Anda di halaman 1dari 6

Bab 2 Artritis Rematoid 2.1.

Definisi Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dan progresif, ditan dai dengan adanya sinovitis dan poliartitis yang simetris pada sendi perifer dan selaput tedon . Penyakit ini sering disertai gejala sistemik (Maria et al, 2004 , Srirangan, 2010). Artritis reumatoid merupakan penyakit otoimun yang ditandai dengan infla masi kronis yang terutama menyerang sendi menimbulkan pembengkakan, nyeri, gangg uan fungsi serta deformitas sendi. Penyakit ini juga dapat menyerang organ lain dalam tubuh (Stein & Taylor, 2004). 2.2. Epidemiologi Artritis reumatoid terdapat di berbagai negara, dapat menyerang semua ke lompok ras dan etnik dengan prevalensi 0,5% sampai 1% dan insidensi sekitar 20300 per 100.000 penduduk pertahun. Prevalensi AR di negara industri antara 0,3% sampai 1% , di Amerika Serikat dan Eropa Barat sekitar 1%, pada beberapa populas i misalnya Cina, Jepang dan bangsa kulit hitam di Afrika prevalensi penyakit ini 0,2% sampai 0,3% (Symmons, et al, 2006; Mackie, et al, 2006 Firestein et al, 20 08). Penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah didapatkan prevalensi 0 ,2% di daerah pedalaman dan 0,3% di kawasan kota (Darmawan et al, 1993). Penyakit ini lebih banyak menyerang perempuan daripada laki laki dengan rasio 3:1. Insidensi AR meningkat dengan bertambahnya usia dan puncaknya pada u sia 40 tahun hingga 60 tahun (Carter, 2003; Suarjana , 2009). 2.3 Etiologi Etiologi RA masih belum jelas, dari beberapa penelitian didapatkan bahwa faktor genetik dan faktor lingkungan berperan dalam terjadinya penyakit ini. Ri siko untuk terkena RA pada anak kembar 2% sampai 5%, risiko pada kembar monozig ot lebih besar daripada kembar heterozigot, pada kembar monozigot didapatkan ko nkordansi 12% sampai 15% (Firestein et al, 2008, Snir, 2011 ). Faktor genetik yang berperan pada AR adalah human leucocyte antigent (HL A), terutama regio HLA kelas II. Regio ini meliputi 5 lokus utama; HLA-DP, DQ-, -DR,-DM dan-DO. Variasi genetik yang berkontribusi erat pada RA terletak pada da erah HLA-DR yaitu HLA-DRw4 dan HLA-DRB1 (Firestein et al, 2008; Snir, 2011) Salah satu teori untuk menghubungkan polimorfisme HLA kelas II dengan AR adalah teori mimikri molekuler. Adanya kesamaan struktur nukleotida pada hyper variable region (HVR) dengan antigen eksogen dengan konsep shared epitop. Struk tur sekuen asam amino nomor 70-71-72-73-74 (QKRAA, QQRAA, RRRAA) pada celah peng ikatan peptida HLA-DR ternyata mempunyai kesamaan dengan struktur protein asing seperti : E.Coli dnaJ, EBV-gp110 (Ebringer, 1998 ; Roudier, 2000; Toussirot & Ro udier, 2007) Sejak masih janin, telah ada seleksi sel T di kelenjar timus. Sel epitel kelenjar timus melakukan seleksi sel T termasuk pada HLA kelas II yang terpap ar ribuan otoantigen, sehingga menjadi toleran terhadap otoanti gen tersebut. Kelompok sel T CD4 yang otoreaktif kuat terhadap shared epitop aka n mengalami apoptosis, sedangkan sel T CD4 yang otoreaktif lemah terhadap shared epitop akan tetap hidup dan bersirkulasi. Sebelum timbul penyakit sel T CD4 oto reaktif lemah/rendah mengalami paparan berulang oleh antigen eksogen mirip share d epitop, misalnya E. coli dnaJ yang diekspresi secara kontinyu oleh E.coli dala m usus manusia atau oleh shered apitop (SE) yang dipresentasikan oleh HLA kelas II(HLA-DRB1*) yang akan membawa SE (HLA-DRB1*SE). Paparan yang berulang tersebut akan menyebabkan sel T CD4 menjadi lebih otoreaktif terhadap SE. Sel T CD4 yang lebih otoreaktif ini akan bermigrasi dari darah perifer ke jaringan sinovial. D i dalam jaringan sinovial, antigen artrotropik seperti EBV-gp110 & antigen eksog en lain atau self peptida yang membawa SE (HLA-DRB1*SE) akan memicu aktivasi dan proliferasi sel T CD4 otoreaktif terhadap SE untuk mengawali timbulnya pe nyakit AR (Gambar 2.1) (Cava & Alan ,1998).

Faktor lingkungan yang berpengaruh pada AR adalah adanya mikroorganisme yang menjadi agen penyebab penyakit ini, sehingga akan menimbulkan perubahan rea ktivitas respons sel T. Mikrooganisme tersebut antara lain Mycoplasma, Parvoviru s, Retrovirus, bakteri Enterik, Epstein-Barr Virus dan lain lain (Firestein et a l, 2008). Faktor lingkungan lain yang berpengaruh adalah merokok dan status sosi oekonomi (Snir, 2011).

Gambar 2.1 Beberapa Tahapan pada Mekanisme Mimikri Molekular (Cava & Alan,1998) 2.4 Imunopatogenesis Artritis Reumatoid Agen pemicu terjadinya AR belum diketahui dengan pasti, diduga berasal d ari virus, mikoplasma, dan bakteri yang menginfeksi sendi atau jaringan mirip se ndi secara antigenik. Tubuh akan merespons dengan membentuk antibodi terhadap mi kroorganisme tersebut terutama IgG. Imunoglobulin G yang terbentuk dapat menghan curkan antigen tersebut dan juga merangsang timbulnya antibodi lain berupa IgM d an IgG terhadap antibodi IgG awal (otoantibodi). Antibodi tersebut antara lain R F. Rheumatoid factor ini akan menetap di kapsul sendi sehingga menimbulkan infla masi kronis dan kerusakan jaringan (Corwin, 2009) Kerusakan sendi pada AR diawali dengan adanya faktor pencetus proses oto imun dan lingkungan misalnya infeksi, yang akan mengaktivasi makrofag dan merang sang proliferasi fibroblast sinovial. Limfosit juga menginfiltrasi daerah periva skular dan terjadi proliferasi sel endotel yang akan menimbulkan neovaskularisas i didaerah sendi. Terjadi juga oklusi pembuluh darah sendi karena mikrotrombi da n sel sel inflamasi akibatnya pertumbuhan jaringan sinovial menjadi iregular dan terbentuk panus yang akan merusak tulang rawan sendi dan tulang sendi tersebut. Secara umum mekanisme yang mendasari AR adanya proliferasi endotelial dan sinov ial sel, terutama fibroblast like synoviocytes (FLS), perekrutan dan aktivasi se l T dan sel B, limfosit, dan monosit, dan sekresi sitokin dan kemokin; terutama oleh monosit/makrofag dan FLS (Gonzlez & Amaro, 2007). Faktor genetik yang berperan pada AR adalah HLA-DRB1, yang didominasi oleh HLA-D RB1 * 0401, HLA-DRB1 * 0404 dan HLA-DRB1 * 0101 (Firestein et al, 2008; Snir, 20 11). Faktor genetik ini apabila terpapar antigen akan menyebabkan sel T helper m emberikan respons terhadap agen artritogenik. Sel T helper (sel CD 4+) yang suda h teraktivasi akan menghasilkan sitokin yang akan mengaktifkan sel B yang akan merangsang sel plasma untuk menghasilkan antibodi, mengaktifkan makrofag dan sel lain dalam rongga sendi melepaskan enzim degradatif dan mengaktivasi endotel (untuk memudahkan rekutmen sel inflamasi), makrofag, dan osteoklas. Sitokin yang bersifat proinflamasi, IL-I dan TGF alfa menyebabkan proliferasi sel sinovial d an fibroblas yang akan merangsang sel sinovial dan kondrosit untuk menghasilkan enzim proteolitik dan enzim pendegradasi matriks tulang sehingga terbentuk panu s, yang menyebabkan kerusakan tulang dan kartilago serta terjadinya ankylosis da n fibrosis (Gambar 2.2) (Rosenberg, 2005).

Gambar 2.2 Imunopatogenesis Artritis Reumatoid (Rosenberg, 2005)

Artritis reumatoid berhubungan dengan major-histocompatibility complex ( MHC) klas II yang mempresentasikan antigen peptide ke sel T CD4+. Antigen ini bi sa berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen endogen ci trullinated protein dan human cartilage glycoprotein. Sel T CD4+ yang teraktivas i akan menstimulasi monosit, makrofag dan fibroblast sinovial untuk memproduksi sitokin interleukin-1 (IL-1), IL-6 dan TNF- yang berperan pada proses inflamasi dan akan menghasilkan matrik metaloproteinase melalui hubungan antar sel dengan

bantuan CD69 dan CD11 dengan cara melepaskan interferon- dan interleukin-17. Akt ivasi sel T CD4+ juga akan menstimulasi sel B melalui kontak sel secara langsung dan ikatan dengan 12 integrin, CD40 ligan dan CD28 untuk memproduksi immunoglobul in berupa RF. Rheumatoid factor akan mengaktifkan sistem komplemen melalui pembe ntukan imun kompleks. Aktivasi makrofag, limfosit dan fibroblas menstimulasi an giogenesis sehingga terjadi peningkatan vaskularisasi pada sinovial penderita re umatoid artritis. Aktivasi sel T CD4+ juga mengekspresikan osteoprotegerin ligan d (OPGL) untuk memacu timbulnya osteoklastogenesis yang secara keseluruhan akan menyebabkan gangguan sendi (Gambar 2.3) (Ernest et al, 2001) Gambar 2.3 Jalur Sinyal Sitokin pada Inflamasi Artritis (Ernest et al, 2001) 2.5. Gejala Klinis dan Komplikasi Gejala klinis yang muncul umumnya adalah rasa nyeri dan kaku pada sendi yang biasanya simetris karena terjadi sinovitis yang akan mengakibatkan erosi pa da permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kelainan fungsi sendi, Sendi yang biasanya terlibat adalah sendi pergelangan tangan (sendi interfalang proksi mal dan metakarpofalangeal), kaki dan vertebra servikal (Mackie, et al; 2006, Su arjana , 2009) Gejala dan manifestasi ekstraselular AR antara lain demam, anoreksia , f atigue, limfadenopati, pada kulit dapat timbul nodul rematoid, pada mata dapat t erjadi skleritis, keratokonjunktivitis. Penyakit ini dapat juga bermanifestasi k e jantung, paru paru, darah , gastrointestinal, saraf dan ginjal (Mackie, et al, 2006; Suardjana, 2009) 2.6. Gambaran Laboratorium pada Artritis Reumatoid Pemeriksaan laboratorium pada AR penting untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam darah dan cairan sendi secara fisika, kimia dan imunologik Pemeriksaan in i dapat dilakukan pada awal diagnosis dan dapat diulang sesuai dengan perjalanan penyakit (Soetarto & Latu, 1981; Suardjana, 2009). Gambaran hematologi yang dapat dijumpai adalah kadar Hb yang biasanya sedikit me nurun dengan jumlah leukosit dan trombosit serta LED yang meningkat (Mischet et al, 2008). Anemia pada AR sesuai dengan gambaran anemia pada penyakit kronis y ang diperantarai oleh sitokin sebagai respons terhadap inflamasi. Berbagai sitok in yang dihasilkan antara lain tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1) , interferons (INF) dan interleukin-6 (IL-6) yang merupakan respons terhadap in feksi dan inflamasi. Adanya IL-6 juga akan menginduksi produksi hepsidin yang m erupakan penghambat pelepasan besi dari makrofag dan penyerapan besi di intestin al (Means, 2004; Ganz, 2006). Laju endap darah pada AR dan radang sendi meningkat pada 70% sampai 90% kasus. Pemeriksaan ini tidak spesifik untuk AR tetapi diperlukan untuk menilai p erubahan komposisi protein plasma sebagai akibat proses peradangan atau kerusaka n jaringan. (Soetarto & Latu, 1981). Gambaran laboratorium lain adalah adanya peningkatan CRP, merupakan prot ein fase akut yang dilepaskan apabila terjadi proses inflamasi. Protein ini meni ngkat pada 70-85% kasus RA fase akut. Pemeriksaan CRP juga tidak spesifik tetapi dapat dipakai untuk pemantauan terapi AR (Sacher & McPherson, 2002). Otoantibodi yang ditemukan pada serum dan cairan sendi penderita AR ant ara lain RF, merupakan otoantibodi yang terdapat pada sekitar 70% pasien AR, me rupakan determinan dalam regio Fc dari IgG. Rheumatoid factor dapat berupa IgM, IgA dan IgG-RF. Pemeriksaan RF memiliki spesifisitas yang tidak begitu tinggi t etapi dapat berguna untuk menilai perjalan penyakit. Artritis reumatoid dengan R F yang positif/kadar yang tinggi mempunyai prognosis yang lebih buruk (Snir 2011 ) Otoantibodi lain yang dapat dijumpai pada penderita AR adalah anti-CCP a ntibodi dan anti-RA 33, merupakan biomarker yang dapat dipakai untuk deteksi di ni adanya AR. Kedua antibodi ini dapat timbul jauh sebelum gejala klinik AR mun cul dan lebih spesifik untuk AR. Adanya anti-CCP dan anti-RA33 juga dapat mengga mbarkan risiko kerusakan sendi lebih lanjut. Individu dengan hasil yang positif diperkirakan mengalami kerusakan radiologis yang lebih buruk (Konrad, 2006; Bene

nson, 2011; Snir 2011). Pemeriksaan cairan sendi dapat dilakukan apabila diagnosis meragukan den gan penyakit lain. Belum didapatkan adanya gambaran yang spesifik pemeriksaan ca iran sendi pada AR, pemeriksaan ini dilakukan apabila diagnosis meragukan dengan penyakit lain; pada AR hasil kultur biasanya negative kadar glukosa rendah dan tidak ditemukan adanya kristal (Suardjana, 2009) 2.7. Diagnosis Artritis Reumatoid Diagnosis AR ditegakkan dengan menggabungkan beberapa kriteria. Kriteria American Collage of Rheumatology (ACR) 1987 merupakan kriteria yang dipakai un tuk membedakan AR dari artritis karena penyakit lain. Kriteria ini diperbaharui oleh ACR dan European League Against Rheumatism (EULAR) pada tahun 2010. Kriter ia ini berdasarkan algoritma dan skor, yaitu dengan mengelompokkan skor 6/10 dar i seluruh skor yang diperlukan untuk klasifikasi ini (Tabel 2.1 dan Gambar 2.5). Diagnosis AR dianjurkan dengan menggabungkan kedua kriteria tersebut (Snir, 201 1). Menurut American Rheumatism Association (1987) diagnosis artritis reumat oid ditegakkan apabila didapatkan empat atau lebih kriteria berikut ini : -kaku pagi hari selama paling sedikit satu jam dan sudah bcrlangsung paling s edikit 6 minggu. -pembengkakan pada 3 sendi atau lebih selama paling sedikit 6 minggu. -pembengkakan pergelangan tangan, sendi metakarpofalang, atau interfalang proksimal selama 6 minggu atau lebih. -pembengkakan sendi yang simetris. -nodul reumatoid. -faktor reumatoid serum positif. -pemeriksaan radiologi menunjukkan perubahan khas artritis reumatoid; harus dida pati erosi atau dekalsifikasi tulang yang nyata (Hameed & Akil, 2010; Mackie, et al, 2006) Tabel 2.1. Klasifikasi Artritis Reumatoid menurut Kriteria American College of Rheumatology /Europa League Againt Rhematism tahun 2010 (ACR/EULAR, 2010) Skor Target populasi (Siapa yang harus diuji?): Pasien yang: 1. terdapat paling sedikit 1 sendi dengan klinis sinovitis yang jelas (pembengka kan)* 2. adanya sinovitis yang tidak berhubungan dengan penyakit lain Kriteria klasifikasi untuk AR (skor berdasarkan algoritma: tambahan kategori sk or A-D; skor 6/10 diperlukan untuk klasifikasi pasien dengan AR yang nyat a) A. Sendi yang terlibat 1 sendi besar 0 2-10 sendi besar 1 1_3 kecil sendi (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) # 2 4-10 kecil sendi (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3 >10 Sendi (minimal 1 sendi-sendi kecil) ** 5 B. Serologi (setidaknya 1 hasil tes diperlukan untuk klasifikasi) Negatif RF dan negatif ACPA 0 Rendah-positif RF atau rendah positif ACPA 2 Tinggi-positif RF atau tinggi-positif ACPA 3

C. Reaktan fase akut (minimal 1 hasil tes diperlukan untuk klasifikasi) CRP yang normal dan normal ESR 0 CRP abnormal atau ESR abnormal 1 D. Lamanya gejala <6 Minggu 0 6 Minggu 1 * Kriteria klasifikasi ditujukan terutama untuk pasien yang baru. Selain itu, pa sien dengan tipe artritis reumatoid (AR) dengan riwayat yang dengan memenuhi kri teria klasifikasi AR sebelum kriteria 2010. Pasien dengan penyakit yang sudah lama, termasuk yang penyakitnya tidak aktif (dengan atau tanpa pengobatan), berd asarkan data retrospektif,yang ada telah memenuhi kriteria 2010 diklasifikasikan sebagai RA. Diagnosis banding bervariasi antar pasien dengan gejala yang berbeda, tetapi dap at digolongkan dalam kondisi seperti systemic lupus erythematosus, psoriasis ar thritis, dan gout. Jika tidak jelas hubungannya dengan diagnosis diferensial yan g relevan dikonsultasikan pada ahli reumatologi. Walaupun pasien dengan skor <6/10 tidak diklasifikasikan sebagai AR, status mere ka dapat dinilai kembali dan kriteria bisa berubah secara kumulatif dari waktu k e waktu. Sendi yang terlbat mengacu pada setiap pembengkakan sendi atau nyeri pada pemeri ksaan, sinovitis dibuktikan dengan pencitraan. Sendi interphalang distal, sendi pertama carpometacarpal, dan sendi pertama metatarsophalangeal dikeluarkan dari penilaian. Kategori distribusi sendi diklasifikasikan sesuai dengan letak dan j umlah sendi yang terlibat, dengan penempatan ke dalam kategori tertinggi berdasa rkan pola keterlibatan sendi "sendi besar" yaitu sendi pada bahu, siku, pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. #"Sendi Kecil" yaitu sendi metakarpofalangeal, sendi proksimal interfalang, send i kedua pada kelima sendi metatarsofalangeal, sendi ibu jari interfalangeal, da n pergelangan tangan. ** Dalam kategori ini, setidaknya 1 dari sendi yang terlibat termasuk sendi keci l; sendi lain dapat mencakup kombinasi dari sendi kecil besar dan tambahan, sert a sendi lain tidak secara khusus dicantumkan di tempat lain (Misalnya, temporoma ndibular, akromioklavikularis, sternoklavikularis, dll). Uji laboratorium dengan nilai negatif mengacu pada nilai IU yang kurang dari ata u sama dengan upper limited of normal (ULN); nilai positif yang rendah mengacu p ada nilai IU positif yang lebih tinggi dari ULN tetapi 3 kali ULN; nilai positif yang tinggi mengacu pada IU yang > 3 kali ULN. Rheumatoid Faktor(RF) diketetah ui sebagai nilai positif atau negatif untuk hasil positif harus dinilai sebagai positif rendah. ACPA = anti_citrullinated protein antibody. nilai normal/abnormal ditentukan oleh standar laboratorium lokal. CRP = C- react ive protein; LED = Laju endap darah. Lamanya gejala mengacu pada keluhan pasien, tanda atau gejala sinovitis (misalny a, nyeri, pembengkakan sendi) yang secara klinis terlibat pada saat penilaian, t anpa status pengobatan.

Gambar 2.5 Algoritma untuk Diagnosis Artritis Reumatoid (Aletaha et al, 2010)

Kriteria diagnosis AR di Indonesia masih mengacu pada kriteria diagnosis menurut ACR tahun 1987, tetapi perlu pemikiran lebih lanjut mengenai penerapan tersebut di masa yang akan datang, contohnya untuk kriteria nodul reumatoid sang at jarang dijumpai, sehingga diperlukan ktriteria yang lebih sesuai untuk orang Indonesia (Nasution & Sumariyono, 2009) 2.8 Diagnosis Banding Diagnosis banding untuk AR adalah artritis gout, systemic lupus erytemat osus, poliartritis nodusa, demam reamatik, dermatomitosis, osteoartritis, artrop ati psoriatik, reumatika polimialgia serta penyakit jaringan ikat lain (Hayes,19 97) 2.9 Prognosis Perjalanan klinis AR sangat bervariasi, pada sebagian pasien dapat stabi l bahkan dapat berkurang tetapi sebagian besar pasien mengalami remitten-relaps dan kronis. Artritis destruktif dapat terjadi setelah 15 sampai 20 tahun perjala nan penyakit dan akan menyebabkan deformitas sendi. Harapan hidup akan berkurang tiga sampai tujuh tahun, 5% -10% dapat mengalami amiloidosis reaktif. Penyakit ini juga akan meningkatkan risiko infeksi pada tulang dan terjadinya osteoporosi s (Mackie, et al, 2006) Kepustakaan lain menyatakan bahwa perjalanan penyakit ini setelah 10 tahun pada 25% pasien akan mengalami remisi lengkap, 65% kerusakan sendi, dan 10% akan meng alami kecacatan. Prognosis buruk dapat terjadi pada penyakit yang progresif tanp a masa remisi, titer RF yang tinggi, nodul reumatoid, dan adanya manifestasi eks traselular (Hayes, 1997). Faktor yang menyebabkan prognosis menjadi buruk antara lain adanya polia rtritis generalisata ( jumlah sendi yang terkena >20 sendi), kadar CRP dan LED y ang tetap tinggi walaupun sudah menjalani terapi, manifestasi ekstrartikular, fa ktor reumatoid positif, gambaran erosif pada radiografi, status HLA-DR4 (Davey, 2005).

Anda mungkin juga menyukai