
1
terpenting untuk perbedaan angka serangan, beratnya lesi, dan dampak sistemik
yang didapatkan pada pasien ektima.(6)
Ektima merupakan penyakit kulit berupa ulkus yang paling sering terjadi
pada orang-orang yang sering bepergian (traveler). Pada suatu studi kasus di
Perancis, ditemukan bahwa dari 60 orang wisatawan, 35 orang (58%) diantaranya
mendapatkan infeksi bakteri, dimana bakteri terbanyak yang ditemukan yaitu
Staphylococcus aureus dan Streptococcus B-hemolyticus grup A yang merupakan
penyebab dari penyakit kulit impetigo dan ektima. Dari studi kasus ini pula,
ditemukan bahwa kebanyakan wisatawan yang datang dengan ektima memiliki
riwayat gigitan serangga (73%).(7,8)
III. ETIOLOGI
IV. PATOFISIOLOGI
2
Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini resisten terhadap
fagositosis.(11)
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes menghasilkan
beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal atau gejala
sistemik. Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigens (SA).
Antigen ini bekerja dengan cara berikatan langsung pada molekul HLA-DR
(Mayor Histocompability Complex II (MHC II)) pada antigen-presenting cell
tanpa adanya proses antigen. Walaupun biasanya antigen konvensional
memerlukan interaksi dengan kelima elemen dari kompleks reseptor sel T,
superantigen hanya memerlukan interaksi dengan variabel dari pita B.
Aktivasi non spesifik dari sel T menyebabkan pelepasan masif Tumor
Necrosis Factor-α (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari
makrofag. Sitokin ini menyebabkan gejala klinis berupa demam, ruam
erythematous, hipotensi, dan cedera jaringan.(11,13)
Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopic
memainkan peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi Staphylococcus.
Adanya trauma ataupun inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar, trauma,
dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh pada pathogenesis
dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini. (13)
V. GAMBARAN KLINIS
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit yang
eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 – 3 cm) dan beberapa hari
kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya.
Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul. Bila krusta terlepas,
tertinggal ulkus superficial dengan gambaran “punched out appearance” atau
berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi
sembuh setelah beberapa minggu dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi dapat
ditemukan pada daerah ekstremitas bawah, wajah dan ketiak.(1,2,12,13)
3
Gambar A: Lesi tipikal ektima pada ektremitas bawah
(diambil dari kepustakaan 1)
4
Gambar C: Ektima. Ulkus dengan krusta tebal pada tungkai pasien yang
menderita diabetes dan gagal ginjal
(diambil dari kepustakaan 13)
VI. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak bawah.
Pasien biasanya menderita diabetes dan orang tua yang tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.(1)
5
Anamnesis ektima, antara lain:(1)
1. Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.
2. Durasi. Ektima terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma berulang,
seperti gigitan serangga.
3. Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma berulang,
seperti tungkai bawah.
4. Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta
5. Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang lama.
Pemeriksaan fisis
(D) (E)
Gambar D : Krusta coklat berlapis lapis pada ektima
Gambar E : Pada Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat ulkus yang
dangkal
(diambil dari kepustakaan 2)
6
Pemeriksaan penunjang
Gambar F: Pioderma
Neutrofil tersebar pada dasar ulserasi
(Seperti yang ditunjukkan oleh tanda panah)
(diambil dari kepustakaan 12)
7
Gambar G: Folikulitis superfisialis. Pustul multiple terlihat pada daerah jenggot.
(diambil dari kepustakaan 13)
8
Gambar I: Impetigo. Terlihat erosi, krusta, dan blister ruptur
(diambil dari kepustakaan 15)
VIII. KOMPLIKASI
IX. PENATALAKSANAAN
2. Farmakologi
Pengobatan farmakologi bertujuan mengurangi morbiditas dan
mencegah komplikasi. (1,10,13,16,17,18)
a. Sistemik
9
Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas. Pengobatan
sistemik dibagi menjadi pengoatan lini pertama dan pengobatan lini
kedua. (1,10,13,16,17,18)
1. Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)
a. Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.
Anak: 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.
b. Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
c. Sefaleksin 40 - 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari
2. Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)
a. Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4
hari
b. Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10
hari
c. Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.
Anak: 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.
b. Topikal
Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi jika
luas maka digunakan pengobatan sistemik. Neomisin, Asam fusidat
2%, Mupirosin, dan Basitrasin merupakan antibiotik yang dapat
digunakan secara topikal. (1,10,13,16,17,18)
Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan efektif yang
tidak digunakan secara sistemik, yang menyebabkan reaksi kulit
minimal, dan memiliki angka resistensi bakteri yang rendah sehingga
menjadi terapi antibiotik lokal yang valid. Neomisin dapat larut dalam
air dan memiliki kestabilan terhadap perubahan suhu. Neomisin
memiliki efek bakterisidal secara in vitro yang bekerja spektrum luas
gram negatif dan gram positif. Efek samping neomisin berupa
kerusakan ginjal dan ketulian timbul pada pemberian secara parenteral
sehingga saat ini penggunaannya secara topical dan oral. (1,10,13,16,17,18)
3. Edukasi
10
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga
kebersihan badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan
penyakit kulit. (1,10,13,16,17,18)
X. PROGNOSIS
XI. PENCEGAHAN
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Davis Loretta. Ecthyma. [online] 2009 [cited 2011 Juli 28]:[1 screen].
Available from: URL: http://emedicine.medscape.com.
2. Siregar R.S,ed. Pioderma, Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Jakarta: EGC; 2002. p. 61-2.
3. Djuanda Adhi, Pioderma, Dalam: Djuanda Adhi,eds. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi 5. Jakarta: FK UI; 2008. p. 57-60.
4. Galen Wesley, et al. Bacterial Infections. In: Schachner Lawrence, eds.
Pediatric Dermatology 2nd ed. p.1172-3
5. Habif Thomas,ed. Bacterial Infection. In: Clinical Dermatology: A color
Guide to Diagnosis and Therapy 4th ed. USA: Mosby; 2004. p. 273.
6. Wasserzug O. A Cluster of Echtyma Outbreaks Caused by A Single Clone
of Invasive and Highly Infective Streptococcus pyogenes. [online] 2009
[cited 2011 Agustus 2]:[1 screen]. Available from: URL:
http://www.unboundmedicine.com.
7. Ryan Edward T, et al. Ilness After International Travel. The New England
Journal of Medicine (NEJM). [serial online] 2002. Agustus [cited 2011 Juli
28] : Volume 347 / 515. Available from: http://www.nejm.org.
8. Hochedez Patrick, et al. Skin and Soft Tissue Infections in Returning
Travellers. American Journal Tropical Medicine and Hygiene (AJTMH).
[serial online] 2008. December [cited 2011 Agustus 2] : Volume 80 / 432.
Available from: http://www.ajtmh.org.
9. Hay R.J dan B.M. Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns Tony, eds.
Rook’s Textbook of Dermatology 7th ed. USA: Blackwell Publishing; 2004.
p. 27.16.
10. Cevasco Nathaniel C. Common Skin Infection, Bacterial Infection. [online]
2011 [cited 2011 Juli 28]:[1 screen]. Available from: URL:
http://www.clevelandclinicmeded.com.
11. Chiller Katarina, et al. Skin Microflora and Bacterial Infections of The
Skin. Journal of Investigative Dermatology Symposium Proceedings. [serial
12
online] 2001. December [cited 2011 Juli 28] : Volume 6 / 170 – 4. Available
from: http://www.nature.com.
12. Halpern Analisa dan Heymann Warren. Gram-Positive Bacteria
Staphlococcal and Streptococcal Skin Infection. In: Bolognia JL, Jorozzo
JL, Rapini RP, eds. Dermatology 2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. Ch.
73.
13. Craft Noah, et al. Superficial Cutaneous Infections and Pyoderma. In: Wolff
Klause, Goldsmith Lowell, Katz Stephen, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p.
1694-701.
14. James William, Berger Timothy, Elston Dirk, eds. Andrews’ Disease of The
Skin Clinical Dermatology 10th ed. USA: Saunders Elsevier; 2006. p. 259-
60.
15. Hunter John, eds. Bacterial Infections. In: Clinical Dermatology 3rd ed.
USA: Blackwell Science; 2003. p. 190-1.
16. Knott Laurence and Draper Richard. Ecthyma. [online] 2011 [cited 2011
Agustus 2]:[1 screen]. Available from: URL:
http://www.patient.co.uk/doctor/Ecthyma.htm
17. Church Ronald. Neomycin in Pyogenic Skin Diseases. England: British
Medical Journal. [serial online] 1954. Februari [cited 2011 Juli 28] :
Volume 6 / 314. Available from: http://www.bmj.com.
18. Ngan Vanessa. Fusidic Acid and Mupirocin. [online] 2008 [cited 2011
Agustus 2]:[1 screen]. Available from: URL: http://www.dermnetnz.org
13