Anda di halaman 1dari 32

PEMIKIRAN AL-ZARNUJI DALAM KITAB TALI ALMUTAALLIM TENTANG PENDIDIKAN ISLAM ( Telaah Dalam Perpektif Filsafat Pendidikan)

8 Juni 2010 oleh maragustamsiregar

Abstract Talim al-Mutaallim is one of the Syekh Tajudin Numan bin Ibrahim al-Khalil al-Zarnujis monumental work who lived in the century of 6 th H/13-14 AD. There are three reasons why this book to be foused on this writing; first, the contents of this book are enriched by Islamic educational values; second, the teaching of this book have been practised in the Islamic world Education in Indonesia especially in pesantren (Islamic Boarding School); and the third, the rest of teaching of this books is still relevant to be applied in Islamic world education today, more especially religious and pluralistic Indonesian societies who are moslems. The subject of discussion are as follows (1) what is the purpose of education / how to get knowledge according to al-Zarnuji in his book, (2) how is the basic features of human moral and human resource development and (3) how is the position of al-Zarnuji thought on educational purpose in the map of Islamic educational philosophy. The approach used in this writing is the instrument of educational philosophy (exlective incooperative) and the analysis technique uses

analysis content. The result of research according to al-Zarnuji said fount that the purpose of knowledge education focussed more on the Gods values/religious compared to human values/worldly. The basic feature and process of its development are good interactive or positive interactive. While the position of thought in the map of educational thought are in the conservative and religious fields and plus convergence. Key Words: talim al-mutaallim, tujuan pendidikan, sifat dasar moral, rida Allah, dan aliran pemikiran pendidikan. A. Pendahuluan Persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan. Selama manusia ada, maka selama itu pula persoalan pendidikan ditelaah dan direkonstruksi dari waktu ke waktu, baik dalam arti makro seperti kebijakan pendidikan, politik pendidikan, maupun dalam arti mikro, seperti tujuan, metode, pendidik dan pembelajar, baik konsep filosufinya maupun tataran praktiknya. Aksentuasinya pada pendidikan, karena masalah kehidupan manusia, pada umumnya dicari pemecahannya melalui pendidikan.

Perkembangan yang cepat sebagai dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi, bagaimanapun juga mempengaruhi terhadap banyaknya masalah dalam usaha dan proses peningkatan kualitas pendidikan baik pada tataran konsep maupun tataran praktiknya, apalagi kalau dihubungkan dengan asumsi bahwa problem-problem pendidikan sebenarnya, berpangkal dari kurang kokohnya landasan filosufis pendidikannya. Sehingga kajian-kajian mengenai konsep pendidikan yang dilontarkan para ahli merupakan keharusan. Khusus dalam tulisan ini difokuskan pada pembahasan Kitab Tali>m al-Mutallim.Warisan intelektual muslim ini penting dikaji ulang, karena ternyata pemikirannya tersebut relevan diterapkan pada praktik pendidikan sekarang mengingat pudarnya nilai-nilai akhlak bagi pendidik dan pembelajar. Untuk itu Nurkholis Madjid mengatakan, bahwa budaya dunia Islam klasik sedemikian kaya rayanya, sehingga akan merupakan sumber pemiskinan intelektual yang ironi jika sejarahnya yang telah berjalan lebih empat belas abad itu diabaikan dan tidak dijadikan bahan pelajaran. Belajar dari sejarah merupakan perintah langsung dari Allah untuk memperhatikan Sunnatullah. Termasuk di sini ialah keharusan mempelajari secukupnya warisan kekayaan intelektual Islam.[1]Kitab ini diangkat kepermukaan karena asumsi penulis bahwa (1) kitab ini telah memasyarakat pada dunia pendidikan khususnya dunia pendidikan pesantren, (2) ajaran-ajarannya secara filosufis bersesuaian dengan ruh pendidikan Islam, dan (3) semakin pudarnya nilai-nilai Islam dalam praktek pendidikan Islam karena disadari atau tidak dominasi sistem pendidikan Barat telah merasuk dalam dunia pendidikan Islam. Pada hal pendidikan Barat berbeda dengan pendidikan Islam. Dalam dunia pendidikan Barat proses pendidikannya semata-mata tanggung jawab manusia, tidak dihubungkan dengan tanggung jawab keagamaan, tujuan akhir pendidikannyapun ialah memperoleh kehidupan sejahtera dalam arti materealistik semaksimal mungkin. Ini tentu berbeda dengan konsep pendidikan Islam, yang semua aktivitas pendidikan haruslah dikaitkan dengan perwujudannya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah. Menurut Tohari Musnamar, paling tidak ada lima perbedaan pendidikan Barat dengan Islam. Pertama, pada umumnya di Barat proses belajar mengajar tidak dihubungkan dengan Tuhan maupun ajaran agama. Berdasarkan pandangan hidup Barat yang sekularistik-materialistik, maka motif dan objek belajar pun adalah sema-mata masalah keduniaan. Berbeda dengan Barat, Islam mengajarkan bahwa aktivitas belajar dan mengajar itu merupakan suatu amal ibadah, berkaitan erat dengan pengabdian kepada Allah. Kedua, pada umumnya konsep pendidikan Barat beranggapan bahwa masalah belajar dan mengajar itu adalah semata-mata urusan manusia, sedangkan Islam mengajarkan bahwa terdapat hak-hak Allah dan hak-hak makhluk lainnya pada

setiap individu, khususnya bagi orang yang berilmu. Mereka kelak akan diminta pertanggungan jawabnya bagaimana cara mengamalkan ilmunya. Ketiga, pada umumnya konsep pendidikan Barat tidak membahas masalah kehidupan sebelum dan sesudah mati. Belajar hanyalah untuk kepentingan dunia, sekarang dan di sini. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pendidikan Islam. Belajar tidak hanya untuk kepentingan hidup di dunia sekarang, tetapi juga untuk kebahagiaan hidup di akhirat nanti. Keempat, konsep pendidikan Barat pada umumnya tidak dikaitkan dengan pahala dan dosa. Banyak ahli Barat yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai (values free). Maka caracara apapun boleh ditempuh asal tercapai tujuannya. Praktek yang demikian itu tentu saja tidak dikenal dalam ajaran Islam. Kebajikan dan akhlak yang mulia merupakan unsur pokok dalam pendidikan Islam. Kelima, pada umumnya tujuan akhir konsep pendidikan Barat ialah hidup sejahtera di dunia secara maksimal, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat. Sedangkan tujuan akhir pendidikan Islam ialah terwujudnya insa>n ka>mil, yang pembentukannya selalu dalam proses sepanjang hidup (has a beginning but not an end).[2] Ada tiga persoalan yang diangkat dalam tulisan ini yaitu (1) apa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu menurut al-Zarnuji (2) bagaimana sifat dasar moral manusia dan pengembangan sumber daya manusia dan (3) bagaimana posisi pemikiran al-Zarnuji tentang tujuan pendidikan dalam aliran filsafat pendidikan Islam. Tulisan yang bersifat deskriptif ini digunakan pendekatan filsafat pendidikan yakni inkorporatif yakni gagasan dari kajian teks karya al-Zarnuji mengenai pendidikan, dilihat dari berbagai pemikiran pendidikan yang dilepaskan dari sistem alirannya. Teknik analisisnya menggunakan content analisis yakni menarik kesimpulan dalam usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis. Dengan demikian pemikiran pengarang kitab tidaklah dihubungkan dengan setting sosial yang melingkupinya dan latar belakang pendidikannya. 1. B. Sketsa Pengarang Kitab Tali>m al-Mutaallim Pengarang kitab Tali>m al-Mutallim T}ari>q al-Taallum ialah al-Zarnuji, yang nama

lengkapnya adalah Syekh Tajuddin Numan bin Ibrahim bin al-Khalil Zarnuji.[3] Dalam Kamus Islam terdapat dua sebutan yang ditujukan kepadanya, yakni al-Zarnuji ialah Burhanuddin al-Zarnuji, yang hidup pada abad ke-6 H/ 13-14 M dan Tajuddin al-Zarnuji, ia adalah Numan bin Ibrahim yang wafat pada tahun 645H.[4] Al-Zarnuji adalah seorang sastrawan dari Bukhara,[5] dan termasuk ulama yang hidup pada abad ke-7 H,

atau sekitar abad ke-13-14 M, ia dapat dikenal pada tahun 593 H dengan kitab Tali>m al-Mutalim.[6] Kitab ini telah diberi syarah (komentar) oleh Al-Allamah al-Jalil al-Syekh Ibrahim bin Ismail, dengan nama, al-Syarh Tali>m al-Mutallim T}ari>q al-Taallum dan oleh Syekh Yahya bin Ali bin Nashuh (1007 H/ 1598M) ahli syair Turki dan Imam Abdul Wahab al-Syarani ahli tasauf dan al-Qadli Zakaria al-Anshari.[7] Tentunya kitab ini tidak asing lagi bagi dunia pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di pondok pesantren Salafiyah, karena kitab ini telah dijadikan referensi utama bagi santri dalam menuntut ilmu. Menurut Mahmud Yunus bahwa dalam kitab itu disimpulkan pendapat para ahli pendidikan Islam dan dikuatkan secara khusus pendapat Imam alGhazali. Kitab ini khusus dalam ilmu pendidikan dan berpengaruh sekali dalam alam Islami sebagai pegangan bagi guru untuk mendidik anak-anak.[8] Al-Zarnuji tinggal di Zarnuq atau Zarnuj, seperti kata itulah yang dibangsakan kepadanya. Seperti disebutkan dalamQa>mu>s Islami[9], bahwa Zarnuq atau Zarnuji adalah nama negeri yang masyhur yang terletak di kawasan sungai Tigris (ma> waraa al-nahr) yakni Turtkistan Timur. ., , ( [ ] Dalam kitabnya seacra implisit, al-Zarnuji tidak menentukan di mana dia tinggal, namun secara umun ia hidup pada akhir periode Abbasiyah, sebab khafilah Abbasiyah terakhir ialah al-Mutashim (wafat tahun 1258 M/656 H). Ada kemungkinan pula ia tinggal di kawasan Irak-Iran sebab beliau juga mengetahui syair Persi di samping banyaknya contoh-scontoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.[10] 1. C. Tujuan Pendidikan/Tujuan Memperoleh Ilmu Pendidikan merupakan upaya belajar dengan bantuan orang lain untuk mencapi tujuannya. Maksud tujuan pendidikan atau belajar/ memperoleh ilmu di sini ialah suatu kondisi tertentu yang dijadikan acuan untuk menentukan keberhasilan belajar/pendidikan. Dengan kata lain tujuan pendidikan/belajar dalam arti pendidikan mikro ialah kondisi yang diinginkan setelah individu-individu melakukan kegiatan belajar. Tujuan adalah apa yang dicanangkan oleh manusia, diletakkannya sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya dia menata tingkah lakunya. Tujuan itu sangat penting artinya karena dia berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan segala aktivitas pendidikan, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Kualitas dari tujuan itu sendiri bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan kualitas kehidupan

manusia. Sebagai contoh, tujuan pendidikan di Sekolah Dasar ialah cerdas. Makna cerdas sepuluh tahun yang lalu berbeda dengan cerdas tahun sekarang (2007). Lebihlebih tujuan pendidikan yang di dalamnya syarat dengan nilai-nilai yang bersifta fundamental, seperti nilai moral dan nilai agama. Kualitas takwa pada anak-anak-anak berbeda dengan kutalitas takwa pada orang dewasa, demikian juga setelah manusia menjelang usia lanjut. Tujuan pendidikan atau belajar suatu bangsa atau seseorang pada dasarnya bersumber pada filsafat hidup suatu bangsa itu dan keyakinan dalam beragama. Maka dengan perbedaan filsafat hidup dan kualitas keagamaan antar ahli pendidikan, menjadikan lahirnya perbedaan dalam menetapkan tujuan belajar. Secara makro tentu tujuan pendidikan suatu bangsa akan berbeda dengan tujuan pendidikan bangsa lain, disamping adanya persamaan-persamaan. Menurut al-Jamaliy, tujuan pendidikan Islam antara ialah (1) agar seseorang mengenal statusnya di antara makhluk dan tangung jawab masing-masing individu di dalam hidup mereka di dunia, (2) agar mengenal interaksinya di dalam masyarakat dan tanggung jawab mereka di tengah-tengah sistem kemasyarakatan, (3) supaya manusia kenal alam semesta dan membimbingnya untuk mencapai hikmat Allah di dalam menciptakan alam semesta dan memungkinkan manusia menggunakannya, (4) supaya manusia kenal akan Tuhan Pencipta alam ini dan mendorongnya untuk beribadah kepadanya.[11]Menurut Syed Muhammad Naqueib bahwa tujuan pendidikan itu supaya menjadikan manusia itu orang yang baik (the aims of Education in Islam is to produce a good man).[12] Sedangkan menurut al-Abrasy, bahwa tujuan umum yang asasi bagi pendidikan Islam yaitu (1) untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, (2) untuk persiapan kehidupan dunia dan akhirat, (3) untuk persiapan mencapai rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat akhlak, atau spritual semata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Para pendidik muslim memandang kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara ilmu agama dan pengetahuan, atau menaruh perhatian pada segi-segi spritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatan. (4) Untuk menumbuhkan jiwa ilmiah dan memuaskan keinginan diri untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu sekedar sabagai ilmu, (5) untuk menyiapkan pembelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat menguasai profesi, teknis dan perusahaan tertentu, supaya ia dapat mencari rizki dalam hidup dengan mulia disamping memelihara segi spritual dan keagamaan.[13] Menurut al-Zarnuji tujuan belajar/pendidikan Islam berikut ini:[14]

: . . *

. * Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu harus bertujuan mengharap rida Allah, mencari kebahagiaan di akhirat, menghilangkan kebodohan baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam itu dapat lestari, kalau pemeluknya berilmu. Zuhud dan takwa tidak sah tanpa disertai ilmu. Syekh Burhanuddin menukil perkataan ulama sebuah syair: orang alim yang durhaka bahayanya besar, tetapi orang bodoh yang tekun beribadah justru lebih besar bahayanya dibandingkan orang alim tadi. Keduanya adalah penyebab fitnah di kalangan umat, dan tidak layak dijadikan panutan. Selanjutnya al-Zarnuji berkata[15]: . . Maksudnya: Seseorang yang menuntut ilmu haruslah didasari atas mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dan dia tidak boleh bertujuan supaya dihormati manusia dan tidak pula untuk mendapatkan harta dunia dan mendapatkan kehormatan di hadapan pejabat dan yang lainnya. Sebagai akibat dari seseorang yang merasakan lezatnya ilmu dan mengamalkannya, maka bagi para pembelajar akan berpaling halnya dari sesuatu yang dimiliki oleh orang lain. Demikian pendapat al-Zarnuji, seperti statemen berikut ini[16]: . : * .*

Maksudnya: Barangsiapa dapat merasakan lezat ilmu dan nikmat mengamalkannya, maka dia tidak akan begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain. Syekh Imam Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar al-Anshari membacakan syair Abu Hanifah: Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat, tentu ia akan memperoleh anugerah kebenaran/petunjuk. Dan kerugian bagi orang yang mencari ilmu hanya karena mencari kedudukan di masyarakat.

Tujuan pendidikan menurut al-Zarnuji sebenarnya tidak hanya untuk akhirat (ideal), tetapi juga tujuan keduniaan (praktis), asalkan tujuan keduniaan ini sebagai instrumen pendukung tujuan-tujuan keagamaan. Seperti pendapat al-Zarnuji berikut ini[17]: : . *

. * Maksudnya: Seseorang boleh memperoleh ilmu dengan tujuan untuk memperoleh kedudukan, kalau kedudukan tersebut digunakan untuk amar makruf nahi munkar, untuk melaksanakan kebenaran dan untuk menegakkan agama Allah. Bukan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, dan tidak pula karena memperturutkan nafsu. Seharusnyalah bagi pembelajar untuk merenungkannya, supaya ilmu yang dia cari dengan susah payah tidak menjadi sia-sia. Oleh karena itu, bagi pembelajar janganlah mencari ilmu untuk memperoleh keuntungan dunia yang hina, sedikit dan tidak kekal. Seperti kata sebuah syair: Dunia ini lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan buta. Mereka adalah orang-orang bingung yang tak tentu arah, karena jauh dari petunjuk. Menurut al-Syaibani bahwa ada tiga bidang perubahan yang diinginkan dari tujuan pendidikan yaitu tujuan-tujuan yang bersifat individual; tujuan-tujuan sosial dan tujuantujuan professional.[18] Kalau dilihat dari tujuan-tujuan pembelajar dalam konsep alZarnuji, maka menghilangkan kebodohan dari diri pembelajar, mencerdaskan akal, mensyukuri atas nikmat akal dan kesehatan badan, merupakan tujuan-tujuan yang bersifat individual. Karena dengan tiga hal tersebut akan dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku, aktivitas dan akan dapat menikmati kehidupan dunia dan menuju akhirat. Tujuan pembelajar mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan dari anggota masyarakat (mencerdaskan masyarakat), menghidupkan nilai-nilai agama, dan melestarikan Agama Islam adalah merupakan tujuan-tujuan sosial. Karena dengan tiga tujuan tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dengan tingkah laku masyarakat pada umumnya. Dari tujuan-tujuan sosial ini, al-Zarnuji melihat bahwa kesalehan dan kecerdasan itu tidak hanya saleh dan cerdas untuk diri sendiri, tetapi juga harus mampu mentransformasikannya ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan tujuan professional, berhubungan dengan tujuan seseorang mencapai ilmu itu ialah menguasai ilmu yang berimplikasi pada pencapaian kedudukan. Namun

kedudukan yang telah dicapai itu adalah dengan tujuan-tujuan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Memperoleh kedudukan di masyarakat tidak lain haruslah dengan ilmu, dan menguasainya. Baik tujuan individual, sosial dan professional haruslah atas dasar memperoleh keridaan Allah dan kebahagiaan akhirat. Untuk itulah nampaknya alZarnuji menempatkan mencari rida Allah dan kebahagiaan akhiratmenjadi awal dari segala tujuan (nilai sentral) bagi pembelajar. Jika tujuan memperoleh ilmu dibagi kepada empat yakni (1) ilmu untuk ilmu (kegemaran dan hobi), (2) sebagai penghubung memperoleh kesenangan materi, (3) sebagai penghubung memajukan kebudayaan dan peradaban mausia, (4) mencari rida Allah dan kebagiaan akhirat, maka yang terakhir ini sebagai tujuan sentral, sedangkan tujuan lainnya sebagai tujuan instrumental. Lebih jelasnya dapat diliat dalam gambar berikut: Dari gambar diatas jelas terlihat bahwa tujuan pendidikan/memperoleh ilmu sebagai penghubung mencari rida Allah dan kebahagiaan akhirat sebagai nilai sentral yang akan menyinari dan membingkai tiga tujuan di bawahnya. Artinya seseorang boleh saja memperoleh ilmu untuk kegemaran, peroleh materi atau kemajuan kebudayaan dan peradaban asalkan saja dibingkai dan disinari oleh nilai-nilai keagamaan. Ini dapat dimengerti karena tujuan dalam pendidikan sangat penting artinya. Karena tujuan haruslah diletakkan sebagai pusat perhatian, dan demi merealisasikannya, pembelajar menata tingkah lakunya. Tujuan juga berfungsi sebagai pengakhir segala kegiatan, mengarahkan segala aktivitas, merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lanjutan dari pertama, tolok ukur keberhasilan suatu proses belajar mengajar, dan memberi nilai (sifat) pada semua kegiatan tersebut. Tujuan seperti ini diistilahkan oleh Ali Abdul Azim sebagai tujuan yang paling agung. Seperti dia katakan berikut ini:[19] . Maksudnya: Tujuan memperoleh ilmu pengetahuan yang paling penting dan agung dalam Islam, ialah pembelajar dapat berhubungan dengan Allah SWT. Tujuan ini merupakan hal yang paling utama untuk menuju kepada kebenaran, kebaikan dan keindahan. Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa tujuan-tujuan tersebut baik yang bersifat ideal maupun yang bersifat praktis, mencakup kepada nilai-nilai ideal Islami, yaitu pertama, dimensi yang mengandung nilai untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia. Nilai ini mendorong seseorang untuk bekerja keras dan professional agar keuntungan dan kenikmatan dunia dapat diperoleh sebesar-besarnya. Kedua, dimensi yang mengandung nilal-nilai ruhani dan keakhiratan. Dimensi ini menuntut pembelajar untuk tidak terbelenggu oleh mata rantai kehidupan yang materealistis di dunia, tetapi ada

tujaun-tujuan yang lebih jauh dan mulia yaitu kehidupan sesudah mati. Penghayatan terhadap nilai ini, menjadikan pembelajar terkontrol dari syahwat kenikmatan dunia/materi. Ketiga, dimensi yang mengandung nilai yang dapat mengintegrasikan antara kehidupan dunia (praktis) dan ukhrawi (ideal). Menurut Arifin, keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruhpengaruh negative dari berbagai gejolak kehidupan yang menggoda ketenangan hidup manusia, baik yang bersifat spritual, sosial, kultural, ekonomis, maupun ideologis dalam hidup pribadi manusia.[20] Tujuan pembelajar memperoleh ilmu yang dikemukakan oleh al-Zarnuji jika dilihat dari aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ridha, maka al-Zarnuji termasuk dalam aliran Konservatif Religius. Ridha mengatakan, disamping lahirnya teori pendidikan berdasar pada hakikat fitrah dalam Alquran, juga orientasi keagamaan dan filsafat negara dalam menafsirkan realitas dunia, fenomena dan eksistensi manusia melahirkan pemikiran pendidikan Islam terutama menentukan (1) tujuan, (2) ruang lingkup dan (3) pembagian ilmu. Maka berdasar tiga ini, Ridha membagi aliran utama pemikiran pendidikan Islam menjadi tiga; al-muha>fiz (religius konservatif); al-diniy alaqlaniy (religius rasional) dan al-z\araiiy (pragmatis instrumental).[21] Aliran konservatif religius, menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar, pembagian ilmu, etika guru dan murid dan komponen pendidikan lainnya harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Aliran religius rasional, tidak jauh berbeda dengan aliran pertama dalam hal kaitan antara pendidikan dan tujuan belajar adalah tujuan agama. Bedanya, ketika aliran ini membicarakan persoalan pendidikan cenderung lebih rasional dan filosufis. Mereka membangun prinsip-prinsip dasar pemikiran pendidikan dari pemikiran tentang manusia, pengetahuan dan pendidikan. Aliran pragmatis instrumental, memandang tujuan pendidikan lebih banyak sisi pragmatis dan lebih berorientasi pada tataran aplikatif praktis. Ilmu diklasifikasikan berdasar tujuan kegunaan dan fungsinya dalam hidup. Menempatkan al-Zarnuji dalam aliran religius konservatif, karena ia menafsirkan realitas jagad raya berpangkal dari ajaran agama sehingga semua yang menyangkut tujuan belajar harus berpangkal dari ajaran agama. Tujuan keagamaan adalah sebagai tujuan belajar. Bingkai agama harus menyinari seluruh aktivitas pembelajar dalam memperoleh ilmu. Sehingga boleh saja pembelajar bertujuan mencari kedudukan dalam memperoleh ilmu, tetapi kedudukan itu harus difungsikan untuk tujuan-tujuan keagamaan yakni amar makruf nahi munkar, menegakkan kebenaran, dan untuk menegakkan agama

Allah. Implikasi dari pemikiran ini sangat jauh. Pembelajar yang semata-mata mencari rida Allah dalam menuntut ilmu baik dikontrol oleh aturan-aturan yang dibuat manusia ataupun tidak, dia tetap dalam bingkai kebenaran. Berbeda dengan pembelajar yang menuntut ilmu karena mencari materi, sewaktu materi tidak di dapat atau berkurang maka dia akan patah semangat dan pasimis serta tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Sebagai implikasi dari pandangan al-Zarnuji mengenai tujuan pendidikan/memperoleh ilmu tentu terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya. Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggang jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugastugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral dalam pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusian) tidak sejalan dengan tuntutan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Dampak negatif edukatifnya menjadikan term al-ilm (ilmu) yang dalam Alquran dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pencapaian spritual yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya terpusat pada bingkai agama, maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh orang-orang non Muslim. Hal ini pula menunjukkan sekaligus ketidak berdayaan umat Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan transformasi solial yang bermoral. Bagaimana menurut al-Zarnuji sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar? Sebelum dibahas ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan berbagai pendapat para ahli. Menurut Morris L. Bigge, bahwa sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar bermacam-macam. Seperti sifat moral manusia itu jelek, baik dan netral (tidak baik dan tidak pula jelek). Sedangkan aksinya terhadap dunia luar terdiri dari; aktif, pasif, dan interaktif.[22] Aliran yang berpendapat bahwa sifat moral sifat dasar manusia dan aksinya bad-activeialah seperti aliran Theistic Mental

Discipline,[23] yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasar bawaannya jelek, yang tidak ada harapan baik dari mereka. Sekiranya manusia dibiarkan tumbuh berkembang maka yang tampil adalah kejelekannya saja. Maka fungsi pendidikan adalah mengusahakan pengekangan terhadap sifat dasar ini dan melatih bagian-bagian jiwa ke arah yang baik. Jika percaya bahwa sifat dasar manusia dan aksinya bersifat goodactive, maka tanpa mereka dipengaruhi oleh dunia luar, maka akan tampil sifat-sifat baiknya. Implikasinya dalam pendidikan ialah orang-orang yang terlibat dalam pendidikan menyiapkan sedemikian rupa agar dapat mengoptimalisasikan perkembangan individu-indivivu tersebut. Yang berpandangan bahwa sifat dasar manusia dan aksinya neutral-passive, berarti pada dasarnya manusia itu bersifat netral yang berpotensi untuk tidak baik dan tidak pula buruk. Aksinya terhadap dunia luar adalah pasif, dalam arti dunia luar termasuk pendidikan, yang membentuk kepribadian seseorang. Karakter seseorang apakah baik atau tidak, sangat tergantung pada polesan alam lingkungannya. Bagi yang berpendpat bahwa sifat dasar manusia dan aksinya terhadap dunia luar bersifat neutral-interactive, adalah hampir sama dengan neutral-passive, hanya saja aksinya terhadap dunia luar ada proses kerjasama atau interaktif. Berarti pendidikan, tidak akan dapat seratus persen mencetak anak didik sesuai dengan yang dikehendaki, karena pembelajar dapat memberi respon atau dialektis terhadap pengaruh luar. Hasil proses antara sifat dasar dan dunia luar, akan menampilkan model kepribadian seseorang. Sebagai kelanjutan dari berbagai teori di atas muncullah teori-teori yang dikenal dengan Emprirsme, Nativisme dan Konvergensi. Dalam Filsafat Empirisme disebutkan bahwa perkembangan dan pembentukan manusia itu ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk pendidikan. Sebagai pelopor aliran ini ialah Joshn Locke ( 1632-1704) yang dikenal denga teori Tabularasa atau Empirisme yaitu bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang memberi corak atau tulisan pada kertas putih tersebut. Bagi John Locke pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Nampak dari teori ini bersifat optimis, karena bagaimanpun juga lingkungan dapat diusahakan dan diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Berbeda dengan Nativisme yang lebih pesimis dibanding dengan Empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Athur Schonpenhauer (1788-1860). Ajaran dari filsafat ini mengatakan bahwa perkembangan pribadi hanya ditentukan oleh bawaan (kemampuan dasar), bakat serta faktor dalam yang bersifat kodrati. Proses pembentukan dan perkembangan pribadi ditentukan faktor pembawaan ini, yang tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan. Potensi-potensi bawaan inilah sebagai kepribadian manusia,

bukan hasil binaan lingkungan pengalaman dan pendidikan. Bagaimanapun usaha pendidikan untuk membentuk pribadi manusia atau tingkatan yang dikehendaki, tanpa didukung oleh potensi dasar tersebut, harapan tersebut tidak akan tercapai. Menurut Muhammad Noor Syam, bahwa aliran ini bersifat pesimistik, karena menerima kepribadian sebagaimana adanya tanpa kepercayaan adanya nilai-nilai pendidikan untuk merubah kepribadian.[24] Teori (hukum) Konvergensi berbeda dengan kedua teori di atas, yang memposisikan keduanya secara tajam dan berlawanan. Tentu hal ini tidak dapat diterima. Menurut teori yang dipelopori oleh Willam Stem (1871-1983) ini, bahwa perkembangan manusia itu berlangsung atas pengaruh dari faktor-faktor bakat/ kemampuan dasar dan alam sekitar, termasuk pendidikan. Karena dalam kenyataannya menunjukkan bahwa bawaan dasar yang baik saja, tanpa dibina oleh alam lingkungan, termasuk budaya dan pendidikan tidak akan mencetak pribadi yang ideal. Sebaliknya, lingkungan yang baik terutama pendidikan, tetapi tidak didukung oleh kemampuan dasar tadi, tidak akan menghasilkan kepribadian yang sesuai dengan harapan tujuan pendidikan. Dengan demikian proses perkembangan dan pembentukan kepribadian manusia merupakan proses interaktif dan dialektis antara kemampuan dasar dan alam lingkungan secara berkesinambungan. Perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama kedua faktor, baik internal (potensi hereditas), maupun faktor eksternal ( lingkungan budaya dan pendidikan). Disamping teori dari Barat tersebut juga ada teori pemikiran pendidikan Islam yang dikenal dengan teori fitrah. Pemahaman para ahli pendidikan Islam terhadap hakikat fitrah dalam Alquran ternyata membawa implikasi lahirnya teori fitrah dalam pendidikan. Para ahli pendidik muslim mengakui bahwa teori dan praktek pendidikan dipengaruhi oleh pandangan bagaimana kecenderungan sifat dasar manusia dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang yang dikenal dengan teori fitrah itu diasumsikan, apakah fatalis-pasif, netral-pasif, positif-aktif, dan dualis-aktif. Kata fitrah dan segala bentuk kata jadiannya tertera pada 19 ayat dalam 17 surat.[25] Menurut Mohamed pemahaman mengenai bawaan dasar (fitrah) manusia dan bagaimana kemampuannya untuk berkembang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu (1) fatalis-pasif, (2) netral-pasif, (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif.[26] Teori fatalis-pasif, mengatakan bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan. Kemampuan manusia untuk berkembang menjadi pasif, karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan

Tuhan sebelumnya. Yang berpandangan netral-pasif, berasumsi bahwa anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur, baik atau jahat. Teori ini sama dengan teori Tabularasa dari John Locke. Kemampuan individu untuk berkembang adalah pasif dan sangat tergantung dari polesan lingkungan, terutama pendidikan. Yang berpandangan positifaktif berasumsi bahwa bawaan dasar manusia sejak lahirnya adalah baik, sedangkan kejahatan bersifat aksidental. Kemampuan individu untuk berkembang bersifat aktif. Manusia merupakan sumber yang mampu membangkitkan dirinya sendiri dari dalam. Yang berpandangan dualis-aktif, berasumsi bahwa bawaan dasar manusia itu bersifat ganda (dualis). Di satu sisi sifat dasarnya cenderung kepada kebaikan, dan di sisi lain cenderung kepada kejahatan. Sifat dualis tersebut sama-sama aktif dan dalam keadaan setara. Bagaimana menurut al-Zarnuji mengenai proses perkembangan pribadi manusia? Secara eksplisit al-Zarnuji tidak menyebutkan, tetapi secara implisit dapat memberi gambaran kepada pembaca bahwa al-Zarnuji lebih cenderung kepada aliran konvergensi dengan penambahan nilai-nilai Islam. Berikut statemennya[27]: . . : .: Maksudnya: Adapun cara memiluh ustadz, maka seseorang yang sedang menuntut ilmu hendaklah mencari ustadz yang paling alim, yang paling wara(menjauhkan diri dari dosa, maksiat, dan perkara yang syubhat), dan yang paling tua. Sebagaimana setelah Abu Hanifah merenung dan berpikir, maka dia memilih ustadz Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau mempunyai kriteria tersebut. Selanjutnya Abu Hanifah berkata : Beliau adalah seorang ustadz yang berakhlak mulia, penyantun dan penyabar. Aku bertahan menuntut ilmu ilmu kepadanya hingga aku seperti sekarang ini. Begitu pentingnya terma memilih ustadz ini, al-Zarnuji mengutip perkataan orang bijak yaitu jika kamu pergi menuntut ilmu ke Bukhara, maka jangan tergesa-gesa memilih pendidik, tapi menetaplah selama dua bulan hingga kamu berpikir untuk memilih ustadz. Karena bila kamu langsung memilih kepada orang yang alim, maka kadang-kadang cara mengajarnya kurang enak menurutmu, kemudian kamu tinggalkan dan pindah kepada orang alim yang lain, maka belajarmu tidak akan diberkati. Oleh karena itu, selama dua bulan itu kamu harus berpikir dan bermusyawarah untuk memilih ustadz, supaya kamu tidak meninggalkannya dan supaya betah bersamanya hingga ilmumu berkah dan bermanfaat.[28]

Seorang pelajar tidak hanya bersungguh-sungguh memilih ustadz yang akan memberi pengaruh kepadanya tetapi juga memilih teman yang tepat. Berikut pernyataan alZarnuji[29]: : . * * : * *

. : Maksudnya: Pembelajar harus memilih berteman dengan orang yang tekun belajar, yang wara, yang mempunyai watak istiqa>mah dan suka berpikir. Dan menghindari berteman dengan pemalas, atheis, banyak bicara, perusak dan tukang fitnah. Seorang penyair berkata : Janganlah bertanya tentang kelakuan seseorang, tapi lihatlah siapa temannya. Karena seseorang biasanya mengikuti temannya. Kalau temanmu berbudi buruk, maka menjauhlah segera. Dan bila berlaku baik maka bertemanlah dengannya, tentu kamu akan mendapat petunjuk. Ada sebuah syair berbunyi: Janganlah sekali-kali bersahabat dengan seorang pemalas dalam segala tingkah lakunya. Karena banyak orang yang menjadi rusak karena kerusakan temannya. Karena sifat malas itu cepat menular. Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi. Lebih jelasnya masalah fitrah ini dijelaskan oleh Nabi SAW berikut ini dan artinya:[30] ( ) Dari berbagai statemen al-Zarnuji tersebut menunjukkan bahwa sifat dasar moral manusia itu bersifat good-interactive atau fitrah positif-aktif dalam klasifikasi pemikiran pendidikan Islam yang digagas oleh Ridha. Artinya, pada dasarnya manusia itu baik, aktif/interaktif dan aksinya terhadap dunia luar bersifat proses kerjasama antara potensi hereditas dan alam lingkungan pendidikan. Yakni seseorang dapat saja dipengaruhi oleh

alam lingkungannya secara penuh atau sebaliknya dunia luar dipengaruhinya sehingga sesuai dengan keinginannya. Atau dirinya dan dunia luar melebur menjadi tarik menarik secara terus menerus dan saling pengaruh serta proses kerjasama. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan soaial budaya, seperti memilih ustadz, memilih guru dan memilih lingkungan tempat pembelajar menimba ilmu. Sekalipun demikian, belum dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji beraliran Empirisme, karena pada bab lain ia juga membicarakan tentang tawakkal. Tawakkal tentu merupakan salah ciri dari yang beraliran Nativisme. Sehingga lebih tepat kalau alZarnuji dikelompokkan kepada Konvergensi Plus. Karena bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari bawaan hereditasnya dan pengaruh alam lingkungannya atau proses kerjasama antaara keduanya (interaktif). Namun juga perlu diingat bahwa dalam sisi kehidupan ini kadang-kadang disadari atau tidak ada inayatullah(pertolongan Tuhan). Seperti halnya kasus Kanan (anak Nabi Nuh) yang tetap ingkar sekalipun dibesarkan dan diasuh dalam lingkungan kerasulan, isteri Firaun yang tetap wanita shalihah, sekalipun suaminya seorang yang musyrik, istri Nabi Luth tetap durhaka kepada suaminya sekalipun setiap harinya disinari oleh misi kerasulan dan lain-lain yang dicontohkan dalam Alquran. Mungkin itulah yang dapat diistilahkan oleh al-Zarnuji dengan istilah tawakkal. D. Simpulan Dari berbagai bahasan yang dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa al-Zarnuji dalam menentukan tujuan belajar/ pendidikan berorientasi kepada tujuan ideal dan tujuan praktis, sekalipun lebih menekankan pada tujuan ideal. Karena dia berkeyakinan bahwa tujuan ideal akan dapat mewarnai terhadap diri pembelajar sehingga tujuan-tujuan praktis, seperti tujuan mencari ilmu untuk memperoleh kedudukan haruslah diberdayakan kepada tujuan mencari rida Allah dan kehidupan di akhirat. Sekalipun tujuan-tujuan yang dikemukakannya belum terperinci, tetapi paling tidak benang merahnya telah nampak yakni tujuan-tujuan itu haruslah ada tujuan yang bersifat individual, sosial dan professional. Mengenai pendapatnya tentang konsep sifat dasar moral manusia dan aksinya terhadap dunia luar, nampaknya lebih cenderung kepada good- interactive atau fitrah positifinteraktif. Artinya pada dasarnya cetakan manusia itu baik-interaktif dan merespon terhadap lingkungan social budaya bersifat proses kerjasama atau dialogis. Namun nampaknya al-Zarnuji lebih banyak menekankan kepada penataan lingkungan sosial, seperti memilih guru, teman dan tempat agar ilmu yang diperoleh pembelajar dapat

bermanfaat, berkah sebagai hasil dari pengaruh lingkungan tersebut. Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dunia akhirat DAFTAR PUSTAKA Abrasyi al, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falalsifatuha>, Mesir: Isa al-Bab al-Halabi wa Syurakah, 1975. Ahmad Athiyatullah, Qa>mus Islami, Mesir: Maktabah Nahdlah, 1970, Jilid ke-3. Arifin, H.M, Filsafat Pendidikan Islam, Bina Aksara, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Attas al, Syed Muhammad al-Naqueib, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979. Azim, Ali Abdul, Falsafah Al-Marifah fi> Al-Qura>n al-Kari>m, Kairo: Al-Hajah alAmmah al-Syuun al- Mathabi, 1939 H/ 1973 M. Baqi al, Muhammad Fuad, Mujam al-Mufakhras li al-Fa>z al-Qura>n al-Kari>m, Mesir: al-Haidah al-Ammah, 1987. Bigge, Morris L., Learning Theories for Theachers, USA: Harper and Row, Publisher, Inc, 1982. Dwiki Setyawan dan Abdullah Mahmud, Telaah Paradigma Pemikiran Nurkholis Madjid, Majalah Rindang, XIX, No. 9, April 1994. Ismail, Syekh Ibrahim bin Ismail, Al-Syarh Tali>m al-Mutallim, Indonesia: Maktabah Da>r Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt. Jamali al, Muhammad Fadhil, Tarbiyah al-Insa>n al-Jadi>d, Tunisia: Al-Syirkah alTunisia Thurnisiyah Littauzi, 1967. Lois Maluf, Al-Munjid fi> al-Lugoh wa al-Ala>m, Beirut: Da>r al-Masyriq, 1975. Mohamed, Yasien, Insan Yang Suci, terj. Masyhur Abadi, Bandung: Penerbit Mizan, 1997. Ridha, Muhammad Jawad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Isla>miy, Muqaddimah fi> Us}u>lih alIjitimaiyyah wa al-Aqla>niyah, Kuwait: Da>r al-Fikr al-Arabiy, 1980. Syabani al, Omar Mohammad Al-Taumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Syam, Muhammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasioanal, 1986. Tohari Musnamar, Masalah Operasionalisasi Konsep Pendidikan Islami di Indonesia dalam Menatap Masa Depan, Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, I, No. 2, April, 1991. Yaqub, Ali Musthafa, Etika Belajar Menurut Az-Zarnuji, Pesantern, Vol.III, No. 3, Februari, 1986.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Etika Belajar menurut Imam Al-Zarnuji IV


Sebuah judul kitab mengakar kuat di pesantren pada umumnya: Talim al-Mutaallim Thariqat alTa'allum, karya Syekh Al-Zarnuji. Sebagai sesuatu yang salaf, kitab tersebut cenderung memahaminya sebagai sebuah garis final. Tidak hanya pada semangat dan pesan moral di dalamnya, tapi juga pada tata-cara dan metodologinya. Adalah sesuatu yang wajar jika kemudian karya monumental al-Zarnuji itu menjadi sebuah rujukan dalam menata proses belajar mengajar di pondok pesantren. Ia memenuhi segala kriteria yang diinginkan, yaitu Islami, salaf, dibawa dan ditradisikan oleh sistem pembelajaran di pondok pesantren. Terlepas, dari pro-kontra kelayakannya sebagai metodologi pendidikan, Talim al-Mutaallim dalam cermin besarnya telah memberikan sebuah nuansa tentang pendidikan ideal, yaitu sebuah pendidikan yang bermuara pada pembentukan moral. Sebetulnya, dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan sama dengan Talim al-Mutaallim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu. Sebut saja misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (w. 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-Mutaalim karya Imam al-Ghazali (w. 505 H.). Namun, Talim al-Mutaallim jauh lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding kitabkitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Talim al-Mutaallim. Bandingkan antara Talim yang disusun pada akhir abad Ketujuh Hijriah dengan Al-Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan Abad Ketiga. Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren: 1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; 3) konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; 4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis. Point-point ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis. Talim al-Mutaallim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan. Tetapi, Talim al-Mutaallim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya. Kupasan-kupasan teknis-aplikatif al-Zarnuji tentang etika belajar-mengajar itu kemudian

mengesankan bahwa Talim al-Mutaallim memang amat kuat berkaitan dengan pengaruh budaya lokal. Dalam sebuah seminar, Ghazali Said (2000) pernah mengemukakan kritiknya terhadap Talim tentang hal ini. Ia menyatakan bahwa daerah ma waraa al-nahar (lembah sungai Amudarya/Transoxinia) adalah daerah pedalaman yang jauh dari dinamika urban di Baghdad. Budaya Transoxiana (tempat di mana al-Zarnuji menyusun kitabnya), sangat mempengaruhi pemikiran al-Zarnuji dalam Talim al-Mutaallim. Bentuk-bentuk teknis pendidikan ala Talim al-Mutaallim ketika dibawa ke dalam wilayah dengan basis budaya berbeda, maka akan terkesan canggung. Saat itulah, Talim al-Mutaallim kemudian banyak dipandang secara apriori, ditolak dan disudutkan. Untuk menghindari gap ini, ada baiknya kalau misalnya ada pemilahan terhadap berbagai point dalam karangan al-Zarnuji itu. Ada yang pesan universal, teknis-metodologis, dan ekspresi pribadi. Pesan-pesan universal Talim al-Mutaallim semestinya diterapkan dalam proses pendidikan manapun. Hal itu agar pendidikan berjalan kondusif, penuh etiket dan bermoral. Sedangkan untuk hal-hal yang berurusan dengan teknis-metodologis, maka patut dipandang secara kondisional. Soalnya, kalau hal itu sudah dinyatakan sebagai teknis maka mesti berubah sesuai dengan tuntutan budaya, sarana, efektitas serta kondisi-kondisi yang lain. Perlu juga untuk dicatat bahwa al-Zarnuji tidak hanya menyajikan visi pendidikannya dalam bentuk pesan moral dan teknis, tapi ia juga banyak memberikan ilustrasi cerita. Secara tersendiri, kisah-kisah itu membuat konsep-konsepnya menjadi cair dan renyah. Namun, pada sudut lain, kisah-kisah itu telah banyak dipahami sebagai bentuk konsep teknis yang harus dilakukan oleh seorang pelajar maupun pengajar. Sajian cerita yang dimuat dalam Talim al-Mutaallim juga perlu disikapi dalam bingkai teladanmoral, bukan konsep teknis. Bagaimanapun, sebuah kisah adalah pengalaman dan ekspresi personal seseorang. Sebagai ekspresi, hal itu tidak perlu diterjemahkan sebagai bentuk jadi proses pendidikan. Namun, mesti dijadikan sebagai motivasi dan teladan moral. Sedangkan bentuk ekspresinya tidak harus sama persis dengan yang ada dalam cerita itu. Secara umum, tak perlu ada yang dipermasalahkan dari Talim al-Mutaallim. Hanya diperlukan sebuah pemilahan, mana yang harus dipahami sebagai prinsip baku dan point apa yang mesti diterjemahkan secara kondisional. Hal itu diperlukan agar semangat Talim al-Mutaallim bisa elastis untuk diusung ke dalam wadah pendidikan apapun. Talim al-Mutaallim adalah jawaban ketika pendidikan kita sudah tak memiliki basis moral yang mapan. Terhadap keberadaan kitab Talim al-Mutaallim, memang terdapat beragam apresiasi. Karya alZarnuji itu tidak hanya mendulang apresiasi positif, tapi juga suara-suara miring. Taqiy al-Din bin Abd al-Qadir al-Mishrisebagaimana dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier (1995:213)mengakui bahwa karya al-Zarnuji ini merupakan khazanah yang sangat bagus untuk pendidikan Islam.

Apresiasi positif untuk Talim al-Mutaallim rata-rata bermuara pada dua hal: konsistensinya dalam memahami pendidikan murni sebagai pembentukan moral dan perhatiannya yang cukup besar terhadap efektifitas penerimaan informasi (ilmu pengetahuan), tanpa menabrak bingkai tatakrama (adab) dalam segala prosesnya. Dapat dikatakan bahwa keberadaan Talim al-Mutaallim dalam pembentukan moral dalam proses pendidikan tidak seikit. Di pesantren, ia tidak hanya jadi ikon tapi juga ruh. Menurut Zamaksyari Dhofier, kitab ini memang telah membentuk tradisi pembelajaran di pondok pesantren. (Dhofier, 1995:201). Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya itu banyak menyoroti pengaruh Talim al-Mutaallim pada sisi kepatuhan murid pada guru yang mutlak dan berkesinambungan. Tapi, dalam observasinya ia juga menemukan pengaruh Talim al-Mutaallim dalam pembentukan kritisisme dan pengembangan pendidikan Islam modern. Ia mengemukakan sebuah fakta tentang seorang kyai di Salatiga yang membangkitkan semangat kritik dan koreksi melalui Talim al-Mutaallim. (Dhofier, 1995:204). Ada pesan al-Zarnuji dalam Talim al-Mutaallim yang ia pegang: Janganlah kamu patuh kepada seseorang yang tingkah lakunya tidak sesuai ajaran Islam. Pesan ini yang kemudian ia jadikan sebagai titik tolak untuk mendorong masyarakat melakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak benartentu dengan menggunakan cara yang juga benar. Memang pendapat orang luar pondok pesantren, Talim al-Mutaallim kadang dinilai secara tidak adil. Ketika ada orang kecewa dengan pendidikan pesantren, maka tumpahnya kepada Talim alMutaallim. Hal itu karena Talim al-Mutaallim seringkali dilihat secara tidak menyeluruh dan proporsional. Husein Muhammad (2001:51) memandang Talim al-Mutaallim telah mengemukakan metode pendidikan kreatif, kritis, analitis dan logis. Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Talim alMutaallim tentang metode (diskusi) ini: Diskusi (munazharah) lebih efektif daripada membaca berulang-ulang. Diskusi satu jam lebih baik daripada membaca berulang-ulang selama satu bulan". Lebih jauh Husein (2001:53) sangat respek dengan metode munazharah, mudzakarah dan mutharahah yang diwanti-wantikan oleh al-Zarnuji. Menurutnya hal itu sudah lama dilakukan oleh para ulama dalam membahas suatu masalah. Seringkali, terjadi perdebatan seru antara mereka, tapi disertai dengan rasa saling hormat. Ilustrasi yang terkait dengan Talim al-Mutaallim itu tidak hanya mengindikasikan bahwa karya monumental al-Zarnuji ini memiliki akar yang sangat kuat. Tapi, pada sudut pandang yang berbeda, Talim juga memberikan banyak sumbangan positif terhadap proses pendidikan pesantren, sekaligus eksesnya. Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang seringkali dimuculkan

untuk menyudutkan Talim al-Mutaallim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, al-Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid mengiyakan kesalahan guru. Dan, kematian dinamika itu sendiri masih perlu diselidiki kembali. Kalaupun misalnya hal itu betul-betul ada dan memang pengaruh Talim al-Mutaallim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan Jawa yang masih belum sepenuhnya mati. Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh AlZarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. 1. Anjuran untuk selalu belajar Al-Zarnuji (Al-Zarnuji, 1995:6-7) mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. Syairnya adalah sebagai berikut:

"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna. Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa, Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan. Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh." ( Al-Zarnuji, 1995:6-7)

Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus. 2. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, Al-Zarnuji amat mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak

murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain. Al-Zarnuji (1995:7) mengatakan: "Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain." 3. Larangan mempelajari ilmu perdukunan Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu akliah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional). Ia mengatakan:

"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan" (Al-Zarnuji, 1995:9). Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat. 4. Mengenai niat dalam menuntut ilmu Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar. Ia mengatakan: . "Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah". (Al-Zarnuji, 1995:12). Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu: a. Niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah; b. Niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan; c. Boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahy munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu. (Al-Zarnuji, 1995:12-14). 5. Sifat tawadlu Para pencari ilmu dianjurkan oleh Imam Al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta

benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:

"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka." (AlZarnuji, 1995:16). 6. Cara memilih guru Dalam kitab ini, Al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru. Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya: "Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua". (AlZarnuji, 1995:18-19). 7. Cara memilih jenis ilmu Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu. Namun demikian, Al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut Al-Zarnuji, "iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal." (AlZarnuji, 1995:18). Selain ilmu tauhid, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para ulama Salaf. 8. Nasihat kepada para pelajar Al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain. a. Anjuran untuk bermusyawarah Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang lain. Ia mengatakan: "Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah

dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan". (Al-Zarnuji, 1995:21). b. Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun Al-Zarnuji mengnjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Ia mengatakan: "Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan" (AlZarnuji, 1995:22). Dalam kaitan ini, Imam Al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan: "Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama". (Al-Zarnuji, 1995:23). c. Anjuran untuk bersikap berani Selain sabar dan tekun, Al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan: "Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan". (Al-Zarnuji, 1995:22). d. Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu Al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Ia mengatakan:

"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya" (Al-Zarnuji, 1995:23). e. Anjuran berteman dengan orang baik Al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:

"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka memfitnah" (Al-Zarnuji, 1995:23-24). f. Anjuran menghormati ilmu dan guru Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu. Ia berkata: "Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan

bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru". (Al-Zarnuji, 1995:25-26). Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, Al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada izinnya (Al-Zarnuji, 1995:27). Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru. (Al-Zarnuji, 1995:28). Anjuran AlZarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam berdiskusi. Cara lain menghormati guru menurut Al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah. (Al-Zarnuji, 1995:30). g. Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar Dalam fasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (alhimmah), Al-Zarnuji mengatakan: .... .

"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun . Barang siapa bersungguhsungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk". (Al-Zarnuji, 1995:37-38). h. Anjuran untuk mencermati perkataan guru Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, Al-Zarnuji mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia mengatakan: "Seyoyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya" (Al-Zarnuji, 1995:54-55). i. Anjuran untuk berusaha sambil berdoa Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu Al-Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:

"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah". (Al-Zarnuji, 1995:55). j. Anjuran untuk berdiskusi Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, Imam Al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata: .

"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional." (Al-Zarnuji, 1995:56). k. Anjuran untuk senantiasa bersyukur Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Ia berkata: "Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan nyata, maupun dengan harta". (Al-Zarnuji, 1995:63). l. Anjuran untuk tidak mudah putus asa Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.

"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk". (Al-Zarnuji, 1995:69). m. Anjuran untuk senantiasa tawakkal Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal. "Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki". (Al-Zarnuji, 1995:71). n. Anjuran untuk saling mengasihi Para pencari ilmu disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Ia berkata: "Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasad". (Al-Zarnuji, 1995:77). o. Anjuran untuk tidak berprasangka buruk Terhadap sesama Muslim, Imam Al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk. Dalam kitabnya, ia mengatakan: "Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh". (Al-Zarnuji, 1995:81). p. Anjuran bersikap wara' Para pelajar disarankan oleh Imam Al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari

hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya. Menurutnya dengan sifat ini maka: "Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan memperoleh banyak faidah". (Al-Zarnuji, 1995:86). q. Anjuran memperbanyak shalat Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah SWT. Oleh karena Imam Al-Zarnuji menganjurkan para penuntut ilmu untuk memperbanyak shalat. "Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar". (Al-Zarnuji, 1995:90-91). E. Kesimpulan 1. Hasil penelusuran terdapat konsepsi teoritis kitab Ta'lim al-Muta'allim Thariqa al-Ta'allumi karya Imam Syekh Al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar. Pertama, anjuran untuk selalu belajar. Kedua, kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Ketiga, larangan mempelajari ilmu perdukunan. Keempat, mengenai niat dalam menuntut ilmu. Kelima, sifat tawadlu. Keenam, cara memilih guru. Ketujuah, cara memilih jenis ilmu. Kedelapan, nasihat kepada para penuntut ilmu. 2. Berkenaan dengan etika siswa menurut kitab Ta'lim al-Muta'allim, dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) anjuran musyawarah; (2) anjuran untuk sabar, tabah dan tekun; (3) anjuran untuk bersikap berani; (4) anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu; (5) anjuran berteman dengan orang baik; (6) anjuran menghormati ilmu dan guru; (7) anjuran untuk kesungguhan dalam belajar; (8) anjuran untuk mencermati perkataan guru; (9) anjuran untuk berusaha sambil berdoa; (10) anjuran untuk berdiskusi; (11) anjuran untuk senantiasa bersyukur; (12) anjuran untuk tidak mudah putus asa; (13) anjuran untuk senantiasa tawakkal; (14) anjuran untuk saling mengasihi; (15) anjuran untuk tidak berprasangka buruk; (16) anjuran bersikap wara'; dan (17) anjuran memperbanyak shalat. Etika siswa yang ditawarkan oleh Imam Al-Zarnuji memang tidak semuanya dapat diterapkan dan kondusif dalam konteks kehidupan zaman sekarang. Ada beberapa yang tampaknya sulit untuk diterapkan, misalnya larangan berbicara banyak dalam konteks pembelajaran. Padahal konsep pembelajaran modern menuntut siswa untuk banyak berbica, baik dalam rangka mengemukakan pendapat, menyanggah pendapat, mengkritisi suatu pengetahuan dan lain sebagainya. Namun demikian, untuk sebagian besar, etiks siswa yang dikemukakan oleh Imam Al-Zarnuji dalam kitabnya itu masih tetap relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks pembelajaran dewasa ini. Di antara sekian anjuran Al-Zarnuji yang

dapat diaplikasikan, misalnya, anjuran mam Al-Zarnuji agar siswa senantiasa tekun, sungguhsungguh, banyak beribadah, memelihara sopan santun, tidak cepat menyerah dan lain sebagainya.

NILAI ETIKA KITAB TALIM AL-MUTAALLIM KARYA ALZARNUJ


Pendahuluan Jaman berkembang dengan pesat. Peradaban manusia semakin modern. Dinamika sosial ditandai dengan perubahan pola pikir konvensional ke arah paradigma baru. Mode, life style klasik berkembang dan berubah menjadi life style metropolis, seiring dengan perkembangan jaman. Ada dampak yang paradok dari perkembangan tersebut, yakni positif dan negatif. Dampak positif perubahan dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dekatnya jarak dunia yang dapat dijangkau dengan alat transportasi dan komunikasi modern, dan lain sebagainya. Namun, dampak negatif dari perubahan tersebut pun sulit dibendung. Pola pemikiran yang serba rasionalis, agresif, dan empiris akan menjebak manusia dalam kehampaan (nihilis) dan sekuler, bahkan atheis. Efek negatif dari modernitas juga akan mendehumanisasi (objektivasi) manusia, yang ditandai dengan agresivitas (tindak kriminal baik personal maupun kolektif), loneliness (privatisasi), dan spiritual alienation. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan pengembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan. Nilai-nilai ( values) merupakan sesuatu yang sangat krusial dalam kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Tanpa nilai-nilai (kejujuran, keadilan, kesetaraan, dan lainnya), maka manusia seolah sebagai robot-robot berkaki dua. Di dunia pendidikan, guru hanya sebagai pentransfer ilmu layaknya robot, dan siswa sebagai penerima layaknya robot. Interaksi guru dan siswa menjadi mekanistik bagai mesin. Kondisi pendidikan yang demikian, mendorong kita untuk membangun paradigma baru pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan ( knowledge oriented) dan ketrampilan ( skill oriented), namun juga berorientasi pada nilai ( values oriented). Proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai (kejujuran, keharmonisan, saling menghargai, dan kesetaraan) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan, apalagi dielakkan. Dengan demikian, pendidikan harus memenuhi tiga unsur: pengetahuan ( ilm), pengajaran ( talim), dan pengasuhanyang baik ( tarbiyah). Proses pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai sebagaimana di atas mendapat perhatian serius tokoh pendidikan abad ke-12 M, al-Zarnuji. Dia menyusun Talim al-Mutaallim yang di dalamnya sarat dengan nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran. Kitab ini telah dijadikan referensi wajib bagi santri di sebagian besar pondok pesantren di Nusantara. Nilai estetik tampak pada pemikiran alZarnuji tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, dan murid dengan lingkungan sekitar. Al-Zarnuji dan Talim al-Mutaallim Nama lengkap al-Zarnuji adalah Burhan al-Islam al-Zarnuji. Pendapat lain mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah Burhan al-Din al-Zarnuji . Nama akhirnya dinisbahkan dari

daerah tempat dia berasal, yakni Zarnuj , yang akhirnya melekat sebagai nama panggilan. Plessner, dalam The Encyclopedia of Islam mengatakan bahwa nama asli tokoh ini sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula karir dan kehidupannya. Menurut M. Plessner,al-Zarnuji hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Dia adalah seorang ulama fiqh bermazhab Hanafiyah , dan tinggal di wilayah Persia. Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti mengenai kehidupan alZarnuji. Dia juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, Nomor III, bahwa al-Zarnuji hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini didasarkan pada informasi dari Mahbub B. Sulaeman al-Kafrawi dalam kitabnya, Alam al Akhyar min Fuqaha Madzhab al-Numan al-Mukhdar, yang menempatkan al-Zarnuji dalam kelompok generasi ke-12 ulama mazhab Hanafiyah. Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt dengan mengumpulkan data kehidupan sejumlah ulama yang diidentifikasikan sebagai guru al-Zarnuji, atau paling tidak, pernah berhubungan langsung dengannya. Di antaranya adalah : 1. Imam Burhan al-Din Ali bin Abi Bakr al- Farghinani al-Marghinani (w. 593 H/ 1195 M). 2. Imam Fakhr al-Islam Hasan bin Mansur al-Farghani Khadikan (w. 592 H/ 1196 M). 3. Imam Zahir al-Din al-Hasan bin Ali al-Marghinani (w.600 H/ 1204 M). 4. Imam Fakhr al-Din al-Khasani (w. 587 H/ 1191 M), dan Imam Rukn al-Din Muhammad bin Abi Bakr Imam Khwarzade (491-576 H). Berdasarkan data di atas, Plessner sampai pada kesimpulan bahwa waktu kehidupan alZarnuji lebih awal dari waktu yang diperkirakan oleh Ahlwardt. Namun, Plessner sendiri tidak menyebut tahun secara pasti, hal lain yang disimpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Talim al-Mutaallim ditulis setelah tahun 593 H. Ahmad Fuad al-Ahwani memperkirakan bahwa al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H/ 1195M. Dengan demikian, belum diketahui hidupnya secara pasti, namun jika diambil jalan tengah dari berbagai pendapat di atas, al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620-an H. Kitab Talim al-Mutaallim merupakan satu-satunya karya al-Zarnuji yang sampai sekarang masih ada. Menurut Haji Khalifah dalam bukunya Kasyf al-Zunun an Asami al-Kitab alFunun, dikatakan bahwa di antara 15000 judul literatur yang dimuat karya abad ke-17 itu tercatat penjelasan bahwa kitab Talim al-Mutaallim merupakan satu-satunya karya alZarnuji. Kitab ini telah diberi syarah oleh Ibrahim bin Ismail yang diterbitkan pada tahun 996 H. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Abdul Majid bin Nusuh bin Israil dengan judul Irsyad al-Talim fi Talim al-Mutaallim. Kepopuleran kitab Talim al-Mutaallim, telah diakui oleh ilmuwan Barat dan Timur. Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad menilainya sebagai karya monumental, yang mana orang alim seperti al-Zarnuji pada saat hidupnya disibukkan dalam dunia pendidikan, sehingga dalam hidupnya sebagaimana Muhammad bin Abdul Qadir Ahmad hanya menulis sebuah buku. Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa kemungkinan karya lain al-Zarnuji ikut hangus terbakar karena penyerbuan biadab ( invation barbare) bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan (1220-1225 M), yang menghancurkan dan menaklukkan Persia Timur, Khurasan dan Transoxiana yang merupakan daerah terkaya, termakmur dan berbudaya Persia yang cukup maju, hancur lebur berantakan, tinggal puing-puingnya. Atmosfir Belajar dan Estetika Talim al-Mutaallim Talim al-Mutaallim, sebagai panduan pembelajaran (belajar-mengajar) terutama bagi murid berisi muqaddimah dan 13 fasl (pasal, bagian). Dalam muqqadimah, al-Zarnuji mengatakan bahwa pada jamannya, banyak penuntut ilmu (murid) yang tekun tetapi tidak bisa memetik manfaat dari ilmu itu (mengamalkan dan menyebarkannya). Hal ini disebabkan karena

peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga mereka gagal. AlZarnuji dalam muqaddimah kitabnya mengatakan bahwa kitab ini disusun untuk meluruskan tata-cara dalam menuntut ilmu. Adapun dari fasl 1 sampai 13, al-Zarnuji memberikan solusi tentang tata-cara menuntut ilmu. Pada kajian ini, penulis tidak akan membahas secara keseluhan yang berkaitan dengan solusi yang ditawarkan al-Zarnuji, tetapi penulis membatasi pada relasi antara guru dengan murid yang memiliki nilai estetik. Menurut al-Zarnuji, belajar bernilai ibadah dan mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karenanya, belajar harus diniati untuk mencari ridha Allah, kebahagiaan akhirat, mengembangkan dan melestarikan Islam, mensyukuri nikmat akal, dan menghilangkan kebodohan. Dimensi duniawi yang dimaksud adalah sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan, yakni menekankan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya mampu menghasilkan ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah yang menjadi tujuan pendidikan/ pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Adapun dimensi ukhrawi, al-Zarnuji menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapat ilmu, hendaknya diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah SWT yang telah mengaruniakan akal. Lebih dari itu, hasil dari proses belajar-mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut), hendaknya dapat diamalkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemaslahatan diri dan manusia. Buah ilmu adalah amal. Pengamalan serta pemanfaatan ilmu hendaknya dalam koridor keridhaan Allah, yakni untuk mengembangkan dan melestarikan agama Islam dan menghilangkan kebodohan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang menurut al-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat kelak. Dalam konteks ini, para pakar pendidikan Islam termasuk al-Zarnuji mengatakan bahwa para guru harus memiliki perangai yang terpuji. Guru disyaratkan memiliki sifat wara (meninggalkan hal-hal yang terlarang), memiliki kompetensi (kemampuan) dibanding muridnya, dan berumur (lebih tua usianya). Di samping itu, al-Zarnuji menekankan pada kedewasaan (baik ilmu maupun umur) seorang guru. Hal ini senada dengan pernyataan Abu Hanifah ketika bertemu Hammad, seraya berkata: Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar. Maka aku menetap di sampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang. Para ilmuwan, sastrawan, dan filosof, memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan. Al-Ghazali misalnya berkata: Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan ia mengambil daya-guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan untuk orang lain. Dalam kitab Talim al-Mutaallim, guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini adalah dimensi sufistik. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya. Hal ini bisa dicontohkan dengan diwajibkan dan diharamkannya ilmu. Kalau tidak ada guru, siswa akan kebingungan. Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya. Unsur kedua yang memegang peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik. Anak didik adalah manusia yang akan dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia adalah objek sekaligus subjek, yang tanpa

keberadaannya proses pendidikan mustahil berjalan. Al-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan anak didik, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan alZarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu, iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah. Di samping itu, al-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai citacita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan. Persyaratan-persyaratan tersebut, bagi penulis merupakan persyaratan yang bersifat rohaniah. Ini tidak berarti dia mengabaikan persyaratan yang bersifat jasmaniah, seperti kebutuhan makan, minum, dan kesehatan. Namun, persyaratan jasmaniah adalah merupakan persyaratan yang melekat dalam kehidupan manusia sehari-hari, sedangkan persyaratan rohaniah tidak demikian. Selain guru dan murid, faktor penting lain dalam pendidikan adalah faktor kurikulum. Kurikulum merupakan faktor yang sangat penting dalam proses kependidikan dalam suatu lembaga pendidikan. Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak didik, harus dijabarkan terlebih dahulu dalam kurikulum. Dengan demikian, dalam kurikulum tergambar dengan jelas dan berencana, bagaimana dan apa saja yang harus terjadi dalam proses belajarmengajar yang dilakukan oleh pendidik dan anak didik. Dalam masalah kurikulum, al-Zarnuji tidak menjelaskan secara rinci. Dalam kitab Talim mutaallim dijelaskan tentang pelajaran yang harus dipelajari dan urutan ilmu yang dipelajari. Secara filosofis, dia memberikan uraian-uraian mata pelajaran sebagai kandungan dalam kurikulum seperti panjang pendeknya pelajaran, pelajaran yang harus didahulukan dan diakhirkan, pelajaran yang wajib dan yang haram dipelajari. Sekuen materi pelajaran hendaknya mengambil pelajaran baru yang dapat dihapalkan dan dipahami setelah diajarkan oleh guru. Selanjutnya setiap harinya ditambah sedikit demi sedikit ( tajrij) sehingga pada suatu ketika menjadi kebiasaan. Jika ukuran pelajaran yang diberikan sukar dan di atas kemampuanya, anak akan sukar untuk memahaminya, yang akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri karena ia tidak memperoleh santapan jiwa yang sesuai buat pertumbuhan akalnya dan buat kemajuan. Pernyataan alZarnuji di atas sejalan dengan pendapat pakar pendidikan modern yang menyerukan pembawaan anak didik harus diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar dalam mengajar. Untuk mengimplementasikan kurikulum secara praktis, al-Zarnuji memberi acuan hal-hal yang harus dikerjakan, seperti wara dalam belajar, pemilihan waktu belajar-mengajar yang tepat, dan ukuran (sekuen) materi pelajaran. Bagi al-Zarnuji, bukan masalah banyak sedikitnya materi, tetapi yang lebih penting adalah materi yang lebih mendesak dan dibutuhkan. Ini berarti, al-Zarnuji memiliki pandangan bahwa kurikulum yang dipelajari harus relevan, yakni sesuai kebutuhan peserta didik. Hal ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan kemampuan anak didik. Oleh karenanya, mula-mula bahan yang diberikan adalah yang mudah terlebih dahulu, baru naik ke tingkat yang lebih sukar. Ini menunjukkan, bahwa materi yang diberikan harus disesuaikan dengan kematangan anak didik. Sesuai dengan pandangan al-Zarnuji ini, ilmu

dapat diklasterisasikan menjadi beberapa kriteria, yakni ilmu yang dipelajari dari sudut pandang kegunaannya. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu agama dan ilmu umum, seperti kedokteran dan ilmu falak, yang semuanya digunakan untuk kemaslahatan. Di samping ilmu-ilmu yang disebutkan di atas, ada ilmu-ilmu yang dilarang mempelajarinya, karena dianggap membahayakan seperti; ilmu mantiq, filsafat, dan ilmu jad. Meskipun secara gamblang al-Zarnuji tidak merinci ilmu mana yang secara sekuen diperuntukkan untuk tingkat rendah, menengah, dan tinggi, tetapi dia memberikan pandangannya tentang ilmu mana yang patut dipelajari oleh pelajar. Dalam Talim al-Mutaallim al-Zarnuji mengatakan bahwa proses belajar-mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanakkanak, aktivitas menghapal dengan cara perulangan harus diutamakan. Hal ini karena pola-pikir anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang disampaikan oleh sang Guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru. Mata pelajaran yang telah diajarkan bukan sekedar untuk dihapal, tetapi harus dipahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Pada tahapan berikutnya, di samping menghapal dan memahami, anak didik harus aktif dan merefleksikan, serta kreatif untuk bertanya. Lebih lanjut al-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu lebih baik dari pada menghapal selama satu bulan. Para pelajar hendaknya mencatat pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Untuk mencapai keberhasilan belajar, seorang murid seharusnya mempunyai kemauan yang keras dan berusaha secara serius karena sebuah kemauan tanpa disertai adanya usaha yang serius akan mengalami kegagalan, demikian sebaliknya. Berkaitan dengan metode pengajaran, al-Zarnuji mengemukakan pentingnya cara hapalan dan pemahaman, karena kedua cara ini berkaitan dengan sifat individu. Di samping itu, beliau juga mengembangkan cara belajar mudzakarah, munadzarah dan mutharahah. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai estetik relasi antara guru dan murid sebagaimana dituangkan dalam Talim al-Mutaallim, yakni pertama, titik tolak pemikiran pendidikan al-Zarnuji bermula dari pembicaraan tentang substansi dan esensi kehidupan. Dia cenderung menggunakan term-term tasawuf dalam pemikiran pendidikannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji sangat menekankan pendidikan akhlak. Baginya, pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni masalah moral (akhlak). Dengan kata lain, dari masalah yang substansi dan esensi ini akan melahirkan perform yang sejati. Pola hubungan atau relasi antara guru dan murid dalam Talim al-Mutaallim sebagaimana dianjurkan al-Zarnuji adalah semacam laboratorium pembelajaran akhlak untuk relasi yang lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi seperti tawadhu, sabar, ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati. Ketika murid telah memiliki pengalaman relasi hidup sebagaimana dalam laborat akhlak maka yang akan muncul adalah pribadi-pribadi dengan bobot kualitas sebagaimana formulasi dalam laborat tersebut. Harapan yang akan terjadi adalah munculnya relasi yang sebenarnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sikap sebagaimana disebut di atas, kehidupan akan harmonis karena tidak ada dominasi, intimidasi, kecongkakan, keserakahan, dan kemunafikan. Perang, teror dalam berbagai bentuk, invasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah wujud dari dominasi agresif manusia atas manusia lain. Pola relasi yang tidak nyaman ini akibat dari teralienasinya masalah moral (akhlak), sebagaimana diingatkan oleh al-Zarnuji. Relasi dan interaksi atas dasar keramahtamahan dan saling menghormati sebagaimana dilakukan Nabi menjadi rujukan utama kitab ini. Di samping itu, guru dalam Talim al-Mutaallim memiliki peran sentral. Hal ini menjadi

sangat beralasan, karena pemikiran sufistik al-Zarnuji sangat kental di dalamnya. Dalam tradisi sufi, seorang mursyid memiliki peran sentral dalam transfer ilmu. Pandangan demokratis al-Zarnuji tampak pada keleluasaan seorang murid untuk memilih dan menentukan gurunya. Hal ini menjadi sangat penting dalam proses pengembangan diri seorang murid. Secara psikologis, manakala siswa dalam keadaan terpaksa atau terintimidasi, maka yang terjadi adalah formalis.Yakni seolah-olah belajar, namun bukan muncul dari motivasi diri, tetapi karena terpaksa. Sekali lagi, budaya formal (formalitas) seringkali mengakibatkan kehancuran. Budaya pendidikan di jaman modern terkadang memburu formalitas, sehingga memunculkan budaya yang penting, dengan diperoleh dengan cara apapun, sekalipun tidak diperbolehkan. Bagi alZarnuji, hapalan adalah salah satu strategi pembelajaran yang tepat untuk anak-anak. Hal ini karena anak-anak memiliki daya tangkap ( auditory) yang kuat. Implementasinya, pelajaran hari ini sebaiknya dipelajari tiga kali, pelajaran kemarin sebaiknya dipelajari dua kali, dan seterusnya. Dalam konteks ini, kontinuitas pembelajaran akan terjaga, sehingga pencerapan dalam memory menjadi kuat. Ini senada dengan Teori Decay (kelunturan), yang mana Spitzer mengatakan bahwa setelah jangka waktu sehari informasi yang dilupakan sekitar 46%, seminggu yang dilupakan 56%, dan sebulan informasi yang dilupakan adalah 81%. Hanya saja, hapalan memang semakin tidak cocok bagi anak yang usianya semakin besar, apalagi untuk remaja dan dewasa. Selain itu, strategi pembelajaran aktif ( active learning) lain adalah strategi pembelajaran yang di dalamnya mengandung unsur saling mengingatkan ( mudzakarah), tukar pandangan ( munadzarah), dan berdiskusi ( mutharahah, munaqasyah). Laboratorium sosial al-Zarnuji ini dapat mengembangkan sikap toleran, inklusif, dan pluralis. Dengan sikap ini akan memunculkan kerukunan sosial dan keharmonisan hidup. Hanya saja realitas yang ada, pemikiran al-Zarnuji dipahami secara tekstual oleh praktisi pendidikan. Kesimpulan 1. Atmosfir akademik (pendidikan) dalam Talim al-Mutaallimsebagaimana diformulasikan oleh penggagasnya, al-Zarnuji memiliki nuansa sufistik paedagogik. Hal ini tampak pada landasan pikir yang dibangun berangkat dari term-term tasawuf sebagai landasan utama. Konsep ridha, tawaddhu, wara, ikhlas, dan sabar merupakan kata kunci dalam proses pembelajaran. 2. Konsep ini diimplementasikan dalam wilayah mikro sosial, sebagai laboratorium, yang bernama pendidikan. Harapannya laboratorium tersebut dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan nilai-nilai yang bernuansa sufistik paedagogik. 3. Dari pendidikan yang bernilai sufistik paedagogik tersebut akan melahirkan aktor-aktor intelektual yang berwawasan dan bermoral. Pluralitas, inklusivitas,toleransi, dan sikap-sikap lain, akan menghiasi kehidupan mereka dalam sebuah desa buana ( global village) yang penuh dengan keharmonisan dan ketenteraman.

Anda mungkin juga menyukai