Anda di halaman 1dari 3

Garuda Indonesia Sudah Untung atau Masih Buntung?

Agus Pambagio - detikNews Jakarta - Pasca dilepasnya larangan terbang oleh Uni Eropa (UE) pada Air Safety Meeting di Brussels, Belgia, pada awal bulan Juli 2009 yang lalu, Garuda Indones ia (GA), sebagai satu dari 4 (empat) maskapai penerbangan sipil Indonesia yang d iizinkan kembali menerbangi angkasa UE mulai bersolek lagi agar tampak lebih ele gan dan eye catching, di mata konsumen domestik dan internasional. Elegan dan eye catching memang menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenu hi jika ingin bertarung di pasar internasional selain kualitas pelayanan, harga tiket yang bersaing, usia pesawat yang muda, pelayanan off dan on board yang pri ma, ketepatan waktu dan sebagainya. Meskipun sudah bersolek tetapi masih menggun akan pesawat tua dengan interior yang kusam, tentunya akan tetap dijauhi konsume n. Iklan GA dengan identitas korporat baru sudah mulai muncul di berbagai media mas sa. Tidak banyak berubah. Logo sebagai identitas korporat tetap dengan mempertah ankan dua unsur utama, simbol burung dan tipografi dengan font yang lebih modern dengan tampilan warna yang lebih luas. Konsep logo pada eksterior pesawat seper tinya terinspirasi dari sayap burung yang memperlihatkan energi. Sepertinya GA m engharapkan konsistensi hubungan antara konsumen dan korporasi yang lebih harmon is. Perubahan logo cukup menyejukkan publik yang menantikan perubahan dalam tubuh GA , namun yang membuat saya agak mules dan ragu adalah dengan diterbitkannya lapor an keuangan GA dengan nilai laba lebih dari Rp 600 miliar tahun 2008 sehingga Pr esiden SBY mengacungkan jempolnya di hadapan hadirin saat peresmian kantor baru GA yang konon menelan biaya Rp 150 miliar di Cengkareng. Bagaimana bisa GA meraih laba sedemikian besar jika tidak melakukan akrobat dala m membuat laporan keuangannya atau istilah elitnya restrukturisasi hutang? Patu t diduga jika hutang GA ternyata masih berjumlah triliunan dan hutang tersebut t idak saja berasal dari pemberi hutang dari luar negeri, tetapi juga berasal dar i beberapa BUMN besar di Indonesia, seperti PT Bank Mandiri, PT Angkasa Pura I d an PT Angkasa Pura II serta yang lain-lainnya. Pertanyaannya, benarkah GA sunggu h-sungguh sudah untung atau ternyata masih buntung? Kondisi PT Garuda Indonesia Terkini dari Kacamata Publik Dalam rangka mempersiapkan diri masuk ke persaingan global yang semakin kompetit if, GA telah bersiap-siap dengan membeli sewa (leasing) 50 pesawat Boeing 737800NG yang akan tiba secara bertahap mulai bulan Juli 2009, sepuluh pesawat Boei ng 777-300 ER yang akan tiba pada tahun 2011 dan empat Airbus A330-200 yang akan tiba pada tahun 2009. Tentu kita berharap bahwa dengan menggunakan pesawat terkini tersebut GA mampu b ersaing dengan maskapai penerbangan lainnya dalam melayani penumpang setianya. P ertanyaannya, mampu dan siapkah GA? Mari kita cermati bersama kondisi GA saat in i. Dalam pemberitaan di media masa akhir-akhir ini, ternyata pada tahun 2008 lalu, GA dapat memperoleh laba sebesar kurang lebih Rp 680 miliar setelah sebelumnya t erus merugi. Tentu di satu sisi publik harus memberikan apresiasi terhadap kiner ja Direksi GA, tetapi di sisi lain juga muncul keheranan dari publik, kok bisa y a? Padahal jika kita lihat laporan keuangan GA pada tahun 2004 yang masih mend erita kerugian sebesar Rp 811 miliar dan Rp 688 miliar pada tahun 2005, kemudia n dengan kinerja dan efisiensi yang baik serta tentu saja pinjaman kepada pihak lain, GA berhasil mengurangi kerugiannya menjadi sebesar Rp 197 miliar pada tahu

n 2006. Sedangkan pada tahun 2007 Garuda berhasil melakukan "turn around" dengan membukukan keuntungan sebesar Rp 60 miliar. Benarkah ini? Saat ini sepertinya GA masih mempunyai hutang kepada 3 (tiga) BUMN besar di Indo nesia seperti yang telah disebutkan di atas dalam bentuk Mandatory Convertible B ond (MCB) atau obligasi yang kemudian dikonversikan sebagai penyertaan saham sec ara sepihak oleh Direksi GA. Mengapa sepihak? Karena pengalihan tersebut dilakuk an tanpa adanya kesepakatan tertulis dari pemberi hutang (kreditur). Patut diduga, Direksi GA telah secara langsung melakukan lobi khusus melalui jal ur cepat tanpa bisa ditolak oleh pemberi hutang (kreditur). Lihat saja nilai hut ang GA pada PT Bank Mandiri yang senilai Rp 1 triliun, lalu kepada PT (Persero) Angkasa Pura I senilai Rp 120 miliar dan PT (Persero) Angkasa Pura II senilai R p 200 miliar. Sebagai contoh hutang GA ke PT Bank Mandiri yang telah jatuh tempo pada tanggal 2 Nopember 2006 lalu hingga kini belum dibayar oleh GA, tetapi dalam laporan keu angan jumlah tersebut tertera sebagai penyertaan saham dengan dalih restrukturis asi keuangan yang dikonversikan ke dalam nilai saham secara sepihak. Tentu saja hal tersebut menyalahi UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan khususny a pada Pasal 10 huruf (a) di mana Bank Umum Pemerintah dilarang melakukan penye rtaan modal pada institusi lain, kecuali pada bank atau institusi lain yang mema ng khusus bergerak di bidang keuangan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dengan kondisi bahwa peraturan BI saat ini tidak mengizinkan Bank Pemerintah mem iliki saham pada perusahaan yang juga berstatus sebagai nasabah / penerima hutan g (debitur), proses pengambilalihan saham debitur akan membuat bank ikut menangg ung risiko dalam mekanisme pasar modal, yaitu berupa penurunan nilai saham debit ur. Sehingga karena GA bukan merupakan lembaga keuangan atau institusi lain yang ber gerak di bidang keuangan yang memang diizinkan bagi bank kreditur untuk menyerta kan modalnya, maka proses penyertaan modal PT Bank Mandiri di GA harus dibatalka n demi hukum. Sehubungan dengan adanya peraturan tersebut, seharusnya sangat tid ak dimungkinkan seorang Meneg BUMN dapat bernegosiasi dengan Gubernur Bank Indo nesia agar piutang PT Bank Mandiri terhadap GA dapat dikonversikan sebagai saham . Begitu pula dengan hutang GA pada PT AP I dan PT AP II, karena konversi ini dila kukan tidak berdasarkan azas kesepakatan secara business to business tetapi karena Dir eksi GA yang patut diduga telah menggunakan jalur khusus secara langsung kepada Meneg BUMN yang membuat BUMN pemberi hutang ini sulit menolak. Dengan kondisi tersebut, apakah dapat dibenarkan jika dalam laporan keuangan GA tertera angka keuntungan demikian spektakuler? Apakah publik percaya bahwa GA me mang benar-benar memperoleh keuntungan karena kinerja manajemen yang sangat baik ? Seperti yang dilaporkan manajemen GA kepada Presiden SBY saat meresmikan kanto r Pusat GA di Cengkareng beberapa waktu yang lalu? Atau hanya karena GA pandai melakukan permainan angka dan lobi saja? Restrukturisasi hutang memang harus dilakukan oleh GA, tetapi tidak dengan cara yang tidak elegan, misalnya dengan cara membunuh si pemberi hutang dengan melaku kan fait accompli sehingga BUMN lain yang berperan sebagai kreditur ikut menanggung k erugian GA yang selama ini memang terbukti selalu merugi dan merugi. Coba kita hitung secara sederhana saja. Jika GA harus membayar bunga atas utang ke PT Bank Mandiri, misalnya, sebesar 10% per tahun selama 10 tahun, maka bunga yang harus dibayarkan oleh GA atas hutang sebesar Rp 1 triliun tersebut sebesar

Rp 100 milyar x 10 tahun yaitu sebesar Rp 1 triliun. Belum lagi bunga hutang k e PT AP I dan PT AP II sebesar 10% x 10 tahun x Rp 220 miliar yaitu sebesar Rp 2 20 miliar. Sehingga mari kita pakai logika sederhana jika semua bunga hutang tersebut dikem plang oleh GA, sudah pasti dalam pembukuan GA akan terdapat nilai positif. Jelas ini bukan merupakan prestasi Direksi atas kinerja para pemimpin GA saat ini. Ba yangkan saja, apakah pantas dengan prestasi hasil ngemplang yang demikian itu, D ireksi GA menerima gaji dan tantiem sebesar ratusan juta rupiah per tahun? Kasih an sekali BUMN lain yang berperan sebagai kreditur yang laporan keuangannya menj adi tidak gilang gemilang seperti GA? Selain itu ada item lain dalam laporan keuangan GA yang sangat tidak masuk akal, yaitu perhitungan GA dalam membangun kantor baru di Cengkareng dengan nilai Rp 150 miliar, dalam pos penerimaan, ada nilai dari hasil penjualan kantor pusat GA di Jalan Merdeka Selatan sebesar Rp 400 miliar (tanpa dihitung biaya penyusutan dari nilai asetnya), sangat tidak mungkin jika GA membangun kantor barunya di C engkareng dengan hanya menghabiskan anggaran sebesar Rp 150 miliar? Dengan kond isi pelaporan yang demikian, tentu saja GA terlihat seperti mendapatkan keuntung an yang besar dengan cara melakukan re-engineering laporan keuangan. Bagaimana Seharusnya? Sebagai sebuah BUMN yang besar dan terpercaya di negeri ini, ada baiknya jika Di reksi GA tidak hanya pandai memoles kulit luar dari laporan keuangan dan mendekl arasikan keuntungan yang spektakuler padahal belum jelas bagaimana cara menghitu ngnya. Publik juga sangat ingin mengetahui apakah GA memang benar-benar memperol eh keuntungan? Atau hanya hasil polesan saja? Kalau ternyata semua itu adalah h asil polesan dan permainan angka dan lobi cara fait accompli , berarti patut diduga bah wa Direksi GA telah melakukan kebohongan publik dan telah melanggar UU No 14 tah un 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Secara awam, jelas terlihat bahwa sesungguhnya GA masih merugi. Apalagi ang GA kepada PT Bank Mandiri, PT AP I dan PT AP II tidak dikonversikan penyertaan saham. Kalau model konversi yang dipaksakan ini dibiarkan, negara tidak saja terjadi pada GA tetapi juga terjadi pada ketiga BUMN yang berperan sebagai kreditur. jika hut ke dalam kerugian lainnya

Untuk itu jika terbukti konversi ini merugikan, Kementerian Negara BUMN harus be rtindak sesuai peraturan yang ada, tanpa tebang pilih, tanpa pandang bulu. Namu n jika ternyata GA memang benar-benar memperoleh keuntungan karena kinerja manaj emen yang baik, maka tidak hanya Presiden SBY yang akan memuji, tetapi publik pu n akan sangat mengapresiasi dan angkat topi pada manajemen GA yang patut diduga saat ini sudah menikmati tantiem atau bonus atas hasil usaha pada tahun 2008 leb ih besar dari Direksi BUMN lain yang justru berperan sebagai kreditur bagi GA.

Anda mungkin juga menyukai