Anda di halaman 1dari 9

BAB I.

PENDAHULUAN

Keracunan adalah masuknya zat racun ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan, inhalasi atau kontak langsung yang menimbulkan tanda dan gejala klinis khas. Pada dasarnya semua zat kimia dapat menimbulkan keracunan tergantung pada jumlah dan caranya masuk ke dalam tubuh. Keracunan makanan adalah keracunan yang tersering sebelum masa penggunaan zat-zat kimia sebagai upaya manusia untuk menguasai dan mengendalikan alam. Istilah keracunan makanan digunakan dengan luas untuk semua penyakit yang disebabkan akibat pemasukan makanan yang mengandung toxin. Makanan (termasuk juga minuman) beracun disebabkan karena: (1) makanan tersebut memang mengandung zat-zat kimia yang berbahaya, misalnya singkong, jamur, dan sebagainya;(2) timbulnya zat beracun akibat proses penyimpanan, proses pemasakan dsb; (3) tercemar oleh zat racun baik dengan sengaja (tambahan zat pewarna, penyedap dan bahan kimia lainnya), maupun oleh mikroorganisme (Stafilokous, salmonella, dan lain-lain). Gejala klinis yang timbul sesuai dengan pengaruh zat racun yang terkandung pada sistem tubuh. Umumnya pada penyakit akibat keracunan makanan, gejala-gejala terjadi tak lama setelah menelan bahan peracun tersebut, bahkan dapat segera setelah menelan bahan beracun itu dan tidak melebihi 24 jam setelah tertelannya racun. Prinsip tatalaksana sama dengan tata laksana keracunan pada umumnya, yaitu eleminasi racun, pemberian antidotum, resusitasi dan tindakan suportif atau simtomatis.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI Istilah keracunan makanan digunakan dengan luas untuk semua penyakit yang disebabkan akibat pemasukan makanan yang mengandung toxin. Makanan (termasuk juga minuman) beracun disebabkan karena: 1. makanan tersebut memang mengandung zat-zat kimia yang berbahaya, misalnya singkong, jamur, dan sebagainya; 2. Timbulnya zat beracun akibat proses penyimpanan, proses pemasakan dsb 3. Tercemar oleh zat racun baik dengan sengaja (tambahan zat pewarna, penyedap dan bahan kimia lainnya), maupun oleh mikroorganisme (Stafilokous, salmonella, dan lainlain).

II.2. ETIOLOGI Keracunan makanan yang sering dijumpai di Indonesia adalah : 1. Keracunan singkong (Manihot Utilissima) 2. Keracunan jengkol (Pithecolobium lobatum) 3. Keracunan botulinum 4. Keracunan bakteri.

II.2.1 Keracunan Singkong (Cassava)

Epidemiologi Keracunann yang terjadi karena singkong ( Manihot utilissima) mengandung glikosida sianogenik linamarin (C10H17O6N) yang terbanyak terdapat pada lapisan luar. Zat ini terdiri dari glukosa, aseton, dan asam sianida (HCN). Singkong memiliki enzim linase yang dapat memecah kompleks ini dan melepaskan HCN sebagai zat bebas. Dalam jumlah kecil, asam HCN masih mampu dinetralkan oleh tubuh dengan diubah menjadi tiosianat. Kadar HCN dalam singkong selain tergantung pada jenisnya juga tergantung pada kelembapan, 2

ketinggian tanah, dan pemupukan.

Namun tidak semua orang yang makan singkong

menderita keracunan. Hal ini disebabkan selain kadar asam cyanida yang terdapat dalam singkong itu sendiri, juga dipengaruhi oleh cara pengoahannya sampai di makan. Diketahui bahwa dengan merendam singkong terlebih dahulu di dalam air dalam jangka waktu tertentu, kadar asam cyanida (HCN) dalam singkong akan berkurang oleh karena HCN akan larut dalam air. Selain menyebabkan terbentuknya siamethemoglobin, HCN juga menyebabkan keracunan protoplasmic dengan jalan melumpuhkan pernafasan sel. Asam sianida mengganggu enzim yang berkerja pada proses oksidasi dalam pernafasan sel sehingga sehingga pusat nafas pada medulla tidak berfungsi karena sel syaraf tidak dapat mengambil oksigen untuk pernafasan. Akibatnya akan terlihat pada permukaan suatu tingkat stimulasi daripada susunan saraf pusat yang disusul oleh tingkat depresi dan akhirnya timbul kejang oleh hypoxia dan kematian oleh kegagalan pernafasan. Kadang-kadang dapat timbul detak jantung yang ireguler. Darah vena pasien berwarna merah certah seperti darah arteri akibat ketidakmampuan jaringan mengambil oksigen. Pemberian oksigen tidak hanya bersifat suportif namun juga sebagi antidotum karena menimbulkan kompetisi pada kemoreseptor.

Tanda dan Gejala Klinis Tanda serta gejala klinis tegantung pada jumlah kandungan HCN dalam singkong. Adanya HCN dalam jumlah besar akan mengakibatkan kematian dalam waktu singkat akibat gagal nafas. Biasanya gejala akan timbul beberapa jam setelah makan singkong. Pasien mula-mula merasa panas pada perut, mual, pusing, sesak, dan lemah. Pernafasan cepat dengan inspirasi yang pendek dan bau nafas dari muntahan yang khas (bau bitter almond) Rasa sesak disusul dengan pingsan, kejang yang akhirnya pasien jadi lemas, berkeringat, mata menonjol dengan pupil melebar, tanpa reaksi. Busa pada mulut tercampur warna darah dan warna kulit menjadi merah bata (untuk kulit warna terang) dan sianosis biasanya tidak tampak.

Dengan uji guinard kita dapat menguji singkong yang disangka, dengan melihat perubahan warna asam pikrat yang kuning menjadi kemerahan dalam waktu 15 menit sampai 3 jam.

Diagnosa Diagnosa keracunan singkong ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik

dananamnesa makanan, ditopang oleh data laboratorik hasil pemeriksaan contoh muntahan dan bahan makanan yang tersisa.

Tatalaksana Tatalaksana pad aumumnya sama dengan keracunan yang lain yaitu, eliminasi dengan jalann muntah atau bilas lambung, menghalangi penyerapan racun lebih lanjut dan pemberian antidotum. Amil atau natrium nitrit dan Na-tiosulfat berkerjasama dengan berptensiasi dalam proses detosifikasi. Bila mathemogloblin cukup banyak (dengan pemberian Na-nitrit), at ini akan mampu mengikat NaCN sehingga terbentuk tionisat yang stabil dan tidak toksik yang dikeluarkan oleh tubuh lewat paru, air ludah dan kencing. Na-tiosulfat diberikan dalam konsentrasi 10% secara i.v. diberikan pelan-pelan, dengan dosisi sekitar 0,5 ml/kgBB/kali (sekitar 10-50ml) dan natrium nitrit 3% ml, i.v. pelan-pelan. Bila Na-nitrit tidak tersedia, Na-tiosulfat biasanya sudah cukup.

Rusisitasi dan Suportif Selain pemasangan cairan intravena, pemberian oksigen sangat penting mengingat kaitan enzim feritokrom oksidase dengan sianida berifat kompetitif dengan oksigen. Bila diberikan oksigen dengan tekanan tinggi (hyperbaric/ CPAP) maka fungsi oksigen tidak saj asuportif tetapi juga sebagi antidotum yang baik.

II.2.2 Keracunan Jengkol Epidemiologi Keracunan jengkol (Pithecolobium lobatum) ini merupakan keracunan yang sering terjadi di daerah Jawa Barat, karena jengkol sangat digemari di daerah tersebut. Faktor lain 4

yang mendukung timbulnya keracunan antara lain adalah musim, jenis/varietas pohon maupun tanah tempat penanaman, makanan lain yang dimakan bersama jengkol, jumlah biji yang dimakan, faktor alergi, dan sebagainya. Keracunan dapat dicegah dengan memasak biji jengkol ini dengan soda atau bikarbonat lain. Van Veen dan Hyman (1933) mendapatkan bahwa jengkol berisi jengkolat, suatu asama amino yang mengandung belerang, jengkol (Pithecolobium lobatum) sangat berbeda dengan pete (parkia speciosa), karena pete tidak mengandung asam jengkol. Timbulnya keracunan tidak bergantung dari jumlah biji jengkol yang di makan dan apakah jengkol itu dimakan mentah atau di masak lebih dahulu. Demikian juga tidak ada hubungan dengan muda atau tuanya biji jengkol yang di makan. Van Veen dan Hyman berkesimpulan bahwa timbulnya gejala keracunan tergantung dari kerentanan seseorang terhadap asam jengkol. Meskipun belum jelas patogenesisnya, namun diperkirakan keracunan ini disebabkan karena bertumpuknya asam jengkolat dalam bentuk Kristal pada tubuli ginjal, uretra, dan ureter. Pada anak keluhan mulai timbul 5-12 jam setelah makan.

Tanda dan Gejala Klinis Gejala yang timbul disebabkan oleh hablur (kristal) asam jengkol yang menyumbat tractus urinarius. Keluhan pada umumnya timbul dalam waktu 5-12 jam setelah memakan jengkol. Gejala klinis yang sering terjadi adalah sakit pinggang, nyeri perut, muntah, sakit waktu kencing, dan disusul air kemih yang keluar sedikit-sedikit dengan butir-butir putih, urin berbau jengkol dengan hematuria, oliguria sampai anuria, muntah, pegal, infiltrate pada penis, skrotum, daerah suprabik, dan sekitarya dan asites tidak ditemukan pada anak dan dapat terjadi gagal ginjal akut. Pada pemeriksaan urine dengan mikroskop dapat ditemukan hablur asam jengkolat berupa jarum runcing yang kadang-kadang bergumpal menjadi ikatan atau berupa roset.

Tatalaksana Tatalaksana kasus ini adalah eliminasi racun dengan pementuhan dan bilas lambung, antidotum yang khas tidak ada. Bila keracunan ringan, cukup rawat jalan dengan anjuran minum banyak dengan air soda atau natrium bikarbonat, diberikan natrium bikarbonat 1-2 gram sehari per oral dibagi dalam 4 dosis, sehingga pH urin menjadi alkaslis (sekitar pH 8). 5

Pemberian cairan intravena dilakukan bila pasien tidak dpaat minum banyak. Bila gagal ginjal akut, dianjurkan untuk dialisis, baik hemodialis maipun peritoneal.

II.2.3. Keracunan Botulisme Epidemiologi Proses pembuatan tempe bongkrek sering terjadi kontaminasi oleh Clostridioum Botulinum dan atau bacteria cocovenans yang mampu mengubah gliserin menjadi racun toksoflavin. Toksin botulinum adalah neurotoksin (eksoktoksin) yang dikeluarkan oleh Cl. Botulinum. Kuman anaerob ini tumbuh dalam media minyak, daging, ikan yang tidak sempirna diporses atau diawetkan dan dijual dalam kaleng. Toksin ini menyebabkan hambatan implus saraf pada motor endplate dan mengabitkan kelumpuhan. Selain itu juga terjadi perdarahan pada saraf pusat dan proses degenerative pada hati dan ginjal.

Tanda dan Gejala Klinis Gejala timbul setelah 12-48 jam. Gejala klinis antara lain kelainan pada mata, kelumpuhan otot mata, kelumpuhan nervi kranialis secara sistematis, disfagia atau disartria, kelumpuhan menyeluruh termasuk kelumpuhan otot pernafasan, muntah terjadi pada permulaan penyakut dan seringkali hebat. Kematian bisa timbul dari 1 -8 hari.

Tatalaksna Eliminasi racun dengan jalan bilas lambung, obat pencahar Bila depresi nafas memberat, perlu dilakukan pernafasan mekanik buatan tanda vital membaik kembali Antidotum yang dianjurkan adalah antotoksin botulisme secara intravena 10-5- ml setelah dilakukan tes kulit Sering diberikan kuanidin hodroklorida untuk melawan blockade neuromuskulat dengan dosis 15-35 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis.

II.2.3. Keracunan Makanan Tercemar Bakteri Epidemiologi Enterotoksin dilepas pada saat kuman Salmonella atau Stafulokokus tumbuh dalam suhu hangat. Toksin terdiri dari protein dan mudah dihancurkan dengan panas. Makanan yang menyebabkan keracunan antara lain: sosis, ika, ham, susu dan pada pesta yang besar, gado-gado, atau salad sengan saus (dressing: vla, dsb). Tanda dan Gejala Klinis Gejala klinis utama adalah muntah dan diare yang timbul 3-6 jam setelah makanan ditelan, berlanjut sampai 12-24 jam dan kemudian mereda. Kadang-kadang timbul nyeri otot hebat, demam, dehidrasi, dan kaku otot. Tatalaksana Tatalaksana terutama bersifat suportif dan simtomatis dengan pemberian cairan secara intravena dan pemberian obat untuk meredam gerakan usus. Makanan yang mengandung susu, telur, daging yang tidak segera dimakan harus dipanaskan kembali selama 15 menit untuk menghancurkan toksin tersebut.

BAB.III KESIMPULAN

Bahan yang bersifat racun dapat terbawa didalam makanan dan ikut dikonsumsi sehingga terjadi apa yang disebut keracunan makanan (food poisoning). Pada penyakit keracunan makanan pada umumnya gejaa-gejala terjadi tak lama setelah menelan bahan beracun tersebut, bahkan dapat segera setelah menelan bahan beracun itu dan tidak melebihi 24 jam setelah tertelannya racun. Gejala-gejala terutama bersangkutan dengan saluran pencernaan, juga menyerang susunan saraf. Kematian sering terjadi karena hambatan pernafasan atau ambatan kerja jantung. Keracunan makanan yang sering dijumpai di Indonesia adalah : 1. Keracunan singkong (Manihot utilissima) 2. Keracunan jengkol (Pithecolobium lobatum) 3. Keracunan Botulisme 4. Keracunan makanan yang tercemar bakteri.

DAFTAR PUSTAKA

Soedarno Sumarmo S, Garna H, et al. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri tropis edisi kedua. Badan penerbit IDAI.2002: Hal: 503-506 www. Emedicine.medscape.com Pudijiadi, solihin. 2000. Ilmu gizi klinis pada anak Ed.4. Jakarta; Gaya baru Sediaoetama Achrnad Djaeni Prof.Dr, 1989. Ilmu gizi , Jilid II, Dian Rakyat, Jakarta, Hal: 159 -181. Hasan Rusepno, dr, dkk, 1985. Ilmu Kesehatan Anak , Edisi Ketiga, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Hal: 967 -973. Kartika Dina et.al. Buku Saku Anak Pediatricia. Jogjakarta: Tosca Enterprise; 2010 Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 1.Jakarta:EGC.) Juffrie M, Soenarto S, et al. Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi Jilid 1. Badan penerbit IDAI

Anda mungkin juga menyukai