Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI ANALISIS BAHAN BAKU DAN UJI BATAS LOGAM BERAT DARI ASETAMINOFEN

Kelompok 5 Iin febrianti Rydo Pratama P Silvia Rebecca Devy Novinda Dinar Azzahra 260110090074 260110090075 260110090076 260110090077 260110090078

Dosen Pembimbing : Sandra Megantara M,Si. Apt.

LABORATORIUM ANALISIS FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2012

ANALISIS BAHAN BAKU DAN UJI BATAS LOGAM BERAT DARI ASETAMINOFEN

I. TUJUAN 1. Menganalisis bahan baku asetaminofen sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Farmakope Indonesia 2. Menguji kadar logam berat dalam asetaminofen dengan metode titrasi kompleksometri berdasrakan syarat yang terdapat dalam Farmakope Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA Monografi

Nama kimia Rumus molekul Berat molekul Kandungan

: 4-Hidroksiasetanilida : C8H9NO2 : 151,16 : Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98% dan tidak

lebih dari 101% C8H9NO2, Pemerian Kelarutan : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N : Titik lebur antara 168o dan 172o; : Tidak lebih dari 0,1%; : Tidak lebih dari 0,1% :6

; mudah larut dalam etanol) Sifat fisika Sisa pemijaran Kadar air PH

Kadar timbal

: Kurang dari 0,001 % (DepKes RI, 1979).

Analisis kualitatif yang berhubungan dengan identifikasi suatu zat atau campuran yang tidak diketahui. Walaupun analisis kualitatif sudah banyak ditinggalkan, namun analisis kualitatif ini merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan konsep-konsep dasar yang telah dipelajari dalam kimia dasar. Analisis kualitatif senyawa obat tentang identifikasi suatu zat fokus kajiannya adalah unsur apa yang terdapat dalam suatu sampel. Untuk memudahkan dalam suatu identifikasi, sebaiknya senyawa obat yang diidentifikasi ditentukan dahulu struktur kimia organiknya sehingga kita dapat mengetahui golongan unsur, analisis gugus, unsur-unsur penyusun senyawa (C, N, S, P atau halogen) dari senyawa obat, kemudian memudahkan kita untuk mengetahui sifat-sifat kimia seperti kelarutan (Auterhoff dan Kovark, 1978). Atom-atom dalam suatu molekul tidaklah diam, melainkan bervibrasi atau bergetar. Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang menghubungkan dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan oleh pegas (Hendayana, 1994). Bila radiasi Infra Merah dilewatkan melalui suatu cuplikan (dapat berupa padatan / cairan murninya), maka molekul-molekul dapat menyerap energi radiasi, sehingga terjadi perubahan tingkat vibrasi, yakni dari tingkat dasar atau ground state ke tingkat vibrasi tereksitasi atau exited state (Khopkar, 1984). Spektrofotometri Infra Red atau Infra Merah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75 1.000 m atau pada Bilangan Gelombang 13.000 10 cm-1. Radiasi elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clark Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang elektromagnetik, artinya mempunyai vektor listrik dan vektor magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan (Christian, 1994). Spektrokopi IR digunakan untuk penentuan struktur, yakni informasi penting tentang gugus fungsional suatu molekul. Penentuan struktur ini dilakukan dengan

melihat plot apektrum IR yang terdeteksi oleh alat spektrofotometer IR. Spektrum ini menyatakan jumlah radiasi IR yang diteruskan melalui cuplikan sebagai fungsi frekuensi atau bilangan gelombang. Semakin rumit struktur suatu molekul, semakin banyak bentuk-bentuk vibrasi yang meungkin terjadi. Akibatnya kita akan melihat banyak pita-pita absorpsi yang diperoleh pada spektrum IR. Perlu diketahui bahwa atom-atom dengan massa rendah cenderung lebih mudah bergerak dibanding atom dengan massa atom lebih tinggi, contohnya adalah vibrasi yang melibatkan atom hidrogen sangat berarti (Hendayana, 1994). Dalam spektrofotometer, mula-mula sinar infra merah dilewatkan melalui sampel dan larutan, kemudian dilewatkan pada monokromator untuk menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray radiation). Berkas sinar ini kemudian didespersikan melalui prisma atau grating. Dengan melewatkannya melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor yang akan mengubah berkas sinar menjadi sinyal listrik yang selanjutnya direkam oleh rekorder (Tarigan, 1986). Analisis identifikasi gugus fungsi dilakukan dengan mengidentifikasi karakteristik spektrum ikatan tertentu, mialnya spektrum IR ikatan C=O terletak pada
-1

1700 cm , bentuknya runcing (tajam) ata7u dikatakan spektrum kuat. Spektrum vibrasi OH terletak sekitar 3500 cm , pada umumnya berikatan hidrogen sehingga melebar. Spektrumnya tidak tajam. Bila ada ikatan C=O dan gugus OH maka dimungkinkan senyawa adalah asam (Hendayana, 1994). Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu vibrasi regangan (stretching) dan vibrasi bengkokan (bending). Dalam vibrasi regangan, atom bergerak terus sepanjang ikatan yang menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan ada dua macam, yaitu Regangan Simetri (unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu bidang datar) dan Regangan Asimetri (unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah tetapi masih dalam satu bidang datar) (Harvey, 2000).
-1

Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu Vibrasi Goyangan (Rocking - unit struktur bergerak mengayun asimetri tetapi masih dalam bidang datar), Vibrasi Guntingan (Scissoring - unit struktur bergerak mengayun simetri dan masih dalam bidang

datar), Vibrasi Kibasan (Wagging - unit struktur bergerak mengibas keluar dari bidang datar), dan Vibrasi Pelintiran (Twisting - unit struktur berputar mengelilingi ikatan yang menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang datar) (Harvey, 2000). Gugus C-H C-H C-H C-H C=C C=C C-O Jenis Senyawa alkana alkena aromatik alkuna Alkena aromatik (cincin) alkohol, eter, asam karboksilat, ester aldehida, keton, asam karboksilat, ester alkohol, fenol (monomer) alkohol, fenol (ikatan H) asam karboksilat amina Daerah Serapan (cm-1) 2850-2960, 1350-1470 3020-3080, 675-870 3000-3100, 675-870 3300 1640-1680 1500-1600 1080-1300

C=O O-H O-H O-H N-H

1690-1760 3610-3640 2000-3600 (lebar) 3000-3600 (lebar) 3310-3500

C-N -NO2

Amina Nitro

1180-1360 1515-1560, 1345-1385 (Harvey, 2000).

Instrument yang sangat sederhana untuk absorpsi UV-Vis Moleculer adalah filter fotometer yang menggunakana filter absorpsi atau interferens untuk mengisolasi pita radiasi. Filter ditempatkan diantara sumber dan sampel untuk mencegah sampel terdekomposisi ketika terpapar radiasi energi tinggi. Fotometer filter memiliki jalur optik tunggal antara sumber dan detektor sehingga disebut single beam instrument.Instrumen dikalibrasi menjadi 0% T sementara menggunakan shutter

unutk memblok sumber radiasi dari detektor. Setelah shutter dilepaskan, instrumen dikalibrasi menjadi 100 % T menggunakan blanko sesuai. Blanko kemudian diganti dengan sampel dan transmitansnya diukur. Karena kekuatan kejadian sumber dan sensitivitas detektor bervariasi dengan panjang gelombang, fotometer harus dikalibrasi kembali kapan pun filter diubah. Kelebihan dari fotometer ini adalah murah, mudah dirawat, dan keras, dan portable sehingg adapat dilakukan analisis di lapangan. Kekurangannya adalah instrumen ini tidak dapat digunakan untuk memperoleh spektrum absorpsi (Harvey, 2000).

Skema filter fotometer dengan shutter (Harvey, 2000). Instrumen menggunakan monokromator sebagai pemilih panjang gelombang disebut spektrometer. Dalam sepektroskopi absorbansi, ketika transmitan adalah perbandingan rasio dari dua kekuatan radian maka disebut spektrofotometer. Spektrofotometer paling sederhana adalah single beam instrument yang dilengkapi

dengan monokromator fixed wavelength . Single beam spectrophotometer dikalibrasikan dan digunakan dengan cara yang sama seperti fotometer. Karena lebar pita nya efektif cukup besar, instrument ini lebih cocok untuk kuantitatif analisis daripada kualitatif analisis. Akurasi single beam spectrophotometer terbatas oleh stabilitas sumber dan detektornya (Harvey, 2000).

Skema single beam spectrophotometer (Harvey, 2000). Limitasi dari fixed-wavelength single-beam spectrophotometers

diminimalisasi dengan menggunakan double-beam in-time spectrophotometer. Chopper mengontrol jalur radiasi dan mengubahnya atara sampel, blanko, dan shutter. Prosesor signal menggunakan chopper yang diketahui kecepatan rotasinya untuk memisahkan signal yang sampai ke detektor karena transmisi dari blanko dan sampel. Lebar pita efektif double-beam spectrophotometer dikontrol oleh celah yang dapat diatur pada monokromator masuk dan keluar. Lebar pita efektif adalah antara 0.2 nm dan 3.0 nm. Monokoromator scanning menyediakan pencatatan spektrum secara otomatis. Instrumen double beam lebih cakap dibandingkan single beam instrument karena dapat digunakan untuk quantitative maupun kualitatif namun lebih mahal. Desain instrumen didesain menggunakan detektor single dan dapat memonitor hanya satu panjang gelombang dalam satu waktu. Fotodiode linear tersusun atas detektor multiple atau channels, membuat seluruh spektrum dicatat sebagai 0.1 s. Fotodiode diletakkan pada focal plan (Harvey, 2000).

Skema double beam in time spectrophotometer (Harvey, 2000). Titrasi kompleksometri yaitu titrasi berdasarkan pembentukan persenyawaan kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion), Kompleksometri merupakan jenis titrasi dimana titran dan titrat saling mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksireaksi pembentukan kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga banyak, tidak hanya dalam titrasi. Karena itu perlu pengertian yang cukup luas tentang kompleks, sekalipun disini pertama-tama akan diterapkan pada titrasi. Contoh reaksi titrasi kompleksometri : Ag+ + 2 CN- Ag(CN)2 Hg2+ + 2Cl- HgCl2 (Khopkar, 2002). Salah satu tipe reaksi kimia yang berlaku sebagai dasar penentuan titrimetrik melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau ion kompleks yang larut namun sedikit terdisosiasi. Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang dibentuk melalui reaksi ion logam, sebuah kation, dengan sebuah anion atau molekul netral (Basset, 1994). Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi pembentukan ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul netral yang

terdisosiasi dalam larutan. Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian adalah tingkat kelarutan tinggi. Selain titrasi komplek biasa seperti di atas, dikenal pula kompleksometri yang dikenal sebagai titrasi kelatometri, seperti yang menyangkut penggunaan EDTA. Gugus-yang terikat pada ion pusat, disebut ligan, dan dalam larutan air, reaksi dapat dinyatakan oleh persamaan : M(H2O)n + L = M(H2O)(n-1) L + H2O (Khopkar, 2002). Asam etilendiamin tetraasetat atau yang lebih dikenal dengan EDTA, merupakan salah satu jenis asam amina polikarboksilat. EDTA sebenarnya adalah ligan seksidentat yang dapat berkoordinasi dengan suatu ion logam lewat kedua nitrogen dan keempat gugus karboksil-nya atau disebut ligan multidentat yang mengandung lebih dari dua atom koordinasi per molekul, misalnya asam 1,2diaminoetanatetraasetat (asametilenadiaminatetraasetat, EDTA) yang mempunyai dua atom nitrogen penyumbang dan empat atom oksigen penyumbang dalam molekul (Rival, 1995). Suatu EDTA dapat membentuk senyawa kompleks yang mantap dengan sejumlah besar ion logam sehingga EDTA merupakan ligan yang tidak selektif. Dalam larutan yang agak asam, dapat terjadi protonasi parsial EDTA tanpa pematahan sempurna kompleks logam, yang menghasilkan spesies seperti CuHY-. Ternyata bila beberapa ion logam yang ada dalam larutan tersebut maka titrasi dengan EDTA akan menunjukkan jumlah semua ion logam yang ada dalam larutan tersebut (Harjadi, 1993). Selektivitas kompleks dapat diatur dengan pengendalian pH, misal Mg, Ca, Cr, dan Ba dapat dititrasi pada pH = 11 EDTA. Sebagian besar titrasi kompleksometri mempergunakan indikator yang juga bertindak sebagai pengompleks dan tentu saja kompleks logamnya mempunyai warna yang berbeda dengan pengompleksnya sendiri. Indikator demikian disebut indikator metalokromat. Indikator jenis ini contohnya adalah Eriochrome black T; pyrocatechol violet; xylenol orange; calmagit;

1-(2-piridil-azonaftol), PAN, zincon, asam salisilat, metafalein dan calcein blue (Khopkar, 2002). Satu-satunya ligan yang lazim dipakai pada masa lalu dalam pemeriksaan kimia adala ion sianida, CN-, karena sifatnya yang dapat membentuk kompleks yang mantap dengan ion perak dan ion nikel. Dengan ion perak, ion sianida membentuk senyawa kompleks perak-sianida, sedangkan dengan ion nilkel membentuk nikelsianida. Kendala yang membatasi pemakaian-pemakaian ion sianoida dalam titrimetri adalah bahwa ion ini membentuk kompleks secara bertahap dengan ion logam lantaran ion ini merupakan ligan bergigi satu (Rival, 1995). Titrasi dapat ditentukan dengan adanya penambahan indikator yang berguna sebagai tanda tercapai titik akhir titrasi. Ada lima syarat suatu indikator ion logam dapat digunakan pada pendeteksian visual dari titik-titik akhir yaitu reaksi warna harus sedemikian sehingga sebelum titik akhir, bila hampir semua ion logam telah berkompleks dengan EDTA, larutan akan berwarna kuat. Kedua, reaksi warna itu haruslah spesifik (khusus), atau sedikitnya selektif. Ketiga, kompleks-indikator logam itu harus memiliki kestabilan yang cukup, kalau tidak, karena disosiasi, tak akan diperoleh perubahan warna yang tajam. Namun, kompleks-indikator logam itu harus kurang stabil dibanding kompleks logam-EDTA untuk menjamin agar pada titik akhir, EDTA memindahkan ion-ion logam dari kompleks-indikator logam ke kompleks logam-EDTA harus tajam dan cepat. Kelima, kontras warna antara indikator bebas dan kompleks-indikator logam harus sedemikian sehingga mudah diamati. Indikator harus sangat peka terhadap ion logam (yaitu, terhadap pM) sehingga perubahan warna terjadi sedikit mungkin dengan titik ekuivalen. Terakhir, penentuan Ca dan Mg dapat dilakukan dengan titrasi EDTA, pH untuk titrasi adalah 10 dengan indikator eriochrome black T. Pada pH tinggi, 12, Mg(OH)2 akan mengendap, sehingga EDTA dapat dikonsumsi hanya oleh Ca2+ dengan indikator murexide (Basset, 1994). Kesulitan yang timbul dari kompleks yang lebih rendah dapat dihindari dengan penggunaan bahan pengkelat sebagai titran. Bahan pengkelat yang

mengandung baik oksigen maupun nitrogen secara umum efektif dalam membentuk kompleks-kompleks yang stabil dengan berbagai macam logam. Keunggulan EDTA adalah mudah larut dalam air, dapat diperoleh dalam keadaan murni, sehingga EDTA banyak dipakai dalam melakukan percobaan kompleksometri. Namun, karena adanya sejumlah tidak tertentu air, sebaiknya EDTA distandarisasikan dahulu misalnya dengan menggunakan larutan kadmium (Harjadi, 1993).

III. ALAT DAN BAHAN 3.1. Alat Alat cetak Batang Pengaduk Beaker glass Buret Corong Erlenmeyer Gelas ukur Kertas perkamen Kuvet Labu ukur 250 ml dan 20 ml Mortir Oven Penekan hidrolitik Plat tetes Pinset Pipet tetes Pipet volum 10 ml dan 1 ml Pompa vakum Statif dan klem Printer Selang vakum Spatel Spektrofotometer UV-Vis Spektrometer IR Stamper Tabung reaksi Timbangan digital Tisu lensa

3.2. Bahan Akuades Asetaminofen (Parasetamol) uji Asetaminofen (Parasetamol) BPFI EBT Heksamin Jingga Xylenol

Kalium bromide (KBr) Larutan Diazo A Larutan Diazo B Larutan FeCl3

Larutan asam klorida Magnesium Sulfat Natrium EDTA

IV. PROSEDUR 1. Pemeriksaan awal a. Uji organoleptis Diamati bentuk, warna, bau, dan rasa menggunakan panca indera b. Uji Kelarutan Dilarutkan 100 mg asetaminofen dalam 2 mL air mendidih lalu diaduk sebentar kemudian dilihat kelarutannya. Selanjutnya dilarutkan 100 mg asetaminofen dalam 2mL NaOH 1 N lalu diaduk sebentar kemudian dilihat kelarutannya. Lalu dilarutkan 100 mg asetaminofen dalam 1 ml etanol lalu diaduk sebentar kemudian dilihat kelarutannya c. Uji Kualitatif a. Reaksi warna Untuk uji kualitatif asetaminofen (parasetamol), dilakukan reaksi warna. Disiapkan tabung reaksi bersih kemudian dimasukan 100 mg asetaminofen lalu dilarutkan dalam 10 ml air, setelah larut ditambahkan 0,05 ml larutan besi(III) klorida P; hingga terjadi perubahan warna. Reaksi warna yang selanjutnya dilakukan reaksi uji diazotasi yaitu sejumlah sampel asetaminofen disiapkan dalam plat tetes kemudian ditambahkan masing-masing 1 tetes larutan Diazo A dan Diazo B. lalu ditambahkan 1 tetes larutan asam klorida hingga terjadi perubahan warna, kemudian diamati perubahan warnanya. b. Spektrofotometri Inframerah Disiapkan 250 mg KBr kering yang telah dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC selama 2 jam. Asetaminofen digerus sebanyak 5 mg sampai homogen

selama 5 menit di tempat uang kelembabannya rendah. Lalu serbuk asetaminofen yang telah homogen dimasukkan ke dalam pencetak. Selanjutnya divakumkan pada 60 cmHg selama 5 menit dan cakram dikeluarkan dari pencetak. Kemudian cakram diletakkan ke dalam alat spektrofotmetri dan dilihat spektrum yang didapat dan dibandingkan dengan spektrum asetaminofen BPFI. d. Uji Kuantitatif (Spektrofotometri UV) Pertama dibuat larutan baku asetaminofen BPFI dengan konsentrasi 40 ppm. Asetaminofen BPFI ditimbang sebanyak 10 mg lalu dilarutkan ke dalam labu ukur 250 mL dengan aquades sampai tanda batas. Lalu dibuat larutan baku asetaminofen dengan beberapa konsentrasi yaitu 10 ppm, 8 ppm, 6 ppm, 4 ppm, dan 2 ppm. Untuk larutan baku 10 ppm, diambil 5 mL larutan baku asetaminofen BPFI 40 ppm lalu dilarutkankan ke dalam labu ukur 20 mL dengan aquades sampai tanda batas. Untuk larutan baku 8 ppm, diambil 4 mL larutan baku asetaminofen BPFI 40 ppm lalu dilarutkankan ke dalam labu ukur 20 mL dengan aquades sampai tanda batas. Untuk larutan baku 6 ppm, diambil 3 mL larutan baku asetaminofen BPFI 40 ppm lalu dilarutkankan ke dalam labu ukur 20 mL dengan aquades sampai tanda batas. Untuk larutan baku 4 ppm, diambil 2 mL larutan baku asetaminofen BPFI 40 ppm lalu dilarutkankan ke dalam labu ukur 20 mL dengan aquades sampai tanda batas. Untuk larutan baku 2 ppm, diambil 1 mL larutan baku asetaminofen BPFI 40 ppm lalu dilarutkankan ke dalam labu ukur 20 mL dengan aquades sampai tanda batas. Kemudian masing-masing konsentrasi dimasukkan ke dalam kuvet yang berbeda sampai dari kuvetnya lalu diukur absorbansi dan panjang gelombang pada absorbansi maksimum ke dalam spektrofotometri UV. Selanjutnya dibuat kurva baku di mana sumbu x sebagai konsentrasi dan sumbu y sebagai absorbansi. Lalu didapat nilai r,b,dan a sehingga dapat dibuat persamaan y = bx + a. Kedua dibuat larutan sampel dengan konsentrasi 40 ppm dan 6 ppm. Untuk larutan sampel 40 ppm, asetaminofen ditimbang sebanyak 10 mg lalu dilarutkan ke dalam labu ukur 250 mL dengan aquades sampai tanda batas. Untuk larutan

sampel 6 ppm, diambil 3 mL larutan sampel 40 ppm dan dilarutkan ke dalam labu ukur 20 mL dengan aquades sampai tanda batas. Kemudian masing-masing konsentrasi dimasukkan ke dalam kuvet yang berbeda sampai dari kuvetnya lalu diukur absorbansi dan panjang gelombang pada absorbansi maksimum ke dalam spektrofotometri UV. e. Uji batas logam berat (titrasi kompleksometri) Pertama pembuatan larutan EDTA 0,05 M dengan cara ditimbang sebanyak 4,668 gram Na-EDTA lalu dilarutkan ke dalam labu ukur 250 mL dengan aquades sampai tanda batas. Lalu pembuatan larutan baku primer MgSO4 0,05 M dengan cara ditimbang sebanyak 1,237 gram MgSO4 lalu dilarutkan ke dalam labu ukur 100 mL dengan aquades sampai tanda batas. Kemudian pembakuan Na-EDTA oleh MgSO4 dilakukan duplo dengan cara dipipet10 mL larutan EDTA ke dalam labu erlenmeyer lalu ditambahkan indikator EBT dan dititrasi dengan Mg SO4 hingga terjadi perubahan warna menjadi biru. Selanjutnya titrasi kompleksometri Pb dalam asetaminofen dilakukan duplo dengan cara ditimbang asetaminofen sebanyak 406 mg lalu dilarutkan ke dalam labu ukur 100 mL dengan aquades sampai tanda batas. Kemudian dipipet sebanyak 10 mL larutan asetaminofen ke dalam labu erlenmeyer dan dititrasi dengan Na-EDTA yang telah dibakukan.

V. DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN 5.1. Data Pengamatan 1. Pemeriksaan Awal a. Uji organoleptis Bentuk Warna Rasa Bau : serbuk halus : putih : sedikit pahit : tidak berbau

b. Kelarutan Perlakuan Asetaminofen mendidih ditambah air Hasil

Asetaminofen

ditambah

larutan

natrium hidroksida

Asetaminofen ditambah etanol

Asetaminofen larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N dan mudah larut dalam etanol. 2. Uji Kualitatif a. Reaksi Warna Perlakuan Hasil

100 mg parasetamol dimasukan ke Parasetamol dalam tabung reaksi dalam tabung reaksi Tabung reaksi berisi parasetamol Parasetamol dalam tabung reaksi larut dalam aquades. Larutan berwarna bening

dlarutkan dengan 10 ml aquades

Larutan parasetamol ditambah 0,05 ml Terjadi perubahan warna dari bening larutan besi(III) klorida P ( ) menjadi larutan biru keunguan

Perlakuan Disiapkan sejumlah

Hasil sampel Sampel parasetamol dalam plat tetes

parasetamol dalam plat tetes Tambahkan 1 tetes larutan diazo A Parasetamol dalam plat tetes berubah dan diazo B Tambahkan 1 tetes larutan asam klorida (HCl) warna menjadi warna kuning

b. Spektrofotometri Inframerah No 1 Perlakuan Mengeringkan serbuk parasetamol Hasil

Menimbang serbuk parasetamol hingga didapat berat yang konstan

Menimbang 250 mg serbuk KBr sebanyak 2 kali

Menimbang parasetamol

mg

serbuk

Menggerus homogeny

KBr

hingga

Menggerus

Kbr

serbuk

parasetamol hingga homogen

Serbuk dimasukkan ke dalam alat pencetak

Pembuatan cakram blangko KBr dan cakram sampel parasetamol + KBr

Cakram terbentuk dan siap untuk diukur spektrumnya

3. Uji Kuantitatif (Spektrofotometri Uv-Vis) a. Absorbansi paracetamol Baku Pembanding Farmakope Indonesia diukur pada panjang gelombang maksimum 244 nm No 1 2 3 4 5 Konsentrasi (ppm) 2 4 6 8 10 Absorbansi 0.1527 0.2756 0.3937 0.5245 0.6665

b. Absorbansi parasetamol sampel No 1 Konsentrasi (ppm) 6 Absorbansi 0.2658

Hasil spektrum dari asetaminofen

4. Uji Logam Berat (Titrasi Kompleksometri) a. Pembakuan Na2EDTA oleh MgSO4 Perlakuan Dibuat larutan Na2EDTA Hasil

Dibuat larutan MgSO4

Larutan MgSO4 ditambah indikator EBT dan dapar salmiak

Dilakukan pembakuan Na2EDTA oleh MgSO4

Didapatkan Na2EDTA

hasil

pembakuan

No 1 2

MgSO4 (mL) 9,1 9,6

Na2EDTA (mL) 10 10

b. Titrasi kompleksometri Pb2+ oleh Na2EDTA Perlakuan Ditimbang 400 mg parasetamol Hasil

Parasetamol dilarutkan dalam air

Larutan hexamine xylenol

parasetamol dan

ditambah jingga

indikator

Dilakukan titrasi parasetamol oleh Na2EDTA

Didapatkan

hasil

titrasi

dari

parasetamol oleh Na2EDTA

No 1 2

Sampel (mL) 10 10

Na2EDTA (mL) 15 20

5.2. Perhitungan 1. Spektrofotometri UV-Vis a. Pembuatan larutan baku Paracetamol BPFI 40 ppm: 10 mg dalam 250 ml air

= 40 ppm Pengenceran bertingkat a) 10 ppm V1 . N1 V1 . 40 ppm V1 = V2 . N2 = 20 ml . 10 ppm = 5 ml

Dibutuhkan sebanyak 5 ml larutan baku paracetamol BPFI 40 ml dan 15 ml akuades untuk membuat larutan paracetamol baku 10 ppm. b) 8 ppm V1 . N1 V1 . 40 ppm V1 = 4 ml = V2 . N2 = 20 ml . 8 ppm

Dibutuhkan sebanyak 4 ml larutan baku paracetamol BPFI 40 ml dan 16 ml akuades untuk membuat larutan paracetamol baku 8 ppm c) 6 ppm V1 . N1 V1 . 40 ppm V1 = V2 . N2 = 20 ml . 6 ppm = 3 ml

Dibutuhkan sebanyak 3 ml larutan baku paracetamol BPFI 40 ml dan 17 ml akuades untuk membuat larutan paracetamol baku 6 ppm d) 4 ppm V1 . N1 V1 . 40 ppm V1 = 2 ml = V2 . N2 = 20 ml . 4 ppm

Dibutuhkan sebanyak 2 ml larutan baku paracetamol BPFI 40 ml dan 18 ml akuades untuk membuat larutan paracetamol baku 4 ppm e) 2 ppm V1 . N1 = V2 . N2

V1 . 40 ppm V1

= 20 ml . 2 ppm = 1 ml

Dibutuhkan sebanyak 1 ml larutan baku paracetamol BPFI 40 ml dan 19 ml akuades untuk membuat larutan paracetamol baku 2 ppm b. Persamaan regresi linier Dimana x adalah konsentrasi dan y adalah absorbansi. y = bx + a r = 0.999 b = 0.063825 a = 0.01965 Sehingga y = 0.063825 x + 0.01965 c. Perhitungan kadar A sampel = y = 0.2658 0.2658 = 0.063825 x + 0.01965 x = 0.24615 : 0.063825 = 3.856 ppm x 100% = x 100% = 64.277%

% =

2. Titrasi Kompleksometri a. Pembakuan Na2EDTA Perlakuan 1

Perlakuan 2

Molaritas rata-rata

b. Kadar Pb Perlakuan 1 ( ( Perlakuan 2 ( Kadar rata-rata Pb dalam sampel ) ) )

VI. PEMBAHASAN Untuk identifikasi asetaminofen sebelumnya diperlukan uji pemeriksaan awal sebagai uji pendahuluan. Pertama dilakukan uji organoleptis yaitu sampel diamati bentuk, warna, bau, dan rasa menggunakan panca indera. Sehingga didapat hasil yaitu bentuknya serbuk halus, warnanya putih, rasanya sedikit pahit, dan tidak berbau. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel tersebut adalah asetaminofen karena sesuai dengan yang tertera dalam Farmakope Indonesia IV. Kedua dilakukan uji

kelarutan yaitu dilarutkan 100 mg asetaminofen dalam 2 mL air mendidih lalu diaduk sebentar kemudian dilihat kelarutannya. Selanjutnya dilarutkan 100 mg asetaminofen dalam 2mL NaOH 1 N lalu diaduk sebentar kemudian dilihat kelarutannya. Lalu dilarutkan 100 mg asetaminofen dalam 1 ml etanol lalu diaduk sebentar kemudian dilihat kelarutannya. Sehingga didapat hasil yaitu sampel larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1 N dan mudah larut dalam etanol. Istilah Kelarutan Jumlah bagian pelarut diperlukan untuk melarutkan 1 bagian zat Sangat mudah larut Mudah larut Larut Agak sukar larut Sukar larut Sangat sukar larut Praktis tidak larut Kurang dari 1 1 sampai 10 10 sampai 30 30 sampai 100 100 sampai 1000 1000 sampai 10000 Lebih dari 10000

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dalam 1 gram asetaminofen membutuhkan 10 sampai 30 mL air mendidih dan natrium hidroksida 1 N dan dalam 1 gram asetaminofen membutuhkan 1 sampai 10 mL etanol dan hal tersebut sesuai dengan yang tertera dalam monografi asetaminofen. Analisis kualitatif untuk parasetamol adalah menggunakan reaksi warna. Reaksi khusus dari parasetamol adalah jika sejumlah zat dilarutkan dalam aquadest dan ditambah 2 tetes larutan FeCl3, akan berubah warna menjadi biru violet. Oleh karena itu parasetamol termasuk golongan fenol. Hal ini telah dilakukan dalam percobaan dan memberikan hasil yang sama, yakni setelah ditambahkan aquadest dan FeCl3, larutan berubah warna menjadi biru violet, namun beberapa saat kemudian larutan berubah warna menjadi abu-abu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penambahan beberapa larutan tersebut merupakan cara mengidentifikasi senyawa paracetamol yang ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi biru violet.

Reaksi diazotasi telah digunakan secara umum untuk penetapan gugusan amino aromatis dalam industri zat warna dan dapat dipakai untuk penetapan sulfanilamida dan semua senyawa-senyawa yang mengandung gugus amino aromatis. Reaksi diazotasi biasanya dilakukan pada senyawa yang memiliki gugus aromatisbebas. Reaksi diazotasi didasarkan pada pebentukan garam-garam diazonium yang terbentuk dari reaksi asam nitrit dengan amin aromatik bebas. Garam diazonium adalah garam yang terbentuk dari hasil reaksi antara HNO2 dan alkil amino primer. Sampel yang digunakan pada percobaan ini yaitu parasetamol. Pada pengujian parasetamol, pertama tama disiapkan sejumlah sampel dalam plat tetes, lalu ditambahkan masing-masing 1 tetes larutan diazo A dan diazo B. kemudian ditambahkan larutan asam klorida sebanyak 1 tetes, kemudian dilihat perubahan warna yang terjadi. Perubahan warna yang terjadi adalah warna kuning.

Reaksi diazotasi yang mendasari metode ini dapat dituliskan sebagai berikut : NaNO2 + HCL HNO2 + NaCl

Pengujian parasetamol berdasarkan pada pembentukan garam diazonium dari gugus amin primer aromatis bebas yang direaksikan dengan NaNO2 yang diperoleh dari hasil reaksi antara natrium nitrit dan asam klorida dengan perubahan menjadi kuning. Adapun alasan penambahan bahan yaitu ditambah larutan asam klorida adalah untuk memberikan suasana asam sehingga dapat membentuk garam

diazoniumklorida. Tidak digunakan asam lain karena garam ini terbentuk dengan adanya Cl. Dalam analisis kualitatif terhadap bahan baku parasetamol digunakan juga metode spektofotometri inframerah. Spektofotometri inframerah merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengidentifikasi senyawa berdasarkan serapan pada panjang gelombang inframerah. Spectrum serapan inframerah suatu zat mempunyai gambaran yang khas untuk suatu zat tertentu, sehingga dapat digunakan untuk tujuan

identifikasi. Spektofotometri inframerah dapat digunakan untuk menetapkan rumus bangun senyawa dengan mendeteksi gugus fungsionalnya. Tujuan dari metode spektrofotometri inframerah pada percobaan ini adalah untuk memastikan sampel yang diperoleh merupakan parasetamol. Jika sampel positif parasetamol, maka akan terbentuk serapan pada panjang gelombang yang sesuai dengan gugus fungsi parasetamol sebenarnya. Adapun struktur parasetamol antara lain :

Prosedur pertama yang dilakukan adalah mengeringkan serbuk parasetamol dengan menggunakan oven sampai beratnya konstan. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan air yang mungkin terdapat dalam sampel. Air dapat mempengaruhi hasil transmitan karena air terdiri dari gugus OH yang mempengaruhi dan memiliki serapan di antara 1500 lebih. Selain itu air mampu bervibrasi sehingga akan mempengaruhi serapan yang dihasilkan oleh sampel. Setelah itu dilakukan penimbangan 250 mg KBr sebanyak 2 kali, dan penimbangan 5 mg sampel parasetamol. KBr yang digunakan merupakan KBr yang telah kering dan tersedia di lab. KBr disebut sebagai penyangga atau pengisi sampel dan sebagai blanko. KBr merupakan suatu garam yang berikatan secara ionic dan memiliki perbedaan keelektronegatifan yang tinggi antara K dan Br sehingga KB bervibrasi stabil dan radiasi infamerah tidak cukup kuat menimbulkan variasi dari garam ionic seperti KBr. Selain itu, KBr juga tidak mempunyai transmitan di daerah inframerah. KBr ditimbang sebanyak 2 kali karena digunakan sebagai blanko dan sebagai pengisi sampel (dicampurkan dengan sampel parasetamol). Blanko KBr dan sampel parasetamol yang telah di campurkan dengan KBr kemudian dihomogenkan secara terpisah dalam sebuah mortir khusus di tempat yang

kelembabannya rendah. Hal ini dilakukan karena kelembaban dalam ruangan akan mempengaruhi cakram KBr sehingga pembacaan spectrum pun akan terpengaruhi. Jika kelembabannya tinggi, maka akan terdapat banyak uap air yang terserap oleh KBr. Selain itu mortir dan stamper yang digunakan juga harus dibersihkan dengan tisu lensa untuk menghilangkan air atau kontaminan yang juga dapat mempengaruhi pembacaan serapan inframerah. Setelah homogen, blanko KBr dimasukkan ke dalam alat pencetak cakram, dengan posisi di antara 2 silinder yang mengkilap yang sebelumnya juga dibersihkan dengan tisu lensa. Kemudian alat pencetak disimpan pada penekan hidrolik dengan tekanan 60 KN dan dihubungkan juga ke dalam pompa vakum selama 5 menit agar terbentuk cakram yang bening dan serapannya sempurna. Apabila tekanannya kurang dari 60 KN akan mempengaruhi kualitas cakram dimana cakram yang terbentuk kurang bagus. Sedangkan apabila lebih dari 60 KN cakram yang terbentuk menjadi keras dan sulit dikeluarkan dari alat pencetak. Adapun pompa vakum berfungsi untuk membuang sisa CO2 atau udara pada KBr, karena CO2 pun akan mempengaruhi dan memberikan serapan pada spektrofotometri inframerah. Setelah 5 menit, pompa vakum dilepaskan dan cakram dikeluarkan dari alat pencetaknya dengan pinset agar tidak terkontaminasi oleh garam, air, atau lemak yang ada pada jari tangan. Cakram yang dihasilkan cukup baik karena bening. Jika tidak bening atau buram, kemungkinan terdapat uap air atau udara yang terjebak di dalam cakram. Kemudian dilakukan prosedur pembuatan cakram yang sama untuk campuran sampel parasetamol dan KBr. Setelah itu, cakram dimasukkan pada spektrofotometri inframerah untuk melihat spektrumnya. Proses scanning dilakukan terlebih dahulu sebanyak 45 kali, hal ini dilakukan agar sensitifitasnya baik. Setelah proses scanning selesai, spectrum pun dapat dilihat di layar computer. Spectrum sampel kemudian dibandingkan dengan spectrum blanko. Radiasi inframerah dapat menyebabkan terjadinya vibrasi dan atau rotasi suatu gugus fungsional dalam molekul parasetamol sehingga gugus fungsi yang

berlainan dalam struktur parasetamol masing-masing akan menunjukkan spectrum serapan inframerah yang karakteristik. Dari spectrum sampel terlihat beberapa serapan di panjang gelombang tertentu, antara lain : Panjang gelombang (cm-1) 4423,93 4296,62 4057,44 2979,18 2929,03 1901,89 1876,82 1108,15 Gugus fungsi O-H alcohol, fenol C-H alkana Daerah overtune aromatic Daerah overtune aromatic C-O alcohol, eter, asam karboksilat, ester 796,64 C-H aromatik

Dari data tersebut maka dapat disimpulkan secara kasar bahwa sampel merupakan parasetamol karena serapan yang terbentuk sama dengan serapan seharusnya yang terbentuk di panjang gelombang yang dihasilkan oleh gugus-gugus parasetamol jika dilihat dari strukturnya. Selain itu, untuk membuktikannya maka sampel dapat dibandingkan dengan parasetamol BPFI yang datanya telah ada di computer lab. Dari hasil perbandingan maka terlihat sangat jelas kemiripan antara spectrum sampel dan spektrum BPFI. Maka dapat disimpulkan bahwa sampel tersebut merupakan parasetamol. Untuk mengetahui kemurnian dari sampel yang dianalisis maka dapat dilihat dari purity indexnya. Dari percobaan ini dihasilkan purity index sebesar 0,991349 atau sekitar 99,13%. Dapat disimpulkan bahwa sampel sudah cukup murni karena nilai purity indexnya cukup tinggi.

Selanjutnya dilakukan analisis kadar sampel parasetamol menggunakan instrumen spektrofotometer UV-Vis. Hal yang pertama kali dilakukan adalah membuat kurva baku dari paracetamol BPFI yang kemurniannya memenuhi standar paracetamol yaitu tidak kurang dari 98% dan tidak lebih dari 101%. Pembuatan kurva baku ini adalah sebagai tahap awal dari metode kalibrasi instrumen. Dalam pembuatan kurva kalibrasi, larutan bakudipersiapkan dalam berbagai konsentrasi. Larutan baku adalah larutan dari konsentrasi analit standar yang diketahui. Baku yang digunakan disini adalah paracetamol BPFI. Selanjutnya, dibuat pengenceran bertingkat larutan baku dengan cara sebanyak 10 mg paracetamol BPFI ditimbang lalu dilarutkan dalam labu ukur 250 ml dengan akuades sampai tanda batas. Menurut farmakope edisi III, paracetamol larut dalam 70 bagian air yaitu setara dengan 0.7 ml untuk 10 mg sehingga dalam 250 air paracetamol 10 mg akan larut dan didapat larutan berkadar 40 ppm. Larutan ini kemudian diukur absorbansi maksimumnya untuk mengetahui apakah sampel yang dibuat memenuhi syarat absorbansi uv pada rentang 1.8-2.5. Caranya, kuvet berisi akuades dimasukkan terlebih dahulu ke instrumen untuk mengetahui baseline. Dalam memasukkan kuvet, harus diperhatikan arah pemasangan kuvet. Kuvet yang memiliki sisi bening harus mengarah kepada sumber sinar karena sisi bening inilah yang akan dilewati oleh sinar. Kuvet adalah tempat meletakkan sampel untuk spektrofotometer UV-Vis, biasanya terbuat dari kuarsa atau gelas, namun kuvet dari kuarsa yang terbuat dari silika memiliki kualitas yang lebih baik. Hal ini disebabkan yang terbuat dari kaca dan plastik dapat menyerap UV sehingga penggunaannya hanya pada spektrofotometer sinar tampak (VIS). Cuvet biasanya berbentuk persegi panjang dengan lebar 1 cm. Setelah itu, larutan paracetamol BPFI 40 ppm dimasukkan ke dalam kuvet dan dimasukkan ke dalam instrumen. Pada saat sinar diberikan, monokromator menyeleksi panjang gelombang yang telah diatur yaitu 200-380 nm sesuai dengan panjang gelombang UV sehingga tidak semua sinar masuk ke sampel, hanya sinar dengan panjang gelombang tertentu saja yang dapat masuk. Setelah itu, sinar yang

terseleksi keluar dari celah dan mengenai sampel di dalam kuvet. Sisi kuvet yang bening harus terbebas dari kotoran atau sidik jari. Jika tidak sinar yang masuk ke dalam kuvet akan terganggu. Sinar ini kemudian mengenai sampel dan terjadilah absorbsi sinar yang dilakukan oleh gugus-gugus kromofor di parasetamol. Gugus kromofor ini adalah gugus fungsi yang mengabsorbsi panjang gelombang radiasi UV/Vis yang lebih panjang dan dimiliki oleh molekul yang memiliki pusat pengabsorbsi yaitu double bond. Energi dari foton diserap atau dilepaskan (emisi) selama transisi dari satu tingkat energi molekuler ke tingkat energi molekuler lainnya. Sisa energi yang tidak diserap oleh sampel/gugus kromafor di parasetamol diteruskan dan ditangkap oleh detektor. Detektor ini akan mengubah sinyal menjadi arus listrik dan diintrepretasikan menjadi spektrum. Dari hasil yang didapat, absorbansi maksimum pada paracetamol BPFI 40 ppm adalah sekitar di atas 2 yaitu sekitar 3.5 pada 245 nm. Hal tersebut tentu saja menyalahi aturan Lambert Beer. Absorbansi yang terlalu tinggi ini diakibatkan konsentrasi parasetamolnya terlalu tinggi sehingga perlu dilakukan pengenceran. Dibuat pengenceran bertingkat untuk pembuatan kurva baku yaitu 10 ppm, 8 ppm, 6 ppm, 4 ppm, dan 2 ppm. Untuk membuat larutan 10 ppm paracetamol BPFI, sebanyak 5 ml larutan standar paracetamol BPFI 40 ppm dipipet menggunakan volum pipet dan diencerkan dalam labu ukur 20 ml dengan akuades sampai tanda batas. Untuk larutan 8 ppm, dibutuhkan larutan paracetamol BPFI 40 ppm sebanyak 4 ml dan diencerkan dalam labu ukur 20 ml dengan akuades sampai tanda batas. Sedangkan untuk larutan 6, 4, dan 2 ppm dibutuhkan masing-masing secara berturut-turut larutan paracetamol BPFI sebanyak 3 ml, 2 ml, dan 1 ml dan diencerkan masing-masing dalam labu ukur 20 ml dengan akuades sampai tanda batas. Setelah itu larutan paracetamol BPFI 10 ppm diukur absorbansinya pada panjang gelombang 200-380nm kemudian didapat bahwa absorbansi maksimumnya adalah 0.6665 pada 244 nm. Baseline diseting ulang dengan memasukkan kuvet berisi akuades pada panjang gelombang 244 nm. Setelah baseline diukur, masing-

masing kuvet berisi 8, 6, 4, dan 2 ppm dimasukkan ke dalam instrumen untuk diukur absorbansi maksimumnya pada panjang gelombang 244 nm. Absorbansi maksimum yang didapat secara berturut-turut adalah 0.5245, 0.3937, 0.2756, dan 0.1527. Setelah didapat, data-data ini diolah untuk mendapat persamaan regresi dengan hasil sebagai berikut : y = 0.063825 x + 0.01965 Setelah kurva baku didapat, dibuat larutan paracetamol sampel yang akan diukur kadarnya. Sampel ditimbang sebanyak 10 mg dan dilarutkan dalam labu ukur 250 ml dengan akuades sampai tanda batas sehingga didapat larutan paracetamol sampel 40 ppm. Kemudian sampel diencerkan menjadi 6 ppm. Larutan paracetamol sampel 40 ppm dipipet sebanyak 3 ml dan dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 20 ml sampai tanda batas. Larutan 6 ppm ini kemudian diukur absorbansinya oleh spektrofotometer UV pada panjang gelombang 244 nm. Absorbansi yang didapat adalah 0.2658. Analisis yang dilakukan selanjutnya adalah penentuan kadar logam berat dalam senyawa asetaminofen yang digunakan sebagai sampel. Logam berat yang akan di uji kadarnya adalah logam Pb yang biasanya terkandung dalam berbagai senyawa obat. Pb atau yang sering disebut timbale adalah suatu jenis logam berat yang berbahaya bila terkonsumsi pasien secara oral karena dapat tertimbun dalam tubuh dan bersifat karsinogenik bila jumlahnya dalam tubuh terlalu banyak. Cara analisis untuk menentukan kadar logam berat Pb dalam sampel asetaminofen adalah dengan titrasi kompleksometri. Titrasi kompleksometri adalah suatu titrasi yang prinsipnya berdasarkan reaksi pembentukan komplek antara ligand dan logam. Bila komplek antara ligand dan logam ini telah terbentuk, akan terjadi perubahan warna pada indicator yang ditambahkan kedalam sampel. Yang bertindak sebagai logam pada titrasi ini adalah ion Pb2+ sedangkan ligand nya adalah ion EDTA yang terdapat pada senyawa Na2EDTA. Hal yang pertama kali dilakukan dalam prosedur ini adalah membakukan larutan Na2EDTA yang telah dibuat. Larutan Na2EDTA yang ingin dibuat adalah

larutan dengan konsentrasi 0,05 M sejumlah 250 mL. Setelah dilakukan perhitungan dengan rumus:

Didapatkan hasil bahwa jumlah serbuk Na2EDTA yang harus dilarutkan dalam 250 mL akuades adalah seberat 4,668 gram. Setelah ditimbang, Na2EDTA dimasukkan dalam gelas ukur 250 mL lalu dilarutkan dengan akuades. MgSO4 ditimbang sebanyak 0,6 gram lalu dilarutkan dalam 100 mL akuades. Larutan MgSO4 ini kemudian digunakan untuk membakukan larutan Na2EDTA. Larutan Na2EDTA yang akan berperan sebagai titran dalam titrasi kompleksometri harus dibakukan karena Na2EDTA adalah larutan baku sekunder yang sifatnya konsentrasinya tidak dapat dipastikan secara pasti tanpa pembakuan oleh suatu larutan baku primer. Larutan MgSO4 dimasukan dalam buret dan Na2EDTA yang akan dibakukan dimasukkan sebanyak 10 mL kedalam labu Erlenmeyer. Kedalam Erlenmeyer ditambahkan indicator EBT dan buffer salmiak lalu titrasi dilakukan hingga perubahan warna larutan dalam labu Erlenmeyer berubah dari merah menjadi biru sesuai dengan reaksi MgD- (merah) + H2Y2- MgY2- + HD2- (biru) + H+ Komplek yang terbentuk dari reaksi EBT dan ion EDTA menghasilkan warna merah dalam bentuk larutan. Ketika titrasi dilakukan, ikatan EBT dengan ion EDTA akan melemah hingga akhirnya terlepas dan ikatannya digantikan oleh ion Mg2+. Hal inilah yang menyebabkan adanya perubahan warna merah ke biru ketika titrasi. Pada percobaan kali ini warna awal larutan sebelum dititrasi bukanlah merah melainkan ungu. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya pengganggu lain dalam larutan Na2EDTA selain itu kemungkinan karena indicator EBT yang ditambahkan terlalu banyak sehingga warna larutan yang dihasilkan terlalu pekat. Larutan dititrasi hingga berubah warnanya menjadi biru lalu dilihat jumlah MgSO4 yang dibutuhkan lalu dihitung molaritas sesungguhnya dari larutan Na2EDTA yang dibuat. Setelah

dilakukan perhitungan, didapat hasil bahwa larutan Na2EDTA yang dibuat memiliki konsentrasi sebesar 0,04675 M. Sebanyak 400 mg parasetamol dilarutkan dalam 100 mL akuades lalu dipipet sebanyak 10 mL untuk dititrasi. Kedalam labu Erlenmeyer ditambahkan buffer salmiak dan heksamin yang berfungsi menjaga pH larutan agar tetap terjaga pada pH yang sesuai sebagai suasana titrasi kompleksometri. Selama titrasi kompleksometri EDTA akan melepaskan ion H- yang akan menyebabkan suasana larutan menjadi asam. Karena inilah perlu ditambahkan buffer salmiak yang bersifat basa sehingga suasana sampel menjadi sesuai untuk titrasi. Setelah itu ditambahkan juga indicator jingga xylenol yang berfungsi sebagai penanda ketika titrasi telah mencapai titik akhir. Indikator jingga xylenol akan berubah warna dari jingga ke kuning bila seluruh logam yang ada dalam sampel telah berikatan seluruhnya dengan ion EDTA yang ada dalam titran. Perubahan warna indicator jingga xylenol dikarenakan reaksi pelepasan ion RCOO- yang bila ada dalam air akan menghasilkan warna kuning muda. Sampel dititrasi hingga warna larutan berubah menjadi kuning jernih kemudian dicatat jumlah titran yang dibutuhkan lalu dilakukan perhitungan kadar Pb dalam larutan dengan rumus: ( )

Setelah dihitung, didapatkan hasil bahwa kandungan Pb dalam bahan baku asetaminofen sebesar atau sekitar 21 ppm. Suatu angka yang cukup

tinggi karena menurut Farmakope Indonesia edisi IV, seharunya kadar Pb maksimum dalam bahan baku asetaminofen atau parasetamol maksimal adalah 10 ppm. Hal ini menandakan bahwa sampel asetaminofen yang digunakan tidak layakdigunakan dalam proses lebih lanjut atau dalam proses pembuatan obat karena akan berbahaya bagi konsumen.

VII.

KESIMPULAN

1. Bahan baku asetaminofen dapat di analisis dengan uji organoleptis, uji kelarutan, uji kualitatif (reaksi warna dan spektrofotometri infrared) dan uji kuantitatif (spektrofotometri uv-vis) dengan hasil yang sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Farmakope Indonesia. 2. Kadar logam berat dalam asetaminofen di uji dengan metode titrasi kompleksometri dan hasilnya adalah 21 bpj dimana kadar logam berat ( )

sampel asetaminofen melebihi batas kadar normal dalam Farmakope Indonesia yaitu 10 bpj yang berarti sampel asetaminofen yang digunakan tidak layak digunakan karena berbahaya.

DAFTAR PUSTAKA

Autherhoff, H. dan Kovark. 1987 . Identifikasi Obat T e r b i t a n k e e m p a t . I T B . Bandung Basset, J. dkk. 1994. Buku Ajar Vogel:Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka dan L. Setiono. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Christian, G.D. 1994. Analytical Chemistry 5th Edition. John Wiley and Sons, lnc. New York. Page 485-497. Depkes RI 1979 Farmakope Indonesia Edisi III. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT Gramedia. Jakarta. Harvey, David. 2000. Chemistry: Modern Analitycal Chemistry First Edition. Page 388-409. United States of America: The Mc-Graw Hill Company. Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Jakarta : Erlangga, hal. 154 194 Khopkar, S. M. 1984. Konsep Dasar Kimia Analitik (terjemahan). Bombay : Analytical Laboratory Department of Chemistry Indian Institut of Technology Bombay, hal. 204 243. Khopkar. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press. Jakarta. Rival, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia . UI Press. Jakarta. Tarigan, Poris. 1986. Spektrometri Massa. Bandung : Alumni, hal. 51 54.

Anda mungkin juga menyukai