Anda di halaman 1dari 2

Hutan Kota

April 16th, 2010 | Author: Shorea

Landasan hukum yang mengatur kebijakan tentang hutan kota, Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan pasal 9, kemudian didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002 tentang hutan kota masih berupa garis besar penyelenggaraan hutan kota. Untuk itu membutuhkan derivasi kebijakan berupa kebijakan di tingkat daerah. Daerah dapat mengeluarkan kebijakan daerah berupa surat keputusan kepala daerah ataupun peraturan daerah. Kepala daerah dapat mengeluarkan surat keputusan tentang hutan kota dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang peraturan daerah menjadi hal yang penting untuk kelangsungan kelestarian hutan kota. Penyusunan kebijakan daerah membutuhkan kesamaan persepsi tentang hutan kota dan penyelenggaraan hutan kota agar program yang dijalankan bisa didukung oleh semua pihak. Di samping itu partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan dapat dilakukan dalam bentuk pemberian informasi, saran, dan pertimbangan. Kebijakan pengembangan hutan kota mengatur tentang penyelenggaraan hutan kota meliputi penunjukan, pembangunan, penetapan, pengelolaan, pengawasan, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Di Gunungkidul, Surat Keputusan Bupati Nomor 169/KPTS/2007 tentang penetapan areal taman kota dan hutan kota Kabupaten Gunungkidul, merupakan dasar untuk mengembangkan hutan kota. Luas areal hutan kota ditetapkan tujuh hektare. Kebijakan tersebut paling tidak dapat digunakan sebagai dasar penyelenggaraan hutan kota di tingkat tapak. Untuk melakukan kegiatan di tingkat tapak, Shorea mendorong adanya tim yang mendorong percepatan penanaman pada areal hutan kota. Keputusan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten Gunungkidul Nomor 01/KPTS/HK/IX/2008 tertanggal 15 September 2008 tentang pembentukan tim pelaksana penghijauan hutan kota Wonosari, kebijakan itu mengatur pembentukan tim pelaksana untuk melakukan penanaman di hutan kota. Kewenangan dan tugas tim meliputi koordinasi pelaksanaan kegiatan penghijauan hutan kota bersama dinas/instansi dan pihak-pihak terkait; melakukan kegiatan berpedoman pada petunjuk teknis penghijauan hutan kota;,dan membuat laporan kemajuan pelaksanaan kebiatan setiap bulan dan laporan akhir kegiatan kepada kepala dinas kehutanan dan perkebunan Kabupaten Gunungkidul. Sementara itu Lembaga Arupa juga mendorong terbitnya surat bupati tentang penetapan hutan kota di Kota Wates. Meskipun sampai saat berakhirnya proyek ini draft surat keputusan bupati belum juga ditandatangani. Namun Draft surat keputusan saat ini sudah berada di Sekretariat Daerah. Beberapa pihak yang mendorong terbitnya surat keputusan tersebut adalah Arupa, Shorea, Pemerintah Desa Giripeni, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kulon Progo. Lokasi yang didorong ditetapkan menjadi hutan kota adalah lahan seluas 9,30 hektare di lima lokasi. Lokasi tersebut meliputi lapangan Cangkringan (0,5 ha), Bumi Perkemahan Serang (0,5 ha), Taman Kota Pengasih (1,8 ha), Areal Balai Vet Desa Giripeni (5,5 ha), dan tanah kas Desa Giripeni (1 ha). Tanah kas Desa Giripeni merupakan tempat pertama yang dibangun sebagai hutan kota. Sejalan dengan inisiasi surat keputusan tersebut, juga berhasil memasukkan klausal hutan kota pada ruang terbuka hijau yaitu minimal 10% dari ruang terbuka hijau ke dalam rencana peraturan daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Ini merupakan sebuah kemajuan yang signifikan yang berhasil didorong oleh parapihak untuk landasan kebijakan jangka panjang. Untuk tingkat provinsi terdapat kendala pada penerbitan surat edaran gubernur tentang percepatan mendorong hutan kota di tiap-tiap kabupaten. Hal yang mendasar, menurut diskusi parapihak di 4 kabupaten dan 1 kotamadya, tidak semua kabupaten/kota memiliki ketersediaan lahan. Konflik penggunaan lahan menjadi masalah tersendiri. Sebagai contoh untuk Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, lahan-lahan telah penuh dengan peruntukan pemukiman dan pertokoan. Untuk membuat hutan kota dengan luas minimal 0,25 hektare teramat sulit. Hal yang paling mungkin adalah membuat taman kota, salah satu bentuk ruang terbuka hijau, pada beberapa tempat secara tersebar dan spot-spot. Pemerintah provinsi masih belum melakukan kegiatan nyata dalam mendorong keberadaan hutan kota. Isu hutan kota kadang muncul dan tenggelam lagi, terkait implementasi agenda 21 yang pada 2006 menjadi target untuk diimplemetasikan. Komitmen implementasi hutan kota juga belum muncul di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi. Pemahaman hutan kota belum menjadi pemahaman utuh di kalangan DPRD pada saat ini (sumber: Studi tata ruang, STI 2009). Kemungkinan mendorong dan mengembangkan hutan kota adalah di kawasan penyangga, yakni Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul. Sedangkan Sleman dan Kota Yogyakarta lebih memilih untuk mengembangkan ruang terbuka hijau selain hutan kota. Strategic Transformation Institute (STI) mendorong peningkatan kapasitas parapihak dalam penyusunan grand desain tentang strategi pengembangan hutan kota. Naskah kebijakan dan studi tata ruang pengembangan urban forest berbasis multipihak se- DIY telah disusunnya.

Model Hutan Kota di Kabupaten Gunungkidul Hutan Kota Wonosari telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gunungkidul Nomor 169/KPTS/2007 berlokasi di Tawarsari Desa Wonosari. Kawasan hutan kota seluas 7 hektare menjadi sebuah inisiasi daerah untuk diwujudkan menjadi hutan kota dengan tujuan sebagai paru-paru kota. Meskipun keberadaan hutan rakyat begitu besar di kabupaten ini, pemerintah daerah telah mampu merencanakan kawasan sebagai hutan kota. Lahan yang dipergunakan adalah milik pemerintah daerah, tetapi selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk bercocok tanam tanaman semusim. Hal tersebut merupakan kendala bagi pengelola hutan kota, yaitu UPTD Pembibitan, untuk melakukan penanaman tanaman keras. Konflik kepentingan lahan menjadi permasalahan sendiri, sehingga membutuhkan penanganan yang intensif. Fisik areal hutan kota pada saat awal proyek hutan kota berupa hamparan lahan dengan beberapa tanaman yang belum seluruhnya mengisi areal. Hutan kota Wonosari didorong untuk menjadi hutan kota yang memiliki aspek ekologi, ekonomi, dan social. Hutan kota berfungsi dalam pelestari keanekaragaman hayati plasma nutfah; penghasil hasil hutan non kayu (lebah madu dan benih unggul); menjaga kestabilan iklim mikro perkotaan; pelestarian air tanah; habitat burung dan satwa lain; arboretum; dan wisata pendidikan. Kondisi lahan pada saat ini telah berisi 42 jenis tanaman sejumlah 3.483 batang. Dengan fasilitasi Shorea, tanaman tersebut ditanam bekerjasama dengan kelompok Tani Makmur. Selama proyek ini Shorea telah berhasil melakukan pembentukan kelompok tani yang bernama Tani Makmur. Kelompok ini merupakan para penggarap, sejumlah 53 orang, di lahan hutan kota sejak tahun 1970-an. Pada awal proyek ini berjalan telah terjadi konflik antara Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gunungkidul dengan para penggarap lahan. Dinas mengeluarkan ultimatum untuk para penggarap segera keluar dari lahan hutan kota. Sedangkan para penggarap beranggapan bahwa mereka telah bercocok tanam sejak lama sehingga tidak begitu mudahnya untuk diusir. Shorea menjadi penengah konflik. Dengan pendekatan yang mendalam, kedua belah pihak sepakat bahwa mereka akan bekerjasama saling menguntungkan. Penggarap sepakat untuk tidak menanam tanaman semusim secara bertahap dan penggarap tetap dilibatkan dalam berbagai kegiatan hutan kota. Sedangkan Dinas akan selalu melibatkan semua kegiatan teknis di lahan hutan kota dengan para penggarap. Peningkatan kapasitas kelembagaan menjadi penting untuk penyetaraan daya negosiasi dengan pihak pemerintah daerah. Shorea melakukan fasilitasi untuk peningkatan kapasitas tersebut. Beberapa bentuk fasilitasinya adalah pembentukan aturan kelompok dan penyusunan rencana kerja. Sebagai kegiatan rutin, kelompok ini selalu mengadakan pertemuan rutin setiap bulannya.
Posted in Hutan Kota

One Response to Hutan Kota

Anda mungkin juga menyukai