Anda di halaman 1dari 2

Bunuh Diri Menurut Pandangan Psikologi 30 Maret 2010 Arya Utama Tinggalkan Komentar Go to comments Teori-teori psikologi tentang

bunuh diri, fokus pada pikiran dan motivasi dari o rang-orang yang melakukan percobaan bunuh diri (Barlow & Durand, 2002). Teori-te ori psikologi humanis-eksistensialis misalnya, menghubungkan bunuh diri dengan p ersepsi tentang hidup yang sudah tidak mempunyai harapan atau tidak mempunyai tu juan yang pasti. Beck (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) mengatakan bahwa bunuh d iri adalah ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan oleh ketidakmampuan i ndividu dalam mengatasi stres. Shneidman (dalam Halgin & Whitbourne, 2003) menyatakan bahwa individu yang menco ba bunuh diri adalah individu yang mencoba untuk mengkomunikasikan rasa frustras inya kepada seseorang yang dianggap penting oleh individu tersebut. Secara garis besar bunuh diri dalam tinjauan psikologis dibahas dengan menggunakan pendekata n teori psikodinamik, teori kognitif-behavior dan teori gangguan mental. Teori Psikodinamik Psikodinamik memandang tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh seorang individu adalah merupakan masalah depresi klasik, dalam hal ini, seseorang yang mempunyai agresifitas yang tinggi dalam menyerang dirinya sendiri (Meningger, dalam Meyer & Salmon, 1998). Konsep Freud tentang insting mati (death instinct), thanatos, merupakan konsep yang mendasari hal tersebut dan menjadi pencetus bagi seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri. Teori Psikodinamik menyatakan bahwa kehila ngan kontrol ego individu, menjadi penyebab individu tersebut melakukan bunuh di ri (Meyer & Salmon, 1998). Freud menyatakan jika depresi adalah kemarahan seseorang yang ditujukan kepada d irinya sendiri. Secara spesifik, ego yang terdapat pada seseorang yang berada pa da kondisi seperti hal tersebut, dihadirkan kepada orang yang telah meninggalkan nya. Kemarahan akan menjadi lebih besar jika orang yang depresi berharap untuk m enghapus kesan atau sosok dari orang yang meninggalkannya. Penghapusan atau peng hilangan kesan atau gambar tersebut dilakukan kepada dirinya sendiri dengan jala n bunuh diri. Teori ini menyatakan jika bunuh diri merujuk pada suatu manifestasi kemarahan ke pada orang lain. Teori psikodinamik menyepakati atau menghendaki orang-orang yan g bunuh diri jangan mengekspresikan kemarahannya ke dalam catatan atau surat, ka rena mereka tidak akan bisa mengekspresikan emosi tersebut dan mengembalikan per asaan tersebut kepada diri mereka. Aliran-aliran psikodinamik terbaru yang muncul, masih terfokus pada kemarahan pa da diri sendiri sebagai inti permasalahan atau penyebab terjadinya tindakan bunu h diri atau usaha bunuh diri (Maltsberger, dalam Hoeksema, 2001). Teori Kognitif-Behavior Teori kognitif-behavior meyakini jika kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap me mberikan kontribusi terhadap terjadinya perilaku bunuh diri. Konsistensi prediks i yang tinggi dari variabel kognitif terhadap bunuh diri adalah kehilangan harap an (hopelessness), perasaan jika masa depan sangatlah suram dan tidak ada jalan untuk menjadikan hal tersebut menjadi lebih baik atau positif (Beck, dkk., dalam Hoeksema, 2001). Adanya pemikiran yang bercabang (dichotomous thinking), kekaku an dan ketidak luwesan dalam berpikir menjadi penyebab seseorang bunuh diri. Kek akuan dan ketidak luwesan tersebut menjadikan seseorang kesulitan dalam menemuka n alternatif penyelesaian masalah sampai perasaan untuk bunuh diri yang dirasaka n oleh orang tersebut menghilang. Karakteristik perilaku yang menunjukkan atau yang menjadi penyebab seseorang mel

akukan bunuh diri adalah impulsifitas. Perilaku ini (impulsif), akan semakin ber isiko jika terkombinasikan dengan gangguan psikologis yang lain, seperti depresi atau tinggal di lingkungan dengan potensi untuk menghasilkan stres yang tinggi (Hoeksema, 2001). Gangguan Mental Hampir 90 % individu yang yang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh diri mempuny ai kemungkinan mengalami gangguan mental (Jamison., NIMH., dalam Hoeksema, 2001. , Wikipedia____). Gangguan mental yang paling sering dialami oleh orang yang mel akukan bunuh diri adalah depresi (Wulsin, Valliant & Wells, dalam Hoeksema, 2001 ). Paling kurang, 15 % individu dengan depresi, sukses melakukan bunuh diri (Men tal Health.Net). Banyak teori yang menjelaskan tentang depresi, dan semua sepaka t keadaan depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh diri (Keliat, 1994). Serin g kali diagnosis psikiatri baru muncul setelah seorang individu melakukan bunuh diri. Analisis tingkah laku, suasana hati, dan pikiran individu yang melakukan b unuh diri didasarkan atas laporan dari keluarga dan teman-teman inidividu terseb ut serta tulisan atau catatan-catatan individual. Dari data yang ada, 40 individ u yang melakukan percobaan bunuh diri, 53 persen diantaranya didiagnosa mengalam i gangguan depresi (Petronis., dkk, dalam Hoeksema, 2001). Studi yang dilakukan kepada anak-anak dan remaja menunjukkan jika depresi mening katkan risiko untuk bunuh diri. Goodwin dan Jamison (dalam Hoeksema, 2001) menga takan jika setengah dari individu dengan gangguan bipolar melakukan percobaan bu nuh diri, dan kemungkinan satu dari lima sukses melakukan bunuh diri. Gangguan p sikologis yang lain yang meningkatkan risiko untuk bunuh diri dan usaha bunuh di ri adalah alkoholik dan penyalahgunaan narkoba (Statham, dalam Hoeksema, 2001). Semua bentuk gangguan psikologis atau gangguan mental berpotensi menjadi faktor risiko perilaku bunuh diri.

Anda mungkin juga menyukai