Anda di halaman 1dari 7

Gizi Seimbang Sesuai Dengan Keadaan Ekonomi

02 Oct 2006

Di dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran sehat. Karena itu sangat penting untuk menjaga kesehatan fisik, mental, intelktual dan spiritual antara lain dengan mengkonsumsi gizi yang seimbang. Demikian pesan dr. T. Rabita Sjafii Ahmad, MPH, Ketua Dharma Wanita Persatuan Departemen Kesehatan dalam seminar tentang Gizi Seimbang dan Demo Masak ala Thai di Balai Latihan Kesehatan Depkes, Cilandak,Jakarta. Dengan bekal pengetahuan tentang gizi, tidak akan mengalami kesulitan menyusun menu keluarga sehari-hari. Oleh karena itu, melalui seminar diharapkan para anggota Dharma Wanita Persatuan Depkes dapat menyusun menu sesuai kemampuan tiap-tiap keluarga dengan memperhatikan cukup jumlahnya dan baik mutunya, lengkap kandungan zat makanannya, seimbang jenis dan variasinya, bersih dan benar pengolahannya serta lezat dan tepat cara memasaknya. Menurut dr. T. Rabita Sjafii Ahmad, banyak makanan yang tersedia akan tetapi belum tentu memenuhi syarat kesehatan. Untuk hidup sehat, perlu semua kandungan zat makanan yang dibutuhkan sehari-hari yaitu sumber tenaga utama yang berasal dari karbohidrat seperti nasi, jagung, singkong dan lain-lain. Sumber protein berasal dari lauk-pauk seperti telur, daging tempe, kacanga-kacangan dan lain-lain. Sumber vitamin dan mineral berasal dari sayur-sayuran dan buahbuahan. Selain itu juga membutuhkan zat lemak dan minyak dalam jumlah secukupnya. Selain memenuhi kebutuhan anak secara fisik melalui asupan gizi, diharapkan ibu-ibu Dharma Wanita dapat memberikan rasa aman dan kasih sayang, mampu meletakkan dasar-dasar yang fundamental dalam pembentukan watak, sikap dan tingkah laku sesuai dengan norma pergaulan hidup yang baik, juga sebagai pendorong, pengayom dan contoh teladan bagi putra putrinya dan mampu mendidik putra-putri di lingkungan keluarga. Materi seminar disampaikan oleh Entos Zainal dari Direktorat Bina Gizi dan Masyarakat Depkes RI dengan Topik Pola Makan dan Gaya Hidup Sehat?. Disebutkan trend gaya hidup sebagian penduduk saat ini adalah pola makan tidak sehat, kurang beraktivitas fisik yang berakibat pada meningkatnya jumlah orang yang menderita obesitas (kegemukan). Menurut Entos Zainal ada 13 pedoman umum gizi seimbang yaitu: makanlah aneka ragam makanan, makanlah makanan untuk mencukupi energi, makanan sumber karbohidrat separo dari energi, batasi minyak dan lemak sampai seperempat dari energi, gunakan garam beryodium, makanlah makanan sumber gizi, berikan hanya ASI pada bayi sampai umur 6 bulan, biasakan makan pagi, minum air bersih dengan cukup, lakukan aktivitas fisik, hindari makanan beralkohol, makan makanan yang aman bagi kesehatan, bacalah label dalam kemasan makanan. Sedangkan Demo Masak ala Thai diperagakan Ny. Malika yang khusus didatangkan dari Bangkok Thailand. Dalam demo masak tersebut ditampilkan masakan ala Thai seperti Tom Yam Kung, Ayam Goreng dibungkus daun pandan, ikan goreng selada mangga dan lain-lain. Usai demo, para peserta dipersilahkan mencicipi masakan khas negeri gajah putih tersebut. Selain ceramah dan demo masak, juga diselenggarakan lomba menghias makanan yang diikuti 13 unit Dharma Wanita. Setelah dilakukan penilaian oleh Dewan Juri, keluar sebagai Juara I peserta nomor 3 dari RS Fatmawati, Juara II peserta nomor 11 dari Sesjen, Juara III peserta lomba nomor 7 dari P2PL dan Juara IV peserta nomor 13 dari Yanmed. Pada acara tersebut, Dharma Wanita juga memberikan bea siswa kepada anak-anak pegawai Depkes Golongan I dan II dan anak yatim piatu yang berprestasi. Tahun 2006 beasiswa diberikan kepada 108 anak, masing-masing sebesar Rp 300.000,-/ per siswa SMA, Rp 250.000,-/ per siswa SMP dan Rp 200.000,-/ per siswa SD .

Penyebab Diet Tak Kunjung Berhasil


Oleh Kompas Cyber Media

Pernahkah Anda merasa telah berjuang keras melakukan diet tapi berat badan tak kunjung turun ?

Anda tak sendiri karena banyak orang lain juga mengalami hal yang sama. Hal ini disebabkan karena adanya kesalahan yang sering kali tanpa disadari dalam menjalankan diet. AKIBATNYA, berat badan justru berada dalam posisi stagnan dan tak jarang akan lebih mudah untuk mengalami kenaikan berat badan. Berikut adalah kesalahan dalam diet yang sering dilakukan : 1.
Mengurangi jumlah makan, bukan porsi makan. Hal ini sering kali dilakukan oleh para pelaku diet dengan melewati salah satu jam makan seperti sarapan atau makan malam. Padahal sarapan penting sebagai energi utama untuk melakukan aktivitas sepanjang hari dan menghindari konsumsi gula atau lemak berlebihan di saat lapar. Lagipula, makan secara teratur (3 kali sehari) akan meningkatkan metabolisme tubuh yang membantu mengurangi berat badan karena proses pembakaran lemak dan kalori lebih mudah. Hal ini berbanding terbalik saat tubuh dalam keadaan lapar, dimana metabolisme secara alami akan turun. Diet yang membatasi untuk mengonsumsi satu kelompok makanan tertentu. Diet yang menganjurkan untuk tidak makan karbohidrat atau lemak sama sekali dan hanya mengonsumsi buah dan sayur tidak baik untuk kesehatan, karena kebutuhan tubuh akan vitamin dan mineral tidak akan tercukupi, terutama untuk usia remaja. Tubuh masih membutuhkan asupan kalori dan nutrisi yang seimbang untuk menjaga kesehatan. Pilihlah makanan yang rendah lemak, daripada tidak makan lemak sama sekali. Konsumsi kalori terlalu rendah. Untuk perempuan, tubuh memerlukan sekitar 2.000 kalori setiap harinya, sedangkan laki-laki membutuhkan sekitar 2.500 kalori. Apabila kalori yang masuk dibatasi hingga sekitar 1.000 kalori-atau bahkan kurang-justru akan meyebabkan rendahnya metabolisme tubuh dan mengalami anemia. Tidak olah raga. Padahal olah raga dapat meningkatkan metabolisme tubuh yang membantu proses pembakaran lemak dan kalori, berat badan pun akan lebih cepat turun. Konsumsi salad. Mengonsumsi salad memang baik, namun patut diingat bahwa mayonnaise yang menyertai salad juga mengandung lemak yang cukup tinggi. Tidak minum susu. Mengonsumsi susu setiap hari tetap dibutuhkan, terutama susu rendah lemak berkalsium tinggi karena dapat menguatkan tulang dan melengkapi nutrisi tubuh. Berat badan turun drastis. Sebaiknya berat badan yang turun tidak lebih dari 1-2 kg dalam seminggu karena dapat menimbulkan komplikasi kesehatan yang lain, seperti hati dan ginjal, yang dipaksa untuk bekerja lebih keras untuk menggantikan cadangan glukosa dalam darah. Hal ini pun dapat mengganggu kesehatan Anda. (ADT).

2.

3.

4. 5. 6. 7.

Hati-hati, Kolaborasi Gula, Kacang & Cokelat


Oleh dr. H.M. Hadat, Sp.A

Bukan hanya armada taksi ibukota atau bangunan-bangunan tua yang kerap diremajakan. Tubuh kita pun selalu mengalami proses peremajaan. Molekul-molekul dan sel-sel lama senantiasa diganti dengan yang baru, melalui mekanisme keseimbangan yang saling bergantung dan saling mengisi dengan sempurna. Jika tubuh dalam keadaan sehat walafiat, itu artinya kita sedang memiliki keseimbangan

yang sempurna. Saat itu tubuh tidak perlu lagi diganggu dan diotak-atik dengan keinginan tambah sehat, karena niat itu justru bisa merusak keseimbangan yang sudah ada. Celakanya, banyak orang tak sadar akan pentingnya menjaga keseimbangan ini. Makan banyak, misalnya, masih dianggap sebagai aktivitas yang pasti menyehatkan. Padahal, makan - jika hanya berpatokan asal banyak - berpotensi melahirkan molekul yang tidak dapat didaur ulang. Molekul-molekul itu akan menjadi mirip sampah yang harus dibuang keluar dan tubuh. Jika proses peremajaan dan pembuangan ini terganggu, akan terjadi penimbunan ?sampah? di dalam tubuh. Bisa ditebak, ujung-ujungnya mengarah pada penyakit. Asam urat merupakan sampah yang terutama berasal dari daging, ikan, bayam, teh, kopi, dan cokelat. Penimbunan asam urat menyebabkan terjadinya kristal asam urat di jaringan sekitar sendi, sehingga menimbulkan rasa pegal, ngilu sampai nyeri di sendi-sendi dan sekitarnya. Penimbunan asam urat terjadi karena banyaknya makanan yang mengandung sampah, sementara kemampuan ginjal mengeluarkan asam urat berkurang setelah mencapai usia paruh baya. Fruktosa (gula dari tumbuhan) juga dapat menghambat pengeluaran asam urat melalui ginjal. Gula tebu mengandung glukosa dan fruktosa dengan perbandingan sama. Gula jagung sebagian besar juga terdiri atas fruktosa. Dahulu, terutama di negara maju, gula jagung dikira rendah kalorinya, sehingga dianggap dapat menjaga kelangsingan tubuh. Sekarang terbukti, fruktosa tak hanya menghambat pengeluaran asam urat, tapi juga penyebab obesitas, resistensi insulin, dan penyebab penyakit jantung koroner. Oksalat adalah sampah berikutnya, hasil metabolisme makanan yang 40 - 50% di antaranya berasal dari kacang dan cokelat. Meskipun kadar oksalat dalam darah sangat tinggi, kemampuan tubuh membuang oksalat melalui ginjal (urine) sangat terbatas. Jadi, jika kita banyak makan kacang atau cokelat, sampah oksalat tidak dapat dibuang semuanya, sehingga sisanya menumpuk dan menjadi kristal kalsium oksalat. Selain kacang dan cokelat, asam urat juga dapat memicu terjadinya kristal kalsium oksalat. Kristal-kristal itu bisa mengendap di tulang, tulang rawan, pembuluh darah, jaringan sendisendi, dan ginjal. Kehadiran kristal kalsium oksalat di tempat-tempat itu bakal menimbulkan rasa pegal, ngilu, dan nyeri, sama seperti dampak yang ditimbulkan asam urat. Keberadaan kristal asam urat dan oksalat dalam cairan sendi dapat dibedakan dengan kristalografi. Sedangkan batu ginjal asam urat hanya dapat terjadi kalau ada faktor keturunan. Namun, 20% penderita batu ginjal kalsium oksalat ditemukan mempunyai kadar asam urat yang tinggi dalam urinenya. Begitulah, kolaborasi gula, kacang, dan cokelat memang cukup sempurna untuk membuat tubuh kita menderita sakit sendi, jantung, ginjal, dan batu ginjal. Makin banyak dimakan, makin banyak pula sampah yang ditinggalkan oleh gula, kacang, dan cokelat. Lama-

kelamaan sampah itu akan menumpuk. Di sisi lain, seiring bertambahnya usia, kemampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan dan kemampuan membuang sampah ikut merosot, terutama karena menurunnya kinerja jantung, hati, dan ginjal. Makanya, mulai sekarang niatkan untuk ?tetap sehat?, bukannya ?lebih sehat?, apalagi jika caranya dengan mengonsumsi macam-macam makanan secara berlebihan. * http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2272 Obesitas Turunkan Kesuburan Pria
Rabu, 8 Oktober, 2008 oleh: eman

Obesitas Turunkan Kesuburan Pria Gizi.net - BILA Anda termasuk pria berbadan tambun, sebaiknya mulai waspada. Selain berisiko mengalami berbagai penyakit serius, seperti jantung, stroke, dan diebetes, sebuah riset mengindikasikan, peluang pria gemuk untuk mempunyai keturunan pun akan terancam. Seperti dilaporkan suatu penelitian yang dimuat jurnal Fertility and Sterility, peluang seorang pria gemuk memiliki anak relatif lebih rendah sekalipun ia berbadan sehat. Kajian riset para ilmuwan dari Pennsylvania State University College of Medicine di Hershey menunjukkan, di antara 87 pria sehat berusia 19-48 tahun, mereka yang termasuk kategori obesitas (kelebihan berat badan) cenderung tidak memiliki anak. Satu hal yang penting digarisbawahi dari temuan ini, pria berbadan tambun juga menunjukkan perbedaan hormonal yang menunjukkan penurunan kapasitas dan kemampuan reproduksi. Hasil penelitian menunjukkan, dibandingkan dengan rekannya yang berpostur ramping, pria gemuk memiliki kadar testosteron lebih rendah dalam darahnya. Selain itu, mereka juga tercatat memiliki kadar hormon luteinizing hormone (LH) dan follicle-stimulating hormone (FSH) yang rendah, padahal kedua jenis ini sangat penting bagi kesehatan reproduksi pria. Menurut para ahli, minimnya kadar LH dan FSH secara relatif mengindikasikan adanya hipogonadotropik hipogonadisme parsial. Ini merupakan suatu kondisi di mana testis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya akibat gangguan sinyal pada hipothalamus dan kelenjar pituitari, dua bagian penting otak yang mengatur sekresi hormon. Dr Eric M Pauli dan timnya dari Pennsylvania State University College of Medicine menyatakan, hasil temuannya menunjukkan bahwa obesitas adalah salah satu faktor independen yang memengaruhi tingkat kesuburan pria. Dalam risetnya, Pauli melibatkan 87 pria dan 68 persen di antaranya telah memiliki

seorang anak. Pauli dan timnya menemukan, rata-rata indeks massa tubuh (BMI) tercatat lebih rendah di antara kelompok ini dibandingkan dengan mereka yang belum memiliki anak. Setelah peneliti memeriksa beberapa jenis hormon reproduksi, mereka menemukan bahwa pria yang termasuk kategori obesitas memiliki kadar LH dan FSH lebih rendah. Di lain pihak, peningkatan obesitas juga berkaitan dengan meningkatnya kadar hormon estrogens. Pengaruh lemak tubuh, ujar Pauli, memang dapat meningkatkan konversi testosteron menjadi estrogen dalam darah pria. Perubahan hormon seperti ini dapat menyebabkan sinyal dalam otak untuk menekan produksi hormon FSH dan LH.

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1223365596,26161,
From Medicine and Science in Sports and Exercise

Body Mass Index as a Predictor of Percent Fat in College Athletes and Nonathletes
Posted 05/17/2007

Joshua J. Ode; James M. Pivarnik; Mathew J. Reeves; Jeremy L. Knous Author Information

INFORMATION FROM INDUSTRY

Assess clinically focused product information on Medscape. Click Here for Product Infosites Information from Industry.
Abstract and Introduction
Abstract

Introduction: Body mass index (BMI) is used as a surrogate for percent fat (% fat) in classifying obesity. However, there is no established criterion for % fat and health risk, and few studies have examined the accuracy/validity of BMI as a measure of % fat. By default, BMI is used to classify athletes and young adults as obese. Consequently, it is critical to understand the accuracy of BMI in these populations. The purposes of this study were 1) to describe the relationship between BMI and % fat, and 2) to determine the accuracy of BMI as a measure of % fat in college athletes and nonathletes. Methods: A total of 226 college-aged athletes and 213 college-aged nonathletes participated. Three male groups (athletes, football linemen, and nonathletes) and two female groups (athletes and nonathletes) were created. BMI was calculated. Percent fat was determined via BOD POD. BMI 25 kgm-2 was used to define overweight. Twenty percent fat for males and 33% fat for females were used to define overfatness. Using % fat as the criterion, sensitivity and specificity of BMI were calculated. Receiver operator characteristic curves determined optimal BMI cut points for % fat. Results: Sensitivity was high (0.83-1.0) and specificity was low (0.27-0.66) in male athletes, male nonathletes, and female athletes. Sensitivity was high in linemen (1.0). Sensitivity was low (0.56) and specificity was high (0.90) in female nonathletes. Optimal BMI cut points for male athletes, linemen, male nonathletes, female athletes, and female nonathletes were 27.9, 34.1, 26.5, 27.7,

and 24.0 kgm-2, respectively. Conclusions: BMI should be used cautiously when classifying fatness in college athletes and nonathletes. Our results support the need for different BMI classifications of overweight in these populations.
Introduction

Body mass index (BMI), calculated as body mass in kilograms divided by height in meters squared, is used widely in the classification of adult obesity. According to the Expert Panel on the Identification, Evaluation, and Treatment of Overweight and Obesity in Adults,[7] a BMI of 25-29.9 kgm-2 is considered overweight, and a BMI 30 kgm-2 is considered obese. These well-established classifications use BMI as a surrogate measure for relative body fatness (% fat). Therefore, adults with a BMI greater than or equal to 25 kgm-2 are considered to have excess % fat and are considered to be at risk for developing hypertension, high cholesterol, diabetes, and coronary heart disease.[7] Large population studies have illustrated that BMI is related to morbidity and mortality. However, no subsequent large studies have confirmed these relationships with % fat. Although BMI is moderately correlated (r = 0.60-0.82) with % fat,[26] there is a lack of research regarding the usefulness of BMI as a surrogate for % fat, and their exact biological relationship remains unclear. The classification of obesity on the basis of % fat has not been formally established. In an attempt to address this problem, the American College of Sports Medicine (ACSM) has reported predicted % fat values for BMI in males and females across different age groups.[1] ACSM used data by Gallagher and colleagues,[10] who developed multiple regression models for predicting % fat on the basis of BMI in 1626 subjects. In developing these equations, the authors used race, age, and sex as predictor variables to help explain the model. Their results state that 20% (in men) and 33% (in women) are acceptable cut points for overfatness corresponding to a BMI of 25 kgm-2 in young African American and white adults (ages 20-39). The BMI classification system is derived from cut points obtained from the general population and may not be specific to subgroups such as athletes and young adult nonathletes. Compared with the general adult population, the influence of large muscle mass on BMI in athletes and young adults may misclassify these individuals as overweight and obese. Therefore, the use of % fat may be more effective than BMI in assessing obesity in athletes and young adults. Despite the potential limitations of BMI, it is used to assess obesity in young adults[21] and athletes.[14] Therefore, it is critical to understand the accuracy of BMI as a measure of % fat in these populations. However, to our knowledge, no study has assessed the ability of BMI to classify college athletes and nonathletes as overfat. Therefore, the purposes of this study were 1) to describe the relationship between the BMI and % fat of collegiate athletes and college-aged nonathletes, and 2) to determine the accuracy of the BMI category of overfat ( 25 kgm-2) as a measure of excessive body fatness in collegiate athletes and college-aged nonathletes.

Metabolic Abnormalities from Medscape HIV/AIDS eJournal[TM]

Fat Redistribution: What Are We Talking About?


As the title of this article even implies, the two entitiesthose of body fat redistribution as well as abnormalities in serum cholesterol and/or triglyceride levelsare often looked at together.

The fat and body habitus alterations are often referred to "peripheral lipodystrophy syndrome," a name which might be incomplete, or even misleading: there may be central as well as peripheral alterations of fat distribution (remember it was often called "Crix belly" or "protease paunch" in earlier days), and whereas the term lipodystrophy formally refers to fat depletion, here there are major elements of fat accumulation as well. Some of the depletion-related changes involve the appearance of limb, buttock, or facial atrophy (often with the appearance of concurrent venomegaly in the affected extremities). And fat may accumulate in the abdomen (visceral adiposity), in the neck (buffalo hump) or, especially in women, in the breasts. There still is no standard case definition of the syndrome, although we may eventually see one which has major as well as minor criteria, similar to what is already in place for diseases such as systemic lupus erythematosus

http://search.medscape.com/all-search?queryText=BMI

Anda mungkin juga menyukai