Anda di halaman 1dari 19

UTS KEWARGANEGARAAN

TIONGHOA, BAGIAN BANGSA INDONESIA ATAU BUKAN? Disusun oleh NIM Fakultas Program Studi Mata Kuliah : Raymond Purnomo : 10.32.0002 : Ekonomi : Manajemen Unggulan : Kewarganegaraan

UNIKA SOEGIJAPRANATA 2011

BAB I LATAR BELAKANG

1.1 IDEOLOGI REALITA

PANCASILA

YANG

BERTENTANGAN

DENGAN

Persatuan seluruh Indonesia selalu saja menjadi idaman warga Indonesia. Seluruh golongan, agama, etnis, dan ras yang tinggal di Indonesia menginginkan hal itu . Namun, pada saat kita melihat kembali pengalaman 13 tahun yang lalu, dapat kita lihat bahwa telah terjadi kejahatan HAM terhadap etnis Tionghoa yang bisa dikatakan sebagai sebuah tonggak sejarah paling buruk yang terjadi pada masa pemerintahaan Orde Baru Soeharto. Kerusuhan Mei adalah pembawa tanda-tanda dari akhir pemerintahan Orde Baru Soeharto. Kerusuhan -kerusuhan terjadi terutama di Jakarta, Solo, dan Medan. Yang dijadikan sasaran utama ialah barang-barang milik etnis Tionghoa. Kemudian yang paling mencolok ialah kekerasan fisik dan pemerkosaan masal terhadap warga -warga etnis Tionghoa . Tindakan-tindakan kekerasan ini terjadi secara sistematis. Entah ada keterkaitannya dengan oknum-oknum elite politik tertentu atau tidak, yang pasti beberapa aktivis yang memiliki keterlibatan dengan pemerintah turut dipen jarakan dan disiksa di penjara . Meskipun banyak juga warga Non -Tionghoa yang ikut terkena dampak kekerasan tersebut namun yang paling besar terkena ef ek dari kerusuhan tersebut adalah warga Tionghoa. Tentu saja hal-hal tersebut sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Pancasila. Tidaklah heran apabila seluruh etnis Tionghoa di seluruh dunia dan elite politik internasional mengecam hal ini. Berbagai dukungan dan kecaman dari dunia internasional diturunkan kepada Indonesia. Embargo juga sempat akan diturunkan oleh PBB. Organisasi sosial yang berusaha membantu Etnis Tionghoa juga bermunculan karena perasaan iba dan atas dasar kemanusiaan terhadap mereka . Peranperan organisasi ini juga lah yang dapat mengubah pandangan masyarakat kepada etnis Tionghoa, dari Objek menjadi Subjek

1.2 KETERLIBATAN PEMERINTAH DALAM KERUSUHAN MEI 1998 Tidak dapat dipungkiri bahwa keterlibatan pemerintah Orde Baru mempunyai peran penting dalam tiap -tiap kejadian yang melibatkan golongan etnis ini. Begitu melihat etnis Tionghoa, gambaran masyarakat pada saat itu menganggap bahwa semua etnis Tionghoa kaya, mementingkan duit, ekslusif , tidak mempertimbangkan orang lain, mempe kerjakan orang lain seperti budak, egoistis, dan tidak punya rasa kesetiaan terhadap Indonesia. Gambaran yang sangat memurukkan ini, menurut Jemma Purdey, memang sengaja dibina dan dipertahankan oleh elite politik dari pemerintahan Orde Baru seakan-akan mereka bukan merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Istilah Cina untuk menyebut negeri Tiongkok dan bangsanya, sebetulnya telah lama dipakai di Indonesia. Pada awalnya, istilah itu tidak mengandung arti penghinaan. Akan tetapi, menjelang abad ke-20, dengan bangkitnya nasionalisme China, istilah itu mulai dianggap sebagai mengandung makna kurang baik oleh kalangan orang Tionghoa itu sendiri. Di Indonesia istilah Tionghoa (untuk orangnya) dan Tiongkok (untuk negaranya) mulai digunakan oleh etnis Tionghoa dan kemudian oleh kelompok lain . Istilah ini juga diterima oleh pers dan pemerintah Indonesia sampai munculnya Orde Baru. Sebelum Perang Dunia Kedua, pada umumnya golongan nasionalis Indonesia (terkecuali kaum komunis dan partai kiri) tidak memasukkan orang Tionghoa dalam kategori bangsa Indonesia. Konsep bangsa yang berdasarkan ras pribumi ini sebetulnya adalah lanjutan dari pengelompokan penduduk yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun ada beberapa tokoh nasionalis seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, yang pernah mencetuskan konsep nasion Indonesia (Indonesier) berdasarkan konsep politik. Walaupun demikian, konsep ini tidak menjadi arus utama. Sukarno sendiri pada 1945 dalam rapat BPUPKI pernah juga menggunakan konsep bangsa yang dikembangkan oleh Ernest Renan ditambah dengan konsep geopolitik. Dia berpendapat bahwa Bangsa Indonesia berdasarkan kehendak akan bersat u dari seluruh manusia-manusia yang tinggal dari Ujung Sumatra sampai Irian! Meskipun konsep bangsa Sukarno ini bisa memasukkan etnis Tionghoa yang berada di wilayah Indonesia,

akan tetapi Sukarno pada waktu itu tidak mengatakannya secara jelas. Pada tahun 1951 ketika terjadi kesulitan ekonomi, Sukarno bahkan menuduh etnis Tionghoa sebagai orang asing yang lupa akan peristiwa Tangerang. Pada umumnya para tokoh politik nasionalis di Indonesia setelah proklamasi masih berpatokan pada konsep ras pribumi. Orang Tionghoa, termasuk peranakan Tionghoa, belumlah menjadi Indonesia sejati jikalau belum terbaur (terlebur) ke dalam bangsa pribumi. Ketika zaman Demokrasi Terpimpim, perdebatan tentang nation -building tidak kunjung selesai. Namun pada 1963, Sukar no mencetuskan konsep bangsa Indonesia yang berdasarkan suku -suku pribumi ditambah dengan suku peranakan Tionghoa. Menurut konsep bangsa Sukarno ini, peranakan Tionghoa (bukan Tionghoa totok) sudah menjadi suku bangsa Indonesia, yaitu bagian dari bangsa Indonesia dan tidak perlu melebur ke dalam bangsa pribumi lagi. Yang perlu hanya integrasi, seperti suku sukubangsa Indonesia yang lain. Namun, konsep bangsa non ras ini mendapat tentangan dan usianya juga tidak panjang. Ketika Suharto berkuasa setelah G -30-S, konsep nasion yang berdasarkan budaya, bukan ras, ini telah ditinggalkan. Orang Tionghoa, baik peranakan maupun totok, semuanya bukan bagian Nasion Indonesia karena Suharto mendefinisikan bangsa Indonesia berdasarkan konsep sukubangsa pribumi. Dalam zaman Suharto, etnis Tionghoa di Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan, bukan kelompok yang heterogen. Suharto sebagai presiden menyerukan semua orang Tionghoa untuk tidak menunda-nunda lagi berintegrasi dan berasimilasi dengan masyarakat Indonesia ( asli). Yang dimaksud dengan masyarakat asli adalah masyarakat yang terdiri dari sukubangsa pribumi. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah pada waktu itu adalah asimilasi total. Identitas Tionghoa, termasuk identitas peranakan Tionghoa, tidak diperbolehkan. Dengan kata lain, semua hal yang berbau Tionghoa harus dihapus, termasuk bahasa dan kebudayaan Tionghoa. Bahasa Tionghoa dilarang, bahkan agama yang berbau Tionghoa itu pun dihalang -halangi perkembangannya, meskipun Pancasila menjamin kebebasan beragama bagi setiap warganegara. Selama 32 tahun Orde Baru, orang Tionghoa di Indonesia yang berada di bawah program asimilasi itu sebetulnya sudah terbaur. Anak-anak Tionghoa totok pun telah menjadi peranakan dan yang peranakan menjadi lebih Indonesia. Akan tetapi identitas etnis itu masih belum

terhapus seratus persen, salah satu sebabnya adalah karena konsep bangsa yang berdasarkan ras pribumi ini. Dalam zaman Orde Baru, di samping politik asimilasi, juga dijalankan politik diskriminasi dan pemisahan antara pri dan non-pri. Semua ini mempunyai dampak pengucilan etnis Tionghoa. Di samping itu, Tionghoa-Indonesia disalurkan ke bidang ekonomi dan jalan-jalan yang lain umumnya tidak dibuka untuk etnis Tionghoa. Identitas ekonomi Tionghoa menjadi semakin kuat. Tionghoa-Indonesia meskipun berwarganegara Indonesia tetapi masih belum menjadi bagian bangsa Indonesia. Istilah WNI--Warga Negara Indonesia --digunakan bukan untuk semua orang Indonesia, tetapi khusus ditujukan kepada keturunan Tionghoa yang berwarganegara Indonesia. Sebetulnya, konsep WNI untuk merujuk kepada Tionghoa -Indonesia bermula sejak zaman Sukarno dan dilestarikan pada zaman Suharto. Yang cukup menarik, banyak Tionghoa -Indonesia sendiri di zaman Orde Baru yang mengaku dirinya sebagai suku (sukubang sa) Tionghoa, artinya: mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Namun ini tidak diterima oleh pemerintah.

1.3 TOPIK KAJIAN Dalam karya ilmiah ini saya akan mencoba mengkaitkan tentang warga etnis Tionghoa dengan kaitannya dengan nasionalisme serta peristiwa Mei 1998 yang megubah jatidiri etnis Tionghoa dari Outsider menjadi bagian dari bangsa Indonesia . Pantaskah bila mereka disebut warga negara Indonesia? Mengapa mereka selalu dianggap kaum yang eksklusif, egoistis, dan tidak cinta tanah air? Hal ini akan saya kaji lebih lanjut dalam karya ilmiah ini.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 ETNIS TIONGHOA DAN KETERKAITANNYA DENGAN KONSEP BANGSA INDONESIA Berdasarkan buku Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa karangan Prof. Dr. Leo Suryadinata, p roblem etnis Tionghoa yang berlarut-larut tak kunjung usai di negeri ini, tidak saja karena terletak pada praktik sistem -sistem ekonomi dan politik yang tidak adil, tidak merata, dan tidak demokratis selama Orde Baru, tetapi jug a karena tidak rigidnya konsep bangsa Indonesia itu sendiri, sebagai bangsa pribumi. Hal ini merupakan rintangan besar untuk masuknya orang Tionghoa, terutama peranakan Tionghoa, ke dalam wadah bangsa Indonesia. Dalam konteks problem Tionghoa, konsep bang sa yang dimaksud itu lebih dekat pada ethno -nation (bangsa berdasarkan ras atau etnis), karena yang ditekankan adalah kepribumiannya. Secara sederhan, dapatlah dikatakan bahwa bila orang Tionghoa ingin menjadi bangsa yang lengkap, maka ia harus meleburkan diri secara total ke dalam tubuh pribumi Indonesia yang lebih berdasarkan ras atau etnis itu. Sebaliknya, bila seseorang masih memiliki unsur -unsur asing, biarpun unsur-unsur itu sangat sedikit, maka ia masih dianggap sebagai orang asing.

2.2 ETNIS TIONGHUA SETELAH REFORMASI Dari pendapat Prof. Dr. Leo pada bukunya Etnis Tionghoa dan Nasionalisme disebutkan bahwa, meskipun kelihatannya masyarakat Tionghoa Indonesia telah bersatu, sebetulnya ketidakpaduan masyarakat itu masih kentara. Ini d isebabkan masyarakat Tionghoa Indonesia terdiri dari kelompok budaya, kelas, kepercayaan, dan orientasi politik yang berbeda. Karena itu, partai-partai yang didominasi etnis Tionghoa sangat lemah dan tidak efektif. Ini berhubung dengan kecilnya jumlah minoritas Tionghoa dan keanekaragaman komunitas tersebut. Tidaklah mungkin minoritas Tionghoa bergabung dalam satu partai politik atau organisasi. Perlu dicatat bahwa Orde Baru, yang dikatakan telah menguntungkan minoritas Tionghoa itu, ternyata mengabaikan kelompok tersebut. Banyak Tionghoa yang kecewa terhadap rezim Soeharto serta Golkarnya. Maka, ketika Pemilu 1999 diadakan, banyak Tionghoa yang mendukung PDIP Megawati dan juga partai-partai Indonesia lainnya seperti PKB dan PAN. Rupanya, yang menyokong Gol kar tetap ada, namun kecil jumlahnya. Sedangkan partai etnis Tionghoa sendiri, seperti Parti dan Partai Pembauran, tidak ikut pemilu. Yang ikut serta hanya PBI-nya Nurdin Purnomo, yang hanya memperoleh satu kursi di DPR 1999-2004. Tampaknya, etnis Tionghoa lebih cenderung ikut serta dalam partai -partai pribumi ketimbang partai etnis. Partai etnis kurang populer di Nusantara dan, pada Pemilu 2004, tidak satu pun partai etnis Tionghoa yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu. Namun, puluhan orang etnis Tiongho a yang berpartisipasi politik bergabung dalam partai -partai "pribumi". Mereka sadar bahwa jumlah Tionghoa di Indonesia terlalu kecil sehingga suaranya juga tidak terdengar. Tanpa dukungan masyarakat pribumi yang mayoritas, bukan saja mereka tidak akan terpilih, bahkan keselamatan mereka pun tidak akan terjamin. Jadi, memperoleh pengertian dan simpati rakyat Indonesia yang pribumi merupakan syarat mutlak bagi keselamatan, kalau bukan kemakmuran, etnis Tionghoa di Indonesia. Sebetulnya sikap masyarakat "prib umi" pun mulai berubah terhadap minoritas Tionghoa. Pemerintah Indonesia yang baru, terutama sejak Abdurrahman Wahid, mulai memberikan tempat bagi etnis Tionghoa di Nusantara. Ia telah

membatalkan satu keputusan presiden yang melarang etnis Tionghoa merayakan hari-hari besar tradisionalnya, bahkan secara simbolis ia bertahun baru Imlek bersama masyarakat Tionghoa setempat. Sebetulnya, sebelum menjadi presiden, Gus Dur telah mencetuskan konsep bangsa Indonesia yang baru, yaitu bangsa Indonesia terdiri dari t iga "ras", salah satunya ialah "ras Cina". Namun, konsep semacam ini kurang mendapat perhatian masyarakat pribumi. Sebetulnya, pada tahun 1963 sebelum Sukarno tumbang, dia juga pernah mengusulkan konsep bangsa Indonesia yang terdiri dari suku -suku, salah satu sukunya adalah "suku peranakan Tionghoa ". Tetapi konsep itu telah dicampakkan jauh -jauh di zaman Soeharto. Orde Baru telah menjalankan kebijakan asimilasi total untuk masyarakat Tionghoa. Tiga pilar budaya etnis Tionghoa, yaitu organisasi Tionghoa, media massa Tionghoa, dan sekolah Tionghoa, te lah dihapus. Bahkan semua WNI Tionghoa dianjurkan mengganti namanya dengan "nama Indonesia", yang sering diartikan nama apa saja kalau bukan "nama Cina". Secara umum, karena tekanan, kawin campur, atau kesadaran diri sendiri, etnis Tionghoa di Indonesia telah mengganti nama Tionghoa -nya menjadi "nama Indonesia". Namun, ketika Gus Dur menjadi presiden dan ia menganjurkan supaya WNI Indonesia memakai nama Tionghoa-nya kembali, tidak banyak yang melakukan itu. Sebabnya? Mungkin mereka enggan mengganti namanya kembali karena mereka sudah dikenal dengan "nama Indonesia" -nya. Mungkin mereka merasa repot untuk mengurus surat -surat yang begitu banyak jikalau mau ganti dengan nama lama. Yang perlu disebut di sini adalah: generasi muda yang lahir sejak berdirinya Orde Baru umumnya tidak lagi memiliki nama Tionghoa. Jadi, ganti dengan nama lama bagi generasi muda ini merupakan hal yang mustahil. Yang perlu dicatat, ada etnis Tionghoa yang mengalami trauma dan putus asa dengan Indonesia dan tidak mau kembali lagi ke Indonesia. Akan tetapi, yang terbanyak kemudian kembali ke Indonesia ketika keamanan Indonesia pulih kembali. Bagi etnis Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya! Banyak yang tidak betah atau tidak biasa hidup di rantau orang. Di samping itu, pemerintah Indonesia pasca -Soeharto mulai menjalankan "multikulturalisme". Kebijakan asimilasi secara

teori, kalau bukan secara praktis, telah ditinggalkan. Jadi, etnis Tionghoa di Indonesia tidak lagi dipaksakan untuk berasimilasi total dengan pribumi. Media massa Tionghoa, organisasi Tionghoa, dan sekolah "bahasa Tionghoa" (bukan sekolah Tionghoa ala pra-1965 yang berbahasa pengantar bahasa Tionghoa) telah diizinkan. Walaupun adanya tiga pilar budaya Tionghoa ini tidak banyak artin ya bagi peranakan Tionghoa yang berjumlah besar di Indonesia, sebagai masalah identitas ini merupakan suatu simbol bahwa pemerintah Indonesia pasca-Orde Baru mengakui budaya Tionghoa. Walaupun pengakuan kebudayaan Tionghoa di Indonesia sudah ada, diskriminasi rasial dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan masih belum dicabut. Frans H. Winarta, S.H., misalnya, menunjukkan bahwa masih lebih dari 60 buah undang-undang dan peraturan-peraturan yang berunsur diskriminasi rasial yang belum diamendemen, termasuk Undang-Undang Kewarganegaraan dan Ketetapan MPRS No. 32/1966 (mengenai larangan koran Tionghoa dan penggunaan aksara Tionghoa untuk toko -toko). Drs. Eddie Lembong, Ketua Umum INTI, juga merujuk ke staatsblad di zaman kolonial yang membeda-bedakan golongan rasial yang menjadi sumber "diskriminasi". Tetapi, semua ini masih belum diamendemen. Pemerintah dan wakil rakyat masih harus membenahi undang undang dan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan semangat reformasi. Perlu ditegaskan bahwa kea daan masyarakat Tionghoa, terutama dalam bidang budaya, mengalami perbaikan sejak bermulanya reformasi. Namun, kentara pula bahwa keamanan kurang memuaskan. Di samping itu, pemerintah sampai kini masih juga belum menuntaskan perkara peristiwa Mei 1998 dan peristiwa-peristiwa lain yang menyangkut pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konsep bangsa Indonesia, meskipun pluralis, dasar kepribumian masih kuat. Konsep kepribumian itu kini bukan saja ditujukan kepada etnis Tionghoa, tetapi juga kepada sesama suku Indonesia sendiri. Misalnya, orang Madura di Kalimantan dianggap bukan pribumi sehingga mendapat perlakuan yang tidak senonoh. Jadi, dampak kepribumian ini bukan saja terhadap etnis Tionghoa, tetapi lebih besar lagi bagi negara kesatuan Indonesia. Ditonjol kannya dasar kepribumian akan memecahkan bangsa Indonesia yang masih muda ini.

BAB III PEMBAHASAN

Dari berbagai sumber yang saya dapatkan dari buku, responden, dan internet. Sentimen etnisitas, khususnya terhadap etnis Tionghoa, sejatinya lahir dari altar politik kekuasaan yang kemudian menelusup pada kesadaran etnisitas (sebagian) warga bangsa. Karena sifatnya d emikian, sentiment tersebut seringkali meledak menjadi konflik sosial. Itulah yang kita saksikan selama ini. Kita dapat melihat fakta ini dal am sejarah perjalanan bangsa kita. Sentiment etnisitas dan konflik-konflik sosial yang melibatkan etnis Tionghoa baru terjadi sejak abad ke-19. Salah satu contoh adalah meledaknya kerusuhan sosial antara pribumi versus Tionghoa di Kudus pada 1918. Sentimem itu semakin kuat setelah Pemerintah Kolonial Belanda, mela lui kebijakan hukum tahun 1920 Artikel 163 IS (Indiesche Staatsregeling) menerapkan politik segregasi, yang membagi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan: Eropa, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), danlenlanders (Pribumi). Dalam politik segregasi tersebut etnis Tionghoa bersama Arab dan India dikategorikan sebagai Vreemdelingen (orang asing). Padahal orang Tionghoa sudah turun temurun menjadi penghuni bumi Nusantara. Demikian p ula orang Arab dan India. Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa bangsa Cina mengenal Jawa sudah sejak awal abad pertama masehi. Orang pertama Tionghoa yang mendarat di tanah Jawi adalah Fa Hian atau She Fa Hian (Denys Lombard, 1996). Menurut catatan Van Hien, ahli Javanologi Belanda, pendeta B ddha tersebut mendarat di Jawa pada 400 tahun sesudah masehi. Yang penting kita garis bawahi, dalam kebijakan tersebut Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan konsep dan kategori baru terhadap orang Tionghoa, Arab d an India sebagai "orang asing", kedudukannya nomor dua setelah golongan Eropa, di atas golongan vreemdelingen atau pribumi.

Segregasi dan konsep ini, dikalangan masyarakat pribumi kemudian tumbuh pandangan neg atif yang bersifat rasial . Padahal sebelumnya, seperti dicatat Lombard, tidak demikian. Asimilasi kebudayaan Cina dengan kebudayaan -kebudayaan lain di Nusantara selama beratus -ratus tahun sebelumnya berlangsung mulus dan alami. Asimilasi itu berlangsung sedemikian intensif, dan akulturasinya hingga ins titusiinstitusi keagamaan. Sebagai contoh, bedug yang berasal dari Cina, selain di gunakan di kelenteng -kelenteng orang Tionghoa, oleh orang Islam Jawa juga digunakan untuk menandai waktu sholat di masjid -masjid atau mushola. Konon yang memperkenalkanya adalah Laksamana Cheng Ho. Celakanya sentimen tersebut terus tumbuh hingga masa kemerdekaan, bahkan hingga kini. Sebagian pengamat menuding politik kekuasaan sebagai faktor determinannya. Kesimpulan itu benar untuk masa kolonial, tetapi tidak sepenuhnya untuk masa pemerintahan Republik Indonesia. Benar bahwa UU nomor 6 tahun 1946 dan UU nomor 62 tahun 1958 (perubahan) tentang Kewarganegaraan RI, tetap membedakan WNI asli dan WNI keturunan asing. Demikian pula UU nomor 8 tahun 1974 mengenai hal yang sarna, y ang berlaku pada masa Orde Baru. Namun tidak berarti bahwa tidak adanya perubahan dari Artikel 163 IS (Indiesche Staatsregeling) yang dituding sebagian pengamat sebagai sumber acuannya. Dalam UU masa Pemerintahan Republik Indonesia tersebut, sekalipun tetap membedakan antara WNI asli dengan WNI keturunan asing. namun ditegaskan anak cucu dari Tionghoa peranakan sebagai WNI asli. Sedangkan WNI keturunan asing adalah "orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara" (Rancanga n UUD Pasal 27 dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Yamin menambahkan, mereka yang disebut terakhir diberi hak repudiate (memilih) dan boleh pula memilih cara naturalisasi (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Ini berbeda dengan konsep peng-inlander-an (pribumisasi) bagi keturunan asing dalam Artikel 163 IS, dimana seorang Tionghoa bisa dikategorikan menjadi golongan pribumi jika mereka melakukan oplosing

atau peleburan, seperti misalnya masuk Islam atau mengintegrasikan dalam budaya dan adat istiadat pribumi asli. Soekarno sendiri tidak henti -hentinya menegaskan bahwa Tionghoa peranakan adalah suku bangsa Indonesia. Seperti dalam pidatonya di Kongres Baperki 1963, dikatakan bahwa: "bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai suku, yaitu suku Jawa, suku Batak, suku Minang ... dan suku peranakan Tionghoa". Usaha asimilasi yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno maupun Soeharto memang masih mengandung banyak kekurangan. Bahkan sering dirusak sendiri oleh segolongan kelompok tertentu dalam politik kekuasaan untuk m endukung suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. lnilah yang kita lihat dalam sejarah pemerintahan kita berkaitan dengan peraturan-peraturan pembatasan ruang lingkup usaha perdagangan golongan Tionghoa dibidang transportasi, eksporimpor, penggilingan padi dan lain-lain yang terjadi pada dekade 1950-an. Atau PP-10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa berdagang dan tinggal di daerah pedesaan dan pedalaman. Pada masa Orde Baru usaha asimilasi itu bahkan teras a dipaksakan. Misalnya kebijakan ten tang tempat-tempat yang disediakan untuk anak-anak WNA Cina di sekolah -sekolah nasional sebanyak 40% dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid -murid WNA Cina (Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967). Kebijakan ini pada sisi yang lain bisa pula dipandang sebagai diskriminasi. Demikian pula mengenai kebijakan tentang ganti nama dengan nama Indonesia (Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE 06/PresKab/6/1967; dan Keppres No.127 /U /KEP /12/1996), dan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/iklan beraksen dan berbahasa Cina, dapat dipandang sebagai culture genocide. Nasib demikian tidak hanya dialami oleh gologan Tionghoa saja. Dalam bentuk yang lain, masyarakat Bali, Sumatera dan beberapa yang lain, juga merasakan hal yang sarna. Misalnya pada penerapan undang-undang pemerintahan desa, institusi

Banjar dan Nagari atau lainnya, diganti dengan Desa, sebuah bentuk aglomerasi pemukiman di area perdesaan Jawa. Kebijakan-kebijakan ini adalah berakar dari politik penyeragaman, yang sesungguhnya meliputi banyak sekali hal, termasuk dalam kehidupan partai politik, seperti kebi jakan fusi dan asas tunggal partai. Betapapun saya menghargai argumen yang melatarbelakangi kebijakan -kebijakan tersebut, namun politik penyeragaman itu mengingkari keramagaman yang merupakan fakta sosial dan politik bangsa Indonesia. Tahun 2006 adalah t onggak perubahan radikal. UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewargenegaraan Republik Indonesia mengubah konsep bangsa Indonesia secara revolusioner, dikembalikan sesuai dengan paradigma aslinya, yang dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri bangsa ini. Konsep bangsa Indonesia asli dalam undang -undang tersebut dirumuskan sebagai semua orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Paradigmanya tidak lagi ditentukan atas dasar etnis dan ras, melainkan atas dasar status yuridis. Dengan de mikian perbedaan antara WNI asli dan WNI keturunan asing tidak ada lagi. Lahirnya undang-undang tersebut patut kita syukuri, meski persoalannya belum selesai. Politik segregasi pemerintahan kolonial Belanda, yang menjadi asal -usul dan akar rasialime Indonesia, ternyata menyisakan persoalan yang akut. Seperti kita saksikan di masyarakat, sejauh ini stereotype tentang orang Tionghoa masih sangat kuat, yang mengganggu hubungan sosial diantara mereka menjadi tidak harmonis. Stereotipe itu terbentuk berdasarka n suatu pendapat yang sudah ada sebelumnya, yang melekat kuat karena telah terbentuk bertahun-tahun sejak penerapan politik segregasi. Sesungguhnya banyak faktor sosial yang ikut mempengaruhinya, tetapi stereotipe itu lebih banyak berhubungan dengan masalah ekonomi. Masyarakat Tionghoa dalam pandangan umum dinilai lebih kaya. Pandangan demikian secara kolektif menumbuhkan sikap fanatisme dan kecurigaan serta mendorong berkembangnya sentiment sosial yang bersifat laten. Maka berkembanglah racial prejudice. Karena itu permasalahan kecil berlingkup individu seringkali

meluas ke tingkat kelompok menjadi bersifat primordial. Keadaan ini menjadi lahan subur bagi pihak -pihak yang hendak mendorong pertentangan demi kepentingan politik tertentu sehingga muneul permusuhan dan konflik bersifat SARA.

BAB IV KESIMPULAN

Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Selain harus mengawal UU No.12 Tahun 2006 tersebut beserta seluruh peraturan-peraturan turunannya, menurut saya, kita perlu segera melakukan pembauran besar -besaran. Terutama di bidang pendidikan dan ekonomi. Tujuannya untuk mendorong tumbuhnya interaksi kultural secara massif sehingga asimilasi akan berlangsung mulus dan alami. Menurut saya strategi ini akan berdampak luar biasa, bukan sekedar dibidang sosial saja seperti terwujudnya asimilasi yang meluas, alami dan kokoh. Dibidang ekonomi akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional yang dahsyat karena kelompok -kelompok kekuatan ekonomi kita menyatu menjadi kekuatan besar. Dibidang politik, seketika itu pula kita akan terhi ndar dari ancaman ledakan kerusuhan sosial yang mengancam persatuan bangsa, seperti selama ini sering terjadi. Menurut saya ini adalah tugas konstitusional yang wajib kita la ksanakan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan kebangsaan. Selain itu dapat disimpulkan bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia bila dihubungkan dengan nasionalisme kita harus melihat jauh ke belakang, perlu kita ingat 4 orang dari anggota BPUPKI merupakan etnis Tionghoa, banyak juga pejuang reformasi kita yang berasal dari etnis Tionghoa. Jadi Mari kita berkomitmen untuk mempelopori persatuan dan kesatuan untuk bangsa kita tidak hanya untuk etnis-etnis tertentu tetapi secara satu keutuhan bangsa.

BAB V PENUTUP

Demikianlah karya tulis yang telah saya buat sebagai dasar penilaian UTS pada hari Selasa, 31 Mei 2011. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Apabila ada kesalahan penulisan mohon dimaafkan. Segala sumber yang saya ambil dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya meskipun beberapa buku yang saya ambil sebagai bahan merupakan buku dan majalah keluaran tahun lama . Terima kasih sebesar-besarnya untuk kesediaan Bapak dalam membaca karya tulis yang telah saya sajikan ini.

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

Purdey, Jemma (2006). Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999. Singapura: Singapore University Press. Wibowo, Ignatius dan Thung Ju Lan (2010). Setelah Air Mata Kering. Jakarta: Kompas. Suryadinata, Leo (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES. Suryadinata, Leo (2010). Etnis Tionghoa dan Nasionalisme . Jakarta: Kompas. Anggraeni, Dewi (2010). Mereka Bilang Aku China . Yogyakarta: Bentang Pustaka. Oetomo, Dede (2000). Rekayasa Orde Baru. Majalah Tempo 20 Oktober 2000. Jakarta : Tempo. Suryadinata, Leo, E.N. Arifin dan A. Ananta (2003). Indonesias Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Lombard, Dennis (1996). Nusa Jawa. Jakarta: Gramedia. Wang Lei Fan (2010). Soekarno dan Tionghoa. Koran Mandarin Guo Ji Ri Bao ( ) 12 November 2010. Surabaya: Jawa Pos. Dr. Wong Chin Na, SE, ME, Ak, MBA (2006). Akar Masalah Sentimen Anti China. From: http://iccsg.wordpress.com/2006/01/27/akar -masalahsentimen-anti-cina-dr-wong-chin-na-seakmba/. Diunduh tanggal 28 Mei 2011 pukul 21:40. F.R. Wulandari (2006). Perilaku Ekonomi Etnis China di Indonesia sejak Tahun1930 . From : http://iccsg.wordpress.com/2006/01/23/perilaku -ekonimietnis-cina-di-indonesia-sejak-tahun-1930-an-fr-wulandari/. Diunduh tanggal 28 Mei 2011 pukul 23:23.

RP (2011). Istilah Tiongkok, Tionghoa, China, Chinese, dan Cina. From : http://iccsg.wordpress.com/2011/04/06/istilah tiongkok-tionghoa-china-chinese-dan-cina/. Diunduh tanggal 29 Mei 2011 pukul 00:53. RP (2007). Seputar Kebangkitan Organisasi Tionghoa . From: http://iccsg.wordpress.com/2007/09/03/seputar -kebangkitanorganisasi-tionghoa/. Diunduh tanggal 29 Mei 2011 pukul 02:19.

Anda mungkin juga menyukai