Anda di halaman 1dari 5

Week 11 Menyoal Efektivitas Masyarakat Sipil Global Chriscahyanti Sofi Yustisia/070912025 Setelah membahas mengenai peran, strategi, hingga

target

masyarakat sipil global, bahasan kali ini melihat apakah keseluruhannya efektif, kurang efektif, belum efektif atau sangat efektif. Kembali pada arti dari masyarakat sipil global, Jan Art Scholte dalam Amoore&Langley (2004:94) melihatnya sebagai aktivitas yang sukarela dengan tujuan untuk membentuk kebijakan, norma, ataupun struktur sosial yang lebih dalam dan dapat dibedakan dari sektor komersial dan politis. Asumsi ini mengenai keberadaan MSG menurut Scott Turner (1998) berbeda dengan pandangan realisme yang menkonsentrasikan kekuatan negara sebagai aktor utama. Namun ketika negara tidak mampu bertindak untuk menyediakan public goods dan bersifat amoral, maka peran tunggal tersebut mulai bergeser oleh adanya pergerakan sosial di akhir abad 19. Pada saat itu, masyarakat sipil global berusaha untuk mengubah kebijakan negara dengan langkah kekerasan dan non-partai serta penggunaan media untuk menciptakan opini publik. Ketika melihat bahwa masyarakat sipil global berasal dari pergerakan masyarakat sipil yang dengan adanya globalisasi mengakibatkan kesalingterhubungan, bentukbentuk dari masyarakat sipil juga mulai memiliki jaringan global tidak lagi identik dengan gerakan-gerakan grassroot yang menggunakan kekerasan tetapi ditunjukkan dalam 3 tren, 1) WTO, G-7, World Bank, IMF; 2) asosiasi profesional, 3) Greenpeace, Oxfam (Amoore&Langley,2004). Mereka memiliki struktur dan organisasi juga societal space, yang didalamnya terdapat pengaturan independen dan demokrasi. Dari 3tren tersebut, masyarakat sipil global tidak hanya dilihat dari golongan yang antiglobalisasi, anti-neoliberalisasi saja, ketika WTO, World Bank, IMF disebut sebagai MSG tentu mereka bukanlah agen yang menentang neoliberalisasi ataupun anti globalisasi, mereka justru melakukan neoliberalisasi dalam agendanya. Namun masyarakat sipil global sekarang ini lebih dipandang sebagai tren yang ke-3 dimana mereka bukan lagi negara, tetapi masyarakat sipil dari tiap negara secara individu dan bergabung dalam

suatu NGO dan mereka lebih banyak melakukan tindakan sosial seperti membawa proyek pembangunan, membantu pengungsi, dsb dalam usaha membentuk kebijakan internasional. Namun antara NGO dan agen neoliberal juga terdapat komunikasi karena mereka mengerti bahwa peran NGO ini mampu meningkatkan awareness publik mengenai aktivitasaktivitas agen neoliberal. Dengan begitu, dalam kuliah Masyarakat Sipil Global (1/6/2012), Irfa Puspitasari mengungkapkan peran mereka dapat dikategorisasi menjadi 1) agen demokrasi seperti pada awal masyarakat sipil didalam suatu negara; 2) kelompok penekan, atau alter negara dan institusi global; 3) agen globalisasi. Kamus Oxford Learner mengartikan effective sebagai hasil produksi yang diinginkan. Apa yang diinginkan oleh MSG dapat dilihat dari targettarget mereka, baik dalam skala global seperti demokratisasi, persamaan gender, mengurangi kemiskinan, perubahan struktur; maupun privat seperti perubahan perilaku, pemberdayaan, ingin didengar bahkan melakukan hal-hal radikal. Untuk memudahkan melihat ke-efektifan itu sendiri, masyarakat sipil global seharusnya mampu 1) menjelaskan kebutuhan masyarakat; 2) menentukan target rasional; 3) menyediakan strategi dengan modal yang sesuai dan selaras; 4) berkontribusi nyata pada perubahan kebijakan, norma, atau struktur; 5) dapat mempromosikan diri dan mendapat respon positif dari masyarakat; 6) serta mendorong peran aktif MSG lain(PowerPointPresentation,2012). Dari ke-6 hal tersebut, dapat dilihat keberadaan MSG dalam mengusung agendanya sudah efektif atau belum cukup efektif. Jika sudah dikatakan efektif dalam menyediakan apa yang tidak mampu disediakan negara, wacana bahwa MSG dapat menggantikan peran negara masih jauh dari realisasi terkait dengan akuntabilitas MSG. Dimana ketika MSG tersebut tidak memiliki akuntabilitas untuk mencapai targetnya, mereka menggunakan pihak-pihak yang memiliki otoritas sebagai strategi. Selain itu Scott Turner juga menyebutkan bahwa, MSG harus dibedakan dengan upaya-upaya menjadi negara baru (Turner,1998). World Social Forum dan Greenpeace di Kalimantan

World Social Forum (WSF) dan Greenpeace merupakan bentuk dari MSG yang bergerak dibidang yang berbeda. WSF bergerak diisu menentang globalisasi neoliberal, sedangkan Greenpeace bergerak diisu lingkungan. Jika WSF hanya sebuah forum yang dihadiri oleh berbagai macam NGO, Greenpeace merupakan salah satu NGO yang memiliki struktur dan organisasi yang lebih jelas dibanding WSF. Kedua-duanya sama-sama melakukan pergerakan, namun WSF disini mengalami stagnansi dibanding Greenpeace yang memiliki agenda-agenda mengenai isu lingkungan secara global namun diaplikasikan secara lokal sebagai target privat mereka. Terkait penebangan hutan yang dilakukan oleh Asia Pulp Paper di hutan Indonesia, Greenpeace mensasar konsumen APP yaitu KFC dengan menggunakan media agar APP dapat melakukan deregulasi kegiatan penebangannya, juga mendesak pemerintah untuk melakukan kebijakan pemeliharaan hutan tropis Indonesia. Namun sayang, langkah-langkah tersebut belum mendapat respon dari pemerintah Indonesia akan tindakan yang dilakukan oleh APP, respon justru datang dari KFC itu sendiri dengan mengubah kemasan nasi yang digunakan untuk menunjukkan bahwa mereka menggunakan bahan-bahan daur ulang dan APP itu sendiri dengan menerapkan prinsip pelestarian hutan konservasi tinggi dan memindahkan kegiatan penebangan dari area konsesi ke areal hutan tanaman industri (www.bisniskeuangan.kompas.com). Tindakan yang dilakukan Greenpeace ini ingin memperkuat Morotarium Pemberian Ijin Baru Pembukaan Hutan dalam Inpres No.10 tahun 2011 yang selama setahun telah diberlakukan dan digagas oleh Greenpeace dan organisasi sipil lainnya (www.greenpeace.org). Jika APP melanggar komitmen dan tetap melakukan penebangan, respon datang dari National Geographic yang tidak akan menggunakan kertas dari APP, begitu pula Danone untuk merk Nutricia (www.greenepeace.org). Pengangkatan isu dengan sasaran APP dan KFC ini merupakan salah satu strategi yang dilakukan agar perbaikan isi dan pelaksanaan morotarium dilaksanakan setidaknya sesuai dengan agenda Greenpeace, yaitu reboisasi hutan dan tata kelola hutan untuk jangka panjang. Adanya respon-respon dari KFC maupun APP ini menunjukkan bahwa Greenpeace cukup efektif untuk meningkatkan pelestarian hutan di

Indonesia dengan mengubah sikap korporasi, sebagai salah satu cara untuk melestarikan lingkungan (target global). Sementara WSF yang sudah dihelat setiap tahunnya dan berpindah tempat belum menunjukkan signifikansi keberadaan mereka dalam menchallenge neoliberalisasi. Solidaritas global yang dibentuk belum dapat dirasakan dampaknya, sehingga WSF dianggap stagnan. Ada beberapa kritik yang menyebutkan bahwa stagnansi WSF dikarenakan oleh tidak jelasnya target perlawanan, karena mereka berada dalam level global, sehingga tembok yang menghalangi usaha mereka jauh lebih besar. Faktor kedua adalah proporsionalitas didalam WSF, juga absennya otoritas dan ketergantungan akan pihak eksternal (Wiyatmoko,2010). Disamping stagnansi yang terdapat dalam WSF untuk memberikan perubahan dan pencapaian tujuannya, masuknya kelompok alter-globalisasi menunjukkan bahwa WSF dalam skala besar mampu mendorong peran MSG lainnya. Bukan berarti stagnansi WSF dikatakan sebagai bentuk MSG yang tidak efektif, hanya saja diperlukan strategi-strategi nyata dalam lingkup yang lebih sempit seperti dengan adanya target-target privat misalnya. Kesimpulan Menyoal efektivitas MSG tidak dapat dijawab dengan iya dan tidak, semuanya dapat diukur dengan skala tertentu, juga proses menuju ke tujuan akhir. Tiap-tiap MSG memiliki isu yang berbeda dan strategi yang berbeda. Sehingga ketika efektif pada satu isu ditempat tertentu, belum tentu efektif ditempat lainnya, semuanya bergantung pada faktor determinan ditiap negara tersebut berbeda-beda. Bukan berarti, belum adanya dampak dari suatu MSG dapat dikatakan bahwa MSG tersebut tidak efektif, namun belum efektif dan membutuhkan perubahan-perubahan strategi ataupun penguatan organisasi, sehingga mereka mampu menyuarakan isu yang dianggap membutuhkan kebijakan global. Peran MSG disini tidak menggantikan negara, namun mensubtitusi hal-hal yang tidak mampu diberikan oleh negara. Dengan adanya gerakan-gerakan dari MSG ini membuat politik global memerintah dengan cara lain, yang tentunya aktor tidak hanya negara dan pasar.

Referensi Amoore, Louise, dan Paul Langley, 2004. Ambiguities of Global Civil Society. Review of International Studies, Vol. 30, No. 1, 89-110. Cambridge University Press. Dalam http://www.jstor.org/stable/20097900 [diakses pada 31 November 2011]. Wiyatmoko, B. Aswin, 2009. World Social Forum: Analisis Strategi dan Stagnasi Tahun 2001-2008. Skripsi S1 Departemen Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Airlangga, Surabaya. http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/moratorium-penyelamat-hutan-indonesia/blog/40462/ diakses 8 Juni 2012 pk 21.00 http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/bukti-laporan-skandal-app-kami-serahkankepad/blog/39352/ diakses 8 Juni 2012 pk 21.00 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/06/00521393/Riau.Apresiasi.APP.Terapkan.Pe lestarian.Hutan diakses 8 Juni 2012 pk 21.00 Power Point Presentation,2012, Efektivitas Masyarakat Sipil Global: 1 Juni 2012

Anda mungkin juga menyukai