Anda di halaman 1dari 14

PERLAKUAN AKUNTANSI LEASING MENURUT PSAK 30 DAN MENURUT PERATURAN PERPAJAKAN

Oleh Suwardi, SE, M.Si, Akt I. Gambaran Umum Benarkah akuntansi leasing itu mudah? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab, mengatakan mudah jika seseorang telah memahami akuntansi leasing seperti yang tercantum dalam PSAK 30. Untuk memahami tetang akuntansi leasing maka perlu kita pahami terlebih dahulu mengenai apa itu akuntansi dan apa itu leasing. Secara umum akuntansi adalah suatu proses mencatat, mengklasifikasi, meringkas, mengolah dan menyajikan data, transaksi serta kejadian yang berhubungan dengan keuangan sehingga dapat digunakan oleh orang yang menggunakannya dengan mudah dimengerti untuk pengambilan suatu keputusan serta tujuan lainnya. Akuntansi menurut American Accounting Association (AAA) menjelaskan bahwa akuntansi merupakan proses pengeidentifikasian, pengukuran, danpelaporan informasi ekonomi, untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputsan yang jelas dan tegas, bagi pihak pemakai informasi Fungsi utama akuntansi adalah sebagai informasi keuangan suatu organisasi. Dari laporan akuntansi kita bisa melihat posisi keuangan sutu organisasi beserta perubahan yang terjadi di dalamnya. Akuntansi dibuat secara kualitatif dengan satuan ukuran uang. Informasi mengenai keuangan sangat dibutuhkan khususnya oleh pihak manajer/ manajemen untuk membantu membuat keputusan suatu organisasi.

Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Sewa (Lease) bisa juga diartikan suatu perjanjian dimana lessor memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode yang disepakati. Sebagai imbalannya lessee melakukan pembayaran atau serangkaian pembayaran kepada lessor. Sewa dikasifikasikan menjadi dua yaitu 1. Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah sewa yang mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik pada akhirnya dapat dialihkan, dapat juga tidak dialihkan 2. Sewa Operasi (Operating Lease) adalah sewa yang tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset Klasifikasi sewa dibuat pada masa awal sewa atau bisa dengan persetujuan kedua belah pihak untuk melakukan pembaharuan sewa. Beberapa indikator yang menunjukan suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan diantaranya : 1. pada akhir masa sewa kepemilikan aset dapat dialihkan kepada lessee 2. lessee mempunyai opsi untuk membeli aset pada harga yang cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal nilai opsi mulai dilaksanakan. 3. masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset meskipun hak milik tidak dialihkan. 4. pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan.

5. aset sewaan bersifat khusus dan hanya lessee yang dapat menggunakannya. 6. jika lessee membatalkan sewa maka kerugian lessor ditanggung oleh lessee 7. laba atau rugi dari fluktuasi nilai wajar residu dibebankan pada lessee 8. lessee dapat melanjutkan sewa untuk periode kedua dengan nilai sewa lebih rendah dari nilai pasar. II. PERLAKUAN AKUNTANSI PSAK No. 30 tentang Sewa mengatur bahwa suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Suatu sewa

diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika sewa tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Sesuai PSAK 30 terkait dengan akuntansi leasing maka perlakuan akuntansi untuk aset dalam sewa pembiayaan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual: 1. disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya terutama dapat dipulihkan melalui transaksi penjualan dari pada penggunaan lebih lanjut 2. diukur sebesar nilai yang lebih rendah antara jumlah tercatatnya dan nilai wajar setelah dikurangi beban penjualan aset tersebut 3. diungkapkan dalam laporan keuangan untuk memungkinkan evaluasi dampak keuangan adanya perubahan penggunaan aset. Perlakuan akuntansi untuk transaksi Leasing disesuaikan dengan jenis sewanya masing-masing:

1. Financial Lease : selisih lebih hasil penjualan dari nilai tercatat tidak dapat diakui segera sebagai pendapatan oleh penjual lessee, tetapi ditangguhkan dan diamortisasi selama masa sewa 2. Operating Lease : jika transaksi terjadi pada nilai wajar maka laba/rugi harus diakui tetapi jika terjadi dibawah nilai wajar maka laba/rugi harus diakui segera kecuali rugi tersebut dikompensasikan dengan pembayaran sewa dimasa depan yang lebih rendah dari harga pasar, maka rugi tersebut harus ditangguhkan dan diamortisasi secara proporsional dengan pembayaran sewa selama periode penggunaan aset. Jika harga jual diatas nilai wajar selisih lebih tersebut ditangguhkan dan diamortisasi selama periode penggunaan aset. Untuk memudahkan memahami penjelasan diatas dibawah ini disajikan ilustrasi sederhana atas perlakuan akuntansi finance lease. Tanggal 1 April 2010 Andi melakukan transaksi finance lease sebuah Truk senilai Rp. 90.000.000, nilai residu aset diperkirakan sebesar Rp. 20.000.000 jangka waktu sewa selama 6 tahun dengan tingkat bunga sebesar 18 % per tahun. Umur ekonomis aktiva 8 tahun. Metode penyusutan garis lurus. Perhitungan : Nilai aktiva : Rp. 90.000.000 nilai sewa per bulan Rp. 90.000.000 / 72 bulan Jangka waktu sewa : 6 tahun =Rp 1.250.000 Tingkat bunga 12 % per tahun Bunga = Rp. 90.00.000 X 12/100 Umur ekonomis 8 tahun = Rp. 10.800.000 per tahun = Rp. 900.000 per bulan

Penyusutan = _ HP-NR = Rp. 90.000.000-Rp.20.000.000 UE 72 bulan = Rp.973.000 Lessee 1 April 2010 Jurnal pada awal perjanjian Aset lease Rp. 90.000.000 Utang lease Rp. 90.000.000 1 April 2010 Saat pembayaran sewa pertama Utang lease Rp. 1.250.000 Beban bunga Rp. 900.000 Kas bank Rp. 2.150.000 30 April 2010 Pengakuan penyusutan aset Beban Depresiasi Aset Lease Rp. 973.000 Akumulasi Depresiasi aset lease Rp. 973.000 Lessor 1 April 2010 Jurnal pada awal perjanjian Piutang sewa pembiayaan Rp. 90.000.000 Aset sewa pembiayaan Rp. 90.000.000 1 April 2010 Saat pembayaran sewa pertama Kas bank Rp. 2.150.000 Piutang Sewa pembiayaan Rp. 1.250.000 Pendapatan Bunga Sewa pembiayaan Rp 900.000 III. Perlakuan Perpajakan Pencatatan transaksi leasing diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 dan Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-10/PJ.42/1994. Menurut Keputusan Menteri Keuangan ini hanya mengatur mengenai tatacra

pencatatan transaksi leasing secara sale and lease back dengan hak opsi sehingga untuk jenis leasing lainnya misalnya Pembiayaan Konsumen harus mengacu kepada PSAK No. 30. Dalam praktek sehari-hari, sering ditemukan kesalahpahaman dari akuntansi perusahaan sehingga dalam perpajakan memperlakukan transaksi Pembiayaan Konsumen layaknya Sale and Lease Back dengan Hak Opsi. Menurut Keputusan Menteri Keuangan tersebut, kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha (SGU) dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut : 1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor; 2. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 masa sewa guna usaha ditetapkan sekurangkurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan; 3. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee. Ketentuan perpajakan memperlakukan SGU dengan Hak Opsi secara berbeda dari akuntansi. Adapun perbedaannya sebagai berikut : Secara akuntansi, pencatatan dilakukan secara Capital Lease, dimana : 1. aktiva leasing langsung dibukukan sebagai aktiva tetap leasing dan disusutkan sesuai dengan masa manfaatnya; 2. lessee membebankan biaya penyusutan aktiva SGU dan beban bunga SGU

Secara perpajakan, dilakukan secara Operating Lease, dimana : 1. aktiva tetap leasing baru diakui setelah lessee melaksanakan hak opsinya, dengan biaya perolehan sebagai dasar penyusutan sebesar nilai opsi tersebut 2. lessee membebankan angsuran pokok dan bunga SGU sebagai biaya leasing Sedangkan untuk transaksi pembiayaan konsumen, pencatatan secara akuntansi maupun perpajakan sama, yaitu dilakukan secara Capital Lease. Dalam pelaksanaannya suatu perjanjian SGU dengan hak opsi kadang-kadang terputus, sehingga masa sewa guna usaha menjadi lebih pendek dari masa yang semula disepakati. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal : a. force majeur, yaitu putusnya transaksi SGU karena bencana alam seperti kebakaran dan lain-lain, sehingga barang modal yang diperoleh secara finance lease mengalami rusak berat dan tidak dapat dipakai lagi. b. default, yaitu terputusnya transaksi SGU karena lessee tidak dapat memenuhi pembayaran lease payment serta kewajiban lainnya sehingga kontrak finance lease berakhir lebih cepat. c. sebab ekonomis, yaitu lessee mengakhiri masa lease sebelum waktunya karena pertimbangan ekonomis semata-mata, dengan membayar sekaligus kewajiban yang tersisa. Berdasarkan Ketentuan Pasal 14 huruf c Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 1169/KMK.01/1991, dinyatakan apabila masa SGU dengan hak opsi ternyata lebih pendek dari masa SGU menurut Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan dimaksud, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor.

Berdasarkan Ketentuan Pasal 16 huruf d Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991, dinyatakan apabila masa SGU dengan hak opsi ternyata lebih pendek dari masa SGU menurut Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan dimaksud, maka Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya SGU. Berdasarkan penegasan dalam butir 8 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-29/PJ.42/ 1992 tanggal 19 Desember 1992 bahwa dalam hal perjanjian finance lease menyatakan jangka waktu yang lebih pendek atau pada pelaksanaannya berakhir dalam jangka waktu yang lebih pendek dari jangka waktu minimum yang disyaratkan perlakuan perpajakannya disamakan dengan operating lease. IV. PAJAK PENGHASILAN (PPh) Pengakuan penghasilan dan pembebanan biaya bagi lessor dan lessee diatur sebagai berikut: 1. Finance Lease dengan masa yang lebih singkat karena default. a. Pihak lessor maupun pihak lessee harus membetulkan SPT Tahunan yang telah dimasukkan dengan melakukan pembetulan atas penghasilan atau biaya sebagai akibat perubahan perlakuan dari SGU finance lease menjadi SGU operating lease. b. Pihak lessor melakukan penyusutan atas harta yang dileasingkan. Pihak lessee tidak boleh melakukan penyusutan. c. Atas masa SGU yang telah lewat, lessee harus memotong PPh Pasal 23 sebesar pembayaran bruto berupa sewa (lease payment). 2. Finance Lease dengan masa yang lebih singkat karena sebab ekonomis. a. Pihak lessor maupun pihak lessee harus membetulkan SPT Tahunan yang telah dimasukkan dengan melakukan pembetulan atas penghasilan atau biaya sebagai akibat perubahan perlakuan dari SGU finance lease menjadi SGU

operating lease, sampai dengan saat opsi dilaksanakan. Perlakuan PPh atas pelaksanaan opsi adalah sama dengan perlakuan atas jual-beli aktiva biasa. b. Pihak lessor melakukan penyusutan atas harta yang dileasingkan sampai dengan opsi dilakukan oleh lessee. Pihak lessee melakukan penyusutan atas harta tersebut sejak opsi dilakukan dan dasar penyusutan adalah nilai perolehan yang terdiri dari akumulasi sisa angsuran,penalti dan harga residu yang harus dibayar. c. Atas masa SGU yang telah lewat, lessee harus memotong PPh Pasal 23 sebesar pembayaran bruto berupa sewa (lease payment). V. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) Berdasarkan Pasal 1 angka 2 huruf d Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1988 jo. Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991, atas penyerahan jasa dalam transaksi SGU dengan hak opsi dari lessor kepada lessee merupakan jasa financial leasing yang dikecualikan dari pengenaan PPN, dengan demikian lessor bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Perlakuan PPN terhadap SGU tanpa hak opsi (Operating Lease). 1. Perlakuan PPN atas transaksi SGU tanpa hak opsi : a. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1988 jis huruf d dan Pengumuman Dirjen Pajak No. PENG-139/PJ.63/1989 dan Pasal 1 angka 4 dan 5 Keputusan Dirjen Pajak Nomor : KEP - 05/PJ./1994, penyerahan jasa dalam transaksi SGU tanpa hak opsi dari Lessor kepada lessee adalah penyerahan jasa yang terutang PPN, karena lessor sebagai perusahaan jasa persewaan barang dengan demikian merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP).

b. Pengalihan barang dalam transaksi SGU tanpa hak opsi bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak karena pengalihan barang tersebut adalah dalam rangka persewaan biasa. c. Besarnya PPN yang terutang adalah 10% dari Nilai Penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf p Undang-undang PPN 1984. d. PPN sebagaimana dimaksud pada butir 4.1.3. merupakan PPN Pajak Keluaran bagi lessor dan merupakan PPN Pajak Masukan bagi lessee dalam hal lessee adalah PKP. PPN yang dibayar atas perolehan BKP yang disewa guna usahakan merupakan PPN Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan PPN Pajak Keluaran Lessor. Dalam hal transaksi Sale and Lease Back tanpa hak opsi, PPN Pajak Masukan atas perolehan barang yang telah dikreditkan oleh lessee harus dibayar kembali seperti halnya pembayaran kembali dalam pemindahtanganan barang modal sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.1441b/KMK.04/1989. Dalam hal lessee kemudian menyewa guna usaha kembali (leased back) barang tersebut, maka lessor harus mengenakan PPN yang terutang atas jasa persewaan barang yang dilakukannya dengan pengaturan seperti tersebut pada butir 1 Ilustrasi kasus Tanggal 1 Januari 2010 CV Andi (Lessee) mendapat sebuah truk dengan memperoleh pembiayaan financial lease dari sebuah perusahaan leasing PT Sarana (Lessor). Dalam kontrak dimuat ketentuan sebagai berikut : Nilai kontrak sebesar Rp 179.436.728 Masa leasing selama 5 tahun, yaitu sejak 1 Januari 2010

Pembayaran lease adalah Rp 50.000.000 pertahun, yg harus dimulai 1 Januari 2010 (pada awal masa lease) Keterangan tambahan Masa manfaat ekonomis truk 8 tahun Tingkat bunga 20% Berdasarkan keterangan di atas dibuatlah tabel pembayaran sebagai berikut
Pembayaran 1 Januari 2010 1 Januari 2011 1 Januari 2012 1 Januari 2013 1 Januari 2014 Hutang 179,436,728 129,436,728 105,324,074 76,388,889 41,666,667 Lease Payment 50,000,000 50,000,000 50,000,000 50,000,000 50,000,000 Pokok 50,000,000 24,112,654 28,935,185 34,722,222 41,666,667 25,887,346 21,064,815 15,277,778 8,333,333 Bunga 50,000,000 50,000,000 50,000,000 50,000,000 50,000,000

Jurnal lessee
01-01-2010 01-01-2010 01-01-2011 Truk Leasing Hutang Leasing Hutang Leasing Kas Hutang Leasing Biaya Bunga Leasing Kas Biaya penyusutan Truk Akumulasi Penyustan Truk Hutang Leasing Biaya Bunga Leasing Kas Biaya penyusutan Truk Akumulasi Penyustan Truk Hutang Leasing Biaya Bunga Leasing Kas Biaya penyusutan Truk Akumulasi Penyustan Truk Hutang Leasing Biaya Bunga Leasing Kas Biaya penyusutan Truk Akumulasi Penyustan Truk Biaya penyusutan Truk Akumulasi Penyustan Truk 179,436,728 179,436,728 50,000,000 50,000,000 24,112,654 25,887,346 50,000,000 22,429,591 22,429,591 28,935,185 21,064,815 50,000,000 22,429,591 22,429,591 34,722,222 15,277,778 50,000,000 22,429,591 22,429,591 41,666,667 8,333,333 50,000,000 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591

31-12-2011 01-01-2012

31-12-2012 01-01-2013

31-12-2013 01-01-2014

31-12-2014 31-12-2015

31-12-2016 31-12-2017 31-12-2018

Biaya penyusutan Truk Akumulasi Penyustan Truk Biaya penyusutan Truk Akumulasi Penyustan Truk Biaya penyusutan Truk Akumulasi Penyustan Truk

22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591

Koreksi fiskal yang harus dibuat oleh lesse adalah


Jurnal 01-01-10 Truk Leasing Hutang Leasing 01-01-10 Hutang Leasing Kas 01-01-11 Hutang Leasing Biaya Bunga Leasing Kas 31-12-11 Biaya penyusutan Truk Akm. Penyusutan Truk 01-01-12 Hutang Leasing Biaya Bunga Leasing Kas 31-12-12 Biaya penyusutan Truk Akm. Penyusutan Truk 01-01-13 Hutang Leasing Biaya Bunga Leasing Kas 34,722,222 15,277,778 50,000,000 15,277,778 34,722,222 50,000,000 22,429,591 22,429,591 28,935,185 21,064,815 50,000,000 22,429,591 + 22,429,591 21,064,815 28,935,185 50,000,000 22,429,591 22,429,591 24,112,654 25,887,346 50,000,000 22,429,591 + 22,429,591 25,887,346 24,112,654 50,000,000 50,000,000 50,000,000 50,000,000 50,000,000 179,436,728 179,436,728 AKUNTANSI KOREKSI FISKAL

31-12-13

Biaya penyusutan Truk Akm. Penyusutan Truk

22,429,591 22,429,591 41,666,667 8,333,333 50,000,000 22,429,591

22,429,591

22,429,591

01-01-14

Hutang Leasing Biaya Bunga Leasing Kas

8,333,333

41,666,667

50,000,000

31-12-14

Biaya penyusutan Truk

22,429,591

22,429,591

Akm. Penyusutan Truk 31-12-15 Biaya penyusutan Truk Akm. Penyusutan Truk 31-12-16 Biaya penyusutan Truk Akm. Penyusutan Truk 31-12-17 Biaya penyusutan Truk Akm. Penyusutan Truk 31-12-18 Biaya penyusutan Truk Akm. Penyusutan Truk 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591

22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591 22,429,591 + 22,429,591 + 22,429,591 + 22,429,591 + 22,429,591 -

VI. Simpulan Leasing dalam PSAK No. 30 dijelaskan bahwa suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan jika sewa tersebut mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Suatu sewa

diklasifikasikan sebagai sewa operasi jika sewa tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Sesuai PSAK 30 terkait dengan akuntansi leasing maka perlakuan akuntansi untuk aset dalam sewa pembiayaan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual: 1. disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya terutama dapat dipulihkan melalui transaksi penjualan dari pada penggunaan lebih lanjut 2. diukur sebesar nilai yang lebih rendah antara jumlah tercatatnya dan nilai wajar setelah dikurangi beban penjualan aset tersebut 3. diungkapkan dalam laporan keuangan untuk memungkinkan evaluasi dampak keuangan adanya perubahan penggunaan aset.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan, jika suatu leasing tidak memenuhi ketentuan tersebut maka leasing diperlakuakan sebagai sewa biasa atau disebut operating lease. Transaksi leasing yang dikelompokkan ke dalam financial lease atau sewa guna usaha dengan hak opsi tidak dikenakan pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai. Tetapi transaksi yang tergolong operating lease atas pembayaran lesee kepada lessor merupakan objek pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.

DAFTAR PUSTAKA 1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.01/1991, Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) 2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 10/PJ.42/1994, Perlakuan Pph Dan Ppn Terhadap Perjanjian Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi Yang Berakhir Menjadi Lebih Singkat Dari Masa Sewa Guna Usaha Yang Disyaratkan Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/Kmk.01/1991 3. ERYC RICARDO S, Membukukan Transaksi Leasing, Akuntansi ( PSAK 30 ) Versus Pajak, http://pusatperpajakan.blogspot.com/2009/12/membukukan-transaksi-leasingakuntansi.html 4. Anang Mury Kurniawan, haphisz.files.wordpress.com/2009/08/akuntansi-pajak-leasing.ppt 5. Manahan Nasution, Akuntansi Guna Usaha (Leasing) Menurut Pernyataan Sak No. 3, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1207/1/akuntansi-manahan.pdf 6. Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan, Salemba Empat, Jakarta, 1994 7. Baridwan, Zaki, Akuntansi Keuangan Intermediate, Masalah-masalah Khusus, Volume I, Lembaga dan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1984. 8. Ikatan Akuntan Indonesia, Standard Akuntansi Keuangan, PSAK No.30, Salemba Empat, Jakarta 1994

Anda mungkin juga menyukai