Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kalimantan Timur dengan luas 245.237 km2, merupakan salah satu propinsi terkaya di Indonesia yang menjadi tumpuan pembangunan nasional sampai sekarang. Kekayaan Kalimantan Timur dapat dilihat dari sumber daya mineral dan energi dimiliki seperti: cadangan minyak sebesar 1,17 juta MMSTB, Gas bumi 48.680 BSCF, Emas hitam (batubara) 6,45 milyar ton dan emas 60,50 juta ton. Untuk sumber daya hutan, Kalimantan Timur mempunyai 14,67 juta ha, meliputi kawasan hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi serta hutan tropika basah terbesar setelah Brazil. Untuk kawasan budidaya non kehutanan seluas 5,24 juta ha, berupa perkebunan seluas 4,7 juta ha, (4,09 juta ha untuk kelapa sawit dan 0,61 juta ha untuk komoditas perkebunan lain. Potensi perairan meliputi perairan laut seluas 98 ribu km2 dan potensi perairan umum seluas 2,28 juta ha, dengan hasil perikanan rata-rata 350 ribu ton pertahun. Di Kalimantan Timur, permasalahan perlindungan dan lingkungan hidup seolaholah dibiarkan berjalan ditempat, tanpa upaya yang jelas, kampaye, program sudah direncanankan seperti Kalimantan Timur Hijau , namun hanya dalam pada tataran konsep dan wacana. Disisi lain intensitas ijin-ijin baru kuasa pertambangan dan ijin perkebunan itu sendiri menjadi prioritas dalam membangun Kalimantan Timur.

Tidak sedikit jumlah masyarakat sekitar yang menjadi korban atau mengalami kerugian yang justru terpaksa harus ditanggung oleh mereka tanpa ada kompensasi yang sebanding. Contoh di kota Samarinda, sumur-sumur menganga bekas tambang tanpa adanya reklamasi di Sebulu, limbah-limbah tambang yang mencemari sumur mereka di desa Makoman Samarinda, Adanya perangkat baru Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, seyogyanya dengan semangat otonomi daerah dalam penyelenggaran pemerintahan lebih mengedepenkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi setiap warga Negara. Eksploitasi sumber daya alam berupa hutan, sebagai jalan pintas telah dimulai sejak Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan. Penebangan secara massif terhadap hutan alam Kalimantan Timur, pada tahun 1962-1982 dengan istilah banjir kap yaitu sistem penebangan yang sistematis seluruh wilayah Kalimantan Timur, dengan sentra alat transportasi utama Sungai Mahakam sebagai lalu lintas kayu-kayu hutan Kalimantan ini diangkut ke Jawa, Sulawesi, hingga Malayasia, Cina, dan Jepang. Menginjak tahun 1990, luas areal hutan semakin habis, industri perkayuan mengalami kebangkuratan dan terjadi PHK besar-besaran. Laju kerusakan hutan di Indonesia sudah dalam tingkat sangat mengkhawatirkan. Dengan penggundulan hutan seluas 2,5 sampai 3,8 juta hektar pertahun diperkirakan pada tahun 2020 pulau Sumatra dan Kalimantan akan kehilangan hutannya. Di Tengarai pada tahun 2013 pulau Jawa akan menjadi padang pasir (Suparto Wijoyo; 2005).

Namun eksploitasi sumber daya alam Kalimantan Timur belum selesai, setelah hutan habis, kini bergeser pertambangan emas hitam (emas hitam (batubara)). Sudah ada 33 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ijinnya dari Pemerintah Pusat dan 1.212 Kuasa Pertambangan (KP) diterbitkan Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Data Dinas Pertambangan Propinsi Kalimantan Timur, Maret 2009). Berlakunya otonomi daerah, menjadi pintu awal dimulainya suatu usaha untuk meningkatkan kesejahtaraan daerah atas nama rakyat dengan mengluarkan ijin-ijin KP oleh pajabat local setempat. Korporasi local dan internasional telah mengkapling tanah-tanah, hutan, untuk usaha pertambangan. Sebagai perbandingan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Propinsi Kalimantan Timur tahun 2005-2025, disebutkan percadangan lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura seluas 2,49 juta hektar. Justru 3,12 juta hektar lahan dirubah menjadi konsesi tambang dengan perijinan KP. Ini hampir sama luasnya dengan Kalimantan Selatan. Perkembangan eksploitasi bahan-bahan tambang di Indonesia, berhubungan dengan arah ekonomi dan politik Negara-negara imperialis. Perubahan sistem ekonomi dari tanam paksa ke sistem kolonisis liberal, yang diterapkan Belanda pada abad 19. Sehingga memaksa Belanda mengubah kebijakan-kebijakan politiknya, yakni mengundang modal asing berinvestasi sebagai upaya pemulihan ekonomi Hindia Belanda. Eksploitasi dimulai dengan pendirian sebuah perusahaan bernama Biliton (Billiton Belitung, Pengeran Hendrik, saudara muda Raja William III, keluarga besar kerajaan Belanda). Dengan memperoleh ijin konsesi selama 40 tahun untuk mengeruk timah di Belitung. Sebelumnya untuk eksploitasi pertambangan dimulai pertama kali dilakukan

oleh Tambang Telaga said, sebagai tambang minyak pertama yang ditemukan di Indonesia tahun 1892. Penemuan itu dikuti dengan penjualan Telaga Said kepada Royal Ducth. Pada masa Soekarno, dengan Perpu tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda, yang ada di Indonesia (Undang-undang No.86 Tahun 1958). Melakukan kebijakan nasionalisasi seluruh sektor yang pernah dikuasai Belanda. Langka ini sekarang yang ditiru dan berhasil dilakukan oleh Negara Bolivia dalam mengakhir kolonalisasi pertambangan dinegerinya. Masa orde baru, konsesi pertambangan mineral, dimulai sebelum ada Undangundang pertambangan. Bulan April tahun 1967, kontrak karya generasi pertama ditandatangi dengan PT Freeport. Setelah itu keluar Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang Pertambangan Umum, dan sekarang diganti dengan Undang-undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Sejak itu, boleh dikatakan pemerintah kita telah memberi peluang muncul kolonialisasi pertambangan. Pada akhirnya kerjaan pemerintah hanya mengeluarkan ijin, tanpa sungguhsungguh membangun industri tambang yang mandiri dan terintregasi dari hulu dan hilir. ini benar-benar kebijakan yang keliru, yang menjerumuskan anak bangsa ini terjajah secara sumber daya alam. Sebagai fakta, pada tahun 2005, ada sekitar 840 ijin Pertambangan Kontrak Karya, yang melibatkan perusahaan asing, hingga Kuasa pertambangan

milik pengusaha nasional. Luas areal yang diserahkan pemerintah mencapai 23% dari luas daratan Indonesia. Tahun 2006, sedikitnya ada 2.559 perijinan kuasa pertambangan dikeluarkan pemeirntah, ini belum termasuk ijin yang dikeluaran oleh pemerintah daerah pasca otonomi daerah tahun 1999 ( Jatam, 2009).

Bagaimana dengan Kalimantan Timur, kini sudah ada 33 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ijinnya dari Pemerintah Pusat dan 1.212 Kuasa Pertambangan (KP) diterbitkan Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Data Dinas Pertambangan Propinsi Kalimantan Timur, Maret 2009). Bencana alam, kerusakan, percemaran dan hilangnya sumber daya alam yang begitu cepat serta kemudian berganti menjadi petaka, membuat suatu perubahan besar dalam strategi perubahan dalam memandang lingkungan hidup di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah Paper yang saya tulis ini mencoba melakukan analisa yuridis normatif tentang perundang-undangan yang mengatur Perizinan Kuasa Pertambangan Emas Hitam pada Kawasan Hutan Konservasi di Kalimantan Timur.

BAB II PEMBAHASAN MASALAH

Kontribusi migas dan emas hitam (batubara) pada struktur produk domistik regional bruto (PDRB) Kalimantan Timur pada tahun 2010 mencapai 54 persen dengan serapan tenaga kerja 5,6 persen saja. Sementara sektor pertanian memberi kontrubusi hanya 6,4 persen, namun serapan tenaga kerjanya mencapai 44 persen, karenanya revitalisasi pertanian ini harus didukung semua pihak demi mengurangi angka pengangguran diKalimantan Timur. Hal ini perlu mendapat perhatian semua pihak diKalimantan Timur dalam upaya mendayagunakan semua potensi SDA yang ada, terutama dalam pengelolan SDA berupa batu bara atau emas hitam. Sudah saatnya emas hitam itu memberi berkah bukan bencana bagi kesejahteraan Kalimantan Timur kedepan. Bila dilihat dari aspek ekonomi, emas hitam (batubara) hanya menyumbang 22% dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Timur, sepanjang 2009 lalu, komoditas ini memberi Rp 62, 9 triliun dari Rp 281,4 triliun. Untuk tenaga kerja hanya 17,2% (data BPS). Dengan demikian semua SDA ada diKalimantan Timur, dikupas habis sampai perut bumi, namun apa yang kita dapat, masyarakat Kalimantan Timur tetap miskin, Masyarakat local dipinggirkan, dan bencana menjadi bagian hidup kita.

Di sisi lain dengan kaya energi yang kita punya tidak serta merta menjamin Kalimantan Timur bebas dari pemadaman listik. PLN di Kalimantan Timur seperti kata pepata, hidup segan, mati tak mau. Ironis memang emas hitam (batubara) tersedia hampir 115 juta mentrik ton pertahun, tidak satu pun untuk pembangkit PLN Kalimantan Timur. Dari data Distamben Kalimantan Timur tahun 2010, diketahui bahwa hampir 80% batu bara diekspor ke Thailand, Jepang, dan Tiongkok. Dilihat dari sejarah, SDA Kalimantan Timur berupa minyak bumi dan gas Kalimantan Timur sudah diekspoiltasi sebelum Indonesia sebelum merdeka, kemudian pesta kayu dengan tebang habis dimulai tahun 1970, kemudian pada tahun 2000 dengan pesta emas hitam di bumi etam. Selama 10 tahun terakhir emas hitam telah menjadi tumpuan dan kebanggaan Kalimantan Timur, bahkan Kota samarinda telah menjadi kota tambang, hampir semua wilayahnya ada ijin kuasa pertambangan (KP). Kerusakan hutan dan pencemaran yang terus menerus akan membawa kemampuan kapasitas daya dukung dan daya kapasitas akan lingkungan tidak mampu menyangga keberadaan alam . Secara perlahan tapi pasti Kalimantan Timur yang terus digali emas hitamnya akan terbenam dalam suatu bencana ekologi pertambangan dan lingkungan hidup. Perubahan UNDANG-UNDANG No. 23 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup menjadi UNDANG-UNDANG No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup memberikan suatu dorongan dan semangat dalam merubah

pandangan terhadap lingkungan hidup. Memaknai lingkungan hidup yang tidak seimbang, atau

tidak sesuai dengan kapasitas daya dukung dan daya dampung, akan menyebabkan bencana buat kita semua, juga generasi yang akan datang. Makna hakiki secara filosofi, dan sosologis dengan terbitnya UNDANGUNDANG No.32 Tahun 2009, pertama bahwa Undang-undang telah menempatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai jaminan hak asasi warga Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UNDANG-UNDANGD 1945. Kedua pembangunan ekonomi yang sedang dilakukan harus benar-benar berprinsip pada pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Ketiga cara pandang adanya kesadaran bersama terhadap lingkungan yang semakin menurut kualitasnya, jadi perlu dilakukan komitmen bersama seluruh pemangku terhadap lingkungan hidup. Keempat otonomi daerah yang juga mempengaruhi dalam penyelenggaran pemerintah daerah, karena itu upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus ditekankan di daerah yang banyak mengabaikan lingkungan hidup . kelima ada kesadaran bersama bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim dan mengakibat penurunan dalam kualitas lingkungan dibumi ini, dan terakhir adanya jaminan dan kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagaian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem. Pasal 1 angka (2) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 mencantumkan defenisi limitative tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Pertambangan telah menjadi bencana sosial yang harus diwaspadai terhadap permasalah sosial yang dimasyarakat. Seperti di Kalimantan Timur, banyak pertambangan yang dilakukan diareal perumahan penduduk, yang berakibat pada akses jalan hancur, dan bila hujan terjadi banjir. Krisis pangan, karena lahan subur pertanian dikonsesi menjadi pertambangan dikertabuna Kukar, dan PT Kedeco Jaya Agung, usaha pertambangannya yang diduga menyalagunakan lahan pinjam pakai kawasan hutan cagar alam Adang di Paser. Tahun 1992, Konferensi PBB mengenai pembangunan dan lingkungan hidup United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) atau KTT Bumi 1992, telah menjadi tonggak sejarah bagi pengembangan kebijakan dan hukum lingkungan di tingkat internasional, nasional dan lokal. Indonesia sebagai salah negara dengan luasan hutan yang besar, tentu sangat penting bagi perekonomian dan pembangunan. Potensi sumber daya alam yang besar yang dimiliki Indonesia, berpengaruh terhadap peningkatan pemanfaatan sumber daya alam bagi kehidupan dan penghidupan, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan terhadap sumber daya alam yang ada dengan memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, sebagai komponen yang penting pada sistem penyangga kehidupan untuk penyerasi dan penyimbang lingkungan global, sehingga keterkaitan dunia internasional menjadi hal penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Menurut Emil Salim, ciri pokok pola Pembangunan berkelanjutan secara iksplisit ambang batas keberlanjutan dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung. Kegiatan pembangunan yang mengolah sumber daya alam dan sumber daya manusia terdapat suatu

ambang batas di dalam proses pembangunan berkelanjutan. Dalam proses ini banyak mengalami gangguan atau titik kritis seperti hutan yang dibabat terus-menerus, pasti akan habis dan menimbulkan bencana lingkungan berupa kerusakan hutan, keanekaragaman hayati yang hilang, tanah longsor, banjir, pencemaran, dan lain-lainnya). Dengan demikian konsep pembangunan berkelanjutan lingkungan yang udah diratifikasi harus diimplementasikan dalam aturan perUndang-undangan, sehingga untuk pengelolaan dan pendayagunana sumber daya alam akan selaras dengan daya dukung lingkungan yang ada. Pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya terdapat 2 (dua) titik ambang batas keberlanjutan yaitu: a. Ambang batas keberlanjutan lingkungan, ditentukan oleh batasan daya serap pencemaran oleh lingkungan alam satu sisi, dan batas pengelolan sumber daya alam tanpa kerusakan serta degradasi lingkungan; b. Ambang batas keberlanjutan sosial, ditentukan oleh batasan bagi terpeliharanya hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara manusia dengan sesama manusia, antara manusia dengan masyarakatnya, dan antara sesama kelompok sosial di dalam dan diluar negeri. . Kebijakan dalam pembangunan keberlanjutan lingkungan harus memperhatikan ambang batas di atas, yakni dengan melakukan studi kelayakan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau (AMDAL) yang diatur pada PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penataan ruang wilayah pembangunan. Dengan adanya Amdal ini akan bisa mengukur tingkat suatu proyek pembangunan itu sesuai dengan kelayakan lingkungan.

Seberapa besar dampak pembangunan dan dampak yang akan di timbulkan sesuai dengan ambang batas . Peningkatan eksploitasi sumber daya alam Kalimantan Timur dari hutan menjadi pertambangan emas hitam (batubara) telah membuat ijin pertambangan seakan dijual murah atau diobral . Kini sudah ada 33 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ijinnya dari Pemerintah Pusat dan 1.212 Kuasa Pertambangan (KP) diterbitkan Pemerintah Daerah di Kalimantan Timur (Data Dinas Pertambangan Propinsi Kalimantan Timur, Maret 2009). Berlakunya otonomi daerah, menjadi pintu awal dimulainya suatu usaha untuk meningkatkan kesejahtaraan daerah atas nama rakyat dengan mengeluarkan ijin-ijin KP oleh pajabat local setempat. Korporasi local dan internasional telah mengkapling tanah-tanah, hutan, untuk usaha pertambangan. Sebagai perbandingan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Propinsip Kalimantan Timur tahun 2005-2025, disebutkan percadangan lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura seluas 2,49 juta hektar. Justru 3,12 juta hektar lahan dirubah menjadi konsesi tambang dengan perijinan KP. Ini hampir sama luasnya Kalimantan Selatan. Diberitakan diKalimantan Timur pos,pada 7 agustus 2010, Total izin melebihi daratan Kalimantan Timur. Judul yang membuat saya tersentak, dan tidak berani membayangkan akan masa depan Kalimantan Timur terhadap bencana ekologi kedepan. Kalimantan Timur tempat saya hidup dan tingal telah tergadai atas nama izin. Menurut N.M. Spelt dan Ten. Berger, izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan Undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu

menyimpang dari ketentuan larangan perUndang-undangan. Ini berarti dapat ditafsirkan bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali dizinkan. Artinya kemungkinan untuk seseorang atau suatu pihak tertutup kecuali diizinkan oleh pemerintah. Melalui izin, pemerintah teerlibat dalam kegiatan warga Negara. Dalam hal ini pemerintah mengarahkan warganya melalui instrument yuridis berupa izin. Disisi lain kebijakan pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat, tidak berhenti pada satu tahap, melainkan melalui serangkaian kebijakan. Setelah izin diproses, masih dilakukan pengawasan, pemegang izin diwajibkan menyampaikan laporan secara berkala dan sebagimananya. Pemerintah melakukan pengendalian terhadap kegiatan masyarakat dengan menggunakan instrument perizinan. Dengan demikian izin dapat dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun ironis yang terjadi Kalimantan Timur, izin jadi biang petaka terhadap kasus-kasus lingkungan dan terjadinya bencana ekologi. Dalam kajian ekologi dan lingkungan hidup, pasal 26 UNDANG-UNDANG No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni: (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajiba memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki ijin lingkungan; (2) Ijin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagimana dimaksud dalam pasal 31 atau rekomendasi UKLUPL; (3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib mencantunkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL;

(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, guburnur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Ini jelas, seharusnya dalam mengeluarkan izin, yang harus diperhatikan izin lingkungan atas penguasan lahan, bukan luasan lahan. Ini penting demi daya dukung dan daya tampung lingkungan yang akan dikenai izin. Pasal 1 angka (7) Undang-undang nomor 32 tahun 2009 menyatakan Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung

perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya. Sedangkan pasal 1 angka (8) UUPPLH bahwa Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Pasal 1 butir 29 UNDANG-UNDANG No.32 Tahun 2009 Tentang PPLH, menyatakan ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritasi sistem alam dan lingkungan hidup. Untuk penetapan wilayah ekoregion, diatur pasal pasal 7 yang menyatakan: (1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordiniasi dengan instansi terkait; (2) Penetapan wilayah ekoregion dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan

mempertimbangkan kesamaan; a. Karekteristik bentang alam;

b. Daerah aliran sungai; c. Iklim; d. Flora dan fauna; e. Sosial budaya; f. Ekonomi; g. Kelembagaan masyarakat; dan h. Hasil inventarisasi lingkungan hidup. Ekoregion dalam konsep ini ditekankan pada upaya sinergi, intergral dalam menjalankan fungsi koordinasi, dan seminasi informasi sehingga menjadi lancar terhadap penanganan isu-isu lingkungan. Hal lain yang belum dalam jelas dalam komitmen dalam penggunaan pinjam pakai kawasan yang sesuai dengan pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Ini penting mengingat penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuansi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban pelestarian lingkungan hidup dengan memperhatikan pembangunan berkelanjutan. Menurut pasal 1 angka 10 UNDANG-UNDANG No.32 Tahun 2009 tentang PPLH, KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program. Kemudian

dijelaskan KHLS dalam pasal 15 ayat (2) UNDANG-UNDANG No.32 Tahun 2009. KHLS dalam aturan pelaksanaanya telah diatur didalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Stategis. Hal ini sesuai dalam Pasal 23 ayat (1) UNDANG-UNDANG No.32 Tahun 2009 tentang PPLH, menyatakan bahwa, kriteria usaha dan/ atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas: a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemorosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengararuhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya; f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik; g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanann Negara; dan/atau

i. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

Pada pasal 47 ayat (2), menyatakan bahwa analisis resiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pengkajian resiko; b. Pengelolaan resiko; dan/atau c. Komunikasi resiko. Dalam penjelasan pasal tersebut, dijelaskan pengkajian resiko meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, panaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun lingkungan hidup. Pengelolaan resiko meliputi resiko atau seleksi resiko yang memperlukan pengelolaaan, identifikasi pilihan resiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan implementasi tindakan yang dipilih, dan komunikasi resiko adalah proses interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat dianatara individu, kelompok yang berkenan dengan resiko. Hal-hal ini yang belum tersentuh dalam permasalahan yang berhubungan dengan dampak lingkungan. Pemerintah menjamin hak atas lingkungan sebagai warga Negara seperti diamanatkan dalam pasal 65 UNDANG-UNDANG No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, menyatakan bahwa:

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia; (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi,dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; (3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup; (4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungn hidup sesuai dengan peraturan perUndang-undangan; (5) Setiap orang berhak melakukaan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan peraturan menteri. Dalam pasal 68 UNDANG-UNDANG No.32 Tahun 2009, disebutkan bahwa, setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan benar,akurat, dan tepat waktu; b. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. Menaati ketentuan tengangn baku mutu lingkungan hidup dan/atau criteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Kemudian dalam pasal 69 ayat 1 huruf a, menyebutkan bahwa, setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

BAB III PENUTUP Perizinan penting mengingat penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuansi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban pelestarian lingkungan hidup dengan memperhatikan pembangunan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, Menjelajah Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 1998, h. 3. J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Bernard Arif Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 15. Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2005, h. 249. Robert E Rodes, Jr., & Howard Pospesel, Premises and Conclusions, Symbolic Logic for Legal Analysis, Prentice Hall, Upper Saddle River, New Yersey, 1997, h. 7.

Anda mungkin juga menyukai