Dosen Pengampu : Dr. Siti Muti'ah Setiawati, MA Annisa Gita Srikandini, SIP, MA
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012 1
One day, on the model of the United States of America, a United States of Europe will come into being. -George Washington Europe thus divided into nationalities freely formed and free internally, peace between States would have become easier: the United States of Europe would become a possibility. - Napoleon Bonaparte
Bertahun-tahun sebelum sekarang, perdebatan tentang masa depan Benua Biru telah eksis dan menjadi perhatian di dunia internasional. George Washington bukanlah satu-satunya orang yang berpikir bahwa di masa yang akan datang dapat terbentuk United States of Europe. Winston Churchill, dalam sebuah pidatonya di tahun 1946, pernah mengatakan bahwa mereka (Eropa) harus membentuk semacam United States of Europe.1 Hampir dua puluh tahun sebelum pidato Churchill tersebut atau tepatnya pada tahun 1929, Perdana Menteri Prancis saat itu (Aristide Briand) mengusulkan dibentuknya federasi negara-negara Eropa dalam rangka mencapai kesejahteraan ekonomi, politik dan kerjasama sosial di benua tersebut. Apabila mau menarik cerita ini lebih jauh lagi, sebenarnya satu abad sebelum pernyataan Churchill tersebut, telah ada tokoh-tokoh yang memiliki ide akan terbentuknya federasi negara-negara Eropa atau United States of Europe. Tokoh-tokoh tersebut ialah Henry IV, Grotius, Victor Hugo, Carlo Cattaneo, Mikhail Bakunin, Guiseppe Mazzini, dan Napoleon Bonaparte. Tahun 1951 adalah tahun bersejarah bagi sebagian negara di benua Eropa, karena di tahun tersebut terbentuk The European Coal and Steel Community (ECSC) yang merupakan bibit awal dari lahirnya Uni Eropa. Sebagai sebuah organisasi supranasional, Uni Eropa adalah refleksi dari integrasi ke-27 negara anggotanya. Melihat perkembangan Uni Eropa sekarang, tampaknya ide Napoleon Bonaparte memiliki kesempatan untuk menjadi kenyataan; terbentuknya United States of Europe. Sebagai sebuah regionalisme, Uni Eropa dapat dikatakan menjadi regionalisme yang paling sempurna di dunia saat ini. Uni Eropa berbeda dengan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), UNASUR (Union of South American Nations), maupun regionalisme lainnya di dunia ini. Salah satu perbedaan itu ialah bahwa Uni Eropa sejak 1 Januari 2002 telah menggunakan satu mata uang bersama, yang hingga sekarang telah aktif digunakan oleh 23 negara anggotanya.2 Satu mata uang tunggal adalah wujud konkret dari keberhasilan mereka dalam hal integrasi ekonomi. Selain itu, mereka juga memiliki satu badan eksekutif bersama (European Commision), perwakilan tinggi (high representative) untuk kebijakan pertahanan dan luar negeri, satu pengadilan bersama (European Court of Justice) dan sebuah angkatan bersenjata untuk misi perdamaian (Eurofor). Uni Eropa telah
1
Churchill mengatakan bahwa, We must build a kind of United States of Europe. In this way only will hundreds of millions of toilers be able to regain the simple joys and hopes which make life worth living. Perkataan tersebut adalah salah satu kalimat dalam pidatonya di University of Zurich. Seperti dikutip dalam: Winston Churchill: Calling for a United States of Europe, European Commission (online), <http://europa.eu/abouteu/eu-history/founding-fathers/pdf/winston_churchill_en.pdf>, diakses 14 Juni 2012.
2
M. Rosenberg, Euro Countries: 23 Countries Use the Euro as their Official Currency, About.com (online), 17 Maret 2011, <http://geography.about.com/od/lists/a/euro.htm>, diakses 14 Juni 2012.
mengalami perubahan dan berkembang sedemikian pesat sejak 9 Mei 1950, ketika Deklarasi Schuman mengusulkan terbentuknya ECSC yang kemudian menjadi kenyataan dengan disetujuinya Traktat Paris pada 18 April 1951. Semakin lama, integrasi Uni Eropa semakin kokoh serta terstruktur rapi. Hasil tersebut ialah implikasi dari proses panjang perkembangan Uni Eropa. Mereka telah memulai perkembangan regionalismenya sejak dekade 1950-an, bahkan sebelum deklarasi Bangkok yang melahirkan ASEAN diselenggarakan. Secara konsisten Uni Eropa selalu
memperbaharui dirinya melalui perundingan-perundingan yang kemudian menghasilkan traktat, yang merupakan landasan paling utama dari Uni Eropa. Tidak hanya oleh Uni Eropa, dunia internasional mempercayai traktat sebagai salah satu hukum internasional yang menjadi landasan penting dari perjanjian beberapa pihak. Sejarah traktat itu sendiri sangat panjang. Traktat paling tua yang pernah ditemukan di dunia ialah traktat perdamaian antara MesirHittite, sebuah perjanjian yang mengakhiri pertempuran Kadesh antara Kerajaan Mesir yang dipimpin Ramses II dan bangsa Hittite yang dipimpin Hattusili III pada 1259 SM.3
Tabel 1: Perkembangan Traktat Uni Eropa 1951 Traktat Paris (ECSC) 1957 Traktat Roma (EEC) 1986 1992 1997 2001 Traktat Nice (EU) 2004 Traktat Konstitusional (gagal) 2007 Traktat Lisbon
Kembali lagi dalam konteks Uni Eropa, sejak awal mula dibentuk mereka selalu menggunakan traktat sebagai landasan yang paling legal, dari mulai Traktat Paris (1951) hingga yang terbaru ialah Traktat Lisbon (2007). Ini dikarenakan traktat memiliki sifat yang mengikat; mengikat negara-anggota untuk tunduk dengan artikel-artikel yang tertera dalam perjanjian, dan rela menanggung resiko apabila mereka secara sengaja maupun tidak mengingkari apa yang telah mereka janjikan. Seorang pakar hukum internasional, yakni J.L. Brierly pernah mendefinisikan perjanjian seperti berikut: (a) A treaty is an agreement recorded in writing between two or more States or international organizations which establishes a relation under international law between the parties thereto; (b) A treaty includes an agreement effected by exchange of notes; (c) The term treaty does not include an agreement to which any entity other than a State or international organizations is or may be
3
K. Hickman, Ancient Egypt: Battle of Kadesh, About.com (online), <http://militaryhistory.about.com/od/battleswarsto1000/p/Ancient-Egypt-Battle-Of-Kadesh.htm>, diakses 14 Juni 2012.
a party.4 Secara lebih jelas, maka traktat dapat didefinisikan sebagai perjanjian paling formal yang merupakan persetujuan dua negara atau lebih dalam kaitannya dengan bidang perdamaian, aliansi, ekonomi, politik dan hubungan internasional lainnya. Ini adalah sebuah dokumen resmi yang menyatakan kesepakatan mereka dalam kata-kata; yang pada akhirnya digunakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengikatkan diri mereka secara hukum. Atau dengan kata lain, perjanjian adalah salah satu sarana untuk membuat negara menjadi powerless, karena mereka rela menyerahkan sebagian kecil (atau besar) kekuasaannya demi tetap mengikuti perjanjian yang telah mereka tanda tangani. Negaraanggota Uni Eropa tentu sudah menyadari implikasi apa yang mungkin akan ada ketika mereka meratifikasi traktat-traktat tersebut. Oleh karena itu, proses ratifikasi traktat-traktat tersebut tidak selamanya mudah. Meskipun tidak selamanya berjalan dengan mudah, namun prosesi pembuatan Traktat Paris hingga Nice berlangsung lancar dan berujung pada ratifikasi traktat oleh negara anggota Uni Eropa. Setelah Traktat Nice, Uni Eropa berencana untuk menerapkan traktat baru, yakni Traktat Konstitusional. Namun traktat ini, sebagaimana yang tercantum dalam Gambar 1, gagal diterima oleh semua negara anggota. Dalam proses ratifikasinya terdapat negara anggota Uni Eropa yang menolaknya dengan referendum. Negara-negara yang tidak menyepakati Traktat Konstitusional tersebut adalah Perancis dan Belanda. Mereka tidak sepakat dengan isi traktat tersebut yang lebih mengikat dan mengatur struktur institusional Uni Eropa, meliputi perubahan prosedur pembuatan kebijakan dengan cara menyeimbangkan hak pemilihan (jumlah suara) negara-negara anggota, memperluas peran parlemen dalam berbagai area, dan membenahi prosedur dalam lembaga legislatif. Sehingga kemudian, traktat tersebut digantikan oleh Traktat Lisbon. Meskipun akhirnya Traktat Lisbon diratifikasi oleh semua negara anggota, namun seperti yang diketahui bersama, perjalanan traktat ini tidaklah mudah. Sebagai salah contoh kasus, pada tahun 2008 mayoritas rakyat negara Irlandia (53,4%) pernah menyatakan menolak traktat tersebut, namun pada 2 Oktober 2009 dilaksanakan referendum kedua di negara tersebut yang hasilnya sepakat menerima Traktat Lisbon.5 Meski tidak seekstrim dengan apa yang terjadi di Irlandia, Republik Ceko, Swedia, Polandia dan Jerman juga pernah mengalami dilema terkait ratifikasi Traktat Lisbon. Keengganan negara-negara tersebut untuk meratifikasi tentu menimbulkan sebuah
4 5
H.W. Briggs, et.al., The Law of Nations (New York: Appleton-Century-Crofts, Inc., 1952), h. 836-838. J. Bonde, From European Constitution to the Irish Referendums on the Lisbon Treaty (Brussels: Foundation for EU Democracy, 2009), h. 11.
pertanyaan, dampak seperti apa yang dapat terwujud apabila Traktat Lisbon diberlakukan? Seperti yang telah penulis eksplanasikan sebelumnya, traktat memiliki sifat yang mengikat. Traktat mengikat setiap negara yang meratifikasinya untuk melaksanakan poinpoin yang tertera dalam traktat tersebut. Sebagai hukum utama Uni Eropa saat ini, meskipun tidak tercantum secara eksplisit dalam pasalnya, Traktat Lisbon menjadi sumber hukum yang lebih tinggi daripada hukum nasional. Hal tersebut berarti segala aturan hukum harus sesuai dengan hukum yang berlaku di Uni Eropa. Beberapa kalangan meyakini bahwa melalui poinpoin di dalamnya (yang kemudian akan menjadi hukum mengikat bagi negara anggota), Traktat Lisbon memiliki agenda untuk semakin mengintegrasikan Uni Eropa hingga membawa mereka semakin dekat dengan wujud United States of Europe. Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan kelompok penulis, dan menjadi rumusan masalah dari paper penulis. Benarkah memang demikian; bahwa Traktat Lisbon memiliki kekuatan dan visi untuk semakin mengintegrasikan negara-negara anggota Uni Eropa hingga menjadi sebuah negara federal seperti Amerika Serikat? Traktat yang ditandatangani pada 13 Desember 2007 tersebut memang hanya memiliki 7 buah artikel, namun isi dari artikel-artikel tersebut cukup banyak menuai prokontra di kalangan negara-anggota. Beberapa analis menilai bahwa substansi Traktat Lisbon memiliki prosentase 90% kemiripan dengan Traktat Konstitusional yang gagal disetujui.6 Beberapa lainnya berpendapat bahwa Traktat Lisbon ini ialah jalan tengah, antara mereka (negara-anggota) yang dulu telah meratifikasi atau dengan kata lain setuju dengan Traktat Konstitusional dengan mereka yang menolak traktat tersebut karena menganggap Traktat Konstitusional terlalu ambisius (dalam konteks pengintegrasian Uni Eropa).7 Traktat Lisbon akan mengatur secara mendalam hukum bersama mengenai hak asasi manusia, migrasi atau perpindahan penduduk, kejahatan internasional, dan sebagainya. Dengan kata lain, traktat ini akan lebih menyentuh kebijakan-kebijakan level grassroot, meskipun bukan berarti konsentrasi mereka terhadap kebijakan level non-grassroot berkurang. Terlepas daripada itu secara garis besar substansi Traktat Lisbon memiliki tiga inti utama, yakni berusaha untuk meningkatkan tranparansi dan akuntabilitas demokrasi, membuat proses pengambilan keputusan yang semakin efisien, dan terutama sekali berusaha merealisasikan satu suara Uni Eropa.8
6 7
CRS Report for Congress, The European Unions Reform Process: The Lisbon Treaty, hal. 3. G. Maganza, The Lisbon Treaty: a Brief Outline, Fordham International Law Journal, Vol.31, Issue 6, 2007, hal. 8. 8 AGE, Introduction to the European Institutions and the European Union Policy-Making Processes of Relevance to Older People, Edisi ketiga, Maret 2010, <http://www.sante.public.lu/publications/sante-fil-
Dalam traktat ini, upaya Uni Eropa untuk meningkatkan transparansi dan demokrasi terlihat dari diberikannya power yang lebih besar terhadap Parlemen Eropa, legislatif nasional negara anggota dan rakyat negara anggota Uni Eropa. Parlemen Eropa memiliki salah satu fungsi utama sebagai co-decision bersama dengan Dewan Menteri, yang artinya suatu peraturan baru dapat menjadi hukum apabila telah disetujui oleh Parlemen Eropa dan Dewan Menteri. Melalui traktat ini, fungsi co-decision dari Parlemen Eropa diperluas. Institusi tersebut akan dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan di beberapa area baru seperti agrikultur, perdagangan dan bahkan isu domestik negara-anggota. Sementara itu dalam konteks legislasi nasional tiap negara anggota, Uni Eropa akan memberikan mereka otoritas yang lebih besar dalam hal pembuatan kebijakan dan draft legislasi di Uni Eropa. Secara khusus, Parlemen Nasional akan diberikan hak untuk melakukan tes subsdiaritas terhadap Rancangan Undang-Undang dan mereka dapat menolak RUU tersebut apabila sangat bertentangan dengan keinginan mereka. Terakhir, Uni Eropa ingin semakin melibatkan rakyat dari negara-negara anggota mereka melalui konsep Inisiatif Rakyat. Ide dari konsep ini ialah bahwa rakyat-rakyat tersebut dapat memberikan petisi ke Komisi Eropa. Poin kedua ialah tentang proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan akan semakin efisien dikarenakan adanya prosedur pemungutan suara yang baru dalam Dewan Uni Eropa yang tidak memerlukan keputusan suara yang bulat dalam sistem Qualified Major Voting (QMV). Keputusan akan dicapai apabila disetujui oleh mayoritas negara anggota (dengan prosentase 55%) yang jumlahnya minimal 15 negara, yang mewakili 65% dari seluruh warga Uni Eropa.9 Penggunaan sistem QMV ini juga akan diimplementasikan ke ranah beberapa bidang baru, seperti kerjasama hukum, perpajakan, kebijakan luar negeri dan pertahanan. Semula juga akan diberlakukan peraturan baru terkait jumlah anggota Komisi Eropa terkait dengan reformasi proses pengambilan keputusan. Sebelumnya Uni Eropa merencanakan pengurangan jumlah anggota Komisi Eropa menjadi 2/3 dari jumlah negara anggota (semula setiap negara memiliki satu perwakilan). Perampingan yang bertujuan untuk mengurangi kejadian gridlock tersebut semula akan diimplementasikan mulai tanggal 1 November 2014. Namun ide itu tidak jadi dilaksanakan karena penolakan dari Irlandia. Sementara itu inti dari poin ketiga ialah bahwa traktat ini ingin membuat Uni Eropa semakin terintegrasi, terutama sekali ketika mereka berada dalam panggung internasional
vie/senior/introduction-institutions-europeennes-personnes-agees/introduction-institutions-europeennespersonnes-agees-en.pdf>, hal 2-3. 9 EU Institutions and Other Bodies, European Union (online), <http://europa.eu/about-eu/institutionsbodies/index_en.htm>, diakses tanggal 14 Juni 2012.
sebagai aktor global. Salah satu wujud dari realisasi penyatuan suara Uni Eropa tersebut ialah dengan membentuk beberapa posisi baru, yakni jabatan Presiden Dewan Eropa dan jabatan Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa. Melalui traktat ini, Dewan Eropa dirubah sifatnya menjadi sebuah institusi. Presiden Dewan Eropa pertama ialah Herman Van Rompuy, yang merupakan mantan Perdana Menteri Belgia. Jabatan presiden ini memiliki periode masa tugas selama 2,5 tahun, di mana pemilihan jabatan presiden tidak memerlukan persetujuan dari Parlemen Eropa (dilakukan oleh Dewan Eropa dengan konsep QMV). Selain untuk menjalankan fungsinya sebagai penyelaras kerja European Council dan menyelenggarakan pertemuan10, Presiden adalah simbol
kepemimpinan. Ekspektasi masyarakat internasional akan Presiden Dewan Eropa, ialah bahwa mereka nanti akan menjadi pengarah dan ujung tombak dari pengambilan kebijakan Uni Eropa serta aktor krusial yang mewakili Uni Eropa di dunia internasional. Adanya fungsi presiden ini semakin menambah faktor kemiripan antara Uni Eropa dengan sebuah negara. Melalui Traktat Lisbon ini, selain Presiden Dewan Eropa juga akan ada satu posisi baru di dalam Uni Eropa. Jabatan tersebut ialah Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa atau High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy. Jabatan ini sendiri, sebenarnya ialah merger atau penyatuan dari jabatan yang sudah ada sebelumnya, yakni Perwakilan Tinggi untuk Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Umum serta Komisaris Hubungan Luar Negeri dan Kebijakan Ketetanggan Eropa. Semula di Traktat Konstitusional, jabatan ini telah ada namun dengan nama Union Minister of Foreign Affairs. Penggunaan nama tersebut tentu menimbulkan perdebatan, dan akhirnya batal digunakan karena penolakan keras dari Inggris. Adanya jabatan ini (terlebih jabatan ini akan mendapatkan korps diplomatik mereka sendiri) tentu akan berimplikasi pada semakin terintegrasinya Uni Eropa dalam diplomasi politik internasional. Hubungan luar negeri antar tiap negara anggota akan semakin selaras, dan hal tersebut jelas menunjukan integrasi politik yang luar biasa. Ini dikarenakan dengan beragam perbedaan kepentingan luar negeri setiap negara-anggota, dipersatukan dan dibentuk satu kebijakan luar negeri ke luar Uni Eropa yang mewakili seluruh kepentingan negaranya. Artinya, untuk mencapai kebulatan kebijakan yang akan diambil, harus ada kepentingan luar negeri negara anggota yang harus dikompromikan. Selain itu, melalui traktat ini Uni Eropa juga ingin semakin memperkuat integrasi kebijakan pertahanan-kemanannya. Uni Eropa ingin memiliki satu kerangka kebijakan
10
Presiden juga memiliki hak dan tanggung jawab untuk membuat agenda pertemuan Uni Eropa, sehingga agenda tersebut mungkin sekali akan tergantung pada visi individu sang Presidensi.
pertahanan-keamanan bersama. Sebagaimana yang tercantum dalam Artikel 28A.7 Traktat Lisbon, mereka akan memiliki prosedur bantuan timbal balik dalam konteks pertahanan. Misalkan saja, apabila ada satu negara menjadi korban dalam agresi militer dengan pihak lain (di mana pihak lain tersebut ialah negara di luar Uni Eropa) maka negara tersebut dapat meminta bantuan dari negara lain, dan sebaliknya negara anggota lain dapat memberikan bantuan. Terlepas dari kondisi sedang dalam konflik bersenjata ataupun tidak, setiap negara anggota juga dapat menjalin kerjasama militer dengan negara anggota lainnya. 11 Di masa yang akan datang, bukan tidak mungkin Uni Eropa akan memiliki tentara bersama. Isu angkatan bersenjata bersama tersebut sudah mulai menjadi perdebatan sejak tahun 2009 lalu. Setelah KTT Uni Eropa untuk menentukan Presiden Dewan Eropa dan Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa yang diselenggarakan pada November 2009, Italia mengungkapkan keinginannya untuk membentuk sebuah angkatan militer Uni Eropa. Perdana Menteri Italia, Franco Frattini, mengatakan bahwa konsep dari tentara bersama itu akan meringankan setiap negara anggota Uni Eropa. Frattini mencontohkan kasus yang terjadi di Afghanistan saat itu. Dalam perang Afghanistan, setiap negara menempatkan mobil lapis baja, tentara, tank, pesawat dan sebagainya ke Afghanistan. Namun dengan adanya tentara Eropa, negara-negara tersebut tidak perlu menempatkan semua kekuatannya, mereka dapat berbagi tugas. Misalkan, Italia mengirimkan pesawat, Perancis mengirimkan tank, dan Inggris dapat mengirimkan mobil lapis baja. Ide tentang Tentara Eropa ini juga mendapatkan persetujuan dari Jerman, satu tahun setelahnya. 12 Pada Februari 2010, Guido Westerwelle yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Jerman mengatakan bahwa Jerman mendukung rencana jangka panjang Uni Eropa untuk membentuk Tentara Eropa.13 Apabila Uni Eropa nanti juga akan memiliki European Army, tentu akan semakin membuat mereka mirip dengan sebuah negara; memiliki angkatan bersenjata bersama. Maka setelah menguraikan pokok inti dari Traktat Lisbon tersebut, sudah saatnya penulis mempertanyakan kembali kutipan yang penulis tulis di awal pembukaan esai ini. George Washington mengatakan bahwa, One day, on the model of the United States of America, a United States of Europe will come into being. Apakah pengimplementasian
11
G. Quille, The Lisbon Treaty and its Implications for CFSP/ESDP, Directorate General External Policies of the Union <http://www.europarl.europa.eu/document/activities/cont/200805/20080513ATT28796/20080513ATT28796EN .pdf >, hal.8 12 Z. Wen, Italy Calls for Creation of EU Army, Global Times (online), 17 November 2009 <http://www.globaltimes.cn/world/europe/2009-11/485628.html>, diakses 14 Juni 2012. 13 H. Mahony, Germany Speaks Out in Favour of European Army, EUObserver (online), 8 Februari 2010 <http://euobserver.com/9/29426>, diakses pada 14 Juni 2012.
Traktat Lisbon akan dapat melahirkan United States of Europe? Terbentuknya United States of Europe ini tentu membutuhkan integrasi yang mumpuni dari Uni Eropa, tidak hanya dalam aspek ekonomi namun juga dalam aspek politik. Berlandaskan pada poin-poin Traktat Lisbon yang telah penulis eksplanasikan sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan apabila Traktat ini dapat menjadi stepping stone atau batu loncatan untuk semakin mengintegrasikan Uni Eropa. Diratifikasinya traktat tersebut oleh tiap negara-anggota menunjukkan bahwa mereka juga siap menanggung
konsekuensi logis dari diimplementasikannya traktat tersebut, yakni bahwa mereka akan siap menyerahkan kedaulatan negara mereka lebih besar lagi. Sedangkan di sisi lain, Uni Eropa menunjukkan keinginan untuk menjadi suatu entitas besar tunggal yang memiliki satu kepentingan, satu sistem perekonomian dan satu sistem politik. Traktat ini semakin menyatukan Uni Eropa karena beberapa hal, seperti: (1) Adanya Presiden Dewan Eropa yang akan menjadi simbol pemimpin yang menyatukan seluruh komponen Uni Eropa, entah itu sedikit atau banyak peranannya, (2) Adanya Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa bersama korps diplomatiknya, yang akan membuat kebijakan luar negeri Uni Eropa semakin terintegrasi dan membuat kesatuan Uni Eropa sebagai aktor global di dunia internasional semakin diakui, (3) Akan adanya perasaan memiliki atau sense of belonging dari setiap negara-anggota Uni Eropa beserta warga negara mereka, hal ini dikarenakan setiap komponen akan semakin dilibatkan dalam proses pembentukan kebijakan di Uni Eropa dan bahkan Uni Eropa semakin memberikan power terhadap badan legislatif nasional untuk terlibat di dalam Uni Eropa (4) Adanya komitmen (melalui traktat ini) untuk membuat kebijakan pertahanan dan keamanan Uni Eropa menjadi lebih selaras bahkan bukan tidak mungkin mereka akan memiliki Tentara Eropa, (5) Parlemen Eropa akan semakin memiliki power, terutama dalam menjalankan fungsinya sebagai co-decision bersama Dewan Menteri. Meskipun demikian, menurut penulis kemungkinan Traktat Lisbon dapat membentuk United States of Europe dalam waktu singkat sangat kecil. Setidaknya kemungkinan tersebut lebih kecil daripada apabila Traktat Konstitusional yang diratifikasi. Perlu dicatat apabila poin-poin yang dikandung di dalam Traktat Lisbon tidak seekstrim dalam Traktat Konstitusional yang ingin membuat konstitusi Eropa. Misalkan saja, Traktat Lisbon mengganti term Union Minister for Foreign Affairs dan tidak menggunakan term konstitusi di dalam artikel-artikelnya. Kemudian berbeda dengan Traktat Konstitusional, traktat ini juga tidak menyebutkan simbol-simbol Uni Eropa di dalam isinya seperti bendera, moto, athem lagu dan mata uang mereka. Selain itu, Traktat Lisbon juga tidak menyertakan pasal 10
primacy atau keutamaan yang semula ada dalam Traktat Konstitusional. Semula dalam Traktat Konstitusional terdapat pasal yang menyatakan bahwa negara anggota harus mengutamakan Traktat Uni Eropa daripada hukum nasional mereka. Karena berbagai penentangan, pasal tersebut dihapuskan. Lalu apakah ide dari George Washington tersebut adalah ide yang utopis dan tidak akan menjadi kenyataan? Tidak. Meskipun tidak dapat membentuk United States of Europe dalam waktu singkat, namun pengimplementasian Traktat Lisbon akan semakin mengintegrasikan Uni Eropa (terutama dalam konteks politik). Integrasi yang semakin sempurna, akan menjadi batu loncatan yang baik untuk mewujudkan konsep United States of Europe, meskipun tentu saja pengimplementasian dari konsep tersebut akan menghadirkan banyak sekali pro-kontra. Namun dalam dunia internasional yang penuh ketidakpastian ini, tidak ada yang tidak mungkin.
11
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka Literatur CRS Report for Congress. The European Unions Reform Process: The Lisbon Treaty. G. Maganza. The Lisbon Treaty: a Brief Outline. Fordham International Law Journal. Vol.31. Issue 6, 2007. H.W. Briggs, et.al. The Law of Nations. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc., 1952. J. Bonde. From European Constitution to the Irish Referendums on the Lisbon Treaty. Brussels: Foundation for EU Democracy, 2009. Pustaka Online AGE. Introduction to the European Institutions and the European Union Policy-Making Processes of Relevance to Older People. Edisi ketiga, Maret 2010. AGE (online). Anonim. EU Institutions and Other Bodies. European Union (online). Anonim. Winston Churchill: Calling for a United States of Europe. European Commission (online) G. Quille. The Lisbon Treaty and its Implications for CFSP/ESDP. Directorate General External Policies of the Union H. Mahony. Germany Speaks Out in Favour of European Army. EUObserver (online). K. Hickman. Ancient Egypt: Battle of Kadesh. About.com (online) M. Rosenberg. Euro Countries: 23 Countries Use the Euro as their Official Currency. About.com (online) Z. Wen. Italy Calls for Creation of EU Army. Global Times (online).
12