Anda di halaman 1dari 5

Muhammadiyah dan Pancasila

Kalau kita mau membaca tulisan-tulisan tentang Muhammadiyah sesungguhnya tidak sulit dicari, karena sudah banyak beredar baik buku maupun artikel tentang Muhammadiyah yang ditulis oleh para pakar baik dari dalam maupun pakar luar negeri, aktivis Muhammadiyah maupun pengamat dari luar Muhammadiyah, atau artikel-artikel khusus maupun buku yang ditulis oleh Kang Haedar Nasir salah seorang senior saya di IPM ( sekarang salah seorang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah) yang paling produktif menulis tentang Muhammadiyah sehingga untuk saat ini saya berani menyebut beliau sebagai Kamus hidupnya Muhammadiyah, kader militan penjaga gawang ideologi persyarikatan. Tetapi untuk lebih mengingatkan dan meluruskan kembali pandangan beberapa pihak tentang Muhammadiyah dalam kaitannya menerima azas tunggal Pancasila yang katanya karena ikutikutan terbawa arus politik saat itu, atau hanya sekedar untuk menyelamatkan persyarikatan supaya tidak dibubarkan, saya berpandangan bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar walaupun bisa jadi sebagai salah satu strategi sah-sah saja. Namun yang perlu dipahami adalah bahwa pengalaman Muhammadiyah dalam merespon Undang-Undang No.8 Tahun 1985 tentang Ormas, sehingga sampai pada sikap menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas pada waktu itu dan bahkan mencantumkannya kedalam Anggaran Dasar adalah bukan sekedar mengikuti arus politik yang sedang berkembang, atau hanya formalitas dalam memenuhi ketentuan perundang-undangan, atau hanya sekedar untuk menyelamatkan diri supaya tidak dibubarkan oleh pemerintah. Tetapi ada agenda yang lebih besar yakni karena didorong oleh suatu kesadaran nasional yang tinggi, maka sebagai wujud kontribusi nyata Muhammadiyah dalam memelihara kesatuan dan persatuan bangsa serta sebagai cermin bahwa Muhammadiyah adalah gerakan pembaharu yang inklusif, yang senantiasa dituntut untuk mengaktualisasi diri ditengah degup perkembangan zaman. Karenanya Muhammadiyah walaupun menerima Pancasila sebagai asas tetapi tidak menghilangkan naskah aslinya yakni berakidah Islam, sehingga dalam anggaran dasar Muhammadiyah tercantum bahwa Muhammadiyah berasas Pancasila dan Berakidah Islam. Kontribusi Muhammadiyah dalam memelihara kesatuan dan kesatuan bangsa tidak hanya semata diwujudkan dalam penerimaan pancasila sebagai azas, namun dibuktikan juga dengan cara menggunakan Bahasa Indonesia dalam kongres tahun 1923 sementara Organisasiorganisasi lain waktu itu masih menggunakan bahasa daerah bahkan bahasa belanda dalam setiap pertemuannya, dimana penggunaan bahasa Indonesia pada waktu itu memiliki dampak politik penting karena bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan, sehingga rasa persatuan dan kesatuan semakin terjalin kuat. Hal itu dilakukan oleh Muhammadiyah jauh sebelum bahasa Indonesia sebagai lingua franca baru dimulai dalam kongres pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Menurut Weinara Sairin salah seorang Pendeta dari Gereja Kristen Pasundan yang menulis tesis tentang Gerakan Pembaharu Muhammadiyah menyatakan bahwa Muhammadiyah dalam kaitannya dengan persoalan tentang penerimaan pancasila sebagai azas, tidak saja mengungkapkan diri sebagai organisasi yang memiliki loyalitas yang sangat tinggi terhadap Negara, masih menurut Weinata bahwa Muhammadiyah juga tidak bisa disangkal sebagai sebuah gerakan eklektis, sehingga dengan sikapnya yang eklektis itu memungkinkan gerakan ini terbuka terhadap kelompok atau golongan lain diluar dirinya bahkan tidak apriori dan dapat menerima gagasan yang datangnya dari luar dirinya, maka dengan sikap eklektisnya itulah Muhammadiyah dapat menerima pancasila sebagai azas organisasi karena tidak bertentangan bahkan terjadi simbiosis mutualisme dengan akidah Islam yang diyakininya

Demokrasi Seharusnya Merujuk Pada Pancasila


Sabtu, 12-11-2011 Dibaca: 1063

Yogyakarta- Demokrasi yang kini terjadi di Indonesia cenderung tanpa batas dankurang rasa tanggung jawab. Perpecahan dan konflik antar suku, konflik antara masyarakat dengan pemerintah acap kali terjadi. Hal ini merupakan penyimpangan karakter atas nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa. Seharusnya, asas demokrasi harus kembali pada sila Ke-4 Pancasila, yang menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hal ini disampaikan oleh Dr. Dyah Mutiarin, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (IP UMY), setelah acara Seminar Sosialisasi Pancasila, Undang-Undang Dasar NKRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika pada Sabtu (12/11) pagi. Acara ini diselenggarakan oleh Jusuf Kalla School of Government (Magister Ilmu pemerintahan UMY) bertempat di Kampus Terpadu UMY dengan menghadirkan Drs. Afnan Hadi Kusumo, Anggota DPD RI, sebagai pembicara. Dyah menambahkan, saat ini, penting sekali bagi bangsa Indonesia untukmenanamkan falsafah Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Kita harus kembali kepada Pancasila, agar bisa membentuk kesamaan dalam menyikapi perbedaan. Indonesia adalah bangsa yang beraneka ragam, baik dari suku, budaya, agama, maupun yang lain, sehingga kebesaran hati untuk saling menghargai harus terus dipupuk, terangnya. Sementara Drs. Afnan Hadi Kusumo, mengajak orang Indonesia untuk kembali pada keIndonesiaan. Saat ini, krisis politik memunculkan kriminal politik. Berkembangnya mentalitas para elit pemerintah dan sebagian warga yang dangkal, memunculkan orang-orang yang kurang visioner. Sehingga semangat kebhinekaan dan persatuan ke-Indonesiaan dikalahkan oleh ideologi yang sempit tentang keagamaan dan kedaerahan. Beragama tapi berada dalam kemalasan beragama, tidak menyeimbangkan kesalehan individual dan sosial,

Muhammadiyah, Pancasila, dan Kepemimpinan Inklusif


Pada sisi lain, kedekatan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi wahabisme telah memudahkan proses infiltrasi ideologi Islam politik ke dalam tubuh Muhammadiyah. Beberapa lini penting di amal usaha Muhammadiyah, utamanya institusi pendidikan, mulai dipengaruhi bahkan ditempati oleh kelompok-kelompok yang justru mencoba menggeser orientasi ideologi moderat Muhammadiyah. Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah berpaut erat dengan perjuangan kebangsaan dan keindonesiaan. Secara khusus, Bung Karno memberikan apresiasi tinggi terhadap peran Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam perintisan gagasan nasionalisme bangsa. Presiden pertama Republik Indonesia ini menyebut Ahmad Dahlan sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pergulatan intelektualismenya disamping H.O.S. Cokroaminoto (2001:178). Pada masa kemerdekaan, Muhammadiyah berada di garis terdepan dalam proses perumusan dasar negara. Inklusivitas Muhammadiyah yang ditunjukan Kasman Singodimejo, tokoh penting Muhammadiyah pada masa awal kemerdekaan, dalam perumusan Pancasila menjadi kunci bagi lahirnya negara Indonesia yang majemuk. Kiprah Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan dan sosial telah berhasil menopang program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Muhammadiyah dikenal sebagai satu organisasi sosial keagamaan mainstream yang memiliki komitmen terhadap gagasan keadaban sosial dan kebangsaan yang majemuk. Berangkat dari kenyataan historis tersebut, menarik untuk ditanyakan, bagaimana Muhammadiyah merespon gejala syariatisasi bahkan fundamentalisasi telah menjadi bagian dominan dalam dinamika keagamaan saat ini? Kemunculan berbagai berbagai gerakan maupun kelompok yang mengusung ideologi Islam dan syariah Islam seakan mengepung organisasi mainstream Muhammadiyah dan NU. Kuatnya arus konservatismefundamentalisme Islam tersebut dikhawatirkan banyak pihak akan mendeterminasi NU dan Muhammadiyah untuk bersikap diam bahkan cenderung mendukung gerakan-gerakan Islam politik. Misalnya, Prof. M.C. Ricklefs mensinyalir hasil dari proses Muktamar Malang 2005 memcerminkan kemenangan sayap konservatif di Muhammadiyah. Ambivalensi Muhammadiyah terhadap wacana Syariah Islam dan wacana-wacana produk modernitasBarat (baca: demokrasi, HAM, pluralisme) bisa menjadi indikasi adanya krisis kepemimpinan organisasi, baik secara organisatoris dan ideologis. Merespon fenomena tersebut, Prof. Dr. Din Syamsudin menegaskan bahwa Pancasila merupakan pilihan final bagi Muhammadiyah. Pernyataan ini disampaikannya dalam pertemuan dengan kalangan diplomat AS di Washington baru-baru ini. Meskipun begitu, penegasan ini belum mampu mementahkan kekhawatiran banyak kalangan terhadap kuatnya pengaruh konservatisme dalam Muhammadiyah. Bahkan di kalangan

internal Muhammadiyah sendiri sudah cukup banyak suara-suara yang mencemaskan kondisi Muhammadiyah pasca Muktamar Malang 2005. Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, sangat mencemaskan dominasi peran konservatisme tersebut dalam roda organisasi yang telah dipimpinnya selama 7 tahun (1998-2005). Secara khusus, beliau sangat menyesalkan perubahan nama Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam menjadi Majelis Tarjih dan Tajdid dalam periode sekarang padahal lembaga ini merupakan ikon sekaligus lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Muhammadiyah. Muhammadiyah telah mundur 50 tahun ke belakang, demikian ungkap Prof. Amin Abdullah menanggapi perkembangan Muhammadiyah tersebut. Pada sisi lain, kedekatan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi wahabisme telah memudahkan proses infiltrasi ideologi Islam politik ke dalam tubuh Muhammadiyah. Beberapa lini penting di amal usaha Muhammadiyah, utamanya institusi pendidikan, mulai dipengaruhi bahkan ditempati oleh kelompok-kelompok yang justru mencoba menggeser orientasi ideologi moderat Muhammadiyah. Kelompok-kelompok tersebut telah masuk dan menduduki pos-pos strategis di beberapa institusi pendidikan Muhammadiyah, seperti perguruan tinggi, pondok pesantren, serta madrasah. Infliltrasi ideologis itu sudah dimafhumi namun secara organisatoris serta ideologis elite Muhammadiyah belum banyak bersikap kongkrit. Dengan mencermati perkembangan Muhammadiyah di atas, sesungguhnya yang sedang terjadi dalam Muhammadiyah adalah krisis kepemimpinan, baik secara organisatoris maupun ideologis. Kampanye anti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme yang diusung kelompokkelompok keagamaman konservatif-fundamentalis mendapat simpati bahkan dukungan dari kalangan kampus Muhammadiyah. Dalam skala yang lebih luas, kelompok-kelompok keagamaan telah terlibat dalam tindakan-tindakan intimidasi, kekerasan, bahkan penyerangan terhadap kelompok lain yang berbeda keyakinan dan agama. Yang membikin miris nurani adalah kemudian fatwa MUI dijadikan dalih pembenaran atas setiap tindakan pemaksaan, kekerasan, diskriminasi dan pemberangusan kebebasan beragama seperti tercermin pada kasus-kasus di atas. MUI mengeluarkan fatwa boleh-boleh saja, tetapi harus bisa membaca peta sosiologis bangsa karena bisa menimbulkan bentrokan sosial (Republika, 15/02/06), demikian kritik Ahmad Syafii Maarif dalam menanggapi fatwa MUI. Lebih lanjut, mantan Ketua PP Muhammadiyah ini menegaskan bahwa tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap siapapun, termasuk Ahmadiyah, tidak bisa dibenarkan dari segi apapun, baik ajaran Islam, nilai-nilai Pancasila, maupun sisi kemanusiaan. Belakangan, polemik RUAPP (Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) telah membelah opini masyarakat dalam kelompok ekstrem, yakni pro dan kontra. Kemunculan Majalah Playboy edisi Indonesia di tengah situasi ini praktis menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang selama ini keukeuh mendesak disyahkannya RUAPP. Jika wabah anti perbedaan dan anti dialog ini berkembang bahkan mengakar maka kondisi ini menjadi tantangan serius bagi proses pembangunan tata sosial yang inklusif, beradab, toleran, dan demokratis. Pada konteks ini, laporan Folke Bernadotte Academy, Swedia, menggarisbawahi bahwa kepemimpinan yang baik (good leadership) lebih terkait dengan kapasitas dan kapabelitas kolektif untuk menciptakan perubahan. Kapasitas tersebut tidak harus bertumpu pada individu tertentu namun dapat juga dalam bentuk kapasitas organisasi maupun gerakan (2005: 11). Dengan ungkapan lain, regenerasi kepemimpinan yang moderat sekaligus pluralis membutuhkan satu capacity building yang mendukung orientasi tersebut. Krisis

kepemimpinan yang sekarang melanda berbagai organisasi maupun kelompok sosial berpengaruh terhadap proses konsolidasi demokrasi dan cita-cita tatanan sosial yang inklusif dan pluralis. Potret buram masyarakat Indonesia tersebut sungguh mengejutkan. Keberagamaan masyarakat Indonesia yang menurut Farid Esack (2004) merupakan produk dari pluralisme agama justru seakan mengingkari keberbedaan (multikulturalisme) dan keberbagaian (pluralisme) bangsanya sendiri. Padahal kehidupan keberagamaan Indonesia mendapatkan apresiasi positif bahkan dianggap sebagai ikon negara Muslim moderat terbesar di Asia Tenggara. Studi Robert Hefner (2001) menegaskan bahwa Muhammadiyah dan NU merepresentasikan kekuatan sipil Islam yang berperan dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun berkaca pada rentetan kasus di atas, nampaknya tesis Esack dan Hefner mendapat ujian serius karena fenomena yang berkembang belakang tersebut justru menunjukkan hal yang bertentangan. Mempertimbangkan kondisi sosial kebangsaan di atas, pembenahan sekaligus penguatan kepemimpinan kekuatan-kekuatan sipil Islam yang toleran, inklusif dan demokratis harus secepatnya dilakukan. Infiltrasi idelogis oleh kelompok-kelompok pro syariah, pro khilafah, serta anti demokrasi dan HAM terhadap kekuatan sipil Islam semacam Muhammadiyah jelas merupakan ancaman serius. Langkah strategis untuk membendung sekaligus mengebalkan kekuatan-kekuatan sipil Islam dari infiltrasi ideologis tersebut adalah penguatan serta reformasi training kepemimpinan kaum muda Muhammadiyah yang berpusat di kampuskampus. Masa depan kepemimpinan akan banyak ditentukan oleh dinamika peta dominan di basis-basis proto-kekuatan masa depan itu sendiri, perguruan tinggi.

Anda mungkin juga menyukai