Anda di halaman 1dari 11

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.

4 Oktober 2005

PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN NASIONAL Oleh : H. M. Akhyar Abdi*

ABSTRAK
Pendidikan Pesantren merupakan salah satu modal strategis dalam pelaksanaan Pembangunan Nasional. Keterkaitannya secara konstruktif dengan pendidikan formal (pendidikan sekolah) menun-jukkan vitalnya integrasi dua sisrtem pendidikan yang sangat tinggi. Pendidikan Pesantren memang menyimpan karakter yang cukup khas, tidak hanya dalam sistemnya, tetapi juga dalam perannya. Bahwa tujuan Pendidikan Nasional juga dititik beratkan pada peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan YME, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Untuk itu, dominasi pendidikan formal dalam sistem pendidikan Nasional sampai waktunya nanti diprediksi akan dihadapkan pada dilema yang cukup kritis antara aspek ideologis dan teknologis. Pada kecenderungan inilah, pendidikan Pesantren pasti akan diuji eksistensinya seputar ihwal apakah mampu menjadi sistem alternatif dalam konteks kualitatif, ataukah justru sebaliknya. Keterlibatan Pesantren "secara formal" dalam sistem pendidikan Nasional akan semakin mengukuhkan kemampuannya dalam mewujudkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya. Kata Kunci : Pesantren Integrasi Sekolah Manusia seutuhnya..

A. PENDAHULUAN Eksklussif, itulah anggapan yang cukup lama terhadap lembaga pesantren, sampai akhirnya mengalami perubahan yang sangat terbuka dan menggembirakan. Kini saatnya orang berpikir bahwa "sekolah saja" tidak mungkin dapat diandalkan untuk mendidik manusia secara utuh. Banyak yang mengeluh bahwa akhlak dan prilaku pelajar dewasa ini cenderung merosot dengan berbagai bentuk tindakannya yang merisaukan banyak pihak. Karena itu, patut dipikirkan kemungkinan "pesantren masuk sekolah" sesudah "sekolah masuk pesantren". Jika pesantren sudah bersedia menerima sekolah, mungkinkah
Penulis Dosen IAIN Antasari DPK dan sekaligus sebagai Ketua STAI RAKHA Amuntai, alumnus PPs S2 UNINUS Bandung 2003, Konsentrasi Manajemen Pendidikan.
*

62

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

sekolah bersedia menerima pesaatren? Tentu saja kemungkinan itu ada, sebagaimana sedang diperlihatkan oleh beberapa sekolah tertentu. Bahkan, pada era Orde Baru, Presiden Soeharto mendorong dikembangkan program pesantren kilat di sekolah-sekolah dalam rangka membina dan mengembangkan mental dan perilaku para pelajar. Tulisan berikut akan mencoba menganalisis kemungkinan pemaduan pendidikan pesantren dengan pendidikan sekolah dalam tataran teoritis melalui perspektif pendidikan nasional. B. URGENSI PENDIDIKAN NASIONAL Setiap bangsa di dunia ini, tidak terkecuali Indonesia, meletakan pendidikan sebagai upaya strategis untuk meningkatkan mutu kebudayaan dan keberadabannya sebagai dua hal yang saling berkaitan. Pendidikan tanpa orientasi budaya akan menjadi gersang dari nilai-nilai luhur. Sebaliknya, kebudayaan tanpa pendukung-pendukungnya yang sadar dan terdidik, pada akhirnya, akan memudar sebagai sumber nilai dan menjadi "tak terhitungkan" dalam perjalanan sejarah. Diketahui bahwa pendidikan nasional harus dilaksanakan berdasarkan landasan filosofi bangsa, yakni Pancasila, yang merupakan nilai-nilai luhur yang selalu disosialisasikan secara terus menerus oleh aparatur negara. Dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN), hal itu dikemukakan secara tegas. Disebutkan bahwa inti tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang meliputi berbagai segi, termasuk Iman dan Taqwa. Dengan demikian, pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila berarti mengarah pada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, baik menyangkut kecerdasan, budi pekerti, maupun keterampilan (kognitif, afektif dan psikomotor). Secara teoritis, urgensi pendidikan bagi suatu bangsa sebagaimana dikemukakan H.M.Arifin 1 disebabkan adanya beberapa potensi dalam setiap diri manusia, yakni potensi paedagogis, potensi psikologis, dan potensi sosiologis dan kultural.

H. M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Bulan Bintang, Jakarta, t.t, hal. 24

63

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

1. Potensi paedagogis Dalam pandangan filsafat pendidikan, manusia adalah makhluk yang dapat dan harus dididik. Bahkan, Langeveld merinci hal ini dalam tiga hakikat kemanusiaan, yakni makhluk yang dapat dididik (educadle animal), mahluk yang harus dididik (animal educandum), dan makhluk yang di samping dapat dan harus dididik juga dapat dan harus mendidik (animal education). 2. Potensi Psikologis

Pada dasarnya, manusia merupakan kesatuan pribadi yang utuh dan dipandang sebagai psycho-physics-netral, yakni memiliki kemandirian jasmani dan rohani yang bisa dikembangkan melalui pendidikan. 3. Potensi Sosiologis dan Kultural
Manusia adalah makhluk Tuhan yang merupakan bagian dari alam semesta. Dalam keadaan demikian, manusia memiliki watak dan potensi dasar untuk hidup bermasyarakat (homo socius). Selanjutnya, manusia juga akan membentuk kebudayaan (makhluk budaya). Secara implicit, hal ini menggambarkan adanya proses pendidikan yang berlangsung di lingkungannya. Dengan mengembangkan beberapa potensi di atas, pendidikan dirasakan penting tidak hanya karena kemampuannya mencetak cendekiawan dalam pengertian intelektual, melainkan juga - lebih dari itu - karena outputnya yang nyata dalam mendorong peningkatan bidang ekonomi dan pemerintahan. Bertolak dari pandangan seperti di atas, dapat dimaklumi kalau sistem pendidikan nasional dalam operasionalisasinya berpegang pada beberapa prinsip. Di antaranya adalah : 1) bahwa pendidikan nasional menganut prinsip pendidikan seumur hidup; 2) bahwa pendidikan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah; 3) bahwa pendidikan nasional di arahkan untak membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Dengan sistem pendidikan nasional, proses pendidikan akan mengarah sesuai dengan cita-cita dan tahapan-tahapan. Kurikulum pendidikan nasional disusun berdasarkan realitas masyarakat dan kerangka ideologis untuk dipedomani secara konsisten. Dalam hal ini, peranan masyarakat pun diperhatikan dengan serius. Di samping sebagai objek, masyarakat pun 64

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

tentunya menjadi sobjek pendidikan. Menurut Muhammad Noor Syam2, pendidikan merupakan fungsi manusia dan masyarakat untuk mengembangkan dan meningkatkan subjek dirinya, martabat, dan kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan nasional, dalam kenyataannya, tentu saja dipadukan dengan program-program pembangunan di segala bidang, dengan titik berat antara lain: Pertama menekankan bahwa tujuan pendidikan nasional tidak hanya meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, tetapi juga meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air; kedua, meningkatkan bahwa pendidikan tidak hanya dilaksanakan di sekolah, tetapi juga dalam lingkungan rumah tangga serta masyarakat. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga tanggung jawab masyarakat, baik perorangan maupun kolektif; ketiga pendidikan harus lebih ditekankan pada cara menangkap ikan dari pada semata-mata hanya memberikan ikan keempat, menggariskan agar setiap jenjang diintegrasikan pendidikan berfikir dengan pendidikan kemanusiaan, humaniora, yakni cabang-cabang studi yang berusaha menginterpretasikan makna hidup manusia di dunia, seperti falsafah, sejarah, bahasa dan sastra, seni, dan teologi. Dimaksudkan agar peserta didik terbiasa berpikir tertib; kelima, meningkatkan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan dan sekaligus mengarahkan pada kebutuhan pembangunan di segala bidang dengan sistem pembinaan yang mantap serta terpadu, khususnya pendidikan dasar serta pendidikan kejuruan. 3

C.

PERANAN PENDIDIKAN PESANTREN DAN PENDIDIKAN SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN NASIONAL

Peranan pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah dalam pelaksanaan pendidikan nasional dapat di lihat dalam kegiatannya sebagai subsistem pendidikan nasional. Kebudayaan merupakan lembaga yang berfungsi melaksanakan pendidikan berdasar arah dan tujuan yang telah ditentukan. Dengan fungsi khusus yang dibawakan oleh kedua sistem pendidikan ini, yakni pesantren dan sekolah, pendidikan nasional akan menunjukkan dinamikanya secara mantap. Untuk kepentingan ini, integrasi pendidikan pesantren dan
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1983, ha1.350 3 H. Andi Gunawan, Kebijaksanaan-Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal 146-147
2

65

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

pendidikan jalur luar sekolah, baik secara fungsional maupun institusional, senantiasa diusahakan. Sebab, jika keduanya berjalan kurang terpadu, maka sasaran pendidikan akan terhambat. Hal demikian juga ditunjukan oleh sejarah di mana penjajah memaksakan secara mutlak berlakunya sistem pendidikan sekolah saja dengan "menekan" (diskriminatif) perkembangan pendidikan pribumi, yakni pendidikan pesantren.

D. HUBUNGAN PENDIDIKAN PESANTREN DAN PENDIDIKAN SEKOLAH 1. Hubungan Falsafah- Ideologis Pancasila sebagai falsafah bangsa, secara langsung, merupakan ideologi nasional. Sebagai dasar pendidikan nasional, Pancasila merupakan nilai ideal yang mewarnai proses pendidikan secara umum. Sementara itu, pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah sebagai bagian sistem pendidikan nasional merupakan dua lembaga yang secara konsisten mengejewantahkan nilai-nilai Pancasila melalui cara-cara yang persuatifedukatif. Di lihat dari sudut ini, jelaslah bahwa keterkaitan antara kedua lembaga itu dalam sistem pendidikan nasional dilatarbelakangi oleh falsafah idelogis. Terlebih jika di lihat dari proses pertumbuhan dan perkembangannya, kedua lembaga pendidikan ini diakomodasi dalam pendidikan nasional karena fingsinya yang kreatif dalam menjabarkan nilainilai luhur, baik untuk kepentingan pembinaan moral (pendidikan pesantren) maupun intelektual (pendidikan formal). 2. Hubungan Paedagogis Pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah keduanya merupakan lembaga pendidikan yang mengandung makna paedagogis. Dalam hal ini, proses belajar mengajar merupakan inti aktivitasnya. Kedua lembaga itu memiliki titik temu karena kesejatiannya dalam usaha mewariskan dan mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan. 3. Hubungan Sistematis Dalam kerangka sistem pendidikan nasional, pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah memiliki fungsi teknis sebagai salah satu komponen atau instrumen atau alat dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan tetap mengembangkan ciri-cirinya masing-masing, pendidikan pesantren dan

66

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

pendidikan sekolah mengupayakan peningkatan kualitas manusia Indonesia melalui pendekatan yang sistematis, baik menyangkut metode, isi, maupun sarana dan fasilitasnya. 4. Hubungan Komplementer dan Integratif Setiap bentuk pendidikan, termasuk pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah, memiliki kelemahan dan beberapa keistimewaannya. Dalam hubungan ini, untuk mencapai tujuan pendidikan secara terpadu, keduanya harus saling melengkapi (komlementer) dan saling memadukan (integrative). Dalam konteks pembentukan manusia seutuhnya, pendidikan pesantren dalam prakteknya lebih menitik beratkan aspek keagamaan (sikap), sementara aspek intelektualitas kurang mendapatkan tempat yang proporsional. Sebaliknya, pendidikan sekolah lebih mengarah pada - selain keterampilan pengembangan wawasan (intelektual) dan cenderung kurang memperhatikan dimensi moralitas. Keadaan demikian jelas menuntut keterbukaan pendidikan pesantren untuk mengakomodasikan metodologi pengajaran yang membawa para peserta didik untuk selalu mengembangkan wawasan dan pemikirannya secara bebas. Hal ini juga menuntut kesediaan pendidikan sekolah untuk mengembangkan dan mempraktekan nilai-nilai keagamaan dalam perilaku kehidupan peserta didiknya secara intens dan konsisten dengan pengawasan sebagai manifestasi tanggung jawab secara ketat. Hubungan ideal antara pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah, seperti dikemukakan di atas, agaknya menjamin keterpaduan dalam merealisasikan fungsi-fungsi pendidikan nasional. Betapapun dalam prakteknya masih diperlukan strategi yang saling menguntungkan (mutualistik) bagi pengembangan kedua lembaga pendidikan itu, dengan kesadaran seperti ini dapat diyakini bahwa integrasi pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pendidikan pesantren, sebagaimana tampak dewasa ini, merupakan kecenderungan positif yang diharapkan bisa menepis beberapa kelemahan masing-masing. Demikian juga, sebaliknya, muatan-muatan pendidikan pesantren diintegrasikan ke dalam lingkungan pendidikan sekolah. Dari integrasi ini, sistem pendidikan yang paripurna bisa diharapkan muncul. Bagi pendidikan pesantren, integrasi semacam itu merupakan peluang yang sangat strategis untuk mengembangkan tujuan pendidikannya secara lebih aktual dan kontekstual. Hal ini telah diisyaratkan oleh sejumlah praktisi pendidikan di mana bahwa pesantren merupakan lembaga sosial yang hidup.

67

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

Materi pendidikan pesantren dan berbagai pendekatan yang dijalankan hendaknya dikaji dari relevansi kemasyarakatan dengan trend perubahannya. Sepanjang keyakinan dan ajaran agama Islam berani dikaji oleh watak zaman, program pendidikan pesantren tidak perlu ragu berhadapan dengan tuntutan hidup kemasyarakatan ini. Soalnya adalah: cukup mampukah kita "memberi arti" ajaran kita ini sejalan dengan watak zaman? Membuat pesantren hidup tidaklah berarti mengubah pendidikan pesantren dari corak agama, melainkan membawa persoalan nyata masyarakat ke dalam pesantren, mencoba memahami persoalan itu, dan mencari kemungkinan pemecahannya melalui pendasaran pada aspirasi-aspirasi ajaran agama dengan pedoman-pedoman keilmuan dan kemasyarakatan. 4 E. PERANAN PENDIDIKAN PESANTREN DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN NASIONAL 1. Peran Instrumental Upaya pendidikan secara nasional, tak pelak lagi, memerlukan saranasarana sebagai media untuk mengejewantahkan tujuan-tujuannya. Saranasarana itu, selain dibentuk secara formal seperti halnya gedung sekolah, juga dibentuk secara informal yang merupakan swadaya murni masyarakat. Pesantren yang tumbuh dan berkembang di Indonesia pada umumnya merupakan kreasi murni para kiai-ulama dalam usaha menciptakan sarana pendidikan. Dalam tataran inilah, peranan pesantren sebagai alat atau instrumen pendidikan nasional tampak sangat partisipatif-imansipatoris. Peranan instrumental pesantren demikian itu dalam kenyataannya memang cukup kuat, meskipun perkembangannya sampai dewasa ini masih sangat dibutuhkan lebih serius. 2. Peranan Keagamaan Pendidikan pesantren pada hakikatnya tumbuh dan berkembang sepenuhnya berdasarkan motivasi agama. Lembaga itu dikembangkan untuk mengefektifkan usaha penyiaran dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Dalam pelaksanaannya, pendidikan pesantren melakukan proses pembinaan pengetahuan, sikap, dan kecakapan yang menyangkut segi keagamaan. Tujuannya yang inti adalah mengusahakan terbentuknya manusia yang berbudi luhur (al-Akhlaq al-Karimah) dengan pengamalan keagamaan yang
4

M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, P3M, Jakarta, 1985, hal.

68

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

konsisten (istiqamah).Pendidikan nasional sendirinya bertujuan, antara lain, menciptakan manusia yang bertaqwa. Untuk kepentingan ini, pendidikan agama dikembangkan secara terpadu, baik melalui sekolah umum maupun madrasah. Di samping itu, sarana informal seperti pesantren diperlukan untuk kepentingan pendidikan karena ciri khas keagamaannya yang menonjol. 3. Peranan Memobilisasi Masyarakat Dalam kenyataannya, usaha-usaha pendidikan nasional secara formal belum mampu menampung seluruh hak pendidikan masyarakat Indonesia, di samping karena masih ada sebagian masyarakat yang kurang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan (sekolah), juga karena memang sarananya masih terbatas, terutama di pedesaan. Bagi masyarakat tertentu, terdapat kecenderungan yang memberikan kepercayaan pendidikan putraputrinya hanya kepada pesantren. Artinya, dalam usaha pendidikan, mereka lebih memilih pesantren daripada yang lain. Mungkin selain karena secara ekonomis terjangkau, mereka beranggapan bahwa pendidikan keagamaan seperti pesantren sangat dibutuhkan. Kenyataan ini tidak perlu di lihat secara sepihak dengan mengartikan bahwa pendidikan pesantren merupakan pendidikan alternatif yang menghambat perkembangan pendidikan formal. Justru, ia harus dijadikan bukti bahwa pendidikan pesantren memiliki masyarakat pendukungnya yang kuat, yang berarti mampu menggerakkan gairah pendidikan. Dengan mengukur pendidikan di pesantren, mereka akan memiliki kecerdasan dengan pengetahuan yang luas. Hal ini merupakan salah satu sumbangan pesantren bagi dunia pendidikan secara nasional. F. PERANAN PENDIDIKAN SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN NASIONAL Dalam konteks pendidikan nasional, pendidikan sekolah, paling tidak, memiliki tiga peran: peran instrumental, peran politik (ideologi), dan peran ketenagakerjaan. l. Peran Instrumental Pendidikan sekolah telah dibangun dengan intensif sekali, terdiri dari berbagai jenjang pendidikan, baik melalui usaha formal (pemerintah) maupun informal (swasta). hal ini menunjukkan peranannya yang menonjol sebagai sarana atau instrumen bagi pelaksanaan pendidikan nasional. Dengan pendidikan sekolah, pendidikan secara sistematis dapat dilakukan bagi masyarakat banyak. Sementara itu, bila dilihat dari segi efektivitas,

69

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

pendidikan sekolah juga sangat dirasakan sekali peranannya karena praktek pendidikannya yang terprogram dan jelas. 2. Peranan Politik (Ideologis) Pendidikan sekolah di Indonesia dikendalikan secara kuat oleh pemerintah sebagai suatu upaya untuk mengarahkan orientasi perkembangannya. Pendidikan sekolah dimaksudkan untuk dapat berperan dalam usaha mensukseskan pembangunan secara terus-menerus, terutama di bidang ideologi. Melalui pendidikan sekolah ini semua nilai kebangsaan relatif mudah dikembangkan dan disosialisasikan secara persuasif. Dengam penataan kurikulum yang sepenuhnya berpedoman pada dasar ideologi Pancasila, pendidikan sekolah - dalam kenyataannya - merupakan sarana yang efektif bagi pembinaan dan pengembangan kader-kader bangsa yang diharapkan akan mampu meneruskan usaha pembangunan dengan jiwa ideologi Pancasila. 3. Peranan Ketenagakerjaan Dalam sistem pendidikan sekolah selalu diupayakan pengembangan keterampilan siswa sesuai dengan bakat dan minatnya. Segala perlengkapan untuk meningkatkan siswa disediakan, terutama di lingkungan pendidikan formal kejuruan. Untuk melakukan usaha percepatan pencapaian hasil-hasil pembangunan, dibutuhkan sebanyak mungkin tenaga-tenaga kerja profesional. Meskipun dalam hal ini seringkali dihadapkan pada kenyataan sempitnya lapangan kerja, tetapi yang penting adalah bahwa pendidikan formal telah menyediakan calon tenaga kerja di segala bidang, betapapun kemampuan mereka masih harus dilatih secara khusus. Tenaga-tenaga kerja yang diciptakan pendidikan formal - selain digunakan dalam lapangan-lapangan teknologi - juga digunakan dalam lapangan-lapangan sosial, ekonomi, dan politik, termasuk administrasi pemerintahan.

70

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

G. P E N U T U P Uraian di atas sedikit banyak telah memperlihalkan secara teoretis bahwa pendidikan pesantren merupakan salah satu modal strategis dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Keterkaitannya secara konstruktif dengan pendidikan formal menunjukkan vitalnya integrasi dua sistem pendidikan yang sangat tinggi. Pendidikan pesantren memang menyimpan karakter yang cukup khas, tidak hanya dalam sistemnya, tetapi juga dalam peranannya. Sudah barang tentu, analisis teoritis ini masih belum sempurna. Tetapi, sebagai upaya yang sangat sederhana untuk menjembatani terwujudnya integrasi pendidikan pesantren - sekolah secara sungguh-sungguh, agaknya hal itu sangat berarti. Dominasi pendidikan formal dalam sistem pendidikan nasional sampai waktunya nanti akan dihadapkan pada dilema yang cukup kritis antara aspek ideologis dan teknologis. Pada kecenderungan inilah, pendidikan pesantren pasti akan diuji eksistensinya seputar ihwal apakah mampu menjadi sistem alternatif dalam pengertian kualitatif ataukah justru sebaliknya. Kesadaran akan tuntutan di atas, bakal ikut meyakinkan bahwa usaha pemaduan memang merupakan langkah yang strategis. Keterlibatan pesantren "secara formal" dalam sistem pendidikan nasional akan semakin mengukuhkan kemampuannya dalam meningkatkan kualitas manusia, baik hubungannya dengan Tuhan (habl min Allah) maupun korelasinya dengan sesamanya (habl min an-nas). Akan tetapi, yang pasti, untuk membuktikan secara praktis, idealitas pemaduan ini memerlukan waktu dan pemikiran mendalam.

71

Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah XI Kalimantan, Volume 3 No.4 Oktober 2005

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M., Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di lingkungan Sekolah dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang, t.t Catatan - catatan kuliah penulis pada PPs S2 Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung , 2001 Departemen Agama RI Dirjen Binbaga Islam, Pola Pembinaan Pendidikan Agama Islam Terpadu, Jakarta, 1997 Gunawan, H. Andi, Kebijaksanaan-Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1986 Jamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam , Pustaka Setia, Bandung, 1998 Rahardjo, M. Dawam, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985 Syam, Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1983

72

Anda mungkin juga menyukai