Anda di halaman 1dari 10

Peraturan pajak seharusnya mengacu kepada asas dan kaedah hukum di Negara kita. A.

Pengertian asas dan kaedah hukum


1. Pengertian Sistem Hukum Pajak Hukum Pajak adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang mengatur mekanisme perpajakan yaitu menentukan tentang bagaimana pajak harus dipungut, oleh siapa pajak itu dipungut, dan siapa yang dikenakan wajib membayar pajak. Sumber hukum pajak adalah Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Sedangkan Undang-undang pelaksana adalah UU No.6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU No. 7 tahun 1983, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, UU No.8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.18 tahun 2000, tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah, UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, UU No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterai 2. Pengertian Asas Hukum Menurut Dudu Duswara asas hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum, dasar dasar umum tersebut merupakan suatu yang mengandung nilai etis.1 3. Pengertian Kaedah Hukum Kaedah hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan dari aparat negara yang berwenang sehingga berlakunya dapat dipertahankan. Menurut Van Kant sifat yang khas dari peraturan hukum, ialah sifat memaksa menghendaki tinjauan yang lebih mendalam, sebab memaksa bukan berarti senantiasa dapat dipaksakan. 2 4. Pengertian Hukum acara dan pelaksanaannya. Hukum acara biasanya disebut dengan hukum formil, yaitu hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya hukum materiil. 3 Hukum acara dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara tata usaha negara. Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum perdata materiil. Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum perdata materiil. Sedangkan Hukum Acara Tata Usaha Negara adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum Tata Usaha Negara materiil.4 5. Pengertian Asas hukum dan Jenisnya Asas adalah dasar, alas, pondamen. Asas adalah suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpukan berpikir atau berpendapat dan sebagainya.5 Asas hukum adalah sebagai berikut6 : 1) Audi et alteram partem, adalah bahwa para pihak harus didengar. 2) Ne bis in idem, mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya 3) Clausual rebus sic stantibus, suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu perjanjian antar negara masih tetap berlaku, apabila situasi dan kondisinya tetap sama. 4) Cogitationis poenam nemo patitur ; tiada seorangpun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya. 5) Concobitus facit nuptias; perkawinan terjadi karena hubungan kelamin. 6) De Gustibus non est disputandum; mengenai selera tidak dapat disengketakan 7) Errare Humanum est, trupe in errore perseverare; membuat kekeliruan adalah manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliran. 8) Fiat Justitia ruat coelum; Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan. 9) Geen Straf Zonder Schuld; tiada hukum tanpa kesalahan. 10) Hodi mihi cras tibi, ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat.
1 2

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta 2006, hal. 43 Ibid, hal.19 3 Ibid, hal.82 4 Ibid. 5 Ibid, hal 43 6 Ibid, hal 44-47 1

11) In dubio pro reo; dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa. 12) Juru Suo uti nemo cogitur; tak ada seorangpun yang diwajibkan menggunakan haknya. 13) Koop breekt geen huur; jual beli tidak memutuskan sewa menyewa. 14) Lex dura sed ita scripta; Undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian. 15) Lex neminem cigit ad impossobilia; Undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. 16) Lex posterior derogate legi priori; Undang-undang yang baru lebih baru mengenyampingkan undangundang yang lama. 17) Lex Specialis derogate Legi Generali; Undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum. 18) Lex Superior derogate legi inferiori; Undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya. 19) Matrimonium ratum et non consummatum; perkawinan yang dilakukan secara normal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin 20) Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet, tak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki. 21) Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. 22) Opinio necessitaris, keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan. 23) Pacta sunt servanda, setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik. 24) Potior est qui prior est, siapa yang datang pertama dialah yang beruntung. 25) Presumption of innocence; praduga tak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan tetap. 26) Primus inter pares, yang pertama diantara sesama. 27) Prienceps legibus solutus est, kaisar tidak terikat oleh undang-undang atau para pemimpin sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya. 28) Quiquid est in teritorio, etiam est de territorio, asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu. 29) Qui tact consentire videtur, siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui. 30) Res nullius credit occupanti, benda yang ditelantarkan oleh pemiliknya bisa diambil untuk dimiliki. 31) Summum ius summa injuria, keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi. 32) Similia similibus, dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula, tidak pilih kasih. 33) Testimonium de auditu, kesaksian dapat didengar dari orang lain. 34) Unus testis nullus testis, satu orang saksi bukanlah saksi 35) Ut sementem faceris ita metes, siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya. 36) Vox Populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. 37) Verba Volant scripta manent, kata-kata biasanya tidak berbekas, sedangkan apa yang ditulis tetap ada. Asas-asas hukum seperti yang dikemukakan diatas memegang peranan penting bagi 7; 1) Pengundang-undangan, karena memberi arahan garis-garis besarnya dalam pembentukan hukum. 2) Hakim, karena memberi bahan yang sangat berguna dalam penafsiran Undang-undang secara dogmatis, serta dalam melakukan UU secara analogis. 3) Ilmu Hukum, karena asas-asas hukum merupakan hasil peningkatan berbagai peraturan-peraturan hukum dari tingkatan yang rendah. Menurut penulis asas yang terkait dengan aspek perpajakan adalah sbb : 1) Cogitationis poenam nemo patitur 2) De Gustibus non est disputandum; 3) Errare Humanum est, trupe in errore perseverare; 4) Fiat Justitia ruat coelum; 5) Geen Straf Zonder Schuld; 6) In dubio pro reo; 7) Lex dura sed ita scripta; 8) Lex neminem cigit ad impossobilia; 9) Lex posterior derogate legi priori;. 10) Lex Specialis derogate Legi Generali; 11) Lex Superior derogate legi inferiori; 12) Presumption of innocence; 13) Verba Volant scripta manen.
7

Ibid 2

6. Pengertian Kaedah hukum dan jenisnya Kaedah hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan dari aparat Negara yang berwenang sehingga berlakunya dapat dipertahankan8 Tugas kaedah hukum, yaitu pemberian kepastian hukum yang tertuju pada ketertiban, dan pemberian kesebandingan hukum yang tertuju pada ketenangan atau ketentraman. Ketertiban tersebut ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1) voorspelbaarheid (dapat diproyeksikan sebelumnya) 2) cooperatie (kerjasama) 3) controle van geweld (pengendalian terhadap kekerasan) 4) consistentie (konsistensi) 5) duurzaamheid (tahan lama) 6) stabiliteit (Stabilitas) 7) hierarchie (hirarki) 8) conformiteit (konformitas) 9) afwezigheid van conflict (tidak adanya konflik) 10) uniformiteit (uniformitas) 11) gemeenschappelijkheid (gotong royong) 12) relegmaat (teratur) 13) bevel (didasarkan kepatuhan) 14) volgorde (berpegang pada tahap yang telah ditentukan) 15) uiterlijke stijl (sesuai dengan pola) 16) rangschikking (tersusun) Perbedaan kaedah hukum dengan kaedah agama, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan adalah 9 : 1) Kaedah hukum bertujuan untuk menciptakan tata tertib masyarakat dan melindungi sesama manusia beserta kepentingannya. 2) Kaedah hukum mengatur tingkah laku manusia agar sesuai dengan aturan, sedangkah kaedah lainnya mengatur sikap batin manusia pribadi agar menjadi manusia yang berkepribadian baik. 3) Sumber sanksi kaedah hukum dan kaedah agama berasal dari kekuasaan luar diri manusia, sedangkan sanksi kaedah kesusilaan dan kesopanan berasal dari hati masing-masing manusia. 4) Kaedah hukum berisi tentang hak dan kewajiban, sedangkan kaedah agama dan kesusilaan serta kesopanan berisi tentang kewajiban saja. 7. Sumber-Sumber Hukum Sumber hukum adalah tempat dimana kita dapat melihat bentuk perwujudan hukum.10 Sumber hukum pada hakekatnya dibagi menjadi 2 (dua) macam antara lain : 1). Sumber hukum formal Sumber hukum ditinjau dari segi pembetukannya, dalam sumber hukum ini terdapat rumusan berbagai aturan yang merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan agar ditaati masyarakat dan para penegak hukum. Sumber hukum ini dibedakan menjadi 5 (lima), yaitu : a). Undang-undang b). Kebiasaan dan adat c). Traktak d). Yurisprudensi e). Pendapat ahli hukum terkenal. 2). Sumber hukum materiil Sumber hukum yang dapat dianggap menentukan isi hukum. Menurut Muchsin dalam bukunya, ada 2 (dua) faktor yang dianggap penting yaitu faktor idiil dan faktor riil. Faktor idiil adalah beberapa patokan yang tetap tentang keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk undang-undang atau para pembentuk hukum lainnya dalam melaksanakan tugasnya.Sedangkan Faktor Riil adalah hal-hal yang benar hidup dalam masyarakat dan merupakan petunjuk hidup bagi masyarakat yang bersangkutan. Faktor riil adalah sbb : a). Struktur ekonomi dan kebutuhan pasar b). Adat istiadat dan kebiasaan c). Keyakinan tentang agama dan kesusilaan d). Berbagai gejala dalam masyarakat. Menurut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis
8 9

Ibid. Hal.19 ibid 10 Ibid, hal.61-67 3

dan tidak tertulis. Hirarki Sumber hukum menurut TAP MPR No.III/MPR/2000 adalah sbb : 1) Undang-undang Dasar 1945 2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 3) Undang-undang 4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) 5) Peraturan Pemerintah 6) Keputusan Presiden 7) Peraturan Daerah. Menurut penulis sumber hukum adalah dasar hukum dilaksanakan sebuah ketentuan yang harus dijalankan oleh masyarakat. Untuk perpajakan, maka sumber hukumnya adalah sbb : 1) Pasal 23 A Undang-Undang Dasar (UUD 45) yang menyatakan bahwa segala hal yang menyangkut tentang pajak harus diatur dalam Undang-undang. 2) Undang-undang No.6 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan no.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 3) Undang-undang No.7 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan no.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. 4) Undang-undang No.8 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan no.18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah 5) Undang-undang No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan 6) Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterai. 7) Peraturan Pemerintah No.80 tahun 2007 tentang petunjuk dan pelaksanaan UU KUP 8) Peraturan Pemerintah No.138 tahun 2000 tentang Pajak penghasilan. 9) Peraturan Pemerintah No.143 tahun 2000 tentang Pajak Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah 10) Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2000 tentang Nilai Jual Kena Pajak, Pajak Bumi dan Bangunan 11) Peraturan Pemerintah No.24 tahun 2000 tentang Pelaksanaan tarif Bea Meterai. 12) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang diatur oleh Undang-undang 13) Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Yang diatur oleh Undang-undang 14) Putusan Pengadilan Pajak oleh hakim.

B. Kajian Asas dan kaedah hukum pajak.


Asas dan Kaedah Hukum Pajak Asas dan Kaedah Hukum Pajak, pada dasarnya mengacu kepada asas dan kaedah hukum yang berlaku, namun pelaksanaannya yang dapat diterapkan dengan aspek perpajakan antara lain : 1) Asas Hukum yang terkait dengan perpajakan. a) Cogitationis poenam nemo patitur ; tiada seorangpun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya. b) De Gustibus non est disputandum; mengenai selera tidak dapat disengketakan c) Errare Humanum est, trupe in errore perseverare; membuat kekeliruan adalah manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan. d) Fiat Justitia ruat coelum; Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan. e) Geen Straf Zonder Schuld; tiada hukum tanpa kesalahan. f) In dubio pro reo; dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa. g) Lex dura sed ita scripta; Undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian. h) Lex neminem cigit ad impossobilia; Undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. i) Lex posterior derogate legi priori; Undang-undang yang baru lebih baru mengenyampingkan undangundang yang lama. j) Lex Specialis derogate Legi Generali; Undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum. k) Lex Superior derogate legi inferiori; Undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undangundang yang lebih rendah tingkatannya. l) Presumption of innocence; praduga tak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan tetap. m) Verba Volant scripta manen; kata-kata biasanya tidak berbekas, sedangkan apa yang ditulis tetap ada.

2). Kaedah Hukum yang terkait dengan aspek perpajakan adalah sbb : a) Ketentuan Pajak dapat diproyeksikan sebelumnya b) Penetapan Pajak harus bersifat kerjasama antara auditor dan Wajib Pajak c) Ketentuan peraturan perpajakan harus konsisten dari peraturan tertinggi sampai aturan pelaksanaannya. d) Ketentuan pajak tidak sering berubah-ubah, sehingga dapat menimbulkan kepastian hukum. e) Ketentuan Perpajakan tidak menimbulkan goncangan ekonomi makro yang dapat menimbulkan instabilitas negara. f) Hirarki ketentuan perpajakan harus jelas dan setiap peraturan dibawahnya harus mengacu kepada aturan diatasnya. g) Ketentuan perpajakan harus bersifat seragam dan secara adil dikenakan kepada setiap Wajib Pajak yang dikenakan pajak tanpa terkecuali. h) Pajak merupakan tanggung jawab bersama untuk itu diperlukan gotong royong masyarakat dalam mewujudkannya. i) Ketentuan peraturan pajak, seharusnya teratur dan tidak muncul setiap kali ada keinginan wajib pajak tertentu. j) Wajib Pajak harus patuh dalam menjalankan pemenuhan kewajiban perpajakannya. k) Ketentuan yang ada harus tersusun secara benar agar tidak membingungkan Wajib Pajak. 2. Kajian Ketentuan peraturan perpajakan dengan asas dan kaedah hukum yang berlaku 1) Cogitationis poenam nemo patitur ; tiada seorangpun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya. Dengan asas ini maka peraturan perpajakan yang tidak didelegasikan oleh undang-undang dianggap hanya sebuah pemikiran seseorang, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai aturan pajak karena melanggar asas hukum. 2) De Gustibus non est disputandum; mengenai selera tidak dapat disengketakan Banyaknya kasus atas penetapan pajak berdasarkan pasal pokoke yang dilakukan oleh sebagian oknum Ditjen Pajak, menurut Penulis tidak seharusnya dapat disengketakan apalagi sampai ke pengadilan pajak karena hasil penetapan pajak tersebut tergantung selera sepihak oleh pemeriksa pajak. Hal ini dapat dilihat dalam kasus di pengadilan pajak terhadap PT.X, Auditor Pajak hanya melakukan equalisasi objek PPh Pasal 21 dengan biaya yang dilaporkan dalam PPh Badan. Jika terjadi perbedaan maka dianggap Objek PPh Pasal 21. Seharusnya perkara seperti ini tidak perlu sampai pengadilan pajak, apalagi telah jelas bahwa perbedaan tersebut karena perlakuan daerah terpencil yang memang memperkenankan biaya perumahan dan bukan merupakan objek PPh Pasal 21 (Pasal 4 dan Pasal 9 UU PPh). Namun kenapa perkara seperti ini sampai di pengadilan pajak, apakah saat Wajib Pajak keberatan, Ditjen Pajak menutup mata dengan kasus ini ? Penulis berkeyakinan jika saat Wajib Pajak mengajukan keberatan dan pihak Ditjen Pajak dapat bersikap adil, maka dipastikan kasus ini tidak perlu disengketakan di pengadilan pajak. 3) Errare Humanum est, trupe in errore perseverare; membuat kekeliruan adalah manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliran. Hasil penetapan yang terlanjur dibuat keputusan oleh Ditjen Pajak meskipun atas hasil rekayasa oknum pemeriksa pajak, keputusan ini dianggap benar oleh Ditjen Pajak, dan hanya dapat dibatalkan dengan mengajukan keberatan atau banding. (Pasal 26 dan Pasal 27 UU KUP). Hal ini dapat dilihat dalam kasus di pengadilan pajak terhadap PT.X. Dimana Ditjen Pajak menghitung adanya objek PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT.XYZ, padahal karyawan yang ada merupakan pegawai PT. ABC, dalam hal ini seharusnya pada saat PT.XYZ membayar kepada PT.ABC, telah dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dan bukan objek PPh Pasal 21 sebagaimana yang ditetapkan Ditjen Pajak. Oleh karena itu menurut penulis hal ini merupakan kekeliruan manusiawi, namun kenapa tetap dipertahankan pada saat Wajib Pajak mengajukan keberatan ? jika pada saat keberatan Ditjen Pajak jujur dan adil dalam melihat permasalahan yang ada seharusnya hal ini dimenangkan Wajib Pajak sebelum mengajukan banding. Dalam putusan pengadilan pajak untuk kasus ini memang telah sesuai dengan asas hukum, dengan tidak mempertahankan hasil penetapan Ditjen Pajak dan mengabulkan permohonan seluruh Wajib Pajak. 4) Fiat Justitia ruat coelum; Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan. Banyaknya kesewenangan hasil keputusan aparatur Ditjen Pajak, mengakibatkan rasa keadilan Wajib Pajak tidak terpenuhi. Keputusan sepihak karena kewenangan dan kekuasaan mau tidak mau harus 5

diterima terlebih dahulu, jika menolak maka WP harus mengajukan keberatan terlebih dahulu dan banding. Seperti dalam kasus koreksi PTKP seluruhnya dianggap Tidak Kawin dan biaya perjalanan dinas yang muncul dalam Laporan Keuangan dianggap objek PPh Pasal 21. 5) Geen Straf Zonder Schuld; tiada hukum tanpa kesalahan. Sebagaimana kita sadari, setiap manusia pasti ada salah, sehingga dalam penetapan pajak pun kemungkinan juga ada kesalahan manusia, oleh karena itu keputusan aparatur Ditjen Pajak bukanlah keputusan sakral tanpa salah, oleh karena itu sebaiknya Ditjen Pajak harus meneliti terlebih dahulu kemudian dibetulkan tanpa harus mengajukan banding ke pengadilan pajak, karena sebelum banding Wajib Pajak diberikan kewenangan untuk mengajukan keberatan. Hal ini juga tercermin dalam kasus X PPh Pasal 21 putusan pengadilan pajak, dimana Wajib Pajak telah memotong honor dokter tamu dan dikenakan tarif 15% x 40% x penghasilan bruto, menurut Auditor seharusnya dikenakan tarif Pasal 17 UU PPh yang hasilnya lebih tinggi dibanding tarif 6%. Dalam kasus ini auditor telah melakukan kesalahan penerapan ketentuan perpajakan, yang seharusnya tidak perlu terjadi jika auditor memahami dengan benar tentang petunjuk pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21. 6) In dubio pro reo; dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa. Apabila terdapat perbedaan hasil perhitungan Wajib Pajak dengan Ditjen pajak, maka yang duntungkan adalah Ditjen Pajak, karena meskipun Pemeriksa Pajak ragu maka dengan kewenangannya yang besar akan tetap menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, mesipun memberatkan Wajib Pajak. Dalam kasus PPh Pasal 21 tentang PT.X, Aparatur Ditjen Pajak sebenarnya ragu dalam menentukan objek PPh Pasal 21, sehingga hutang usaha pabrik dan biaya pengolahan dianggap penghasilan bagi karyawan yang akhirnya dikenakan PPh Pasal 21, seharusnya jika ragu maka auditor pajak tidak perlu menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 21. Ketentuan perpajakan dalam hal ini kebalikan dengan asas hukum tersebut diatas. Hal ini terbukti dengan menganggap sesuatu yang tidak ada buktinya meskipun biaya tersebut bukan objek PPh Pasal 21, tetap dikenakan PPh Pasal 21. 7) Lex dura sed ita scripta; Undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian. Peraturan yang mengatur tentang perpajakan harus sesuai dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, yaitu setiap peraturan tentang pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian jika tidak diatur dengan Undang-undang, maka secara hukum peraturan pajak dianggap tidak sah secara hukum. Namun kenyataannya Surat Edaran dari Ditjen Pajak cenderung dipakai sebagai dasar penetapan oleh pemeriksa pajak meskipun Surat Edaran tersebut tidak diatur dalam undang-undang. Hal ini dapat dibuktikan dari masih beredarnya surat edaran yang isinya mengatur tentang pajak dan menjelaskan ketentuan yang berlaku. Seharusnya segala ketentuan yang berlaku baik isi dan penjelasannya sudah harus jelas diatur dalam undang-undang, kecuali wewenangnya didelegasikan kepada peraturan dibawahnya. Hal ini pun juga bertentangan dengan sumber hukum di Indonesia, karena dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 Peraturan Menteri Keuangan apalagi Surat Edaran Ditjen Pajak bukanlah sumber hukum. 8) Lex neminem cigit ad impossobilia; Undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Undang-undang dibuat bukanlah untuk menyengsarakan rakyat atau menjadikan Ditjen Pajak sebagai superior sehingga dapat memaksakan kehendaknya dalam penetapan pajak. Undang-undang diciptakan demi memenuhi rasa keadilan agar hak dan kewajiban rakyat terutama Wajib Pajak merasakan perlakuan yang sama dan sesuai dengan penghasilan yang diterimanya. 9) Lex posterior derogate legi priori; Undang-undang yang baru lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama. Undang-undang yang lebih baru secara otomatis mengenyampingkan undang-undang yang lama sepanjang dalam undang Undang yang baru bersifat mengubah atau menambah ketentuan. Namun pada umumnya Undang-undang tersebut tidak mengganti sebagian Undang-undang perpajakan bersifat mengubah, sehingga tidak semua pasal diubah, jika tidak diatur dalam undang-undang baru, maka pasal-pasal yang tercantum dalam undang-undang yang lama masih berlaku. Pada kenyataannya Undang-undang telah berubah namun keputusan dibawahnya masih banyak yang menggunakan ketentuan lama, misal tentang bukti pemotongan pajak PPh Pasal 23 yang masih menggunakan formulir yang lama. 10) Lex Specialis derogate Legi Generali; Undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya 6

daripada undang-undang yang umum. Undang-undang yang lebih khusus lebih didahulukan, misalnya Undang-undang tentang perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty), Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing atau Kontrak Karya Bagi Hasil. Jika perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty), pajak atas pembayaran bunga ke luar negeri dipotong PPh Pasal 26 sebesar 10% dari penghasila bruto, maka Undang-undang Pajak Penghasilan yang mengatur PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga ke luar negeri sebesar 20% dari penghasila bruto, menjadi tidak berlaku. 11) Lex Superior derogate legi inferiori; Undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undangundang yang lebih rendah tingkatannya. Undang-undang merupakan sumber hukum tertinggi dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan, namun sebagian besar pemeriksa pajak dalam melakukan penetapan pajak seringkali berlandaskan atas surat edaran Dirjen pajak, bukan undang-undang. Hal ini yang harus dibenahi dalam ketentuan tentang peraturan perpajakan, bahwa surat edaran bukanlah sumber hukum. 12) Presumption of innocence; praduga tak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan tetap. Wajib Pajak dianggap salah apabila sudah ada keputusan hakim di pengadilan pajak, namun kenyataannya Wajib Pajak dianggap salah pada saat pemeriksaan pajak, hal ini terbukti dengan diterbitkan ketetapan pajak meskipun auditor tidak mendapatkan bukti yang cukup untuk menetapkan jumlah pajak yang terutang. Wajib Pajak Harus Membayar 50% dari PPh yang masih harus dibayar, meskipun WP tidak bersalah. Ketentuan yang mengatur tentang hal ini, memang kurang adil, karena tidak sesuai dengan kaedah hukum yang ada, seharusnya WP dihukum jika sudah terbukti bersalah. Ketentuan ini menurut Mahkamah Konstitusi bukan melanggar kaedah hukum karena jika menang nantinya akan dikembalikan ditambah bunga 2% per bulan. Perlu diketahui, kepastian hukum yang mengatur tentang pajak masih dianggap kurang oleh Wajib Pajak, hal ini akan menimbulkan keraguan apakah yakin menang atau tidak. Bagi perusahaan yang mampu secara cash flow maka pembayaran pajak dimuka tidak akan mempengaruhi bisnis usahanya, namun jika perusahaan yang tidak merasa bersalah dan laba yang ada telah dilakukan untuk investasi selanjutnya, maka jika ada penetapan pajak yang dirasa tidak akan pernah terjadi dimasa mendatang, dipastikan akan menguras kas perusahaan, karena perusahaan harus membayar pajak, konsultan pajak, akomodasi dan lain-lain, sehingga menyita waktu dan dana bagi perusahaan yang merasa jujur dalam membayar pajak. 13) Verba Volant scripta manen; kata-kata biasanya tidak berbekas, sedangkan apa yang ditulis tetap ada. Undang-undang kita menganut sistem hukum tertulis atau seringkali dinamakan sistem hukum eropa kontinental. Prinsip utama yang menjadi dasar dari system ini adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu. Sumber hukum bagi sistem hukum ini adalah undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif. Disamping itu, kaedah yang ada di pengadilan pajak cenderung tidak sesuai dengan aspek perpajakan, karena sbb : 1) Ketentuan Pajak tidak dapat diproyeksikan sebelumnya kepada setap Wajib pajak Peraturan Pajak yang sering berubah menimbulkan permasalahan bagi Wajib Pajak dalam rangka menjalankan pemenuhan kewajiban perpajakannya, misalnya ketentuan Faktur Pajak yang berubah dan mulai berlaku tahun pajak 2007, pada saat terjadinya perubahan banyak perusahaan yang harus membuang formulir faktur pajak yang lama, padahal telah dicetak ribuan. Seharusnya Ditjen Pajak saat menerbitkan ketentuan terbaru harus sosialisasi terlebih dahulu setahun sebelumnya, sehingga Wajib Pajak tidak akan mencetak dalam jumlah yang besar, karena dapat diproyeksikan sebelumnya. 2) Tidak ada kerjasama yang baik antara Wajib Pajak dengan aparatur Ditjen Pajak. Tidak ada kerja sama yang baik dikarenakan arogansi aparatur Ditjen Pajak yang memiliki kewenangan, lebih mengedepankan kekuasaannya daripada pendekatan proaktif, misalnya dengan menggeledah tanpa minta ijin terlebih dahulu. Seharusnya auditor saat melakukan penggeledahan dapat meminta kepada Wajib Pajak untuk menyerahkan buku, catatan atau dokumen yang diinginkan dengan cara yang baik, bilamana Wajib Pajak menolak auditor dapat melakukan penyegelan atas ruangan atau tempat yang dianggap dapat mengamankan buku, catatan atau dokumen tersebut. Dengan cara ini mau tidak mau dipastikan Wajib Pajak menyerahkan semua permintaan yang diminta auditor meskipun dalam keadaan terpaksa namun tidak dengan kekerasan. 3) Wajib Pajak yang nakal tidak dapat dikendalikan. 7

Wajib Pajak di Indonesia masih banyak yang belum membayar pajak secara benar, hal ini dapat dibuktikan dengan perbandingan kepemilikan harta dibanding dengan pendapatan yang diperoleh. Penulis mendapatkan data Tn. T yang beralamat di Menteng dengan harta 1,4 Triliun, namun pajak yang dibayar setahun hanya 10 Milyar, artinya pengasilan Tn.T adalah 30 Milyar setahun. Tabungan yang diperoleh selama setahun adalah 20 Milyar. Tn. T saat itu usiannya 45 tahun, jika mulai produktif pada usia 25 tahun, maka tabungan Tn.T adalah 20 milyar x 20 tahun yaitu 400 milyar. Dengan demikian dipastikan harta 1 triliun belum dikenakan pajak. Di negara Indonesia terdapat ribuan Wajib Pajak seperti Tn. T, Penulis berpendapat jika Ditjen Pajak mau menyusuri kepemilikan rumah mewah, di kawasan bintaro, pondok indah, kemang, pluit, mampang, menteng, cendana dll. dipastikan dapat mendongkrak penghasilan negara dari penerimaan pajak. Untuk itu Ditjen Pajak harus dapat mengendalikan Wajib Pajak yang nakal agar dapat dikenakan pajak sesuai dengan kepemilikan harta atau pendapatannya, sehingga kaedah hukum yang menghukum seseorang yang nakal dapat diberlakukan dengan baik, dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh Wajib Pajak di Indonesia 4) Tidak konsisten terhadap peraturan yang berlaku. Sebagaimana kasus yang terjadi dalam kasus PPN pada PT.Y, Ditjen Pajak memberikan sarana Pemindahbukuan guna melakukan pembetulan terhadap pembayaran yang salah. Namun sebagaimana yang terjadi dalam putusan ini, Ditjen Pajak justru tidak menganggap Wajib Pajak telah melakukan pembayaran atas PPN tersebut. Hal ini merupakan inkonsistensi aparatur Ditjen Pajak atas peraturan yang berlaku. 5) Peraturan senantiasa berubah dan tidak tahan lama. Ketentuan perpajakan yang senantiasa berubah tanpa kompromi, merupakan tindakan yang melanggar kaedah hukum karena dengan peraturan yang senantiasa berubah akan menimbulkan kerugian berupa penambahan atas biaya cetak formulir terbaru, atau pembuatan program software terbaru. Seharusnya Ditjen Pajak dapat mensosialisasikan ketentuan terbaru terlebih dahulu sebelum memberlakukan, sehingga Wajib Pajak dapat mengantisipasi perubahan tersebut sedini mungkin. Hal ini diharapkan, Wajib Pajak dapat mengurangi biaya serta melakukan penghematan sedini mungkin. 6) Peraturan pajak yang tidak adil dan kurang memperhatikan kondisi perekonomian makro dapat menyebabkan stabilitas negara terganggu, 7) Hirarki peraturan tidak sesuai dengan UUD Pasal 23A, dimana sumber hukum adalah Peraturan Pemerintah level terendah adalah Peraturan Daerah, sedangkan aturan pajak mengenal Peraturan Menteri Keuangan bahkan Peraturan Dirjen Pajak. Seharusnya Ditjen Pajak dalam menetapkan jumlah pajak terutang tidak diperkenankan menggunakan Surat Edaran, karena hal ini bukan merupakan sumber hukum sebagaimana dalam Tap MPR No.III tahun 2000. Untuk itu pengadilan pajak jika menemukan hasil penetapan yang sumber hukumnya Surat Edaran, maka sebaiknya dibatalkan, karena tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam penetapan jumlah pajak terutang. Menurut penulis aparatur Ditjen Pajak dalam menetapkan jumlah pajak yang terutang harus dengan menggunakan hirarki dalam penetapannya, misalnya auditor akan menetapkan koreksi atas Faktur Pajak yang cacat, hal ini harus dilandasi dengan Undang-undang PPN Pasal 13 tentang Faktur Pajak, lalu Kep-549/PJ./2000 Jo. PER-159/PJ./2006. 8) Kompromi yang ada sering disalahgunakan untuk melakukan negoisasi dalam hal pengurangan pajak sehingga merugikan Negara. Kompromi identik dengan niat yang saling menguntungkan kedua belah pihak, untuk itu menurut penulis guna menghindari adanya kolusi, sebaiknya hasil kertas kerja pemeriksaan dapat dibahas dan dikaji oleh tim lain apakah kuat atau tidak temuan tersebut sebelum disampaikan kepada Wajib Pajak. Hal ini dapat mengurangi upaya pengurangan penetapan pajak karena adanya unsur kolusi. Kompromi dapat dilakukan dalam hal mengajak Wajib Pajak untuk membayar pajak dengan mengurangi sanksi yang ada, hal ini merupakan upaya Ditjen Pajak dalam memasukkan kas secepatnya kedalam penerimaan negara. 9) Sikap arogansi aparatur Ditjen pajak sering menimbulkan konflik dan atas ketetapan tertentu tidak ada yang seragam, cenderung mengedepankan unsur subjektifitas. Seharusnya kewenangan Ditjen Pajak tidak diberikan kepada setiap auditor, sebab dalam menangani hal yang sama, auditor berbeda cara dalam menjalankan kewenangannya. Agar tidak timbul konflik, auditor pajak hendaknya diberikan tata cara yang seragam dengan pembekalan yang tersusun secara sistematik. Menurut penulis, Ditjen Pajak harus membuat prosedur dalam hal menangani berbagai kasus dengan 8

membuat prosedur tetap sebagaimana yang dilakukan Polisi, sehingga meski pendekatannya berbeda, namun langkah yang dilakukan adalah seragam. Jika hal ini dilakukan maka akan mengurangi konflik antara Ditjen Pajak dengan Wajib Pajak, karena jika prosedur tersebut telah disampaikan secara terbuka, maka Wajib Pajak akan memaklumi sebagaimana yang dilakukan polisi. 10) Keputusan yang ada tidak didasarkan atas kaedah kepatuhan namun cenderung bersifat kompromi dan tidak berpegang pada tahap yang sebenarnya dalam pemeriksaan pajak, sehingga pola yang salah masih digunakan oleh aparatur Dirjen Pajak. 11) Ketentuan tentang peraturan pajak seharusnya tersusun secara baik dan mengandung kepastian hukum. Agar ketentuan perpajakan sesuai dengan kaedah hukum maka peraturan yang ada seharusnya tersusun dengan baik dan diberikan waktu tertentu untuk memberikan kepastian hukum. Ketentuan tersebut harus mengacu kepada ketentuan tertinggi dan tidak bertentangan. Penulis yakin jika Ditjen Pajak menyusun peraturan yang masih berlaku dan yang tidak berlaku, untuk setiap jenis pajak dan setiap masalah pajak, maka Wajib Pajak tidak kesulitan dalam menjalankan pemenuhan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepastian Hukum dapat diberlakukan jika Wajib Pajak dapat menjalankan kewajibannya dengan penuh kepastian dan tidak dibayangi dengan suatu saat terjadi perubahan aturan Ditjen Pajak. Untuk itu Penulis mengusulkan seharusnya peraturan Ditjen Pajak dibuat masa berlakunya, setelah itu Ditjen Pajak jika ingin mengubahnya, dapat segera diantisipasi oleh Wajib Pajak. 12) Keadilan tidak dapat dirasakan Wajib Pajak. Ditjen Pajak dapat melakukan penyitaan meskipun Wajib Pajak masih menggunakan upaya hukum keberatan dan banding, seharusnya eksekusi harta Wajib Pajak dilakukan setelah ada kekuatan hukum tetap. Namun demikian Wajib Pajak memang diperkenankan mengajukan gugatan ke pengadilan pajak jika ada penyitaan harta. Ketidakadilan yang lain adalah Wajib Pajak harus tetap dikenakan sanksi bunga penagihan jika tidak melakukan pembayaran pajak meskipun WP mengajukan keberatan dan banding. Untuk tahun pajak 2008, WP telah diberikan hak sebagaimana mestinya karena terutangnya pajak adalah hasil putusan tetap dari pengadilan pajak, sehingga penyitaan dan bunga penagihan ditiadakan.

C. Kesimpulan 1. Peraturan pajak hendaknya mengacu pada asas dan kaedah hukum perpajakan 2. Peraturan Pajak harus memiliki rasa keadilan dan kesamaan hak dalam hukum 3. Peraturan pajak hendaknya konsisten dan tidak berubah ubah setiap waktu, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan biaya lebih tinggi akibat perubahan ketentuan perpajakan secara sepihak. 4. Peraturan yang tidak hirarki menurut Undang-undang sebaiknya tidak diberlakukan, misal Surat Edaran dll. 5. Peraturan Pajak hendaknya dibuat tanggal berlakunya peraturan, dan dapat ditinjanu kembali jika melewati jangka waktu aturan tersebut.

TENTANG PENULIS Saat ini penulis adalah salah satu Widyaiswara STAN Prodip Keuangan.
9

Pengalaman penulis yang saat itu di Kantor Pajak menjadikan penulis dapat memahami hal yang terjadi di Kantor Pajak. Penulis saat ini telah membuat buku-buku perpajakan dan modul untuk diklat perpajakan PNS DJP - Departemen Keuangan, antara lain ; PENGARANG BUKU PERPAJAKAN : - Cara Mudah Menghitung PPh Badan Andi Offset - PPh Pemotongan Pemungutan Raja Grafindo - Perpajakan Umum - Raja Grafindo - Perpajakan Bendaharawan - Raja Grafindo - Perpajakan Internasional Badan Diklat Keuangan DEPKEU - Klasifikasi Objek PPN Lingkaran Yogya - PPh Orang Pribadi - Lingkaran Yogya - Rekonsiliasi PPh Badan T&A Software - Pemeriksaan Pajak - Lingkaran Yogya

PENYUSUN MODUL PERPAJAKAN : - Persiapan pemeriksaan pajak Diklat Auditor DJP - Pemeriksaan pajak per jenis usaha Diklat Auditor DJP - Program pemeriksaan pajak Diklat Auditor DJP - Penagihan Pajak Diklat Teknis Aparatur DJP

10

Anda mungkin juga menyukai