Anda di halaman 1dari 12

BRONKOPNEUMONIA

Pendahuluan Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut, biasanya disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi sebagian dari salah satu atau kedua paru. Sedangkan bronkopneumonia merupakan peradangan pada paru dimana proses peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal. Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru. Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita bronkopneumoniaberulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen juga memacu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna. Etiologi Bronkopneumonia lebih sering ditimbulkan oleh invasi bakteri. Bakteribakteri ini menginvasi paru melalui 2 jalur, yaitu dengan : 1. Inhalasi melalui jalur trakeobronkial. 2. Sistemik melalui arteri-arteri pulmoner dan bronkial. Bakteri-bakteri yang sering menyebabkan ataupun didapatkan pada kasus bronkopneumonia adalah : Bakteri gram positif 1. Pneumococcus 2. Staphylococcus aureus 3. Streptococcus hemolyticus

Bakteri gram negatif 1. Haemophilus influenzae 2. Klebsiella pneumonia Masing-masing bakteri tersebut menyebabkan bronkopneumonia melalui berbagai mekanisme yang berbeda. Bakteri Gram Positif 1. Pneumococcus Merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan yang bertanggung jawab atas lebih dari 90% kasus bronkopneumonia pada masa kanak-kanak. Pneumococcus jarang yang menyebabkan infeksi primer, biasanya menimbulkan peradangan pada paru setelah adanya infeksi atau kerusakan oleh virus atau zat kimia pada saluran pernafasan. Angka kejadiannya meningkat atau paling sering terjadi pada akhir musim dingin dan awal musim semi. Insidens tertinggi pada masa kanak-kanak usia 4 tahun pertama kehidupan. Hal ini mungkin disebabkan oleh penyebarannya yang cenderung meningkat di dalam suatu populasi yang relatif tertutup (seperti taman kanak-kanak, rumah penitipan anak). a. Patofisiologi Organisme ini teraspirasi ke bagian tepi paru dari saluran nafas bagian atas atau nasofaring. Awalnya terjadi edema reaktif yang mendukung multiplikasi organisme-organisme ini serta penyebarannya ke bagian paru lain yang berdekatan. Umumnya bakteri ini mencapai alveoli melalui percikan mukusatau saliva dan tersering mengenai lobus bagian bawah paru karena adanya efek gravitasi. Organisme ini setelah mencapai alveoli akan menimbulkan respon yang khas yang terdiri dari 4 tahap yang berurutan, yaitu : 1) Kongesti (4 s/d 12 jam pertama) Eksudat serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor. 2) Hepatisasi merah (48 jam berikutnya) Paru-paru tampak merah dan bergranula karena sel-sel darah merah, fibrin dan lekosit polimorfonuklear mengisi alveoli.

3) Hepatisasi kelabu (3 s/d 8 hari) Paru-paru tampak kelabu karena lekosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang terserang. 4) Resolusi (7 s/d 11 hari) Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada strukturnya semula. Bercak-bercak infiltrat yang terbentuk adalah bercakbercak yang difus, mengikuti pembagian dan penyebaran bronkus dan ditandai dengan adanya daerah-daerah konsolidasi terbatas yang mengelilingi saluran-saluran nafas yang lebih kecil. b. Gambaran Klinis Biasanya didahului dengan adanya infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Pada bayi bisa disertai dengan hidung tersumbat, rewel serta nafsu makan yang menurun. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39oC atau lebih. Anak sangat gelisah, dispnea. Kesukaran bernafas yang disertai adanya sianosis di sekitar mulut dan hidung. Tanda kesukaran bernafas ini dapat berupa bentuk nafas berbunyi (ronki dan friction rub di atas jaringan yang terserang), pernafasan cuping hidung, retraksi-retraksi pada daerah supraklavikuler, interkostal dan subkostal. Pada awalnya batuk jarang ditemukan, tapi dapat dijumpai pada perjalanan penyakit lebih lanjut serta sputum yang berwarna seperti karat. Lebih lanjut lagi bisa terjadi efusi pleura dan empiema, sehingga perlu dilakukantorasentesis sesegera mungkin. Hasil pemeriksaan fisik tergantung dari luas daerah yang terkena. Pada perkusi bisa ditemukan adanya suara redup yang terlokalisasi. Pada auskultasi mungkin ditemukan adanya ronki basah halus ataupun adanya suara-suara pernafasan yang melemah. Tanpa pengobatan biasanya penyembuhan dapat terjadi sesudah 2 3 minggu. c. Diagnosis Biasanya jumlah lekosit meningkat mencapai 15.000 40.000/mmk dengan jumlah sel polimorfonuklear terbanyak, sedangkan bila didapatkan jumlah lekosit kurang dari 5.000/mmk sering berhubungan dengan prognose penyakit yang buruk. Nilai hemoglobin bisa normal atau sedikit menurun.

Pemeriksaan sputum harus didapatkan dari sekresi batuk dalam dan aspirasi trakea yang dilakukan dengan hati-hati. Jenis pemeriksaan berupa pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan biakan. Selain itu biakan juga bisa didapatkan dari darah atau dari cairan pleura yangdidapatkan dengan melakukan torasentesis. Gambaran radiologis dapat berupa adanya bercak-bercakinfiltrat pada satu atau beberapa kasus. Sangat penting untuk mendapatkan gambaran radiologis dari resolusi sempurna, 34 minggu setelah semua gejala menghilang. Apabila respon klinis yang diberikan penderita lambat, maka terdapat indikasi untuk membuat serangkaian rontgenogram. d. Penatalaksanaan Penisilin merupakan terapi yang spesifik karena kebanyakan pneumococcussangat peka terhadap obat tersebut. Pada bayi dan anak-anak, pengobatan awal dimulai dengan pemberian penisilin G dengan dosis 50.000 unit/kgBB/hari secara intramuskular tanpa penyulit. Terapi ini dilanjutkan sampai 10 hari atau paling tidak sampai 2 hari setelah suhu badan pasien normal. Bila didapatkan penderita alergi penisilin maka diberikan sefalosporin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari. Asupan cairan per oral secara bebas dan pemberian aspirin untuk mengatasidemam tinggi, merupakan tambahan utama untuk pengobatan penyakit ini. Pemberian oksigen segera untuk penderita dengan kesukaran bernafas sebelum menjadi sianosis. Indikasi pemberian vaksin polivalen pneumococcus polisakarida bermanfaat pada populasi penderita tertentu, misalnya penderita dengan anemia sel sabit. e. Prognosis Dengan pemberian antibiotika yang memadai dan dimulai secara dini pada perjalanan penyakit tersebut, maka mortalitas bronkopneumonia akibat bakteri pneumococcus selama masa bayi dan masa kanak-kanak sekarang menjadi kurang dari 1% dan selanjutnya morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. 2. Staphylococcus aureus Infeksi yang disebabkan oleh organisme ini merupakan infeksi berat yang cepat menjadi progresif dan resisten terhadap pengobatan, serta bila tidak segera

diobati

dengan

semestinya dan

akan

berhubungan angka

dengan

kesakitan tinggi.

yang

berkepanjangan

mempunyai

mortalitas

Penyakit

bronkopneumonia akibat organisme ini jarang ditemukan. Sepeti pada infeksi pneumococcus, infeksi staphylococcus ini sering didahului dengan infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas. Pada umumnya terjadi pada setiap umur, 30% dari semua penderita berumur di bawah 3 bulan dan 70% berumur di bawah 1 tahun. Epidemi penyakit ini terjadi di dalam ruang perawatan bayi, biasanya berhubungan dengan strain-strain organisme patologis spesifik, yang biasanya resisten terhadap berbagai antibiotika. Bayi akan memperlihatkan penyakit dalam beberapa hari setelah dikolonisasi atau setelah beberapa minggu kemudian. Infeksi virus pada saluran pernafasan memegang peranan penting dalam memajukan penyebaran staphylococcus, di antara bayi-bayi dan dalam mengubah kolonisasi menjadi penyakit. a. Patofisiologi Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam toksin dan enzim misalnya hemolisin, lekosidin, stafilokinase dan koagulase. Koagulase akan mengadakan interaksi dengan suatu faktor plasmauntuk menghasilkan suatu zat aktif yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin dan selanjutnya menyebabkan pembentukan koagulan. Bronkopneumonia akibat organisme ini bersifat unilateral atau lebih menonjol pada satu sisi dibandingkan dengan sisi yang lain. Ditandai dengan daerah-daerah luas yang mengalami nekrosis perdarahan serta daerah-daerah pembentukan rongga-rongga yang tidak beraturan. Permukaan pleura biasanya diselubungi oleh lapisan eksudat fibropurulen tebal, sehingga menimbulkan abses yang mengandung koloni staphylococcus, lekosit, eritrosit dan debris nekrosis. Bila abses ini pecah maka dapat terbentuk trombus-trombus sepsis pada daerahdaerah yang mengalami kerusakan dan peradangan luas. b. Gambaran Klinis Adanya riwayat lesi-lesi kulit penderita atau anggota keluarga lain yang disebabkan oleh staphylococcus disertai gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas atau bawah selama beberapa hari sampau 1 minggu. Penderita mengalami demam bersuhu tinggi, batuk dan tanda kesukaran pernafasan seperti

takipneu, suara pernafasan yang menungkat, retraksi dada dan subkostal, nafas cuping hidung, sianosis dan kecemasan. Pada beberapa penderita dapat mengalami gangguan saluran cerna yang ditandai dengan muntah-muntah, anoreksia, diare serta distensi abdomen. Pemeriksaan fisik pada awal perjalanan penyakit, suarasuarapernafasan yang menurun, ronkhi yang tersebar dan suara-suara pernafasan bronkhial. Bila terjadi efusi atau empiema, pada perkusi didapatkan suara redup serta getaran-getaran suara yang berkurang pada auskultasi. c. Diagnosis Diagnosis pasti dengan didapatkan adanya lekositosis terutamasel-sel polimorfonuklear, sedangkan bila didapatkan lekopeni makaprognosisnya buruk. Biakan didapatkan dari aspirasi trakea atau sadapan pleura. Pada cairan pleura menunjukkan adanya eksudat dengan jumlah sel-sel polimorfonuklear berkisar dari 300 sampai 100.000/mmk, protein di atas 2,5 g/dl dan kadar glukosa rendah yang relatif sama dengan kadar glukosa dalam darah. Gambaran radiologis berupa bercak-bercak dan terbatas dalam perluasannya dan melibatkan seluruh lobus paru. Perkembangan dari bronkopneumonia menjadi efusi atau empiema sangat mengarahkan petunjuk pada suatu pneumonia staphylococcus. d. Penatalaksanaan Terapi pilihan yaitu dengan pemberian methisilin dengan dosis 50 70 mg/kgBB/6 jam secara intravena. Bila dari biakan didapatkan staphylococcus positif maka methicilin dihentikan, kemudian diberikan penisilin G dengan dosis 25.000-50.000 unit/kgBB/6 jam secara intravena. Cefuroxime diberikan sebagai obat tunggal efektif untuk bronkopneumonia dengan dosis 75 mg/kgBB/hari. Selain itu bisa pula dilakukan drainase pus yang terkumpul, pemberian oksigen disertai posisi penderita setengah miring untuk mengurangi sianosis dan kecemasan. Bila paru sudah mulai mengembang, maka pipa-pipa drainase bisa dilepaskan. Hal ini dikarenakan pipa-pipa tersebut tidak boleh berada di dalam rongga toraks lebih dari 5-7 hari. e. Prognosis Angka kesembuhan penderita mengalami kemajuan besar dengan penatalaksanaan sekarang, angka mortalitas berkisar dari 10-30% dan bervariasi

dengan lamanya sakit yang dialami sebelum penderita dirawat, umur penderita, pengobatan yang memadai serta adanya penyakit yang menyertai. Semua penderita dengan hasil biakan staphylococcus yang positif sebaiknya harus diuji terhadap kemungkinan fibrosis kistik dan terhadap penyakit defisiensi imunologis. 3. Streptococcus hemolyticus Streptococcus grup A paling sering mengakibatkan infeksi traktus respiratoriusbagian atas, tapi kadang juga dapat menimbulkan infeksi ke daerahdaerah lain tubuh termasuk traktus respiratorius bagian bawah. Penyakit ini paling sering ditemukan pada anak berumur 3-5 tahun dan jarang dijumpai pada bayi-bayi. Penyakit ini sering timbul dengan dipermudah oleh adanya infeksi-infeksi virus terutama eksantema-eksantema dan influenza epidemis. a. Patofisiologi Infeksi traktus respiratorius akibat bakteri ini menimbulkan terjadinya trakeitis, bronkiolitis yang selanjutnya menjadi bronkopneumonia. Lesi-lesi terjadi pada mukosa trakeobronkial menjadi nekrosis disertai dengan pembentukan ulkusulkus yang tidak beraturan dan adanya sejumlah besar eksudat, edema dan perdarahan yang terisolasi. Proses ini kemudian menyebar luas ke sekat-sekat antar alveolus dan pembuluh-pembuluh limfonodi, yang selanjutnya secara limfogen menyebar ke mediastinum dan hilus dan mencapaipermukaan pleura dan menjadi pleuritis. Eksudat ini kandungan fibrinnya lebih sedikit bila dibanding dengan eksudat yang diakibatkan oleh pneumococcus. b. Gambaran Klinis Gejala-gejala yang ditimbulkan hampir sama dengan bronkopneumonia oleh pneumococcus. Awalnya terjadi secara tiba-tiba yang ditandai demam tinggi, menggigil, tanda-tanda kesukaran bernafas serta kadang-kadang adanya kelemahan badan c. Diagnosis Adanya lekositosis seperti pada kasus pneumococcus. Selain ituditegakkan dari kenaikan titer antistreptolisin serum. Biakan bakteri ini positif didapatkan dari hapusan tenggorokan, sekresi nasofaring, tapi yang lebih positif lagi ditemukannya bakteri ini dalam cairan pleura, darah atau dari cairan aspirasi paru.

Pada gambaran radiologis didapatkan bronkopneumonia difusyang disertai efusi pleura yang luas, kaang bisa terlihat suatu adenopati di daerah hilus paru-paru. d. Penatalaksanaan Obat pilihan yang diberikan adalah penisilin G dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari. Awal pemberiannya secara parenteral, kemudian disempurnakan dengan pemberian oral selama 2-3 minggu setelah terlihat adanya kemajuan klinis. Cefuroxime bisa diberikan sebelum kultur bakteri dilakukan dengan dosis 75 mg/kgBB/hari, ini merupakan terapi yang efektif dan sebaiknya dilanjutkan selama 10 hari. Bila pada penderita sudah terjadi empiema, maka harus dilakukan torasentesis untuk tujuan penegakan diagnosa dan mengeluarkan cairan supaya paru-paru dapat kembali mengembang secara optimal. e. Prognosis Angka mortalitas dan morbiditas menurun setelah pengobatan dengan antibiotika yang sesuai segera diberikan. Selebihnya penyebaran penyakit selanjutnya jarang terjadi. Bakteri Gram Negatif 1. Haemophilus influenzae Infeksi yang serius akibat bakteri patogen ini lebih banyak ditemukan pada anak-anak dan sangat berhubungan dengan adanya riwayat meningitis,otitis media, infeksi traktus respiratorius dan epiglotitis. Organisme patogen yang sering ditemukan adalah Haemophilus influenzae tipe B dan termasuk bakteri gram negatif. a. Patofisiologi Penyebaran dari infeksi di tempat lain adalah secara hematogen. Daerah yang terinfeksi memperlihatkan adanya reaksi peradangan dengan sel-sel lekosit polimorfonuklear ataupun sel-sel limfosit disertai dengan penghancuran sel-sel epitel bronkiolus secara meluas. Peradangan ini selanjutnya menimbulkan edema yang disertai dengan perdarahan. b. Gambaran Klinis Gejala klinis yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan gambaran klinis yang diakibatkan oleh pneumococcus. Batuk hampir selalu dijumpai tapi mungkin

tidak produktif. Pada penderita di sini juga dijumpai adanya demam serta tanda kesukaran bernafas. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan suara redup yang terlokalisasi saat perkusi serta adanya suara pernafasan yang tubuler saat auskultasi. c. Diagnosis Adanya biakan bakteri ini yang memberikan arti positif. Kultur didapatkan dari darah, cairan pleura maupun dari aspirasi paru yang memperlihatkan adanya lekositosis sedang disertai dengan limfopeniarelatif. Selain itu bisa pula dengan pemeriksaan elektroforesis imunologis berlawanan (counter immunoelectrophoresis) pada sekresi-sekresi trakea, darah, air kemih dan cairan pleura untuk menegakkan diagnosis lebih dini. d. Penatalaksanaan Obat antibiotika pilihan adalah kloramfenikol dengan dosis 100 mg/kgBB/hari. Pemberian kloramfenikol ini dikatakan efektif karena obat sangat aktif mengatasi hasil produksi bakteri ini yaitu berupa beta laktamase dan tidak menimbulkan efek pada cairan serebrospinal serta memberikan efek bakterisidal yang lebih bagus dibanding dengan ampicillin atau cefomandole. e. Prognosis Bila respon awal terhadap pengobatan baik maka diharapkan bakteri penyebab akan melemah dan tidak mampu lagi menyebar terlalu jauh. Namun apabila terdapat penyakit penyerta seperti bakteremia, empiema maka hal tersebut akan memperburuk prognosisnya. 2. Klebsiella pneumoniae Organisme ini termasuk gram negatif yang ditemukan pada traktus respiratorius dan traktus gastrointestinal pada beberapa anak sehat. Organisme ini jarang menimbulkan infeksi pada anak-anak. Infeksi akibat Klebsiella pneumoniae ini bisa timbul sebagai kasus sporadis pada neonatus. Banyak bayi mengandung organisme ini dalam nasofaring mereka tanpa memperlihatkan adanya tanda-tanda sakit klinis hanya sesekali saja seorang bayi mengalami sakit berat. Bahan-bahan yang menyebarkan infeksi sehingga menularkan adalah peralatan yang dipakai di dalam ruang pemeliharaan bayidan alat pelembab udara sebagai sumber-sumber utama infeksi nosokomial dengan organisme tersebut.

a. Patofisiologi Infeksi nosokomial yang timbul dari aspirasi orofaringeal. Bakteri ini memasuki alveoli melalui peralatan yang dipakai dengan kecenderungan merusak dinding alveolar. Daerah yang terinfeksi benar-benar mengalami nekrosis disertai dengan adanya sejumlah pus yang banyak dan bahkan jaringan setempat sudah fibrosis. b. Gambaran Klinis Keadaan pasien akibat infeksi Klebsiella pneumoniae ini adalah kekakuan yang multipel pada onset yang mendadak, demam, batuk yang produktif, nyeri pleuritis dan kelemahan yang tiba-tiba, serta dapat terjadi hemoptisis. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya suara redup saat perkusi dan adanya ronki basah kasar saat auskultasi akibat banyaknya sekresi pus pada kavitas paru. c. Diagnosis Ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis dengan gambaran adanya infiltrasi pada lobus paru dan pleura-pleura yang menonjol. Kultur bakteri yang positif didapatkan dari darah, pus di trakea serta hasil aspirasi paru. d. Penatalaksanaan Penggunaan antibiotik baru berupa sefalosporin generasi ketiga sangat dianjurkan karena obat ini terbukti efektif dalam melawan bakteri ini. Kanamisin merupakan obat pilihan yang digunakan pada neonatus. dosis yang digunakan 1520 mg/kgBB/hari IM setiap 8 jam selama minimal 10-14 hari. Terapi yang diperpanjang diindikasikan untuk penyebaran infeksi pada kavitas paru. Bila sudah terdapat empiema, drainase perlu dilakukan untuk fungsi pengembangan parunya (Rahmawati dan Kurniawati, 2007). Anisa Rahmawati (2006) & Andika Dessy Kurniawati (2007) http://72.14.235.132/search?q=cache:ZL8wu9Rnn7EJ:fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php%3FattId%3D1494%26page %3DAktifitas+bronkopneumonia&hl=en&ct=clnk&cd=2 HIPOALBUMINEMIA

Pendahuluan Albumin merupakan protein serum dengan jumlah paling besar memiliki beberapa fungsi penting : 1. Albumin menjaga tekanan onkotik koloid plasma sebesar 75-80 % dan merupakan 50 % dari seluruh protein tubuh. Jika protein plasma khususnya albumin tidak dapat lagi menjaga tekanan osmotic koloid akan terjadi ketidakseimbangan tekanan hidrostatik yang akan menyebabkan terjadinya edema 2. Albumin berfungsi sebagai transport berbagai macam substasi termasuk bilirubin, asam lemak, logam, ion, hormone, dan obat-obatan. Salah satu konsekuensi dari hipoalbumin adalah obat yang seharusnya berikatan dengan protein akan berkurang, di lain pihak obat yang tidak berikatan akan meningkat, hal ini akan meningkatkan kadar obat dalam darah. 3. Perubahan pada albumin akan menyebabkan gangguan fungsi platelet Kadar normal albumin dalam darah antara 3,5-4,5 g/dl, dengan jumlah total 300-500 g. sintesis terjadi hanya di sel hati dengan produksi sekitar 15 g/ hari pada orang sehat, tetapi jumlah yang dihasilkan bervariasi signifikan pada berbagai tipe stress fisiologis. Waktu paruh albumin sekitar 20 hari, dengan kecepatan degradasi 4 % per hari. Hipoalbumin merupakan suatu kondisi dimana kadar albumindalam serum darah rendah. Hipoalbuminemia merupakan masalah yang sering dihadapi pada orang dengan kondisi medis akut atau kronik. Pada saat masuk rumah sakit sekitar 20 % pasien sudah menderita. Kadar albumin darah yang rendah menjadi prediktor penting berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas. Pada penelitian metaanalisis didapatkan setiap penurunan albumin darah sebesar 10 g/L, angka mortalitas meningkat 137 % dan morbiditas 89% Etiologi Hipoalbuminemia dapat disebabkan oleh penurunan produksi albumin, sintesis yag tidak efektif karena kerusakan sel hati, kekurangan intake protein,

peningkatan pengeluaran albumin karena penyakit lainnya, dan inflamasi akut maupun kronis. 1. Malnutrisi protein Asam amino diperlukan dalam sintesa albumin, akibat dari defesiensi intake protein terjadi kerusakan pada reticulum endoplasma sel yang berpengaruh pada sintesis albumin dalan sel hati. 2. Sintesis yang tidak efektif Pada pasien dengan sirosis hepatis terjadi penurunan sintesis albumin karena berkurangnya jumlah sel hati. Selain itu terjadi penurunan aliran darah portal ke hati yang menyebabkan maldistribusi nutrisi dan oksigen ke hati. 3. Kehilangan protein ekstravaskular Kehilangan protein masiv pada penderita sindrom nefrotik. Dapat terjadi kebocoran protein 3,5 gram dalam 24 jam. Kehilangan albumin juga dapat terjadi pada pasien dengan luka bakar yang luas. 4. Hemodilusi Pada pasien ascites, terjadi peningkatan cairan tubuh mengakibatkan penurunan kadar albumin walaupun sintesis albumin normal atau meningkat. Bisanya terjadi pada pasien sirosis hepatis dengan ascites 5. Inflamasi akut dan kronis Kada albumin rendah karena inflamasi akut dan akan menjadi normal dalam beberapa minggu setelah inflamasi hilang. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, bedah, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalui mekanisme berikut: 1. Peningkatan permeabilitas vascular (mengijinkan albumin untuk berdifusi ke ruang ekstravaskular) 2. Peningkatan degradasi albumin 3. Penurunan sintesis albumin (TNF-? yang berperan dalam penuruanan trankripsi gen albumin)

Anda mungkin juga menyukai