Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tap changer adalah alat perubah perbandingan transformasi untuk mendapatkan tegangan operasi sekunder yang lebih baik (diinginkan) dari tegangan jaringan / primer yang berubah-ubah. Untuk memenuhi kualitas tegangan pelayanan sesuai kebutuhan konsumen (PLN Distribusi), tegangan keluaran (sekunder) transformator harus dapat dirubah sesuai keinginan. Untuk memenuhi hal tersebut, maka pada salah satu atau pada kedua sisi belitan transformator dibuat tap (penyadap) untuk merubah perbandingan transformasi (rasio) trafo. Ada dua cara kerja tap changer: 1. Mengubah tap dalam keadaan trafo tanpa beban. Tap changer yang hanya bisa beroperasi untuk memindahkan tap transformator dalam keadaan transformator tidak berbeban, disebut Off Load Tap Changer dan hanya dapat dioperasikan manual (Gambar 1).
2. Mengubah tap dalam keadaan trafo berbeban. Tap changer yang dapat beroperasi untuk memindahkan tap transformator, dalam keadaan transformator berbeban, disebut On Load Tap Changer (OLTC) dan dapat dioperasikan secara manual atau otomatis (Gambar 2). Transformator yang terpasang di gardu induk pada umumnya menggunakan tap changer yang dapat dioperasikan dalam keadaan trafo berbeban dan dipasang di sisi primer. Sedangkan transformator penaik tegangan di pembangkit atau pada trafo kapasitas kecil, umumnya menggunakan tap changer yang dioperasikan hanya pada saat trafo tenaga tanpa beban. OLTC terdiri dari : 1. Selector Switch 2. diverter switch 3. transisi resistor Untuk mengisolasi dari bodi trafo (tanah) dan meredam panas pada saat proses perpindahan tap, maka OLTC direndam di dalam minyak isolasi yang biasanya terpisah dengan minyak isolasi utama trafo (ada beberapa trafo yang compartemennya menjadi satu dengan main tank). Karena pada proses perpindahan hubungan tap di dalam minyak terjadi fenomena elektris, mekanis, kimia dan panas, maka minyak isolasi OLTC kualitasnya akan cepat menurun. tergantung dari jumlah kerjanya dan adanya kelainan di dalam OLTC. Semoga bermanfaat, HaGe.
Generator AC animasi yang kedua adalah mengenai prinsip kerja generator AC, untuk teori dasarnya anda dapat membaca artikel "Generator Sinkron".
Animasi ini akan menampilkan proses kerja dari suatu generator AC, disertai dengan grafik fungsi tegangan AC terhadap waktu.
terima kasih untuk Universitas New South Wales, Australia Semoga bermanfaat, HaGe - http://dunia-listrik.blogspot.com
Gambar 1. Sistem Pelumasan 1. Bak minyak 2. Pompa pelumas 3. Pompa minyak pendingin 4. Pipa hisap 5. Pendingin minyak pelumas 6. Bypass-untuk pendingin 7. Saringan minyak pelumas 8. Katup by-pass untuk saringan 9. Pipa pembagi 10. Bearing poros engkol (lager duduk) 11. Bearing ujung besar (lager putar) 12. Bearing poros-bubungan 13. Sprayer atau nozzle penyemprot untuk pendinginan piston 14. Piston 15. Pengetuk tangkai 16. Tangkai penolak 17. Ayunan 18. Pemadat udara (sistem Turbine gas) 19. Pipa ke pipa penyemprot 20. Saluran pengembalian 2. Sistem Bahan Bakar Mesin dapat berputar karena sekali tiap dua putaran disemprotkan bahan bakar ke dalam ruang silinder, sesaat sebelum, piston mencapai titik mati atasnya (T.M.A.). Untuk itu oleh pompa penyemperot bahan bakar 1 ditekankan sejumlah bahan bakar yang sebelumnya telah dibersihkan oleh saringan-bahan bakar 5, pada alat pemasok bahan bakar atau injektor 7 yang terpasang dikepala silinder. Karena melewati injektor tersebut maka bahan bakar masuk kedalam ruang silinder dalam keadaan terbagi dengan bagian-bagian yang sangat kecil (biasa juga disebut dengan proses pengkabutan) Didalam udara yang panas akibat pemadatan itu bahan bakar yang sudah dalam keadaan bintik-bintik halus (kabut) tersebut segera terbakar. Pompa bahan bakar 2 mengantar bahan bakar dari tangki harian 8 ke pompa penyemprot bahan bakar. Bahan bakar yang kelebihan
yang keluar dari injektor dan pompa penyemperot dikembalikan kepada tanki harian melalui pipa pengembalian bahan bakar.
Gambar 2. Sistem bahan bakar 1. Pompa penyemperot bahan bakar 2. Pompa bahan bakar 3. Pompa tangan untuk bahan bakar 4. Saringan bahar/bakar penyarinnan pendahuluan 5. Saringan bahan bakar/penyaringan akhir 6. Penutup bahan bakar otomatis 7. Injektor 8. Tanki 9. Pipa pengembalian bahan bakar 10. Pipa bahan bakar tekanan tinggi 11. Pipa peluap. 3. Sistem Pendinginan Hanya sebagian dari energi yang terkandung dalam bahan bakar yang diberikan pada mesin dapat diubah menjadi tenaga mekanik sedang sebagian lagi tersisa sebagai panas. Panas yang tersisa tersebut akan diserap oleh bahan pendingin yang ada pada dinding-dinding bagian tabung silinder yang membentuk ruang pembakaran, demikian pula bagian-bagian dari kepala silinder didinginkan dengan air. Sedangkan untuk piston didinginkan dengan minyak pelumas dan panas yang diresap oleh minyak pendingin itu kemudian disalurkan melewati alat pendingin minyak, dimana panas tersebut diresap oleh bahan pendingin. Pada mesin diesel dengan pemadat udara tekanan tinggi, udara yang telah dipadatken oleh turbocharger tersebut kemudian didinginkan oleh air didalam pendingin udara (intercooler), Pendinginan sirkulasi dengan radiator bersirip dan kipas (pendinginan dengan sirkuit) Cara Kerja Sistem Pendingin Pompa-pompa air 1 dan 2 memompa air kebagian-bagian mesin yarg memerlukan pendinginan dan kealat pendingin udara (intercooler) 3. Dari situ air pendingin kemudian
melewati radiator dan kembali kepada pompa-pompa 1 dan 2. Didalam radiator terjadi pemindahan panas dari air pendingin ke udara yang melewati celah-celah radiator oleh dorongan kipas angin. Pada saat Genset baru dijalankan dan suhu dari bahan pendingin masih terlalu rendah, maka oleh thermostat 5, air pendingin tersebut dipaksa melalui jalan potong atau bypass 6 kembali kepompa. Dengan demikian maka air akan lebih cepat mencapai suhu yang diperlukan untuk operasi. Bila suhu tersebut telah tercapai maka air pendingin akan melalui jalan sirkulasi yang sebenarnya secara otomatis.
Gambar 3. Sistem pendinginan (sistem sirkulasi dengan 2 Sirkuit) 1. Pompa air untuk pendingin mesin 2. Pompa air untuk pendinginan intercooler 3. Inter cooler (Alat pendingin udara yang telah dipanaskan) 4. Radiator 5. Thermostat 6. Bypass (jalan potong) 7. Saluran pengembalian lewat radiator 8. Kipas. Susunan Konstruksi Pada Generator
3. Exciter Rotor 4. Exciter Stator 5. N.D.E. Bracket 6. Cover N.D.E 7. Bearing O Ring N.D.E 8. Bearing N.D.E 9. Bearing Circlip N.D.E 10. D.E.Bracket?Engine Adaptor 11. D.E.Screen 12. Coupling Disc 13. Coupling Bolt 14. Foot 15. Frame Cover Bottom 16. Frame Cover Top 17. Air Inlert Cover 18. Terminal Box Lid 19. Endpanel D.E 20. Endpanel N.D.E 21. AVR 22. Side Panel 23. AVR Mounting Bracket 24. Main Rectifier Assembly Forward 25. Main Rectifier Assembly Reverse 26. Varistor 27. Dioda Forward Polarity 28. Dioda Reverse Polarity 29. Lifting Lug D.E 30. Lifting Lug N.D.E 31. Frame to Endbracket Adaptor Ring 32. Main Terminal Panel 33. Terminal Link 34. Edging Strip 35. Fan 36. Foot Mounting Spacer 37. Cap Screw 38. AVR Access Cover 39. AVR Anti Vibration Mounting Assembly 40. Auxiliary Terminal Assembly Semoga bermanfaat, HaGe http://dunia-listrik.blogspot.com Kategori: Sistem Pembangkitan dan Konversi Energi
Unduh Buku-Buku Teknik Elektro Gratis Pembangkit Listrik Tenaga Osmosis Konversi Daya Persoalan Pokok pada Pembangkit Tenaga Listrik Generator Set (GENSET) AVR (Automatic Voltage Regulator)
* Semakin besar daya maka mesin diesel tersebut dimensinya makin besar pula, hal tersebut menyebabkan kesulitan jika daya mesinnya sangat besar. * Konsumsi bahan bakar menggunakan bahan bakar minyak yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar jenis lainnya, seperti gas dan batubara. Cara Kerja Mesin Diesel Prime mover atau penggerak mula merupakan peralatan yang berfungsi menghasilkan energi mekanis yang diperlukan untuk memutar rotor generator. Pada mesin diesel/diesel engine terjadi penyalaan sendiri, karena proses kerjanya berdasarkan udara murni yang dimampatkan di dalam silinder pada tekanan yang tinggi ( 30 atm), sehingga temperatur di dalam silinder naik. Dan pada saat itu bahan bakar disemprotkan dalam silinder yang bersuhu dan bertekanan tinggi melebihi titik nyala bahan bakar sehingga bahan bakar yang diinjeksikan akan terbakar secara otomatis. Penambahan panas atau energi senantiasa dilakukan pada tekanan yang konstan. Tekanan gas hasil pembakaran bahan bakar dan udara akan mendorong torak yang dihubungkan dengan poros engkol menggunakan batang torak, sehingga torak dapat bergerak bolak-balik (reciprocating). Gerak bolak-balik torak akan diubah menjadi gerak rotasi oleh poros engkol (crank shaft). Dan sebaliknya gerak rotasi poros engkol juga diubah menjadi gerak bolak-balik torak pada langkah kompresi. Berdasarkan cara menganalisa sistim kerjanya, motor diesel dibedakan menjadi dua, yaitu motor diesel yang menggunakan sistim airless injection (solid injection) yang dianalisa dengan siklus dual dan motor diesel yang menggunakan sistim air injection yang dianalisa dengan siklus diesel (sedangkan motor bensin dianalisa dengan siklus otto). Perbedaan antara motor diesel dan motor bensin yang nyata adalah terletak pada proses pembakaran bahan bakar, pada motor bensin pembakaran bahan bakar terjadi karena adanya loncatan api listrik yang dihasilkan oleh dua elektroda busi (spark plug), sedangkan pada motor diesel pembakaran terjadi karena kenaikan temperatur campuran udara dan bahan bakar akibat kompresi torak hingga mencapai temperatur nyala. Karena prinsip penyalaan bahan bakarnya akibat tekanan maka motor diesel juga disebut compression ignition engine sedangkan motor bensin disebut spark ignition engine.
Pada mesin diesel, piston melakukan 2 langkah pendek menuju kepala silinder pada setiap langkah daya. 1. Langkah ke atas yang pertama merupakan langkah pemasukan dan penghisapan, di sini udara dan bahan bakar masuk sedangkan poros engkol berputar ke bawah. 2. Langkah kedua merupakan langkah kompresi, poros engkol terus berputar menyebabkan torak naik dan menekan bahan bakar sehingga terjadi pembakaran. Kedua proses ini (1 dan 2) termasuk proses pembakaran. 3. Langkah ketiga merupakan langkah ekspansi dan kerja, di sini kedua katup yaitu katup isap dan buang tertutup sedangkan poros engkol terus berputar dan menarik kembali torak ke bawah. 4. Langkah keempat merupakan langkah pembuangan, disini katup buang terbuka dan menyebabkan gas akibat sisa pembakaran terbuang keluar. Gas dapat keluar karena pada proses keempat ini torak kembali bergerak naik keatas dan menyebabkan gas dapat keluar. Kedua proses terakhir ini (3 dan 4) termasuk proses pembuangan. 5. Setelah keempat proses tersebut, maka proses berikutnya akan mengulang kembali proses yang pertama, dimana udara dan bahan bakar masuk kembali. Berdasarkan kecepatan proses diatas maka mesin diesel dapat digolongkan menjadi 3 bagian, yaitu: 1. Diesel kecepatan rendah (< 400 rpm) 2. Diesel kecepatan menengah (400 - 1000 rpm) 3. Diesel kecepatan tinggi ( >1000 rpm) Sistem starting atau proses untuk menghidupkan/menjalankan mesin diesel dibagi menjadi 3 macam sistem starting yaitu: 1. Sistem Start Manual Sistem start ini dipakai untuk mesin diesel dengan daya mesin yang relatif kecil yaitu < 30 PK. Cara untuk menghidupkan mesin diesel pada sistem ini adalah dengan menggunakan penggerak engkol start pada poros engkol atau poros hubung yang akan digerakkan oleh tenaga manusia. Jadi sistem start ini sangat bergantung pada faktor manusia sebagai operatornya. 2. Sistem Start Elektrik
Sistem ini dipakai oleh mesin diesel yang memiliki daya sedang yaitu < 500 PK. Sistem ini menggunakan motor DC dengan suplai listrik dari baterai/accu 12 atau 24 volt untuk menstart diesel. Saat start, motor DC mendapat suplai listrik dari baterai atau accu dan menghasilkan torsi yang dipakai untuk menggerakkan diesel sampai mencapai putaran tertentu. Baterai atau accu yang dipakai harus dapat dipakai untuk menstart sebanyak 6 kali tanpa diisi kembali, karena arus start yang dibutuhkan motor DC cukup besar maka dipakai dinamo yang berfungsi sebagai generator DC. Pengisian ulang baterai atau accu digunakan alat bantu berupa battery charger dan pengaman tegangan. Pada saat diesel tidak bekerja maka battery charger mendapat suplai listrik dari PLN, sedangkan pada saat diesel bekerja maka suplai dari battery charger didapat dari generator. Fungsi dari pengaman tegangan adalah untuk memonitor tegangan baterai atau accu. Sehingga apabila tegangan dari baterai atau accu sudah mencapai 12/24 volt, yang merupakan tegangan standarnya, maka hubungan antara battery charger dengan baterai atau accu akan diputus oleh pengaman tegangan. 3. Sistem Start Kompresi Sistem start ini dipakai oleh diesel yang memiliki daya besar yaitu > 500 PK. Sistem ini memakai motor dengan udara bertekanan tinggi untuk start dari mesin diesel. Cara kerjanya yaitu dengan menyimpan udara ke dalam suatu botol udara. Kemudian udara tersebut dikompresi sehingga menjadi udara panas dan bahan bakar solar dimasukkan ke dalam Fuel Injection Pump serta disemprotkan lewat nozzle dengan tekanan tinggi. Akibatnya akan terjadi pengkabutan dan pembakaran di ruang bakar. Pada saat tekanan di dalam tabung turun sampai batas minimum yang ditentukan, maka kompressor akan secara otomatis menaikkan tekanan udara di dalam tabung hingga tekanan dalam tabung mencukupi dan siap dipakai untuk melakukan starting mesin diesel. AMF (Automatic Main Failure) dan ATS (Automatic Transfer Switch)
AMF merupakan alat yang berfungsi menurunkan downtime dan meningkatkan keandalan sistem catu daya listrik. AMF dapat mengendalikan transfer Circuit Breaker (CB) atau alat sejenis, dari catu daya utama (PLN) ke catu daya cadangan (genset) dan sebaliknya. Dan ATS merupakan pelengkap dari AMF dan bekerja secara bersama-sama. Cara Kerja AMF dan ATS Automatic Main Failure (AMF) dapat mengendalikan transfer suatu alat dari suplai utama ke suplai cadangan atau dari suplai cadangan ke suplai utama.AMF akan beroperasi saat catu daya utama (PLN) padam dengan mengatur catu daya cadangan (genset). AMF dapat mengatur genset beroperasi jika suplai utama dari PLN mati dan memutuskan genset jika suplai utama dari PLN hidup lagi. Baterai (baterry dan accu) Battery merupakan suatu proses pengubahan energi kimia menjadi energi listrik yang
berupa sel listrik. Pada dasarnya sel listrik terdiri dari dua buah logam/ konduktor yang berbeda dicelupkan ke dalam larutan maka akan bereaksi secara kimia dan menghasilkan gaya gerak listrik antara kedua konduktor tersebut. Proses pengisian battery dilakukan dengan cara mengalirkan arus melalui sel-sel dengan arah yang berlawanan dengan aliran arus dalam proses pengosongan sehingga sel akan dikembalikan dalam keadaan semula. Battery yang digunakan pada sistem otomatis GenSet berfungsi sebagai sumber arus DC pada starting diesel. Battery Charger Alat ini berfungsi untuk proses pengisian battery dengan mengubah tegangan PLN 220V atau dari generator itu sendiri menjadi 12/24 V menggunakan rangkaian penyearah. Battery Charger ini biasanya dilengkapi dengan pengaman hubung singkat (Short Circuit) berupa sekering/ fuse. Panel ACOS
ACOS (Automatic Change Over Switch) merupakan panel pengendalian generator dan terdapat beberapa tombol yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Tombol pengontrol operasi Gen Set automatic, antara lain yaitu : Off, Automatic, Trial Service, Manual Service, Manual Starting, Manual Stoping, Signal Test, Horn Off, Release, Start, Start Fault, Engine Running, Supervision On, Low Oil Pressure, Temperature To High, Generator Over Load. Sistem Pengaman Genset Sistem pengaman harus dapat bekerja cepat dan tepat dalam mengisolir gangguan agar
tidak terjadi kerusakan fatal. Proteksi pada mesin generator ada dua macam yaitu : 1) Pengaman alarm Bertujuan memberitahukan kepada operator bahwa ada sesuatu yang tidak normal dalam operasi mesin generator dan agar operator segera bertindak. 2) Pengaman trip Berfungsi untuk menghindarkan mesin generator dari kemungkinan kerusakan karena ada sistem yang berfungsi tidak normal maka mesin akan stop secara otomatis. Jenis pengaman trip antara lain : 1) Putaran lebih (over speed) 2) Temperatur air pendingin tinggi 3) Tekanan minyak pelumas rendah 4) Emergency stop 5) Reverse power Pentanahan (grounding) a) Pentanahan sistem, pentanahan untuk suatu titik pada penghantar arus dari sistem. Pada umumnya titik tersebut adalah titik netral dari suatu mesin, transformator, atau untuk rangkaian listrik tertentu. b) Pentanahan peralatan sistem, pentanahan untuk suatu bagian yang tidak membawa arus dari sistem, misalnya : Semua logam seperti saluran tempat kabel, kerangka mesin, batang pemegang sakelar, penutup kotak sakelar. Relay pengaman pada genset: a) Relay arus lebih Thermal Over Load Relay (TOLR) digunakan untuk melindungi motor dan perlengkapan kendali motor dari kerusakan akibat beban lebih atau terjadinya hubungan singkat antar hantaran yang menuju jaring atau antar fasa. b) Relay tegangan lebih bekerja bila tegangan yang dihasilkan generator melebihi batas nominalnya. c) Relay diferensial bekerja atas dasar perbandingan tegangan atau perbandingan arus, yaitu besarnya arus sebelum lilitan stator dengan arus yang mengalir pada hantaran yang menuju jaring-jaring. d) Relay daya balik berfungsi untuk mendeteksi aliran daya aktif yang masuk ke arah generator. Sekering berungsi untuk mengamankan peralatan atau instalasi listrik dari gangguan hubung singkat Jika suatu sekering dilewati arus di atas arus kerjanya, maka pada waktu tertentu sekering tersebut akan lebur (putus). Besarnya arus yang dapat meleburkan suatu sekering dalam waktu 4 jam dibagi arus kerja disebut faktor peleburan berkisar 1 hingga 1,5. *) Gambar langkah kerja piston pada mesin diesel milik gudangilmu.org *) Gambar ATS dan AMF milik caturmukti.com
Pemeliharaan Switchgear
15:13 Rasam Syamsudin No comments Sumber NETA 2001 PEMELIHARAAN SWITCHGEAR Frekwensi pemeliharaan yang dianjurkan akan tergantung pada kondisi lingkungan dan operasi, sehingga tidak ada ketentuan hokum yang tetap dapat mengatur semua penerapan. Inspeksi tahunan yang menyeluruh pada switchgear assembly, termasuk elemen withdrawable pada saat tiga tahun pertama setelah operasi, yang merupakan anjuran minimum jika tidak ada criteria lain yang diketahui. Frekwensi inspeksi dapat bertambah atau berkurang tergantung pada observasi dan pengalaman. Hal yang baik adalah mengikuti rekomendasi pabrikan untuk melaksanakan inspeksi dan pemeliharaan sampai kita bisa menentukan sendiri. Faktor berikut ini yang akan mempengaruhi keputusan kapan untuk inspeksi: 1). Skedul shutdown (turn around). 2). Emergency Shutdown 3). Kondisi tidak normal atau tidak biasa. 4). Terjadi gangguan pada penyulang atau bus. 5). Kondisi atmosfir yang ekstrim seperti: panas, dingin, heavy cold, rain, snow high wind, fog, smog, salt spray, high humidity, perubahan temperatur yang tidak biasa dan lain-lain. 6). Persyaratan dan jadwal pemeliharaan. Inspeksi sebagian mungkin saja dilakukan jika bagian lain tidak diperbolehkan untuk tidak beroperasi. Sumber : NFPA 70B PROSEDUR INSPEKSI DAN PENGUJIAN 1. Pengamatan fisik, kondisi electrical, and mechanical termasuk adanya moisture atau corona. 2. Pengamatan angker, alignment, pentanahan dam area clearances yang diperlukan. 3. Sebelum membersihkan unit, lakukan, jika diperlukan. 4. Pembersihan unit. 5. Verifikasi ukuran fuse dan atau PMTdan jenis sesuai dengan gambar dan study koordinasi. 6. Verifikasi bahwa perbandingan trafo arus dan trafo tegangan sesuai dengan gambar. 7. Amati koneksi baut terhadap tahanan tinggi (hih resistance) dengan menggunakan metode berikut ini.:
(1) Gunakan ohm meter tahanan rendah. (2) Verifikasi kekencangan baut dengan menggunakan torque-wrench. (3) Lakukan thermographic survey untuk instalasi yang memungkinkan untuk penggunaan alat tersebut 8. Yakinkan bahwa operasi dan urutannya benar pada sistem electrical dan mechanical interlock. 9. Persyaratan pelumasan (1) Gunakan pelumas yang cocok untuk bagian bergerak yang dialiri arus (2) Gunakan pelumas yang cocok untuk bagian permukaan bagian bergerak atau permukaan untuk meluncur. 10. Lakukan pengujian as left Test 11. Amati isolasi terhadap adanya kerusakan fisik atau permukaan yang terkontaminasi. 12. Verifikasi instalasi dan operasi barier dan shutter. 13. Lakukan percobaan kerja komponen-komponen aktifnya. 14. Amati perlengkapan indikasi mekanis dapat bekerja dengan benar. 15. Lakukan inspeksi visual dan mekanikal untuk trafo instrument. 17. Inspeksi kendali trafo daya. (1) Amati kerusakan fisik, isolasi pecah/retak, kabel yang rusak, kekencangan koneksi, kerusakan pada kawat dan seluruh kondisi umum lainnya. (2) Verifikasi bahwa rating fuse di isisi primer dan sekunder atau CB/Fuse sesuai dengan gambar. (3) Verifikasi fungsi dari alat pemisah draw-out dan kontak pentanahan dan interlocks. ELECTRICAL TESTS 1. Lakukan pengujian listrik terhadap trafo instrument. 2. Lakukan pengujian resistance terhadap tanah. 3. Lakukan pengukuran resistance melalui koneksi baut dengan menggunakan ohmmeter tahanan rendah.. 4. Lakukan pengujian tahanan isolasi pada masing-masing bagian rel (bus) terhadap fasa ke fasa dan fasa ke tanah, 5. Lakukan pengujian tegangan lebih (overpotential) pada masing-masing seksi rel terhadap tanah dengan fasa yang diuji tidak ditanahkan, 6. Lakukan pengujian tahan isolasi pada kabel penghantar kontrol terhadap tanah. Trapkan tegangan 500 VDC untuk sistem dengan rating 300 Volt dan tegangan penguji 1000V untuk tegangan kerja kabel 600V.. Lama pengujian hanya satu menit. Untuk unit-unit dengan komponen solid state atau peralatan kontrrol yang tidak dapat menerima tegangan yang diterapkan, maka agar dianjurkan untuk mengikuti rekomendasi pabrikan. 7. Lakukan pengujian fungsi sistem. 8. Control Power Transformers (1). Lakukan pengujian tahanan isolasi (insulation-resistance). Lakukan pengukuran
terhadap kumparan ke kumparan dan masing-masing kumparan ke tanah. Tegangan pengujian harus sesuai dengan sistem tegangan switchgear tersebut (PT), atau ikuti anjuran pabrikan. (2). Verifikasi kebenaran fungsi relay pengendali pemindahan yang ditempatkan di switchgear jika ada mempunya beberapa sumber. 9. Voltage Transformers (1). Lakukan pengujian tahanan isolasi. Lakukan pengukuran terhadap lilitan ke lilitan dan masing-masing lilitan ke tanah. Tegangan pengujian harus sesuai dengan sistem tegangannya atau ikuti anjuran pabrikan. (2). Verifikasi tegangan-tegangan sekundaer. 10. Verifikasi operasi pemanas kompartement switchgear/switchboard. TEST VALUES 1. Bandingkan resistansi koneksi rel ke nilai dari koneksi yang serupa. 2. Torsi pengencangan baut harus sesuai dengan standar dari ukuran baut tersebut. 3. Nilai-nilai Microhm atau millivolt agar tidak boleh melampaui nilaai-nilai tertingi dari batas normal yang dikeluarkan pabrikan.. 4. Nilai-nilai tahanan isolasi untuk rel dan kontrol trafo-daya agar sesuai dengan data pabrikan. Pengujian over potential agar tidak dilakukan sampai nilai isolasi mencapai di atas nilai minimum. 5. Isolasi bus agar tahan terhadap pengujian over-potential tegangan yang diterapkan. 6. Kabel kontrol nilai minimum isolasi resistance agar dapat dibandingkan terhadap nilai sebelumnya hasilnya tidak boleh lebih kecil dari 2 mega ohm.
Gambar 1. Diagram Generator AC Satu Phasa Dua Kutub. Lilitan seperti disebutkan diatas disebut Lilitan terpusat, dalam generator sebenarnya terdiri dari banyak lilitan dalam masing-masing fasa yang terdistribusi pada masing-masing alur stator dan disebut Lilitan terdistribusi. Diasumsikan rotor berputar searah jarum jam, maka fluks medan rotor bergerak sesuai lilitan jangkar. Satu putaran rotor dalam satu detik menghasilkan satu siklus per detik atau 1 Hertz (Hz). Bila kecepatannya 60 Revolution per menit (Rpm), frekuensi 1 Hz. Maka untuk frekuensi f = 60 Hz, rotor harus berputar 3600 Rpm. Untuk kecepatan rotor n rpm, rotor harus berputar pada kecepatan n/60 revolution per detik (rps). Bila rotor mempunyai lebih dari 1 pasang kutub, misalnya P kutub maka masing-masing revolution dari rotor menginduksikan P/2 siklus tegangan dalam lilitan stator. Frekuensi dari tegangan induksi sebagai sebuah fungsi dari kecepatan rotor, dan diformulasikan dengan:
Untuk generator sinkron tiga fasa, harus ada tiga belitan yang masing-masing terpisah sebesar 120 derajat listrik dalam ruang sekitar keliling celah udara seperti diperlihatkan pada kumparan a a, b b dan c c pada gambar 2. Masing-masing lilitan akan menghasilkan gelombang Fluksi sinus satu dengan lainnya berbeda 120 derajat listrik. Dalam keadaan seimbang besarnya fluksi sesaat : A = m. Sin t B = m. Sin ( t 120 ) C = m. Sin ( t 240 )
Gambar 2. Diagram Generator AC Tiga Fasa Dua Kutub Besarnya fluks resultan adalah jumlah vektor ketiga fluks tersebut adalah: T = A +B + C, yang merupakan fungsi tempat () dan waktu (t), maka besarbesarnya fluks total adalah: T = m.Sin t + m.Sin(t 120) + m. Sin(t 240). Cos ( 240)
Dengan memakai transformasi trigonometri dari : Sin . Cos = .Sin ( + ) + Sin ( + ), maka dari persamaan diatas diperoleh : T = .m. Sin (t + )+ .m. Sin (t ) + .m. Sin ( t + 240 )+ .m. Sin (t ) +.m. Sin (t + 480) Dari persamaan diatas, bila diuraikan maka suku kesatu, ketiga, dan kelima akan silang menghilangkan. Dengan demikian dari persamaan akan didapat fluksi total sebesar, T = m. Sin ( t - ) Weber . Jadi medan resultan merupakan medan putar dengan modulus 3/2 dengan sudut putar sebesar . Maka besarnya tegangan masing-masing fasa adalah : E maks = Bm. . r Volt dimana : Bm = Kerapatan Fluks maksimum kumparan medan rotor (Tesla) = Panjang masing-masing lilitan dalam medan magnetik (Weber) = Kecepatan sudut dari rotor (rad/s) r = Radius dari jangkar (meter) anda dapat juga membaca artikel yang terkait dengan bahasan kali ini, di: - elektromekanis dalam sistem tenaga-1, di sini. - elektromekanis dalam sistem tenaga-2, di sini. Generator Tanpa Beban Apabila sebuah mesin sinkron difungsikan sebagai generator dengan diputar pada kecepatan sinkron dan rotor diberi arus medan (If), maka pada kumparan jangkar stator akan diinduksikan tegangan tanpa beban (Eo), yaitu sebesar: Eo = 4,44 .Kd. Kp. f. m. T Volt Dalam keadaan tanpa beban arus jangkar tidak mengalir pada stator, sehingga tidak terdapat pengaruh reaksi jangkar. Fluks hanya dihasilkan oleh arus medan (If). Bila besarnya arus medan dinaikkan, maka tegangan keluaran juga akan naik sampai titik saturasi (jenuh), seperti diperlihatkan pada gambar 3. Kondisi generator tanpa beban bisa digambarkan rangkaian ekuivalennya seperti diperlihatkan pada gambar 3b.
Gambar 3a dan 3b. Kurva dan Rangkaian Ekuivalen Generator Tanpa Beban Generator Berbeban Bila generator diberi beban yang berubah-ubah maka besarnya tegangan terminal V akan berubah-ubah pula, hal ini disebabkan adanya kerugian tegangan pada: Resistansi jangkar Ra Reaktansi bocor jangkar Xl Reaksi Jangkar Xa a. Resistansi Jangkar Resistansi jangkar/fasa Ra menyebabkan terjadinya kerugian tegang/fasa (tegangan jatuh/fasa) dan I.Ra yang sefasa dengan arus jangkar. b. Reaktansi Bocor Jangkar Saat arus mengalir melalui penghantar jangkar, sebagian fluks yang terjadi tidak mengimbas pada jalur yang telah ditentukan, hal seperti ini disebut Fluks Bocor. c. Reaksi Jangkar Adanya arus yang mengalir pada kumparan jangkar saat generator dibebani akan menimbulkan fluksi jangkar (A ) yang berintegrasi dengan fluksi yang dihasilkan pada kumparan medan rotor(F), sehingga akan dihasilkan suatu fluksi resultan sebesar : Interaksi antara kedua fluksi ini disebut sebagai reaksi jangkar, seperti diperlihatkan pada Gambar 4. yang mengilustrasikan kondisi reaksi jangkar untuk jenis beban yang berbedabeda.
Gambar 4a, 4b, 4c dan 4d. Kondisi Reaksi Jangkar. Gambar 4a , memperlihatkan kondisi reaksi jangkar saat generator dibebani tahanan (resistif) sehingga arus jangkar Ia sefasa dengan GGL Eb dan A akan tegak lurus terhadap F. Gambar 4b, memperlihatkan kondisi reaksi jangkar saat generator dibebani kapasitif ,
sehingga arus jangkar Ia mendahului ggl Eb sebesar dan A terbelakang terhadap F dengan sudut (90 -). Gambar 4c, memperlihatkan kondisi reaksi jangkar saat dibebani kapasitif murni yang mengakibatkan arus jangkar Ia mendahului GGL Eb sebesar 90 dan A akan memperkuat F yang berpengaruh terhadap pemagnetan. Gambar 4d, memperlihatkan kondisi reaksi jangkar saat arus diberi beban induktif murni sehingga mengakibatkan arus jangkar Ia terbelakang dari GGL Eb sebesar 90 dan A akan memperlemah F yang berpengaruh terhadap pemagnetan. Jumlah dari reaktansi bocor XL dan reaktansi jangkar Xa biasa disebut reaktansi Sinkron Xs. Vektor diagram untuk beban yang bersifat Induktif, resistif murni, dan kapasitif diperlihatkan pada Gambar 5a, 5b dan 5c.
Gambar 5a, 5b dan 5c. Vektor Diagram dari Beban Generator Berdasarkan gambar diatas, maka bisa ditentukan besarnya tegangan jatuh yang terjadi, yaitu : Total Tegangan Jatuh pada Beban:
= I.Ra + j (I.Xa + I.XL) = I {Ra + j (Xs + XL)} = I {Ra + j (Xs)} = I.Zs Menentukan Resistansi dan Reaktansi Untuk bisa menentukan nilai reaktansi dan impedansi dari sebuah generator, harus dilakukan percobaan (test). Ada tiga jenis test yang biasa dilakukan, yaitu: Test Tanpa beban ( Beban Nol ) Test Hubung Singkat. Test Resistansi Jangkar. Test Tanpa Beban Test Tanpa Beban dilakukan pada kecepatan Sinkron dengan rangkaian jangkar terbuka (tanpa beban) seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Percobaan dilakukan dengan cara mengatur arus medan (If) dari nol sampai rating tegangan output terminal tercapai.
Gambar 6. Rangkaian Test Generator Tanpa Beban. Test Hubung Singkat Untuk melakukan test ini terminal generator dihubung singkat, dan dengan Ampermeter diletakkan diantara dua penghantar yang dihubung singkat tersebut (Gambar 7). Arus medan dinaikkan secara bertahap sampai diperoleh arus jangkar maksimum. Selama proses test arus If dan arus hubung singkat Ihs dicatat.
Gambar 7. Rangkaian Test Generator di Hubung Singkat. Dari hasil kedua test diatas, maka dapat digambar dalam bentuk kurva karakteristik seperti diperlihatkan pada gambar 8.
Gambar 8. Kurva Karakteristik Tanpa Beban dan Hubung Singkat sebuah Generator. Impedansi Sinkron dicari berdasarkan hasil test, adalah:
, If = konstatn Test Resistansi Jangkar Dengan rangkaian medan terbuka, resistansi DC diukur antara dua terminal output sehingga dua fasa terhubung secara seri, Gambar 9. Resistansi per fasa adalah setengahnya dari yang diukur.
Dalam kenyataannya nilai resistansi dikalikan dengan suatu faktor untuk menentukan nilai resistansi AC efektif , eff R . Faktor ini tergantung pada bentuk dan ukuran alur, ukuran penghantar jangkar, dan konstruksi kumparan. Nilainya berkisar antara 1,2 s/d 1,6 . Bila nilai Ra telah diketahui, nilai Xs bisa ditentukan berdasarkan persamaan:
Mohave Generating Station, a 1,580 MW thermal power station near Laughlin, Nevada fuelled by coal
Geothermal power station in Iceland A thermal power station is a power plant in which the prime mover is steam driven. Water is heated, turns into steam and spins a steam turbine which drives an electrical generator. After it passes through the turbine, the steam is condensed in a condenser and recycled to where it was heated; this is known as a Rankine cycle. The greatest variation in the design of thermal power stations is due to the different fuel sources. Some prefer to use the term energy center because such facilities convert forms of heat energy into electricity[1]. Some thermal power plants also deliver heat energy for industrial purposes, for district heating, or for desalination of water as well as delivering electrical power. A large part of human CO2 emissions comes from fossil fueled thermal power plants; efforts to reduce these outputs are various and widespread.
Contents
[hide]
1 Introductory overview 2 History 3 Efficiency 4 Electricity cost 5 Diagram of a typical coal-fired thermal power station 6 Boiler and steam cycle o 6.1 Feed water heating and deaeration o 6.2 Boiler operation o 6.3 Boiler furnace and steam drum o 6.4 Superheater o 6.5 Steam condensing o 6.6 Reheater o 6.7 Air path 7 Steam turbine generator 8 Stack gas path and cleanup o 8.1 Fly ash collection o 8.2 Bottom ash collection and disposal 9 Auxiliary systems o 9.1 Boiler make-up water treatment plant and storage o 9.2 Fuel preparation system o 9.3 Barring gear o 9.4 Oil system o 9.5 Generator cooling o 9.6 Generator high voltage system o 9.7 Monitoring and alarm system o 9.8 Battery supplied emergency lighting and communication 10 Transport of coal fuel to site and to storage 11 See also 12 References 13 External links
Commercial electric utility power stations are usually constructed on a large scale and designed for continuous operation. Electric power plants typically use three-phase electrical generators to produce alternating current (AC) electric power at a frequency of 50 Hz or 60 Hz. Large companies or institutions may have their own power plants to supply heating or electricity to their facilities, especially if steam is created anyway for other purposes. Steam-driven power plants have been used in various large ships, but are now usually used in large naval ships. Shipboard power plants usually directly couple the turbine to the ship's propellers through gearboxes. Power plants in such ships also provide steam to smaller turbines driving electric generators to supply electricity. Shipboard steam power plants can be either fossil fuel or nuclear. Nuclear marine propulsion is, with few exceptions, used only in naval vessels. There have been perhaps about a dozen turboelectric ships in which a steam-driven turbine drives an electric generator which powers an electric motor for propulsion. combined heat and power (CH&P) plants, often called co-generation plants, produce both electric power and heat for process heat, space heating, or process heat. Steam and hot water lose energy when piped over substantial distance, so carrying heat energy by steam or hot water is often only worthwhile within a local area, such as a ship, industrial plant, or district heating of nearby buildings.
[edit] History
Reciprocating steam engines have been used for mechanical power sources since the 18th Century, with notable improvements being made by James Watt. The very first commercial central electrical generating stations in the Pearl Street Station, New York and the Holborn Viaduct power station, London, in 1882, also used reciprocating steam engines. The development of the steam turbine allowed larger and more efficient central generating stations to be built. By 1892 it was considered as an alternative to reciprocating engines [2] Turbines offered higher speeds, more compact machinery, and stable speed regulation allowing for parallel synchronous operation of generators on a common bus. Turbines entirely replaced reciprocating engines in large central stations after about 1905. The largest reciprocating engine-generator sets ever built were completed in 1901 for the Manhattan Elevated Railway. Each of seventeen units weighed about 500 tons and was rated 6000 kilowatts; a contemporary turbine-set of similar rating would have weighed about 20% as much. [3]
[edit] Efficiency
The energy efficiency of a conventional thermal power station, considered as salable energy as a percent of the heating value of the fuel consumed, is typically 33% to 48%. This efficiency is limited as all heat engines are governed by the laws of thermodynamics. The rest of the energy must leave the plant in the form of heat. This waste heat can go through a condenser and be disposed of with cooling water or in cooling towers. If the waste heat is instead utilized for district heating, it is called co-generation. An important class of thermal power station are associated with desalination facilities; these are typically
found in desert countries with large supplies of natural gas and in these plants, freshwater production and electricity are equally important co-products.
A Rankine cycle with a two-stage steam turbine and a single feed water heater. Since the efficiency of the plant is fundamentally limited by the ratio of the absolute temperatures of the steam at turbine input and output, efficiency improvements require use of higher temperature, and therefore higher pressure, steam. Historically, other working fluids such as mercury have been used in a mercury vapor turbine power plant, since these can attain higher temperatures than water at lower working pressures. However, the obvious hazards of toxicity, high cost, and poor heat transfer properties, have ruled out mercury as a working fluid. Above the critical point for water of 705 F (374 C) and 3212 psi (22.06 MPa), there is no phase transition from water to steam, but only a gradual decrease in density. Boiling does not occur and it is not possible to remove impurities via steam separation. In this case a super critical steam plant is required to utilize the increased thermodynamic efficiency by operating at higher temperatures. These plants, also called once-through plants because boiler water does not circulate multiple times, require additional water purification steps to ensure that any impurities picked up during the cycle will be removed. This purification takes the form of high pressure ion exchange units called condensate polishers between the
steam condenser and the feed water heaters. Sub-critical fossil fuel power plants can achieve 3640% efficiency. Super critical designs have efficiencies in the low to mid 40% range, with new "ultra critical" designs using pressures of 4400 psi (30.3 MPa) and dual stage reheat reaching about 48% efficiency. Current nuclear power plants operate below the temperatures and pressures that coal-fired plants do. This limits their thermodynamic efficiency to 3032%. Some advanced reactor designs being studied, such as the Very high temperature reactor, Advanced gas-cooled reactor and Super critical water reactor, would operate at temperatures and pressures similar to current coal plants, producing comparable thermodynamic efficiency.
1. Cooling tower
10. Steam Control valve 11. High pressure steam 2. Cooling water pump turbine 3. transmission line (3-phase) 12. Deaerator 4. Step-up transformer (313. Feedwater heater phase) 5. Electrical generator (314. Coal conveyor phase) 6. Low pressure steam turbine 15. Coal hopper 7. Condensate pump 16. Coal pulverizer 8. Surface condenser 17. Boiler steam drum
19. Superheater 20. Forced draught (draft) fan 21. Reheater 22. Combustion air intake 23. Economiser 24. Air preheater 25. Precipitator 26. Induced draught (draft) fan 27. Flue gas stack
For units over about 200 MW capacity, redundancy of key components is provided by installing duplicates of the forced and induced draft fans, air preheaters, and fly ash collectors. On some units of about 60 MW, two boilers per unit may instead be provided.
Diagram of boiler feed water deaerator (with vertical, domed aeration section and horizontal water storage section The water flows through a series of six or seven intermediate feed water heaters, heated up at each point with steam extracted from an appropriate duct on the turbines and gaining temperature at each stage. Typically, the condensate plus the makeup water then flows through a deaerator[7][8] that removes dissolved air from the water, further purifying and reducing its corrosiveness. The water may be dosed following this point with hydrazine, a chemical that removes the remaining oxygen in the water to below 5 parts per billion (ppb). [vague] It is also dosed with pH control agents such as ammonia or morpholine to keep the residual acidity low and thus non-corrosive.
The boiler furnace auxiliary equipment includes coal feed nozzles and igniter guns, soot blowers, water lancing and observation ports (in the furnace walls) for observation of the furnace interior. Furnace explosions due to any accumulation of combustible gases after a trip-out are avoided by flushing out such gases from the combustion zone before igniting the coal. The steam drum (as well as the super heater coils and headers) have air vents and drains needed for initial start up. The steam drum has internal devices that removes moisture from the wet steam entering the drum from the steam generating tubes. The dry steam then flows into the super heater coils.
[edit] Superheater
Fossil fuel power plants can have a superheater and/or re-heater section in the steam generating furnace. In a fossil fuel plant, after the steam is conditioned by the drying equipment inside the steam drum, it is piped from the upper drum area into tubes inside an area of the furnace known as the superheater, which has an elaborate set up of tubing where the steam vapor picks up more energy from hot flue gases outside the tubing and its temperature is now superheated above the saturation temperature. The superheated steam is then piped through the main steam lines to the valves before the high pressure turbine. Nuclear-powered steam plants do not have such sections but produce steam at essentially saturated conditions. Experimental nuclear plants were equipped with fossil-fired super heaters in an attempt to improve overall plant operating cost.
The surface condenser is a shell and tube heat exchanger in which cooling water is circulated through the tubes.[5][9][10][11] The exhaust steam from the low pressure turbine enters the shell where it is cooled and converted to condensate (water) by flowing over the tubes as shown in the adjacent diagram. Such condensers use steam ejectors or rotary motor-driven exhausters for continuous removal of air and gases from the steam side to maintain vacuum. For best efficiency, the temperature in the condenser must be kept as low as practical in order to achieve the lowest possible pressure in the condensing steam. Since the condenser temperature can almost always be kept significantly below 100 C where the vapor pressure of water is much less than atmospheric pressure, the condenser generally works under vacuum. Thus leaks of non-condensible air into the closed loop must be prevented. Typically the cooling water causes the steam to condense at a temperature of about 35 C (95 F) and that creates an absolute pressure in the condenser of about 27 kPa (Template:Convert/in Hg), i.e. a vacuum of about 95 kPa (Template:Convert/in Hg) relative to atmospheric pressure. The large decrease in volume that occurs when water vapor condenses to liquid creates the low vacuum that helps pull steam through and increase the efficiency of the turbines. The limiting factor is the temperature of the cooling water and that, in turn, is limited by the prevailing average climatic conditions at the power plant's location (it may be possible to lower the temperature beyond the turbine limits during winter, causing excessive condensation in the turbine). Plants operating in hot climates may have to reduce output if their source of condenser cooling water becomes warmer; unfortunately this usually coincides with periods of high electrical demand for air conditioning. The condenser generally uses either circulating cooling water from a cooling tower to reject waste heat to the atmosphere, or once-through water from a river, lake or ocean.
A Marley mechanical induced draft cooling tower The heat absorbed by the circulating cooling water in the condenser tubes must also be removed to maintain the ability of the water to cool as it circulates. This is done by pumping the warm water from the condenser through either natural draft, forced draft or induced draft cooling towers (as seen in the image to the right) that reduce the temperature of the water by evaporation, by about 11 to 17 C (20 to 30 F)expelling waste heat to the atmosphere. The circulation flow rate of the cooling water in a 500 MW unit is about 14.2 m/s (500 ft/s or 225,000 US gal/min) at full load.[12]
The condenser tubes are made of brass or stainless steel to resist corrosion from either side. Nevertheless they may become internally fouled during operation by bacteria or algae in the cooling water or by mineral scaling, all of which inhibit heat transfer and reduce thermodynamic efficiency. Many plants include an automatic cleaning system that circulates sponge rubber balls through the tubes to scrub them clean without the need to take the system off-line.[citation needed] The cooling water used to condense the steam in the condenser returns to its source without having been changed other than having been warmed. If the water returns to a local water body (rather than a circulating cooling tower), it is tempered with cool 'raw' water to prevent thermal shock when discharged into that body of water. Another form of condensing system is the air-cooled condenser. The process is similar to that of a radiator and fan. Exhaust heat from the low pressure section of a steam turbine runs through the condensing tubes, the tubes are usually finned and ambient air is pushed through the fins with the help of a large fan. The steam condenses to water to be reused in the water-steam cycle. Air-cooled condensers typically operate at a higher temperature than water cooled versions. While saving water, the efficiency of the cycle is reduced (resulting in more carbon dioxide per megawatt of electricity). From the bottom of the condenser, powerful condensate pumps recycle the condensed steam (water) back to the water/steam cycle.
[edit] Reheater
Power plant furnaces may have a reheater section containing tubes heated by hot flue gases outside the tubes. Exhaust steam from the high pressure turbine is passed through these heated tubes to collect more energy before driving the intermediate and then low pressure turbines.
Rotor of a modern steam turbine, used in a power station The turbine generator consists of a series of steam turbines interconnected to each other and a generator on a common shaft. There is a high pressure turbine at one end, followed by an intermediate pressure turbine, two low pressure turbines, and the generator. As steam moves through the system and loses pressure and thermal energy it expands in volume, requiring increasing diameter and longer blades at each succeeding stage to extract the remaining energy. The entire rotating mass may be over 200 metric tons and 100 feet (30 m) long. It is so heavy that it must be kept turning slowly even when shut down (at 3 rpm) so that the shaft will not bow even slightly and become unbalanced. This is so important that it is one of only five functions of blackout emergency power batteries on site. Other functions are emergency lighting, communication, station alarms and turbogenerator lube oil. Superheated steam from the boiler is delivered through 1416-inch (360410 mm) diameter piping to the high pressure turbine where it falls in pressure to 600 psi (4.1 MPa) and to 600 F (320 C) in temperature through the stage. It exits via 2426-inch (610660 mm) diameter cold reheat lines and passes back into the boiler where the steam is reheated in special reheat pendant tubes back to 1,000 F (500 C). The hot reheat steam is conducted to the intermediate pressure turbine where it falls in both temperature and pressure and exits directly to the long-bladed low pressure turbines and finally exits to the condenser. The generator, 30 feet (9 m) long and 12 feet (3.7 m) in diameter, contains a stationary stator and a spinning rotor, each containing miles of heavy copper conductorno permanent magnets here. In operation it generates up to 21,000 amperes at 24,000 volts AC (504 MWe) as it spins at either 3,000 or 3,600 rpm, synchronized to the power grid. The rotor spins in a sealed chamber cooled with hydrogen gas, selected because it has the highest known heat transfer coefficient of any gas and for its low viscosity which reduces windage losses. This system requires special handling during startup, with air in the chamber first displaced by carbon dioxide before filling with hydrogen. This ensures that the highly explosive hydrogenoxygen environment is not created.
The power grid frequency is 60 Hz across North America and 50 Hz in Europe, Oceania, Asia (Korea and parts of Japan are notable exceptions) and parts of Africa. The electricity flows to a distribution yard where transformers step the voltage up to 115, 230, 500 or 765 kV AC as needed for transmission to its destination. The steam turbine-driven generators have auxiliary systems enabling them to work satisfactorily and safely. The steam turbine generator being rotating equipment generally has a heavy, large diameter shaft. The shaft therefore requires not only supports but also has to be kept in position while running. To minimize the frictional resistance to the rotation, the shaft has a number of bearings. The bearing shells, in which the shaft rotates, are lined with a low friction material like Babbitt metal. Oil lubrication is provided to further reduce the friction between shaft and bearing surface and to limit the heat generated.
dispersion modeling studies for such stacks must use the GEP stack height rather than the actual stack height.
casing, is used because it has the highest known heat transfer coefficient of any gas and for its low viscosity which reduces windage losses. This system requires special handling during start-up, with air in the generator enclosure first displaced by carbon dioxide before filling with hydrogen. This ensures that the highly flammable hydrogen does not mix with oxygen in the air. The hydrogen pressure inside the casing is maintained slightly higher than atmospheric pressure to avoid outside air ingress. The hydrogen must be sealed against outward leakage where the shaft emerges from the casing. Mechanical seals around the shaft are installed with a very small annular gap to avoid rubbing between the shaft and the seals. Seal oil is used to prevent the hydrogen gas leakage to atmosphere. The generator also uses water cooling. Since the generator coils are at a potential of about 22 kV and water is conductive, an insulating barrier such as Teflon is used to interconnect the water line and the generator high voltage windings. Demineralized water of low conductivity is used.
DEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI NOMOR 200-12/44/600.4/2003 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SERTIFIKAT LAIK OPERASI INSTALASI TENAGA LISTRIK DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (7) Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 437 K/30/MEM/2003 tanggal 11 April 2003 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/40/M.PE/1990 tentang Instalasi Ketenagalistrikan, perlu menetapkan Tata Cara Penerbitan Sertifikat Laik Operasi Instalasi Tenaga Listrik dalam suatu keputusan Direktur Jenderal; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (LN Tahun 1999 No. 42, TLN No. 3821); 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 (LN Tahun 2002 No. 94, TLN No. 4226); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 (LN Tahun 1989 No. 24, TLN No. 3394); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1995 (LN Tahun 1995 No. 34, TLN No. 3603); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 (LN Tahun 2000 No. 199, TLN No. 4020); 6. Keputusan Presiden Nomor 11/M Tahun 2001 tanggal 9 Januari 2001; 7. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 437 K/30/MEM/2003 tanggal 11 April 2003; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI TENTANG TATA CARA PENERBITAN SERTIFIKAT LAIK OPERASI INSTALASI TENAGA LISTRIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan: 1. Instalasi Tenaga Listrik, Tenaga Listrik, Pemeriksaan Instalasi, Pengujian Instalasi, Penyediaan Tenaga Listrik, Pemanfaatan Tenaga Listrik, Instalasi Penyediaan Tenaga Listrik, Instalasi Pemanfaatan Tenaga Listrik, dan Direktur Jenderal adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 437 K/30/MEM/2003 tanggal 11 April 2003.
2. Lembaga Inspeksi adalah lembaga yang melakukan pemeriksaan dan pengujian instalasi penyediaan tenaga listrik dan instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi dan tegangan menengah yang telah diakreditasi oleh lembaga yang berwenang dalam memberikan pengakuan formal untuk memberikan sertifikasi. 3. Lembaga Inspeksi Nirlaba adalah lembaga yang melakukan pemeriksaan dan pengujian instalasi pemanfaatan tenaga listrik tegangan rendah yang telah diakreditasi oleh lembaga yang berwenang dalam memberikan pengakuan formal untuk memberikan sertifikasi. 4. Rekondisi adalah suatu upaya untuk memperbaiki kemampuan instalasi penyediaan tenaga listrik seperti kondisi semula. BAB II INSTALASI PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK Pasal 2 (1) Setiap instalasi penyediaan tenaga listrik wajib memiliki Sertifikat Laik Operasi. (2) Sertifikat Laik Operasi instalasi penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga Inspeksi yang telah diakreditasi dan mendapat penugasan dari Direktur Jenderal. (3) Sertifikasi Laik Operasi instalasi penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan terhadap instalasi yang telah: a. selesai dibangun dan dipasang; b. dilakukan pemeliharaan besar (major overhaul); c. dilakukan rekondisi; d. dilakukan perubahan kapasitas; dan e. dilakukan relokasi. Pasal 3 (1) Permohonan Sertifikat Laik Operasi instalasi penyediaan tenaga listrik disampaikan secara tertulis oleh Direksi atau Kuasa Direksi kepada Lembaga Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan tembusan permohonan disampaikan kepada Direktur Jenderal. (2) Permohonan Sertifikat Laik Operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya dilengkapi dengan data mengenai: a. jenis instalasi (pembangkit, transmisi, gardu induk, jaringan tegangan tinggi, jaringan tegangan menengah, jaringan tegangan rendah, gardu hubung, gardu distribusi); b. kapasitas daya terpasang (MW, kms, jumlah bay, buah); c. pelaksana pembangunan, pemasangan, dan pemeliharaan; dan d. tahun pembangunan, pemasangan, dan pemeliharaan.
(3) Batas waktu pengajuan permohonan Sertifikat Laik Operasi paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dilaksanakan pengujian. Pasal 4 (1) Instalasi penyediaan tenaga listrik harus dilakukan pemeriksaan dan pengujian sebelum diberikan Sertifikat Laik Operasi. (2) Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyediaan tenaga listrik meliputi pemeriksaan dan pengujian instalasi pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik. (3) Pemeriksaan dan pengujian instalasi penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Lembaga Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (4) Pembeli tenaga listrik dapat menunjuk suatu Lembaga Inspeksi lainnya untuk dan atas nama pembeli tenaga listrik melakukan penyaksian (witnessing) terhadap pemeriksaan dan pengujian instalasi penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 5 (1) Instalasi penyediaan tenaga listrik diperiksa dan diuji dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia di bidang ketenagalistrikan, standar internasional, atau standar negara lain yang tidak bertentangan dengan ISO/IEC. (2) Mata uji (item tests) laik operasi instalasi pembangkitan tenaga listrik adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini. (3) Mata uji (item tests) laik operasi instalasi transmisi dan distribusi tenaga listrik adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Keputusan ini. (4) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan dan pengujian. Pasal 6 (1) Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Lembaga Inspeksi menerbitkan Sertifikat Laik Operasi instalasi penyediaan tenaga listrik. (2) Sertifikat Laik Operasi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Lembaga Inspeksi wajib mengirimkan tembusan Sertifikat Laik Operasi yang telah diterbitkan kepada Direktur Jenderal. BAB III INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK Pasal 7 (1) Instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan tinggi, tegangan menengah, dan tegangan rendah wajib memiliki Sertifikat Laik Operasi.
(2) Sertifikat Laik Operasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan tinggi dan tegangan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga Inspeksi yang telah diakreditasi dan mendapat penugasan dari Direktur Jenderal. (3) Sertifikat Laik Operasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan rendah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga Inspeksi Nirlaba yang telah diakreditasi dan mendapat penugasan dari Direktur Jenderal. Pasal 8 (1) Permohonan Sertifikat Laik Operasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan tinggi dan tegangan menengah disampaikan secara tertulis oleh pemilik instalasi kepada Lembaga Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (2) Permohonan Sertifikat Laik Operasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan rendah disampaikan secara tertulis oleh pemilik instalasi kepada Lembaga Inspeksi Nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). (3) Permohonan Sertifikat Laik Operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sekurang-kurangnya dilengkapi dengan data mengenai: a. jenis instalasi (jaringan tegangan tinggi, jaringan tegangan menengah, jaringan tegangan rendah, gardu hubung, gardu distribusi, sambungan rumah); b. kapasitas daya terpasang (MW, kms, jumlah bay, buah); c. pelaksana pembangunan dan pemasangan; dan d. tahun pembangunan dan pemasangan. Pasal 9 (1) Instalasi pemanfaatan tenaga listrik harus dilakukan pemeriksaan dan pengujian sebelum diberikan Sertifikat Laik Operasi. (2) Pemeriksaan dan atau pengujian instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan tinggi, tegangan menengah, dan tegangan rendah dimulai dari titik pemakaian. (3) Pemeriksaan dan pengujian instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan tinggi dan tegangan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Lembaga Inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). (4) Pemeriksaan instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan rendah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan oleh Lembaga Inspeksi Nirlaba
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). Pasal 10 (1) Instalasi pemanfaatan tenaga listrik diperiksa dan diuji dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia di bidang ketenagalistrikan, standar internasional, atau standar negara lain yang tidak bertentangan dengan ISO/IEC. (2) Mata uji (item tests) laik operasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan tinggi dan tegangan menengah adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Keputusan ini. (3) Mata uji (item tests) laik operasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan rendah adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Keputusan ini. (4) Hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan dan pengujian. Pasal 11 (1) Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), Lembaga Inspeksi menerbitkan Sertifikat Laik Operasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan tinggi dan tegangan menengah. (2) Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), Lembaga Inspeksi Nirlaba menerbitkan Sertifikat Laik Operasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan rendah. (3) Sertifikat Laik Operasi berlaku selama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. (4) Lembaga Inspeksi wajib mengirimkan tembusan Sertifikat Laik Operasi yang telah diterbitkan kepada Direktur Jenderal. (5) Lembaga Inspeksi Nirlaba wajib menyampaikan laporan pelaksanaan sertifikasi instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan rendah secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Direktur Jenderal. BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 12 (1) Direktur Jenderal melakukan pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan sertifikasi laik operasi instalasi tenaga listrik sesuai dengan peraturan yang berlaku. (2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal dapat merekomendasikan kepada Lembaga Inspeksi dan
Lembaga Inspeksi Nirlaba untuk mencabut Sertifikat Laik Operasi apabila ditemukan penyimpangan dalam instalasi tenaga listrik. (3) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Jenderal dapat mencabut surat penugasan kepada Lembaga Inspeksi dan Lembaga Inspeksi Nirlaba apabila ditemukan penyimpangan dalam pelaksanaan sertifikasi instalasi tenaga listrik. (4) Dalam hal Direktur Jenderal mencabut surat penugasan kepada Lembaga Inspeksi dan Lembaga Inspeksi Nirlaba, tembusan surat pencabutan tersebut disampaikan kepada lembaga yang berwenang dalam memberikan pengakuan formal untuk memberikan sertifikasi. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 13 Dalam hal belum terdapat Lembaga Inspeksi dan Lembaga Inspeksi Nirlaba yang telah diakreditasi, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. Sertifikat Laik Operasi instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) diterbitkan oleh Direktur Jenderal. 2. Permohonan Sertifikat Laik Operasi instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal. 3. Direktur Jenderal menunjuk Lembaga Inspeksi untuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian instalasi penyediaan tenaga listrik dan instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan tinggi dan tegangan menengah. 4. Direktur Jenderal menunjuk Lembaga Inspeksi Nirlaba untuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian instalasi pemanfaatan tenaga listrik pelanggan tegangan rendah. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2003 Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Luluk Sumiarso NIP. 130610385 Tembusan :
1. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral 2. Menteri Perindustrian dan Perdagangan 3. Sekretaris Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 4. Ketua Badan Standardisasi Nasional 5. Ketua Komite Akreditasi Nasional 6. Ketua Forum Komunikasi/Asosiasi terkait
LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI NOMOR : 200 - 12 / 44 / 600.4 / 2003 TANGGAL : 1 Agustus 2003 MATA UJI (ITEM TESTS) LAIK OPERASI INSTALASI PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK Pembangkit No. Mata Uji (Item Tests) Baru Lama A B C D Review Dokumen: 1. Spesifikasi teknik 2. Spesifikasi material 3. Dokumen AMDAL atau UKL/UPL Review Desain: 1. Sistem pentanahan titik netral 2. Short circuit level sistem 3. Sistem pengaman elektrikal 4. Sistem pengukuran 5. Setting relai yang berkaitan dengan grid Evaluasi Hasil Uji: 1. Pengukuran tahanan sistem pembumian 2. Pengujian individual utama: - Elektrikal - Mekanikal 3. Pengujian fungsi peralatan proteksi dan kontrol: - Elektrikal - Mekanikal 4. Pengujian unjuk kerja: - Pengaturan tegangan (voltage regulation) - Pengaturan frekuensi (frequency regulation) Pemeriksaan dan Pengujian 1. Pemeriksaan visual/fisik: - Data name plate (generator, trafo tenaga) - Perlengkapan/peralatan pengamanan kebakaran - Perlengkapan/pelindung terhadap bahaya benda bertegangan - Perlengkapan/pelindung terhadap bahaya benda berputar - Perlengkapan/peralatan Sistem K2 (Keselamatan Ketenagalistrikan) - Pemeriksaan pembumian peralatan
- Pemeriksaan secara fisik instalasi tenaga listrik - Pemeriksaan clearance & crepage distance - Pemeriksaan kebocoran minyak trafo 2. Pengujian unjuk kerja: - Uji sinkronisasi - Pengujian kapasitas pembangkit - Pengaturan tegangan (voltage regulation) - Pengaturan frekuensi (frequency regulation) - Pengujian keandalan pembangkit (72 jam ; 80% 100% dari kemampuan pembangkit) 3. Pemeriksaan dampak lingkungan: - Pengukuran tingkat kebisingan - Pengukuran emisi gas buang - Pemeriksaan limbah V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V -
B*) V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V D*) V V V Keterangan: B*) : Review desain secara lengkap dilakukan jika terjadi perubahan desain pada pembangkitnya sendiri atau perubahan pada grid (sistem) D*) : Untuk pembangkit lama, jangka waktu pengujian minimum dilakukan selama 24 jam Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Luluk Sumiarso NIP. 130610385 LAMPIRAN II KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI NOMOR : 200 - 12 / 44 / 600.4 / 2003 TANGGAL : 1 Agustus 2003 MATA UJI (ITEM TESTS) LAIK OPERASI INSTALASI TRANSMISI DAN DISTRIBUSI TENAGA LISTRIK Penyalur
No. Mata Uji (Item Tests) Baru Lama A B C D Review Dokumen: 1. Spesifikasi teknik 2. Spesifikasi material 3. Dokumen AMDAL atau UKL/UPL*) Review Desain: 1. Sistem pentanahan titik netral 2. Short circuit level sistem 3. Sistem pengaman elektrikal 4. Sistem pengukuran 5. Setting relai yang berkaitan dengan grid Evaluasi Hasil Uji: 1. Pengukuran tahanan sistem pembumian 2. Pengukuran isolasi 3. Pengujian individual peralatan utama 4. Pengujian individual relai pengaman dan kontrol Pemeriksaan dan Pengujian 1. Pemeriksaan visual/fisik: - Data name plate (pemutus tenaga, relai) - Perlengkapan/peralatan pengamanan kebakaran - Perlengkapan/pelindung terhadap bahaya benda bertegangan - Perlengkapan/peralatan Sistem K2 (Keselamatan Ketenagalistrikan) - Pemeriksaan pembumian peralatan - Pemeriksaan secara fisik instalasi tenaga listrik - Pemeriksaan clearance & crepage distance - Pemeriksaan kebocoran minyak trafo 2. Pengujian fungsi peralatan pengaman (relai pengaman) 3. Pemeriksaan dampak lingkungan : - Pengukuran tingkat kebisingan - Pemeriksaan limbah V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V Keterangan: *) : Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Luluk Sumiarso NIP. 130610385 LAMPIRAN III KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI NOMOR : 200 - 12 / 44 / 600.4 / 2003 TANGGAL : 1 Agustus 2003 MATA UJI (ITEM TESTS) LAIK OPERASI INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK PELANGGAN TEGANGAN TINGGI DAN TEGANGAN MENENGAH Instalasi No. Mata Uji (Item Tests) Baru Lama A B C Review Dokumen:
1. Spesifikasi teknik 2. Spesifikasi material Review Desain: 1. Sistem pentanahan titik netral 2. Short circuit level sistem 3. Sistem pengaman elektrikal 4. Sistem pengukuran 5. Setting relai yang berkaitan dengan grid Pemeriksaan dan Pengujian 1. Pemeriksaan visual/fisik: - Data name plate (trafo tenaga, pemutus tenaga, trafo tegangan, dan trafo arus) - Perlengkapan/peralatan pengamanan kebakaran - Perlengkapan/pelindung terhadap bahaya benda bertegangan - Perlengkapan/peralatan Sistem K2 (Keselamatan Ketenagalistrikan) - Pemeriksaan pembumian peralatan - Pemeriksaan secara fisik instalasi tenaga listrik - Pemeriksaan clearance & crepage distance - Pemeriksaan kebocoran minyak trafo 2. Pengukuran tahanan sistem pembumian 3. Pengujian individual peralatan utama (trafo tenaga, pemutus tenaga, trafo tegangan, dan trafo arus) 4. Pengujian individual relai pengaman 5. Pemeriksaan peralatan ukur 6. Pengujian sistem interlock 7. Pengujian fungsi relai pengaman V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
B*) : Review desain secara lengkap dilakukan jika terjadi perubahan desain pada instalasi pemanfaatan tenaga listrik itu sendiri
Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Luluk Sumiarso NIP. 130610385 LAMPIRAN IV KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI NOMOR : 200 - 12 / 44 / 600.4 / 2003 TANGGAL : 1 Agustus 2003 MATA UJI (ITEM TESTS) LAIK OPERASI INSTALASI PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK PELANGGAN TEGANGAN RENDAH Instalasi No. Mata Uji (Item Tests) Baru Lama A B C D E F G Pengamanan terhadap sentuhan langsung tegangan Pengaman terhadap sentuhan tak langsung tegangan: 1. Hubungan ekipotensial dengan penghantar ekipotensial - antara pipa air/gas logam - bagian konduktif dari bangunan 2. Pemasangan penghantar pengaman 3. Setiap kotak kontak 2P + N
4. Terpasang SPAS (dianjurkan untuk ruang basah) Kamar Mandi: 1. Hubungan ekipotensial semua bagian, pipa air/gas pada penghantar nol 2. Terpasang SPAS 30 mA (dianjurkan) 3. Pemanas air listrik 4. Kotak kontak (untuk pencukur listrik) 5. Lain-lain Pemisah Fungsi: 1. Dianjurkan pemisahan sirkit akhir penerangan dan kotak kontak 2. Jumlah lampu tiap sirkit akhir 3. Jumlah kotak kontak tiap sirkit akhir Kontrol: 1. Saklar utama, KHB (kotak hubung bagi) utama 2. Jumlah saklar/pengaman lebur pada KHB utama 3. KHB cabang 4. Arus nominal saklar/pengaman lebur untuk penghantar: - 1,5 mA 2 A - 2,5 A -4A -6A - 10 A 5. Diagram garis tunggal Pemeriksaan luas penampang penghantar: 1. Sirkit akhir penerangan 1,5 mm2 ; 2,5 mm2 2. Sirkit akhir penerangan 2,5 mm2 ; 4 mm2 Pembumian: 1. Penampang penghantar netral 2,5 mm2 2. Penampang penghantar pembumian 4 mm2 tanpa pelindung dan 2,5 mm2 dengan pelindung 3. Elekrode pembumian V V V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V H I J K Material Instalasi: 1. Kotak hubung bagi 2. Jenis penghantar 3. Saklar 4. Kotak kontak Pemasangan: 1. Ketinggian kWh meter ........... m (maksimum 1,6 meter) 2. Ketinggian KHB ......... m 3. Penandaan sirkit (dianjurkan) 4. Pemasangan terbuka/tertanam
Nilai pengujian: 1. Kelangsungan hubungan penghantar sirkit 2. Tahanan elektrode pembumian 5 ohm 3. SPAS ............... mA 4. Tahanan isolasi (minimum 1 Mega ohm): - antar penghantar ...... Mega ohm - antara penghantar dengan pembumian ...... Mega ohm Sistem proteksi petir: 1. Cara pemasangan 2. Elektrode pembumian V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Luluk Sumiarso NIP. 130610385