Anda di halaman 1dari 14

Simulasi Pengetahuan Tacit dan Eksplisit untuk

Penerapan Community Governance:


Aplikasi Fuzzy Cognitive Map
1



Cungki Kusdarjito
2

ckusdarjito@windowslive.com

ABSTRAK

Permasalahan governance dalam bidang pertanian banyak terkait dengan community
governance. Pemodelan community governance terkait dengan bagaimana mengikutsertakan
masyarakat, mengukur hasil dan memastikan bahwa segala sesuatunya dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Proses governance dapat berjalan dinamis jika terjadi pengembangan
pengetahuan yang bersifat trialogic, yaitu melibatkan intelektualitas individu anggota
masyarakat, jejaring sosial dan interaksi dan penerapan konsep, teori, ide. Norma dan saling
percaya di antara anggota masyarakat dapat berjalan dengan baik jika masyarakat tersebut
memiliki modal sosial yang tinggi.

Dalam tulisan ini dibahas bagaimana memetakan pengetahuan pada anggota masyarakat dan
keseluruhan kelompok, mensimulasikan dan melihat dampak ikutan yang mungkin terjadi
dengan mempergunakan fuzzy cognitive map (FCM). Hasil yang diperoleh dapat dipakai sebagai
dasar pengambil keputusan, proses pembelajaran lebih lanjut.

Keywords: Fuzzy Cognitive Map, Community Govenance, Modal Sosial



1
Disampaikan pada konggres Perhepi 11-13 Juli 2011, IPB Bogor
2
Fakultas Pertanian Universitas Janabadra Yogyakarta
Pendahuluan

Penguasaan terhadap pengetahuan dapat membantu proses pengambilan keputusan dan
penatakelolaan. Meskipun demikian, terdapat beberapa pendapat mengenai pengetahuan dan
proses belajar. Pada pendekatan individualistik diasumsikan bahwa pengetahuan berada dalam
benak seseorang (pendekatan monological). Pendekatan dialogical, menekankan pentingnya
interaksi antar berbagai masyarakat. Meskipun demikian pedekatan ini cenderung bersifat
pasif, dimana networking dan interaksi lebih ditujukan utuk proses replikasi. Pendekatan
trialogical memasukkan mekanisme bagaimana suatu pengetahuan baru dapat dibangun,
dengan menggabungkan pendekatan monological, dialogical dan evaluasi kritis dari
pengetahuan yang telah ada. Community governance dan pendekatan modal sosial sering
terjebak pada pendekatan dialogikal yang bersifat statik sehingga tidak diperoleh pengetahuan
baru. Masyarakat hanya akan melakukan proses amplifikasi dari norma-norma yang ada yang
belum sesuai dengan kondisi terkini. Permaslahan yang lain, cukup sulit untuk
mengkuantitatifkan berbagai data yang bersifat subyektif. Hal yang sama juga terjadi dalam
bidang pertanian, seiring dengan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai lokal dan kegagalan
revolusi hijau, peran kelompok masyarakat menjadi penting. Akan tetapi, banyak pendekatan
tersebut bersifat dialogical dengan mengedepankan kearifa lokal. Akibatnya, pengetahuan baru
tidak terbentuk dan tidak akan membantu anggota kelompok masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan dalam menghadapi situasi yang terus berubah.

Community Governance

Governance (penatakelolaan) dapat dipandang sebagai proses yang menyatukan seluruh pihak,
seperti permainan jigsaw puzzle. Governance pada dasarnya terkait dengan proses pemberian
dukungan untuk menghubungkan masyarakat (lokal) dengan landskap global, yang bersifat
tidak pasti dan terserak (Richardson, 1999). Secara lebih mendasar, pengertian community
governance (penataakelolaan masyarakat) pada dasarnya merupakan proses pengambilan
keputusan dan perencanaan yang berpengaruh langsung pada kehidupan masyarakat
(community), baik yang dilakukan oleh sektor publik, swasta maupun oleh warga masyarakat.
Agar community governance dapat efektif, maka upaya yang dilakukan tidak hanya terkait
dengan proses governance, akan tetapi juga harus dipastikan efektivitasnya agar segala
sesuatunya dapat berjalan di masyarakat. Selain itu, juga harus dipastikan apa yang telah
dilakukan harus dapat memberikan dampak yang lebih baik.

Oleh karena itu, pengukuran hasil yang diperoleh merupakan hal yang sangat penting.
Meskipun demikian, permasalahan yang dijumpai adalah tidak adanya pengukuran baku untuk
hasil yang diperoleh karena banyak yang bersifat subyektif dan tidak mudah didefinisikan.
Sesuatu hasil yang dianggap penting mungkin berbeda antara kelompok masyarakat yang satu
dengan kelompok masyarakat yang lainnya, bahkan perbedaanpun dapat terjadi antar-individu
dalam satu kelompok masyarakat. Selain itu, individu-individu tersebut mungkin juga
mempunyai persepsi yang berbeda mengenai apa yang perlu ditingkatkan dan bagaimana
mengukur keberhasilannya. Berkaitan dengan hal tersebut sangatlah penting untuk melibatkan
masyarakat untuk menentukan apa saja yang harus dan perlu dilakukan dan tujuan apa yang
ingin dicapai. Sehingga apabila tujuan tersebut kemudian dapat tercapai maka keberhasilan
tersebut merupakan hasil usaha kelompok masyarakat tersebut. Pemodelan community
governance yang efektif meliputi bagaimana mengikutsertakan masyarakat, mengukur hasil dan
memastikan segala sesuatunya dapat berjalan. Dalam bentuk diagram, community governance
dapat dimodelkan sebagai berikut (TRM, 2011):



Pada gambar di atas, perpotongan antara setiap lingkaran (intesection) mempunyai makna
sebagai berikut: (i) pemecahan masalah dalam kelompok masyarakat; (ii) pengelolaan hasil
yang diperoleh oleh organisasi; (iii) anggota kelompok masyarakat (warga) mencapai hasil yang
diinginkan; (iv) kelompok-kelompok masyarakat menatakelola hasil yang diperoleh.

Menurut Andrani (2010), community governance diperlukan masyarakat karena terkait dengan
(i) akses terhadap informasi yang tidak tersedia melalui pemerintah ataupun mekanisme pasar,
(ii) kemudahan untuk memonitor perilaku anggota kelompok masyarakat, dan (iii) kemudahan
untuk memberikan sanksi kepada individu yang berperilaku tidak sesuai dengan norma sosial
yang berlaku pada kelompok tersebut. Untuk mengetahui dan menganalisis seberapa jauh
norma-norma sudah terinternalisasi dapat digunakan pendekatan dari perspektif modal sosial
(social capital).

Terkait dengan community governance, Pemerintah kota Auckland (1999) mengemukakan
beberapa unsur dalam community governance, yaitu:

Kepemimpinan
Masyarakat
Pemberdayaan
Masyarakat
Rasa Kepemilikan
Masyarakat
- Visi dan pemahaman
bersama
- Partisipasi masyarakat
- Perilaku kooperatif
- Pendampingan
masyarakat
- Akses ke sumberdaya
- Pembagian
kekuasaan/wewenang
- Pendelegasian pengambilan
keputusan
- Rasa memiliki
- Rasa untuk memelihara
- Rasa keterikatan pada
tempat
- Keragaman nilai
Sumber: Auckland City Council (1999)

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa (i) Kepemimpinan dalam masyarakat
menunjukkan bagaimana berbagai individu atau kelompok bekerja bersama untuk mencapai
visi dan tujuan bersama, (ii) Pemberdayaan masyarakat adalah apakah seseorang telah
memiliki atau dapat mengakses sumberdaya di luar miliknya. Sumberdaya diperlukan untuk
memenuhi berbagai kebutuhan dari yang paling mendasar seperti pangan, tempat tinggal,
penghasilan, sampai kebutuhan yang lebih tinggi lagi seperti interaksi sosial, pengembangan
diri, dukungan. Hubungan keterkaitan antara modal ekonomi dan modal sosial terlihat di sini,
(iii) rasa memiliki pada masyarakat menujukkan bagaimana berbagai individu saling terhubung
dalam masyarakatnya sehingga mereka merasa memiliki dan menjaga masyarakat (komunitas)
mereka

Bowels and Gintis (2002) mengemukakan bahwa community governance terkait dengan proses
internalisasi norma sosial. Setidaknya terdapat tiga kekuatan dari penerapan community
governance, yaitu: (i) akses terhadap informasi yang tidak tersedia dari pemerintah maupun
pasar (ii) kemudahan untuk memonitor perilaku anggota kelompok masyarakat (iii)
kemungkinan untuk memberi hukuman bagi anggota yang menyimpang dari norma sosial

Modal Sosial
Secara umum, modal sosial adalah norma dan jejaring (networks) dalam masyarakat (Woolcox,
2001) yang dapat mendorong terjadinya kerjasama dalam masyarakat berdasarkan pada
adanya saling kepercayaan, kejujuran, dan saling tolong-menolong serta terjadinya hubungan
timbal-balik yang terus-menerus (Fukuyama, 1999). Dalam hal ini, Woolcox (2001)
mengemukakan bahwa adanya saling kepercayaan (trust) merupakan akibat dari adanya
interaksi yang berulang untuk menjaga reputasi sesorang atau suatu institusi.
Glaeser (2001) mengemukakan bahwa modal sosial adalah sekumpulan sumberdaya sosial
dalam masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Termasuk dalam
sumberdaya sosial adalah norma dan jejaring dalam masyarakat. Selanjutnya, dalam Anonym
(2001) dikatakan bahwa modal sosial dapat mengambil tiga bentuk, (i) dalam bentuk kewajiban
dan harapan yang tergantung kepada adanya saling kepercayaan dalam suatu lingkungan sosial,
(ii) dalam bentuk kapasitas informasi yang dapat disalurkan melalui jejaring yang ada dalam
masyarakat sebagai dasar dalam bertindak dan (iii) adanya norma yang diikuti dengan sangsi
yang efektif.
Modal sosial yang bersifat horisontal berkaitan dengan bonding dan bridging yang
menunjukkan sifat kohesi yang ada. Bonding menunjukkan relasi antara anggota keluarga,
teman dekat atau tetangga satu kampung sedangkan bridging menunjukkan koneksitas antara
beberapa orang dengan kesamaan demografi (Woolcox, 2001). Bonding bersifat eksklusif,
melihat ke dalam (inward looking) dan pada umumnya ingin menunjukkan identitasnya yang
bersifat ekslusif. Dampak samping adanya bonding yang terlalu kuat adalah munculnya
fanatisme kelompok ataupun sektarianisme (Anonym, 2001). Bonding sangat sesuai untuk
membangkitkan solidaritas kelompok. Sebaliknya, bridging bersifat inklusif, lebih melihat
keluar (outward looking) dan melibatkan orang-orang di luar kelompoknya.
Meskipun demikian, perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa modal sosial tidak hanya
berkaitan dengan bentuk kerjasama secara informal. saling percaya, serta adanya norma
maupun jejaring dalam masyarakat yang bersifat horisontal, tetapi secara makropun modal
sosial juga berkaitan dengan kondisi sosiopolitik yang membentuk norma dan struktur
masyarakat seperti pemerintah, pasar (market), hukum, sistem peradilan dan kebebasan politik
dan hak-hak sipil. Definisi Coleman mengenai modal sosial yang bersifat vertikal menyangkut
hirarki dan distribusi di antara masyarakat yang tidak merata. Akibatnya, modal sosial dapat
menguntungkan beberapa orang, dapat pula tidak ada manfaatnya bagi kelompok yang lain dan
bahkan dapat merugikan bagi yang lainnya (Grootaert dan van Bastelaer, 2001). Selanjutnya
modal sosial yang bersifat vertikal dapat disebut sebagai linkage (Woolcox, 2001).
Dalam bidang ekonomi, modal sosial dapat menekan biaya transaksi yang bersifat formal
seperti kontrak, aturan birokrasi, hirarki dan sejenisnya (Fukuyama, 1999; Glaeser, 2001).
Modal sosial dapat mencegah terjadinya oportunisme, ketidaksempurnaan informasi pasar,
adanya pembonceng bebas (free rider) dan pencari rente (rent seeker) yaitu suatu kelompok
masyarakat yang ingin mengalihkan sumberdaya milik umum bagi kepentingannya (Grootaert
dan van Bastelaer, 2001).
Selanjutnya, modal sosial pada suatu kelompok masyarakat mempunyai radius kepercayaan
(radius of trust), yaitu suatu lingkaran yang menunjukkan norma pengatur kerjasama dalam
masyarakat yang masih dapat dijalankan secara efektif (Fukuyama, 1999). Pada masyarakat
modern radius kepercayaan umumnya terdiri dari beberapa lingkaran-lingkaran yang saling
bertumpang tindih dan anggota suatu kelompok masyarakat dapat berpindah dari satu
lingkaran ke lingkaran yang lainnya demikian pula halnya dengan informasi dan inovasi. Dalam
masyarakat modern dimungkinkan adanya hubungan yang kurang mengikat dan modal sosial
bersifat menjembatani (bridging) berbagai kepentingan yang ada. Kelompok masyarakat
tradisional pada umumnya mempunyai modal sosial dengan radius kepercayaan yang kecil
seperti dalam lingkup kerabat, teman dekat, atau tetangga satu kampung dan hubungan antar
anggota dalam satu kelompok bersifat mengikat (bonding). Dalam hal ini, anggota masyarakat
tradisional sulit untuk berpindah dari satu kelompok ke kelompok masyarakat lainnya dan
masyarakat tradisional sulit untuk mempercayai masyarakat dari luar. Akibatnya, informasi,
inovasi dan sumberdaya manusia sulit untuk berpindah dari satu kelompok ke kelompok
masyarakat lainnya.
Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan modal
sosial (social capital), khususnya modal sosial yang bersifat bonding. Tiga kegagalan masyarakat
(community) menurut Bowles dan Gintis (2002) yaitu: (i) ketika sosial kapital yang bersifat
bonding terlalu dominan atau eksklusif, preferensi individu terhadap anggota yang lainnya
dapat menghalangi kemampuan kelompok (community) untuk memperoleh manfaat dari
proses ekonomi dan perdagangan secara luas (ii) apabila keanggotaan dalam suatu kelompok
merupakan pilihan masing-masing individu daripada keputusan kelompok maka kelompok
tersebut variabilitas kelompok tersebut menjadi sangat homogen. (iii) Manfaat menjadi anggota
kelompok bersifat ekslusif bagi anggota. Dalam situasi semacam ini upaya penatakelolaan
kelompok (community governance) justru akan meningkatkan kerawanan (hostility) daripada
manfaat yang dapat diperoleh dengan mengurangi dampak kegagalan pasar dan peran
pemerintah/negara.

Pengembangan Pengetahuan

Proses pembelajaran dan pengembangan ilmu memegang peranan penting dalam community
governance. Menurut Paavola dan Hakkarainen (xxxx), Anna Sfard membedakan dua cara
proses pembelajaran, yaitu melalui proses akuisi dan partisipasi.

Proses akuisisi mendasarkan pada pendapat bahwa pengetahuan merupakan sifat atau
karakteristik dalam pemikiran manusia. Individu merupakan unit dasar dari proses
pemahaman dan pembelajaran dan memperhitungkan peran lingkungan atau aspek
kontekstual. Pengetahuan diproses di dalam benak manusia dan terpisah dari lingkungan
budaya dan sosialnya.

Alternatif pendekatan yang lain adalah pendekatan partisipatif dimana pembelajaran
merupakan proses interaktif dengan cara pembelajar berpartisipasi langsung dalam berbagai
aktivitas sosial budaya. Proses belajar bersama menentukan proses pembentukan kognitif
dalam benak seseorang. Proses pembelajaran di sini dapat diartikan sebagai proses belajar
untuk menjadi anggota suatu masyarakat, memperoleh ketrampilan untuk berkomunikasi dan
berperilaku sesuai dengan norma pada masyarakat tersebut. Selanjutnya, proses kognitif dan
pemahaman didistribusikan di antara berbagai individu dan lingkungan sosialnya. Proses
belajar ditentukan oleh adanya hubungan antar-individu dan jaringan sosial yang ada. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran adalah hasil partisipasi seseorang
dalam proses sosial dalam pembentukan pengetahuan. Meskipun demikian, pembedaan dua
cara pembelajaran di atas tampaknya belum dapat menerangkan dalam proses penciptaan dan
memajukan pengetahuan baru.

Pendekatan pertama dapat disebut sebagai pendekatan monoligikal, pendekatan kedua disebut
sebagai pendekatan dialogikal. Pendekatan monologikal berfokus pada proses adopsi dan
menyusun pengetahuan dalam benak seseorang. Unit analisis pada pendekatan monologikal
adalah individu. Pendekatan kedua merupakan pendekatan dialogikal. Pendekatan dialogikal
terkait dengan proses kegiatan partisipatif dalam komunitas sosial, dan proses adopsi. Selain
itu, pendekatan dialogikal terkait pula dengan norma, tata nilai dan identitas (kelompok). Unit
analisis pada pendekatan dialogikal adalah kelompok, jejaring sosial dan budaya. (Paavola dan
Hakkarainen, 2004).

Pendekatan monologikal dan dialogikal bersifat statik karena tidak menghasilkan pengetahuan
baru dan lebih bersifat replikatif. Pendekatan trialogikal adalah proses untuk menciptakan dan
mengembangkan materi dan konsep baru dalam pengetahuan. Pendekatan trialogikal terkait
dengan pengembangan pengetahuan, penemuan dan inovasi. Unit analisis untuk pendekatan
trialogikal adalah individu maupun kelompok. Termasuk dalam pendekatan Trialogikal adalah
Pembentukan Pengetahuan yang dikemukakan oleh Carl Bereiter, Model Pembelajaran
Ekspansif oleh Yrj Engestrm dan Pembentukan Pengetahuan dalam Organisasi oleh Nonaka
dan Takeuchi (Paavola dan Hakkarainen, 2004).

Trialogikal 1: Pembentukan Pengetahuan oleh Carls Bereiter

Menurut Bereiter, pendekatan pada saat ini sangat mentalistik dan individualistik. Oleh karena
itu, menurut Bereiter (2002) pendekatan tersebut harus digantikan dengan aktivitas untuk
membangun pengetahuan bersama, dalam arti usaha kolaborasi ditujukan untuk menciptakan,
mengembangkan, memahami, mengkritisi barbagai teori, ide, metode. model yang ada dengan
fokus untuk memajukan dan mengartikulasi pengetahuan dan memberi nilai tambah pada
pengetahuan yang telah ada, khususnya di dunia pendidikan dan tempat kerja. Pengamatan
empiris menunjukkan bahwa pembentukan pengetahuan tidak hanya terjadi pada level idividu
tetapi juga dapat terjadi pada level masyarakat. Bereiter (2002) mengemukakan bahwa
pembentukan pengetahuan dapat terjadi ketika terdapat pekerjaan yang menuntut sampai
batas limit kemampuan seseorang. Kondisi ini secara progresif akan mengarahkan pada standar
yang lebih tinggi dengan cara menggunakan pengetahuan kolektif di luar kemampuan individu.
Menurut Bereiter (2002) Penetapan batas di atas standar merupakan dasar pembentukan
pengetahuan baru. Teori yang dikembangkan oleh Bereiter mendasarkan pada pemikiran Karl
Popper (1972). Menurut Popp er, selain aspek fisik dan material (World 1) dan aspek mental
(World 2), maka terdapat aspek teori dan ide (World 3). Hal terpenting adalah bahwa umat
manusia tidak hanya berkutat dengan aspek mental, budaya tetapi manusia juga
mengembangkan dan memahami aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan teori dan
ide. Meskipun World 3 tergantung pada World 2 dan World 1, tetapi hubungan tersebut bersifat
otonom (Paavola dan Hakkarainen, 2004).

Trialogikal 2: Model Pembelajaran Ekspansif

Engestrm (1987) mengkrtik pendekatan mentalistik (cartesian) karena pembelajaran
merupakan salah satu bentuk aktivitas manusia yang terjadi dalam konteks sosio-historis yang
lebih besar. Proses belajar didasarkan pada siklus pengembangan. Siklus tersebut dimulai dari
(i) seseorang mempertanyakan dan mengkritisi teori, ide, pemikiran yang berlaku saat ini, (ii)
melakukan analisis situsasi, yaitu menganalisis hubungan kausal secara historis dan kondisi
empiris yang terkait dengan sistem yang dipertanyakan (iii) melakukan pemodelan untuk
memecahkan situasi yang problematik (iv) menguji model baru, melakukan percobaan dan
simulasi bagaimana model baru bekerja dan melihat keterbatasannya (v) menerapkan model
baru (vi) melakukan refleksi dan evaluasi dan (vii) pelaku melakukan konsolidasi dari
pendekatan baru. Pembentukan pengetahuan baru terjadi dalam bentuk praktik dan cara baru
yang muncul melalui pendekatan kolektif dengan mengadopsi praktik yang terbaik dalam
masyarakat.

Trialogikal 3: Pembentukan Pengetahuan dalam Organisasi

Nonaka dan Takeuchi mengkritisi tradisi keilmuan barat yang menekankan pada pengetahuan
eksplisit. Pendekatan ini menghasilkan pemisahan antara subyek dan obyek, antara akal dan
jasmani individu. Pendekatan Nonaka dan Takeuchi (1995) juga menekankan peran pemimpin
dan budaya organisasi dalam proses pembelajaran.

Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995), pengetahuan (knowledge) bersifat tacit dan eksplisit.
Pengetahuan eksplisit dikodifikasikan dalam bentuk formal dan dalam bahasa yang sistematis,
dapat digabungkan, disimpan, dipanggil dan ditransmisikan dengan mudah dengan berbagai
media, termasuk dengan peralatan teknologi informasi (DESA, 2005). Pengetahuan yang
bersifat tacit yang memiliki dua dimensi (i) dimensi yang bersifat teknis (know-how), yaitu
pengetahuan yang ingin diketahui oleh kompetitor tetapi tidak dapat dibeli dan (ii)
pengetahuan kognitif, yang terdiri dari mental models (Senge, 1990), kepercayaan (nilai), serta
persepsi yang bersifat subyektif dalam menginterpretasikan lingkungannya.

Pengetahuan di barat pada umumnya bersifat eksplisit dan formal. Sebenarnya, pengetahuan
yang bersifat tacit dan eksplisit seperti dua sisi sekeping mata uang (Sarabia, 2007) dimana
Barat dan Jepang masing-masing hanya memiliki satu sisi mata uang tersebut. Untuk
mempermudah pemodelan, dalam tulisan ini pengetahuan tacit mengacu definisi kedua
(khususnya mental models) karena pengetahuan tacit pada definisi pertama sulit untuk
dikodifikasi.

Nonaka dan Takeuchi (1995) menerangkan empat langkah konversi dari pengetahuan tacit
menjadi pengetahuan eksplisit, yaitu

1. Sosialisasi, dari tacit ke tacit berupa brainstorming. Pada tahap ini terjadi sharing mental
model atau penyelarasan pengetahuan antar-individu
2. Eksternalisasi, dari tacit ke eksplisit, diperoleh dari proses dialog atau dari refleksi
bersama, merupakan pengetahuan yang bersifat konseptual
3. Penggabungan, eksplisit ke eksplisit, menghasilkan pengetahuan yang bersifat sistemik
4. Internalisasi, eksplisit ke tacit, belajar sambil bekerja (learning by doing), merupakan
esensi dari pengetahuan operasional (operational knowledge) dan organization learning




Pada gambar di atas (Nonaka, 2006), siklus dalam bentuk spiral (hairspring) berawal dari
pengetahuan (knowledge), kemudian menjadi bahan proses pembelajaran atau sosialisasi
Sosialisasi Eksternalisasi
Tacit Tacit
T
a
c
i
t

T
a
c
i
t

E
k
s
p
l
i
s
i
t

E
k
s
p
l
i
s
i
t

Eksplisit Eksplisit
I I
G
I
I
I
I
I
Penggabungan Internalisasi
Org
G
G
G
G
I
G
O
E
Sharing dan membentuk
pengetahuan tacit
melalui pengalaman
langsung
Artikulasi pengetahuan
tacit melalu dialog dan
refleksi
Mensistematisasi dan
menerapkan
pengetahuan eksplisit
dan informasi
Belajar dan memperoleh
pengetahuan tacit baru
melalui praktek
E
Learning
Budaya
Organisasi
leadership
Pengetahuan/knowledg
e
I : Individu G: Grup/Kelompok O: Organisasi E: Environment/Lingkungan
Organization
learning
(kuadran tacit dengan tacit). Dari proses sosialisasi ini akan terbentuk budaya organisasi
(kuadran tacit dengan eksplisit) dan selanjutnya akan berpengaruh pada kepemimpinan
(kuadran eksplisit dengan eksplist). Budaya organisasi menentukan pengetahuan manakah
yang dianggap terbaik dibandingkan dengan pengetahuan lainnya. Budaya tersebut juga
merupakan hasil eksternalisasi pengetahuan tacit yang diperoleh dari beberapa individu.

Pemikiran Nonaka dan Takeuchi (1995) serta Sarabia (2007) dapat digambarkan sebagai
berikut


Proses Memorisasi dan Generalisasi

Pada gambar di atas, pengetahuan tacit (mental model) dari beberapa individu dalam satu grup
digabungkan dan dieksternalisasikan. Tujuan hasil penggabungan tersebut adalah untuk
merubah pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit. Pengetahuan eksplisit inilah
merupakan salah satu sumber data bagi pemimpin. Dalam hal ini, pemimpin dapat memilih
apakah akan melakukan amplifikasi atau modulasi. Tindakan ini kemudian akan tersimpan
dalam memori organisasi (disadari atau tidak) yang selanjutnya akan berpengaruh kembali
pada pengetahuan tacit masing-masing individu.

Penggunaan Fuzzy Cognitive Map (FCM)

Pengetahuan tacit pada umumnya bersifat subyektif, ill defined, dan bersifat tidak eksak (fuzzy).
Selain itu, logika manusia bersifat multivalent, sedangkan pada pemodelan sering
disederhanakan menjadi logika bivalent (benar-salah, hitam-putih, berhasil-gagal). Fuzzy
cognitive map (FCM) dapat dipergunakan untuk mengeksplisitkan pengetahuan yang bersifat
tacit (dalam bentuk mental models) karena (i) pemikiran seseorang dapat dimodelkan dengan
mempergunakan bahasa sehari-hari, (ii) pengetahuan tacit dari beberapa individu dapat
digabungkan dalam satu FCM yang lebih besar menjadi FCM milik kelompok (grup) dan
selanjutnya masing-masing FCM milik kelompok dapat digabungkan lagi menjadi FCM yang
lebih besar, (iii) pola masing-masing individu dan kelompok dapat digambarkan dengan jelas
dan dapat diketahui variabel yang menjadi perhatian utama mereka, (iv) proses peluruhan
suatu pengetahuan dalam jangka panjang jika tidak dilakukan intervensi dapat digambarkan
dengan mempergunakan FCM (v) dapat dilakukan proses analisis dan simulasi untuk menguji
suatu pengetahuan baru yang diperoleh masyarakat (Kusdarjito, 2004).

Fuzzy Cognitive Map (FCM) dapat didefinisikan sebagai suatu model yang menunjukkan
hubungan kausal antarvariabel yang bersifat tidak pasti (uncertain) dengan mempergunakan
matriks dan diagram (Kosko, 1994). Teori yang mendasari FCM adalah fuzzy graph yang
memungkinkan dilakukan analisis untuk hubungan kausal yang bersifat kabur (hazzy)
(Kaufmann, 1975; Kosko, 1994). Pada FCM, garis (line, arc) yang menghubungkan dua titik
(konsep, nodes, vertices) menunjukkan seberapa kuat hubungan kausal (causal strength atau
connectivity strength) antara dua titik tersebut, sedangkan titik (nodes, vertices) menunjukkan
keyakinan seseorang akan suatu konsep yang bersifat fuzzy (fuzzy belief) (Pal dan Konar, 1996).
Nilai konsep dapat berubah pada setiap tahapan iterasi, sedangkan nilai link diasumsikan tetap
dan nilai tersebut disebut sebagai nilai derajat kebenaran atau nilai derajat keanggotaan .
Untuk model yang lebih lanjut, besarnya hubungan kausal juga dapat berubah.

FCM dapat dipergunakan untuk memetakan pemikiran seseorang dengan mempergunakan
operator fuzzy logic, seperti t-norm dan t-conorm yang merupakan generalisasi dari logika
Boolean AND dan OR. Proses analisis untuk memetakan pengetahuan tacit (mental model)
dengan mempergunakan FCM disajikan pada gambar berikut:


Proses Penggabungan dan Simulasi Pada FCM

Proses pembuatan FCM dilakukan untuk setiap kelompok (grup) yang terdiri dari beberapa
individu (pada gambar di atas ditunjukkan oleh persegi panjang yang bertumpuk). Pada model
yang sederhana, seseorang cukup mengatakan keterkaitan antar-variabel (konsep) apakah
berpengaruh positif (+) atau negatif (-) pada waktu mereka mengemukakan pendapatnya.
Dalam model yang lebih lanjut dapat digunakan skala yang bergradasi.

Jika FCM untuk setiap individu sudah diperoleh, maka dapat dilakukan proses penggabungan.
Proses penggabungan dilakukan dengan mempergunakan s-norm (atau t-conorm) atau
arithmetic mean untuk setiap kelompok. Hasil yang diperoleh dari proses penggabungan adalah
nilai degree of truth link, variabel konsep yang dianggap penting oleh kelompok
serta nilai indegree, outdegree, dan total degree. Nilai indegree menunjukkan jumlah variabel
pengaruh terhadap suatu konsep, outdegree menunjukkan berapa jumlah konsep yang
dipengaruhi oleh suatu variabel, dan total degree menunjukkan penjumlahan indegree dan
outdegree (Axelrod, 1976). Dari hasil penggabungan beberapa FCM diharapkan dapat diperoleh
pola (pattern) yang menujukkan indegree, outdegree, total degree, nilai degree-of-truth link dan
nilai degree-of-truth konsep.


STAKEHOLDER 1
STAKEHOLDER 2
STAKEHOLDER n
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hidden Pattern
Indegree, Outdegree, Total Degree
Hidden Pattern
Indegree, Outdegree, Total Degree
Hidden Pattern
Indegree, Outdegree, Total Degree
positive/negative
expectation
positive/negative
expectation
positive/negative
expectation

Penggabungan Simulasi
Group 1
Group 2
Group n
Pemodelan dengan FCM

Terdapat dua macam pendekatan untuk menjalankan proses simulasi. Pada pendekatan
pertama (FCM tipe pertama) mempergunakan proses perhitungan yang menggabungkan
dampak (pemikiran) positif dan negatif secara bersamaan dalam proses perhitungan,
sedangkan pendekatan kedua (FCM tipe kedua) mempergunakan proses perhitungan yang
terpisah.

FCM Tipe Pertama




) 1 ( + t i
C

menunjukkan nilai variabel (node) ke i pada saat t+1
t menunjukkan jumlah iterasi),
) (t e
ki
menunjukkan besarnya hubungan kausal antara variabel (node)
k
C dengan variabel
(node)
i
C dan dinyatakan secara fuzzy pada saat t.
N Jumlah variabel
k
C yang terhubung dengan variabel
i
C
) (t k
C menunjukkan variabel (node) asal pada saat t.
) (t k
C

merupakan sumber sinyal (pulse)
) 1 ( + t i
C merupakan penerima sinyal (pulse).
S squashing function.





e menunjukkan bilangan natural,
g besarnya gain yang menentukan kelengkungan fungsi
m besarnya offset yang menentukan perpotongan fungsi S dengan sumbu x.

FCM Tipe Kedua

dimana


menunjukkan operator t-norm yang merupakan generalisasi dari operator ANA
menunjukkan operator s-norm yang merupakan generalisasi dari operator OR
u merupakan nilai negatif dari
) (t k
C pada saat t,
v adalah nilai positif dari
) (t k
C pada saat t.
x, y menunjukkan secara berturut-turut nilai negatif dan positif dari nilai hubungan kausal
(link) dari ) (t e
ki
.
(p q) (r s) menunjukkan bagaimana mengoperasikan operator s-norm pada sistem NPN
logic

Beberapa penelitian terkait dengan penggunaan FCM telah dilakukan penulis sebelumnya
(Kusdarjito, 2003, 2004). Hasil yang diperoleh menguatkan apa yang dikemukakan oleh Nonaka
dan Takeuchi (1995) dan Sarabia et al (2007). Terjadinya peluruhan suatu pengetahuan dapat
) 1 ( + t i
C =
v
=
N
k 1
((u v) (x y))=
v
=
N
k 1
(- vabs(ux, uy, vx, vy), v(ux, uy, vx, vy))
(p q) v (r s) = (- vabs(p,r), v(q,s))
(

=

=
+
N
k
t k ki t i
C t e S C
1
) ( ) 1 (
) (
1
2
1
) (
) 1 (
+
=
+
+
m C g
t i
e
S
dilihat dari hasil penelitian Kusdarjito (2004). Kusdarjito (2004) mempergunakan FCM untuk
menggali pemikiran sekelompok orang mengenai dampak suatu pembangunan jalan terhadap
lahan pertanian dan dampak ekologis. Hasil yang diperoleh menunjukkan pengetahuan yang
disampaikan oleh responden dalam jangka pendek masih dapat dipercaya, tetapi dengan
berjalannya waktu akan terjadi penurunan nilai derajat kebenaran (degree of truth) . Kondisi
ini juga menunjukkan pendekatan monological dan dialogical tidak dapat bertahan lama.
Ilustrasi di bawah ini menunjukkan hal tersebut.


Hasil Simulasi FCM pada Saat t = 10
Daftar Nama Variabel
1 pembangunan JOR 21 kualitas air permukaan
2 harga lahan 22 stres pada hewan liar
3 pembebasan lahan 23 aksesibiltas wilayah
4 lapangan kerja off farm 24 kegiatan usaha
5 land rent 25 pengembangan wilayah pemukiman
6 spekulasi lahan 26 polusi air
7 lahan menganggur (idle) 27 jumlah industry
8 konversi lahan 28 wilayah tangkapan air
9 kehilangan habitat 29 air bawah tanah
10 land clearing 30 pendapatan rata-rata off farm
11 luasan kegiatan pertanian 31 jumlah penduduk (populasi)
12 kandungan debu 32 urban sprawl
13 pajak lahan 33 infiltrasi (penyerapan air)
14 vibrasi 34 jumlah mata air
15 pemisahan antar tetangga 35 polusi udara
16 relokasi penduduk 36 jumlah kendaraan
17 kepuasan penduduk 37 hasil panen petani
18 relokasi kegiatan usaha 38 pendapatan petani on farm
19 jumlah petani 39 pengembangan transportasi umum
20 kegiatan on farm


Hasil Simulasi FCM pada Saat t = 20

Gambar di atas menunjukkan FCM yang menggambarkan penggabungan pemikiran 2 orang
mengenai dampak pembangunan suatu jalan bebas hambatan (Kusdarjito, 2005). Sumbu
mendatar pada gambar di atas menujukkan variabel konsep sedangkan sumbu vertikal
menujukkan nilai derajat kebenaran (degree of truth) . Grafik yang diarsir menunjukkan nilai
tertinggi derajat kebenaran yang pernah tercapai. Hasil simulasi pada saat t = 10 dan t = 20
memiliki pola yang sama. Hal ini menujukkan bahwa telah terjadi keseimbangan pada saat t =
10. Meskipun demikian, pada saat t = 20, nilai derajat kebenaran jauh lebih kecil. Kondisi ini
menunjukkan derajat kebenaran menjadi semakin lemah.

Iterasi kesepuluh (t = 10, Gambar 5) dan iterasi kedua puluh (t = 20, Gambar 6) keduanya
cenderung mempunyai pola yang sama, sehingga iterasi yang ada telah mencapai
keseimbangan. Balok yang tidak diarsir (solid bar) menunjukkan dampak yang bersifat
persisten dalam jangka panjang. Meskipun demikian, dampak tersebut kemungkinan tidak
disebakan secara langsung oleh kegiatan pembangunan JOR. Sebagai ilustrasi, kegiatan on-farm
(variabel 20) yang menurun pada saat t = 20 terutama disebakan oleh alur:

1(1.000)23(0.947)24(0.816)5(0.703)2(0.678)6(0.634)2(0.584)6(0.547)
2(0.504)6(0.471)2(0.434)6(0.406)2(0.374)6(0.350)2(0.323)6(0.302)
2(0.28)6(0.260)7(0.246)11(-0.236)20(-0.223)

Alur dampak di atas ditentukan oleh nilai pulse tertinggi untuk setiap tahapan iterasi. Pada alur
dampak di atas terlihat terjadinya osilasi antara variabel 2 (harga lahan) dan variabel 6
(spekulasi lahan) yang mengakibatkan meningkatnya luas lahan yang menganggur atau idle
(variabel 7). Banyaknya luas lahan yang menganggur mengakibatkan luasan lahan pertanian
-farm
berkurang (variabel 20, negatif).

Dampak pembangunan jalan bebas hambatan mengakibatkan aksesibilitas wilayah yang
meningkat (variabel 23) yang selanjutnya merangsang terjadinya kegiatan usaha (variabel 24).
Kegiatan usaha tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai land rent (variabel 5).
Peningkatan nilai land rent inilah yang mendorong terjadinya osilasi antara variabel 2 (harga
lahan) dan variabel 6 (spekulasi lahan). Oleh karena itu, penurunan kegiatan on farm dalam
jangka panjang tidak disebakan secara langsung oleh kegiatan pembangunan jalan, tetapi
terutama disebakan oleh adanya spekulasi lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonym (2001) Social Capital A Review of The Literature London: Social Analysis and
Reporting Division, Office for National Statistics
Andriani, L (2010) Social Capital, Community Governance and Credit Market Crete: Conference
Paper

Auckland Council (1999) Community Governance Model
http://www.aucklandcity.govt.nz/council/documents/governance/default.asp

Axelrod, R (1976) The Analysis of Cognitive Maps, pp 55-73 of Axelrod, R (ed) Structure of
Decision: The Cognitive Maps of Political Elites New Jersey: Princeton University Press

Bereiter, C. (2002). Education and Mind in the Knowledge Age. Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Bowles, S and Gintis, H (2002) Social Capital and Community Governance The Economic Journal
Vol 112(483): p 419 - 436

DESA (2005) Understanding Knowledge Society: in Twenty Questions and Answers with the Index
of Knowledge Societies New York: UN Publication

Engestrm, Y (1987) Learning by Expanding Helsinki: Orienta-Konsultit.

Fukuyama, F. (1999) Social Capital and Civil Society, IMF Conference on Second Generation
Reforms

Glaeser, E. L. (2001) The Formation of Social Capital, Canadian Journal of Policy Research Vol
2(1) p 34-40

Grootaert, C dan van Bastelaer, T (2001) Understanding and Measuring Social Capital: A
Synthesis of Finding and Recommendations from The Social Capital Initiative
Worldbank

IFPRI (2006) Does Good Governace Contribute to Pro Poor Growth? A Review of the Evidence from
Cross Coutry Studies Washinton DC: IFPRI DGSD Discussion Paper No 30

Kaufmann (1975) Introduction to the Theory of Fuzzy Subset vol. 1 New York: Academic Press

Kosko, B (1994) Fuzzy Thinking: The New Science of Fuzzy Logic London: Harper-Collins

Kusdarjito, C (2003) Dynamic-SWOT: SWOT Berbasis pada Fuzzy Cognitive Map untuk
Perencanaan Strategis (Lomba Karya Tulis Majalah Intisari) tidak dipublikasikan

Kusdarjito, C (2004) Aplikasi fuzzy cognitive map untuk identifikasi dampak Agros: 5(2):51-61

Nonaka, I. and Takeuchi, H. (Eds) (1995), The Knowledge-creating Company: How Japanese
Companies Create the Dynamics of Innovation, Oxford University Press, New York, NY

Nonaka, I (2006) Creating Sustainable Competitive Advantage through Knowledge-Based
Management Tokyo: The Graduate School of International Corporate Strategy
Hitotsubashi University

Paavola, S and Hakkarainen, K (2004) Trialogical processes of mediation through conceptual
artefacts. A paper presented at the Scandinavian Summer Cruise at the Baltic Sea
(theme: Motivation, Learning and Knowledge Building in the 21st Century), June 18-
21, 2004 (Organized by Karoliniska Institutet, EARLI SIG Higher Education, and IKIT)

Pal, S and Konar (1996), A Cognitive reasoning using fuzzy neural nets IEEE Transactions on
Systems, Man and Cybernetics Part B 26(4), 616-619

Richardson, M (1999) Community Governance Resource Kit Christchurch: Christchurch City
Council

Sarabia, M (2007) Knowledge leadership cycles: an approach from Nonakas viewpoint Journal
of Knowledge Management : 11(3), 6-15, Q Emerald Group Publishing Limited, ISSN
1367-3270

TRM (2011) Effective Community Governance: An Overview
http://www.rtmteam.net/page.php?section=overview_of_ecg&pageID=25#a

Woolcock, M (2001) The Place of Social Capital in Understanding Social and Economics Outcome
Canadian Journal of Policy Research Isuma: Vol 2:1 p Spring 2001 p: 11-17

Anda mungkin juga menyukai