Anda di halaman 1dari 20

Burnout pada pustakawan

BAB 3 BURNOUT PADA PUSTAKAWAN Utami Hariyadi1

1.

Pendahuluan Burnout merupakan epidemi yang melanda dunia kerja dan burnout bisa menyerang

siapa saja tanpa memandang pekerjaan dan

usia. Burnout

adalah istilah

yang

menggambarkan kondisi emosional seseorang yang merasa lelah dan jenuh secara mental, emosional dan fisik sebagai akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Pines dan Aronson (1989) seperti dikutip oleh Sutjipto dalam artikelnya yang dimuat secara online berjudul Apakah anda mengalami burnout?(2001), mendefinisikan burnout sebagai kelelahan secara fisik, mental, dan emosional. Burnout dialami oleh seseorang yang bekerja menghadapi tuntutan dari klien/pelanggan, tingkat keberhasilan dari pekerjaan rendah, dan kurangnya penghargaan yang memadai terhadap kinerjanya. Situasi menghadapi klien ini menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional (emotionally demanding). Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan, karena ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi yang minimal. Walaupun intensitas, durasi, frekuensi, dan konsekuensinya beragam, burnout umumnya mempunyai tiga komponen, yaitu kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan kelelahan mental. Gambaran dari ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut : Kelelahan fisik yang menyebabkan sakit fisik seperti sakit kepala, demam, sakit punggung (rasa ngilu), tegang pada otot leher dan bahu, sering terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan kebiasaan makan. Kelelahan emosi dicirikan antara lain seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinis, mengeluh tiada henti, marah tanpa sebab, gelisah, tidak peduli dengan orang lain, putus asa, sedih, tertekan dan rasa tidak berdaya. Kelelahan mental dicirikan antara lain dengan rasa benci, rasa gagal, tidak peka, sinis, kurang bersimpati dengan orang lain, mempunyai sikap negatif terhadap orang lain, cenderung masa bodoh dengan dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh tak acuh,

Diterbitkan dalam Bunga Rampai Perpustakaan dan Informasi Dalam Konteks Budaya, 2006.

37

Burnout pada pustakawan

selalu menyalahkan, rasa tidak puas terhadap pekerjaan, rendah diri dan merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan jalan hidup. Selanjutnya Sutjipto juga mengutip pendapat Cherniss (1980) yang menyatakan bahwa

burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, misalnya menjaga jarak dan bersikap sinis terhadap klien, membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja. Pandangan Cherniss ini nampak sejalan dengan pandangan Freudenberger (1974) bahwa seseorang dengan sikap antusias tinggi dan penuh semangat pada awal bekerja biasanya mempunyai idealisme yang tinggi pula. Namun, stres demi stres yang dialami terus menerus secara kronis menyebabkan orang tersebut mengalami perubahan motivasi, dan pada akhirnya mengalami burnout. 2. Penyebab Burnout Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa penekanan burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari sindrom itu tampak pada interaksinya terhadap lingkungan kerja. Pandangan tersebut agak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Maslach (1982). Maslach berpendapat bahwa sumber utama timbulnya burnout adalah karena adanya stres yang berkembang secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan penerima pelayanan dalam jangka panjang. Namun, Maslach secara tersirat juga mengakui bahwa ada faktor- faktor pendukung terciptanya kondisi burnout di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima pelayanan. Selain itu, analisis juga diperlukan untuk mengkaji faktor-faktor individu yang ada pada pemberi pelayanan yang turut memberi sumbangan terhadap timbulnya burnout. Dengan demikian timbulnya burnout disebabkan oleh adanya: 1. karakteristik individu, 2. lingkungan kerja, dan 3. keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan. 1. Karakteristik Individu : Sumber dari dalam diri individu yang memberi sumbangan timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan faktor kepribadian (Caputo, 1991; Maslach, 1982; Farber, 1991).

38

Burnout pada pustakawan

a. Faktor Demografik : Farber (1991) dalam penelitiannya tentang kondisi stres dan burnout di kalangan guru-guru di Amerika menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Pria tumbuh dan dibesarkan dengan nilai kemandirian khas pria, dan mereka diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional. Sebaliknya, wanita diharapkan untuk mempunyai sikap membimbing, empati, kasih sayang, membantu, dan lembut hati. Perbedaan cara dalam membesarkan pria dan wanita memberi dampak berbeda pula pada pria dan wanita dalam menghadapi dan mengatasi burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan untuk terlibat mendalam secara emosional dengan orang lain akan rentan terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan emosional. Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout. Profesional yang berstatus lajang lebih banyak mengalami burnout daripada yang telah menikah (Farber, 1991; Maslach, 1982). Jika dibandingkan antara seseorang yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak, maka seseorang yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat burnout yang lebih rendah. Alasannya adalah: (1) seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya cenderung berusia lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis, (2) keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional, (3) kasih sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan (4) seseorang yang telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis (Maslach, 1982). Temuan lain adalah bahwa profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi (Maslach, 1982). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka munculah kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya, bagi profesional yang berpendidikan sedang saja,

39

Burnout pada pustakawan

cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara status profesional dengan burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko terhadap burnout jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh waktu. Smith dalam Caputo (1991) dalam penelitiannya pada staf perpustakaan menemukan bahwa individu yang mengalami burnout lebih banyak ditemukan pada mereka yang bekerja purnawaktu (fulltimer). b. Faktor Kepribadian: Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah individu yang idealis dan antusias. Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan, dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa ketika imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri. Maslach (1982) mengatakan bahwa individu yang memiliki konsep rendah diri rentan terhadap burnout. umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah. Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis, yaitu individu yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sesempurna mungkin sehingga akan sangat mudah merasa frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna tidak tercapai. Karenanya, menurut Caputo (1991) individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout. Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan salah satu karakteristik kepribadian yang dapat menimbulkan burnout. Maslach (1982) menyatakan bahwa seseorang ketika melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif, misalnya marah, jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya. Bila emosi-emosi tersebut tidak dapat dikuasai, mereka akan bersikap impulsif, menggunakan mekanisme pertahanan diri (self-defence mechanism) secara berlebihan atau menjadi terlarut dalam permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan emosional yang memicu burnout. 2. Lingkungan Kerja dan Dukungan Sosial Rekan Sekerja Seperti telah diungkapkan diatas, beban kerja yang berlebihan telah terbukti menjadi salah satu faktor pemicu timbulnya burnout . Beban kerja yang berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan emosional saat melayani klien. Hal ini terlibat dengan klien (Maslach, 1982). 40 dapat mendorong pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari untuk Mereka pada

Burnout pada pustakawan

Kurangnya atau tidak adanya

dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam

menyebabkan burnout . Sisi negatif dari lingkungan kerja yang dapat menimbulkan burnout adalah hubungan antar rekan kerja yang buruk yang diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya, dan saling bermusuhan. Cherniss (1980) mengungkapkan sejumlah kondisi yang potensial terhadap timbulnya konflik antar rekan kerja, yaitu: (1) perbedaan nilai-nilai yang dimiliki setiap individu, (2) perbedaan persepsi dalam melihat permasalahan, dan (3) kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan pribadi Kurang atau tidak adanya dukungan sosial dari atasan juga dapat menjadi sumber stres emosional yang berpotensi menimbulkan burnout.. Atasan yang tidak tanggap akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu bawahan akan merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak berarti.

3. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus bersikap sabar dan memahami orang lain yang sedang dalam keadaan menghadapi krisis, frustrasi, ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger, 1974). Pemberi dan penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antar mereka dapat memberikan penguatan positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya. Di samping hal tersebut, para pekerja sering menerima umpan balik yang negatif. Hal ini disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang tinggi terhadap pelayanan sehingga pemberi layanan kesulitan untuk mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Seandainya mereka dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya tidak memberi pujian, sebab masyarakat menganggap bahwa hal tersebut lumrah dan memang seharusnya seperti itu. Hal lain yang turut menyebabkan rendahnya penghargaan adalah bahwa penerima pelayanan tidak mampu memberikan umpan balik positif karena keterbatasan mereka. Dengan keadaan yang selalu menerima umpan balik yang negatif ini, maka pada diri pemberi pelayanan akan terbentuk sikap yang negatif terhadap penerima pelayanan. 4. Gejala Terkena Burnout

41

Burnout pada pustakawan

Cherniss (1980) menyatakan bahwa gejala-gejala seseorang mengalami burnout adalah sebagai berikut : (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) terdapat perasaan gagal di dalam diri, cepat marah dan sering kesal, rasa bersalah dan menyalahkan, keengganan dan ketidakberdayaan, bersikap negatif dan menarik diri perasaan capek dan lelah setiap hari, hilang perasaan positif terhadap klien,

menunda kontak dengan klien, membatasi telepon dari klien bersikap sinis terhadap klien dan acap kali menyalahkan klien, sulit tidur sampai harus menggunakan obat penenang menghindari diskusi mengenai pekerjaan dengan teman kerja, sering demam dan flu, sakit kepala dan gangguan pencernaan, kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan, rasa curiga yang berlebihan; paranoid, konflik perkawinan dan keluarga yang berkepanjangan Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena setiap individu mempunyai ketahanan mental dan kondisi psikologis yang berbeda-beda.

5.

Mengukur kondisi burnout dengan Maslach Burnout Inventory Alat ukur yang digunakan untuk mengukur burnout dikembangkan oleh Maslach yang

dikenal sebagai Maslach Burnout Inventory (MBI). MBI diciptakan oleh Maslach dan Jackson pada tahun 1981 untuk mengukur burnout pada pekerja bidang Pelayanan Sosial dan dikenal sebagai MBI Human Services Survey (MBI HSS). MBI versi kedua kemudian didesain bagi para pendidik yaitu MBI Educators Survey (MBI ES). Kedua versi tersebut sama-sama terfokus pada jenis pekerjaan yang mengharuskan individu berinteraksi secara intensif dengan orang lain yaitu klien dan pasien atau mahasiswa dan murid (Maslach, Schaufeli & Leiter, 2001).

42

Burnout pada pustakawan

Alat ukur MBI terdiri dari 22 item pertanyaan yang menggambarkan tiga skala/dimensi pengukuran yaitu: 1. Physical Exhaustion (Kejenuhan Fisik) 2. Emotional Exhaustion/Depersonalization (Kejenuhan Emosional/Depersonalisasi) 3. Personal Accomplishment (Pencapaian personal) 6. Rutinitas Kerja dan Stress di kalangan Pustakawan Pekerjaan rutin yang dijalani oleh seorang pustakawan sangat berpotensi menjadi penyebab stress. Hari-hari kerja normal seorang pustakawan, apapun jenis perpustakaannya, selalu dipenuhi dengan interupsi, baik dari pengguna, sesama pustakawan

dan atasan, yang potensial menjadi penyebab stress. Interupsi yang dialamatkan kepada pustakawan, yang pada umumnya berasal dari pengguna perpustakaan, menurut beberapa penelitian lebih banyak diterima oleh pustakawan yang bertanggung jawab untuk pemberian layanan rujukan. Hal ini cukup masuk akal, sebagai konsekwensi logis tugas pustakawan rujukan yang harus berhadapan langsung dengan para pengguna. Keseharian tugas-tugas pustakawan rujukan adalah mencari informasi sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pengguna. Kompleksitas proses pencarian informasi ini tergantung pada jenis pertanyaaan dan bagaimana pustakawan memahami pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pustakawan rujukan di perpustakaan yang dikelola dengan baik, menjadi pemeran utama dari kegiatan pemberian layanan perpustakaan. Pengguna pada umumnya menaruh harapan dan kepercayaan yang besar terhadap pustakawan rujukan dalam membantu memenuhi kebutuhan informasi mereka. Ragam dan tingkat kesulitan pertanyaan yang diajukan pengguna menuntut pustakawan rujukan untuk selalu mengikuti perkembangan mutakhir dari berbagai disiplin ilmu dan juga berbagai metode, teknik dan strategi pencarian informasi sehingga dia dapat memberikan layanan rujukan yang benar-benar berorientasi kepada kepuasan pengguna (customer satisfaction-oriented reference service). Ia dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan terakhir sumber- sumber informasi yang mempunyai karakteristik dan fiturfitur yang berbeda satu sama lainnya, dan yang dikemas dalam berbagai bentuk media penyimpanan, tercetak dan non-tercetak. 7. Beban Kerja Pustakawan Perguruan Tinggi dan Burnout 43

Burnout pada pustakawan

Para pustakawan di perpustakaan perguruan tinggi khususnya pustakawan rujukan pada umumnya mempunyai tugas tambahan sebagai fasilitator sesi-sesi bimbingan penggunaan perpustakaan yang secara reguler diberikan kepada para mahasiswa baru dan secara insidentil diberikan kepada kelompok pengguna lain seperti staf pengajar, peneliti dan mahasiswa tingkat akhir. Disamping bertindak sebagai fasilitator sesi bimbingan pengguna, para pustakawan ini pada umumnya pengguna. Beban kerja pustakawan perguruan tinggi secara kuantitatif meliputi jam kerja yang panjang karena banyaknya jumlah individu yang harus dilayani, dan yang menyebabkan tanggungjawab ekstra yang harus dipikul. Sedangkan contoh beban kerja dari aspek kualitatif adalah tingkat kesulitan pekerjaan yang harus ditangani. Beban kerja kuantitatif dan kualitatif ini masih ditambah dengan pekerjaan rutin serta pekerjaan administratif lainnya, merupakan faktor-faktor pemicu stress yang yang kesemuanya melampaui kapasitas dan kemampuan pustakawan. Hal hal tersebut diatas tentang potensial menjadi penyebab kondisi burnout pada pustakawan perguruan tinggi. Walaupun penelitian burnout dikalangan pustakawan belum sebanyak penelitian serupa yang dilakukan untuk kelompok pemberi jasa lainnya seperti perawat, pekerja sosial, polisi, dan akuntan, namun sejak tahun 1990an ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa tingkat burnout dikalangan pustakawan cukup signifikan. Burnout di perpustakaan adalah kelelahan yang disebabkan karena staf perpustakaan dan pustakawan bekerja terlalu intens, terlalu berdedikasi dan menjunjung komitmen yang tinggi, bekerja terlalu banyak dan terlalu lama, sehingga tanpa mereka sadari, mereka mengabaikan kebutuhan dan keinginan mereka sebagai individu. Mereka merasakan adanya tekanan-tekanan untuk memberi lebih banyak dan lebih banyak lagi. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri mereka sendiri, dari pimpinan, dan dalam konteks perpustakaan perguruan tinggi, tekanan yang signifikan berasal dari dari para pengguna. Adanya tuntutan-tuntutan ini dapat menimbulkan rasa bersalah karena tidak bisa memenuhinya, yang kemudian mendorong mereka untuk menambah enersi lebih banyak dan lebih besar dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan pengguna tersebut. Ketika realitas yang ada tidak mendukung idealisme mereka, mereka tetap berupaya mencapai idealisme tersebut sampai akhirnya karena pencapaian harapan yang terhalang. (Freudenberger, 1974). 44 enersi (fisik dan psikologis) pustakawan terkuras dan menyebabkan mereka mengalami kelelahan atau frustrasi menjadi pengembang modul-modul bimbingan penggunaan perpustakaan tersebut, yang tentunya harus selalu diperbaharui dan disesuaikan dengan kebutuhan informasi

Burnout pada pustakawan

Janette S. Caputo, yang menulis Stress and Burnout in Library Services (1991) mengidentifikasi bahwa pemicu stress (stressor) dunia kerja sangat tinggi korelasinya dengan burnout. Stressor di dunia perpustakaan perguruan tinggi antara lain adalah remunerasi yang rendah, beban kerja yang berat, lemahnya manajemen dan sistem pengawasan, rendahnya apresiasi masyarakat pengguna terhadap profesi pustakawan, kurang jelasnya jenjang karir pustakawan. Pada tahun 1990, Charles Patterson dan Donna Howell menemukan dalam penelitian mereka atas para pustakawan yang tergabung dalam divisi Bibiliographic Instruction Section of the Association of College and Research Libraries, bahwa sebanyak 39.3 persen menganggap bahwa burnout merupakan masalah dalam profesi mereka. (Sheesley, 2001). Selanjutnya pada tahun 1996, Mary Ann Affleck meneliti tingkat burnout 142 Affleck menemukan tingkat burnout yang mencapai 52,8 pustakawan di perguruan tinggi di wilayah New England menggunakan instrumen psikometri Maslach Burnout Inventory. persen. Tim dan Zahra Baird (2005) mengutip pendapat Judith A Siess yang menulis Time Management, Planning and Prioritization for Librarians (2002), yang mengatakan bahwa kelebihan beban kerja adalah penyebab utama burnout. Ketika anggaran diperketat sedangkan harapan (expectation) terhadap pustakawan meningkat, para pustakawan dikondisikan untuk harus mengerjakan lebih banyak pekerjaan sedangkan terbatasnya anggaran tidak memungkinkan mereka untuk merekrut tenaga tambahan. 8. Teknologi Informasi sebagai pemicu burnout pustakawan Pemicu stress (stressor) yang menghantui para pustakawan dalam satu dekade terakhir ini adalah penetrasi teknologi informasi ke berbagai kegiatan in-griya perpustakaan yang tidak diimbangi dengan program pelatihan dan peningkatan kemampuan mengelola teknologi informasi. Implementasi teknologi informasi untuk mendukung kegiatan-kegiatan perpustakaan secara teoritis seharusnya akan mengurangi beban pekerjaan rutin pustakawan. Namun penerapan teknologi informasi tidak bisa berdiri sendiri dalam perencanaan kegiatan suatu perpustakaan. Banyak sekali aspek-aspek pendukung yang perlu dilakukan agar penerapan teknologi informasi tidak akan justru malah mengakibatkan bertambahnya beban kerja dan menimbulkan technostress terhadap para pustakawan yang pada akhirnya mengarah ke kondisi burnout. Technostress adalah istilah yang pertama kali digunakan pada awal tahun 1980an di kalangan pustakawan. Richard Hudiburg (1996) mengutip definisi technostress yang diberikan 45

Burnout pada pustakawan

oleh Craig Brod dalam bukunya berjudul Technostress: the Human Cost of the Computer Revolution (1984) sebagai berikut: Technostress is a modern disease of adaptation caused by an inability to cope with the new computer technologies in a healthy manner. Technostress merupakan adaptasi penyakit modern yang disebabkan oleh ketidakmampuan menghadapi teknologi-teknologi baru komputer dengan cara sehat. Faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab burnout di kalangan pustakawan perguruan tinggi menunjukkan kesamaan dengan faktor-faktor penyebab burnout di kalangan profesi pemberi jasa lainnya seperti perawat dan pekerja sosial (Sheesley, 2001). Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: pemberian sesi instruksi perpustakaan yang repetitif dalam frekuensi yang sangat sering, terutama di awal masa perkuliahan dimana semua mahasiswa baru wajib mengikuti sesi ini sebagai bagian dari rangkaian pekan orientasi mahasiswa. Hal ini diperburuk dengan fasilitas teknologi informasi yang tidak memadai, akses ke jaringan komputer dan ke Internet yang lambat, sehingga sesi instruksi perpustakaan tidak lancar. sikap para mahasiswa baru peserta sesi instruksi perpustakaan yang tidak menunjukkan antusias dan perhatian terhadap sesi yang diberikan pustakawan, walaupun hal ini bisa saja disebabkan karena padatnya waktu orientasi mahasiswa yang sangat melelahkan. Tidak ada atau kurangnya umpan balik positif yang diterima oleh pustakawan, dari pengguna, manajemen, dan mungkin juga dari sesama pustakawan. Adanya perasaan terisolasi yang dialami oleh pustakawan perguruan tinggi.

Christina Maslach (1982) berpendapat bahwa timbulnya burnout adalah karena stres yang dialami secara akumulatif akibat keterlibatan (seseorang) pemberi dengan penerima pelayanan dalam jangka panjang. Gambaran ini memberikan indikasi bahwa para pustakawan perguruan tinggi merupakan orang-orang yang mudah terkena burnout karena mereka secara terus menerus dituntut untuk harus memberikan layanan (service) yang memuaskan kepada pengguna perpustakaan, menghadapi tuntutan dan keluhan pengguna, disamping masih harus melakukan rangkaian pekerjaan rutin dan non-rutin lainnya. 46

Burnout pada pustakawan

Secara alamiah, para pustakawan rujukan sebagai individu menyadari akan perlunya mengantisipasi terjadinya stres dan burnout sehingga setiap individu berusaha menemukan strategi atau teknik mengatasi stres atau burnout yang dialaminya. Namun demikian, sering sekali strategi yang dipilih tidak efektif sehingga malah menambah intensitas stres dan burnout. Kondisi ini seakan berupa lingkaran setan (viscious circle) yang terus berulang dan memperparah keadaan. (Bopp & Smith, 2001). Sehubungan dengan penjelasan di atas, adalah penting untuk mencari cara mengatasi atau mengurangi burnout yang dialami oleh para pustakawan tersebut, sehingga pada akhirnya mereka dapat lebih nyaman dalam bekerja, lebih produktif dan berdayaguna bagi pengembangan perpustakaan dan lembaga yang menaunginya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi burnout adalah dengan menerapkan Proactive Coping Strategies (Strategi Proaktif Mengatasi Stres). Mengatasi stres di lingkungan pekerjaan sudah cukup banyak menjadi subjek penelitian dan penulisan, dan senada dengan yang dinyatakan oleh Bopp, Greenglass (2001) berpendapat bahwa strategi mengatasi stres kurang efektif dan biasanya lebih bersifat reaktif, yaitu penerapan strategi penanganan stres setelah stres terlanjur terjadi. Greenglass mengatakan bahwa mengatasi stres mempunyai fungsi-fungsi dan nilai positif. Strategi Proaktif Mengatasi Stres adalah strategi yang multidimensi dan strategi Mengatasi Stres dengan Proaktif artinya berpandangan kedepan (forward looking).

berantisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya stressor (penyebab stres) dan bertindak menghindari stressor potensial tersebut. Alat ukur Maslach Burnout Inventory bisa digunakan untuk mengukur level burnout para pekerja pemberi jasa termasuk di dalamnya pustakawan perguruan tinggi dengan meminta mereka memilih jawaban yang paling mendekati dengan apa yang mereka rasakan, dengan skala 1-10 yang berisi tingkat Tidak Setuju (=0) sampai Setuju (=10). Rangkaian duapuluh dua pertanyaan dibawah ini diajukan kepada para responden untuk mengetahui frekuensi terjadinya tiga aspek dari sindrom burnout sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Maslach yaitu Kejenuhan Fisik (Physical Exhaustion = PE), Kejenuhan Emosional/ Depersonalisasi (Emotional Exhaustion/Depersonalization = EE + DP) dan Pencapaian Diri/Personal (Personal Accomplishment = PA) Dua puluh dua pernyataan dalam Maslach Burnout Inventory tersebut adalah sebagai berikut: 1) Saya merasakan emosi saya terkuras karena pekerjaan (PE) 47

Burnout pada pustakawan

Tidak setuju

10 Setuju

2) Saya merasakan kelelahan fisik yang amat sangat di akhir hari kerja (PE) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

3) Saya merasa lesu ketika bangun pagi karena harus menjalani hari di tempat kerja untuk menghadapi klien (PE) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

4) Saya dengan mudah dapat memahami bagaimana perasaan klien tentang hal-hal ingin mereka penuhi dan mereka peroleh dari layanan yang saya berikan (PA) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

5) Saya merasa bahwa saya memperlakukan beberapa klien seolah mereka objek impersonal (EE/D) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju membuat saya 10 Setuju

6) Menghadapi orang/klien dan bekerja untuk mereka seharian penuh tertekan Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

7) Saya bisa menjawab dan melayani klien saya dengan efektif. (PA) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

8) Saya merasa jenuh dan burnout karena pekerjaan saya (EE/D) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

8) Saya merasa memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan orang lain melalui pekerjaan saya sebagai pemberi jasa (PA) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

9) Saya menjadi semakin kaku terhadap orang lain sejak saya bekerja sebagai pemberi jasa. (EE/D) 48

Burnout pada pustakawan

Tidak setuju

10 Setuju

10) Saya khawatir pekerjaan ini membuat saya dingin secara emosional (EE/D) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

11) Saya merasa sangat bersemangat dalam melakukan pekerjaan saya dan dalam menghadapi para klien saya (PA) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

13) Pekerjaan sebagai pemberi jasa membuat saya merasa frustasi (EE/D) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

14) Saya merasa bekerja terlampau keras dalam pekerjaan saya (PE) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

15) Saya benar-benar tidak peduli pada apa yang terjadi terhadap klien saya (EE/D) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

16) Menghadapi dan bekerja secara langsung dengan orang menyebabkan saya stress (EE/D) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

17) Saya dengan mudah bisa menciptakan suasana yang santai/relaks dengan para klien (PA) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

18) Saya merasa gembira setelah melakukan tugas saya untuk para klien secara langsung (PA) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

19) Saya telah mendapatkan dan mengalami banyak hal yang berharga dalam pekerjaan ini (PA) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

49

Burnout pada pustakawan

20) Saya merasa seakan akan hidup dan karir saya tidak akan berubah (EE/D) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

21) Saya menghadapi masalah-masalah emosional dalam pekerjaan saya dengan tenang dan kepala dingin (PA) Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

22) Saya merasa para pengguna menyalahkan saya atas masalah-masalah yang mereka alami Tidak setuju 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Setuju

Pengukuran tingkat burnout dibagi menjadi empat (4) kategori berdasarkan jumlah angka yang dihasilkan dari jawaban pertanyaan-pertanyaan diatas, sebagai berikut: 02 Tingkatan ini menunjukkan bahwa seseorang merasa cukup bahagia. Skor yang rendah adalah skor yang bagus yang menunjukkan seseorang dapat mengatasi stres dengan baik. Walaupun seseorang mengalami stres, tetapi ia dapat mengelola stres dengan baik dan dapat membuat hidupnya berimbang. Orang orang pada tingkatan skor ini tidak akan mudah naik pitam, dan dapat menerima stress yang dialami dalam perjalanan hidup. 35 Tingkatan ini menunjukkan perlunya memonitor situasi yang dihadapi dan pengambilan tindakan jika keadaan yang dihadapi menjadi lebih buruk. Walaupun tidak perlu diberi peringatan, namun orang pada tingkatan ini perlu meluangkan waktu untuk merefleksi tindakan yang telah diambil untuk mempertimbangkan penyebab stres yang dihadapi, apakah semakin mudah atau semakin sukar untuk ditangani. 6 8 -- Sinyal Kuning

50

Burnout pada pustakawan

Orang-orang

pada tingkatan ini cenderung mudah terkena

burnout.

Ritme

kehidupannya cenderung panas. Ia sebaiknya berhenti sejenak dari kegiatankegiatannya untuk menentukan prioritas kegiatan dan menghilangkan beberapa penyebab stres. Orang pada tingkatan ini perlu pula memeriksakan kesehatan, meninjau kembali tujuan hidup, keseimbangan antara kerja dan hiburan, dan sistem dukungan sosial yang dimilikinya (keluarga, teman dan jaringan sosial lainnya). 9 10 -- Sinyal Merah Mereka yang mendapatkan skor pada tingkatan ini sebaiknya segera berhenti untuk beristirahat sebelum muncul tanda-tanda wake-up call yang lebih serius. Mereka membutuhkan konsultansi dan nasihat, baik medis maupun psikologis agar terhindar dari kondisi kehilangan kendali. Ia memerlukan istirahat serta menilai kembali hidup dan pekerjaannya. Perolehan skor di tingkatan ini menunjukkan bahwa ia sedang dalam tekanan stres berlebihan dalam waktu yang menerus dan sudah cukup lama. Perlu diwaspadai bahwa manusia mempunyai batas toleransi fisik dan mental. Diperlukan langkah-langkah konkrit untuk menanggulangi sinyal-sinyal bahaya yang timbul, misalnya dengan berkonsultasi intensif dengan profesional dan mendapatkan dukungan penuh berkesinambungan dari keluarga dan jaringan sosial yang dimilikinya untuk mendapatkan masukan selanjutnya. dan kemudian menentukan arahan masa depan hidup

9.

Proactive Coping dan Proactive Coping Inventory Sutjipto (2001) dalam artikelnya berjudul Apakah anda mengalami burnout

mendefinisikan coping sebagai: proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan, dan kemampuan individu. Terjemahan bebas yang digunakan dalam paper ini untuk coping adalah penanggulangan. Seseorang pada umumnya mempunyai dan mengembangkan sendirisendiri teknik penanggulangan untuk mengatasi stres di tempat kerja yang bisa mengarah ke kondisi burnout. Strategi/teknik penanggulangan individual ini menurut Steven Casano (2002) dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu: teknik mengeliminasi stres (stress elimination technique): individual yang menerapkan teknik ini akan melakukan tindakan drastis dan langsung, misalnya berganti pekerjaan, 51

Burnout pada pustakawan

teknik mengurangi stres (stress reduction technique) dilakukan dengan beberapa

langkah seperti: menetapkan ulang tujuan, belajar mengatakan Tidak; belajar teknik-teknik relaksasi (meditasi, yoga); pergi berlibur; memperbaiki lingkungan kerja (mengganti warna cat dinding, lampu, dan mengurangi kebisingan) teknik mentolerir stres (stress tolerance technique): menjaga kesehatan mental dan emosi dengan cara bersikap lebih asertif, tidak bersifat personal (taking things less personally) berolahraga teratur dan menjaga pola makan. Menurut Esther Greenglass dalam artikelnya Proactive Coping, Work Stress and Burnout (2001), penanganan dan pencegahan stres dan burnout umumnya dilakukan secara reaktif, artinya melakukan tindakan mengatasi dan mencegah stres dan burnout setelah stres dan burnout terjadi. Sedangkan Proactive coping berarti penanggulangan yang dilakukan secara proaktif oleh individu untuk mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan, yang umumnya dari luar diri individu, dengan kemampuan individu itu sendiri. Perilaku proaktif (proactive behaviour) menurut Schwarzer seperti dikutip oleh Greenglass (2001), adalah perilaku dari seseorang yang mampu mengenali kemungkinan akan timbulnya potensi stressor dan mampu menghindarinya jauh sebelum stressor itu terjadi. Schwarzer lebih lanjut mengatakan bahwa individu proaktif berupaya keras untuk bersifat otonomis memperbaiki lingkungan kehidupannya. Penanggulangan proaktif

(autonomous), dan merupakan proses pencapaian tujuan yang ditetapkan sendiri oleh seseorang. Penanggulangan proaktif adalah penegasan hal-hal yang memotivasi orang tersebut dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, dan bagaimana ia bertekad (to commit) mengelola kualitas personalnya. Seseorang yang mempunyai perilaku proaktif adalah orang yang penuh ide (resourceful), bertanggungjawab (responsible) dan mempunyai prinsip (principled). Esther Greenglass lebih lanjut mengatakan bahwa individu yang melakukan penanggulangan proaktif adalah individu yang memiliki visi. Ia bisa melihat risiko, tuntutan dan kesempatan yang akan terjadi di masa depan, namun ia tidak menganggap hal-hal tersebut sebagai ancaman, bahaya atau kerugian. Sebaliknya, ia melihat hal-hal tersebut sebagai tantangan. Proactive coping adalah goal management dan bukan risk management. Penanggulangan proaktif yang diterapkan oleh seseorang, ditandai oleh tiga hal: mengintegrasikan strategi perencanaan dan pencegahan dengan pencapaian tujuan yang ditetapkan sendiri oleh individu tersebut

52

Burnout pada pustakawan

mengintegrasikan

pencapaian

tujuan

proaktif

dengan

pengidentifikasian

dan

pemanfaatan sumber-sumber sosial memanfaatkan penanggulangan proaktif emosional untuk pencapaian tujuan yang ditetapkan sendiri oleh individu tersebut. Pada tahun 1999, Greenglass memperkenalkan alat ukur psikometri Proactive Coping Inventory (PCI) yang terdiri dari 7 rangkaian pengukuran (sub-scale) yang dikembangkan untuk menilai berbagai aspek penanggulangan proaktif. Ke tujuh subscale tersebut adalah: 1. 2. Proactive Coping Scale: terdiri dari 14 item yang mengkombinasikan penetapan tujuan secara otonomis dengan perilaku dan kognisi pencapaian tujuan yang ditetapkan sendiri. Reflective Coping Scale, (11 item) menjelaskan simulasi dan kontemplasi tentang alternatif-alternatif perilaku yang mungkin dilakukan, dengan jalan membandingkan efektifitas dari masing-masing perilaku tersebut, termasuk dalam proses ini adalah curah pendapat (brainstorming), menganalisa masalah dan sumber-sumbernya, serta mengupayakan rencana kegiatan hipotetikal. 3. Strategic Planning Scale (4 item) berfokus pada proses pembuatan jadwal kegiatan tugas-tugas yang ekstensif dibagi-bagi menjadi yang berorientasi pada tujuan, dimana komponen yang manageable. 4. 5. Preventive Coping Scale (10 item) meliputi antisipasi tindakan terhadap stressor Instrumental Support Seeking Scale (8 item) berfokus pada usaha mendapatkan potensial dan persiapan yang perlu dilakukan sebelum stressor berkembang penuh. nasihat, informasi dan feedback dari orang-orang yang tergabung dalam jaringan sosial seseorang, ketika berhadapan dengan stressor. 6. untuk 7. Emotional Support Seeking Scale (5 item) ditujukan pada upaya mengatur emotional memperoleh empati dan mencari pendampingan dari jaringan sosial yang dimiliki Avoidance Coping Scale diukur dengan 3 item yang menggambarkan penghindaran distress temporer dengan jalan menceritakan kepada orang lain hal-hal yang dialami individu individu tersebut. tindakan jika menghadapi masalah dengan jalan menunda. Dalam penelitiannya yang mengambil sampel 178 orang profesional di satu kota besar di Kanada, Greenglass menggunakan salah satu perangkat PCI, yaitu Proactive Coping Scale untuk mengetahui dan membuktikan efek dari instrumen ini dalam mengatasi dan mengurangi 53

Burnout pada pustakawan

burnout. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa Penanggulangan Proaktif adalah strategi yang bermanfaat mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan, dan kemampuan individu, dan terbukti bisa digunakan untuk mengatasi burnout karena: Penanggulangan proaktif menggabungkan dan memanfaatkan sumber-sumber sosial dan non-sosial; Penanggulangan proaktif menggunakan strategi emosional positif dan mengacu pada visi-visi keberhasilan. Penanggulangan proaktif meliputi penentuan tujuan dan cara pencapaian tujuan tersebut. Berikut ini adalah item-item Proactive Coping Scale yang sudah diadaptasi kedalam bahasa Indonesia, berupa pernyataan-pernyataan yang menggambarkan reaksi seseorang jika
menghadapi situasi situasi tertentu. Skor tanggapan atas pernyataan-pernyataan dibawah ini adalah dalam rentang 1 sampai 4 sebagai berikut: 1 = sama sekali tidak benar (not at all true) 2 = hampir benar (barely true) 3 = mungkin benar (somewhat true) 4 = sangat benar (completely true)

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

1 Saya adalah orang pengambil inisiatif Saya mencoba membiarkan segalanya berjalan dengan sendirinya(-) Setelah mencapai satu tujuan, saya mencari tujuan lain yang lebih menantang Saya menyukai tantangan dan melawan hal yang normal Saya memvisualisasikan mimpi dan mencoba mencapainya Walau mengalami beberapa kegagalan, saya biasanya berhasil mendapatkan yang saya inginkan Saya mencoba untuk menjurus ke hal-hal yang saya perlukan untuk keberhasilan Saya selalu mencoba menemukan cara untuk menghindari hambatan-hambatan; tidak ada hal apapun yang bisa menghentikan saya Saya sering mengalami kegagalan, karena itu saya tidak menaruh harapan terlalu tinggi (-) Jika saya melamar suatu posisi, saya membayangkan diri saya menempati posisi tersebut Saya merubah hambatan-hambatan menjadi pengalaman-pengalaman positif Kalau seseorang mengatakan pada saya bahwa saya tidak mampu melakukan sesuatu, anda saya yakinkan bahwa saya akan melakukan hal tersebut Kalau saya mengalami masalah, saya mengambil inisiatif untuk mengatasi masalah tersebut 54

Burnout pada pustakawan

14

Kalau saya menghadapi masalah, saya biasanya menempatkan diri saya pada no-win

situation (-) (-) Reverse items

10.

Kesimpulan Apabila kondisi burnout yang dialami oleh staf perpustakaan dan pustakawan

dibiarkan berlarut-larut, maka para pustakawan ini akan benar-benar mengalami burnout yang pada akhirnya akan merugikan stakeholders perpustakaan termasuk pustakawannya sendiri. Kondisi burnout yang dialami para pustakawan bukanlah hal yang tidak bisa burnout yang menggunakan dihindari. Penulis beranggapan bahwa pengukuran kondisi

instrumen ukur Maslach Burnout Inventory pada para pekerja pemberian jasa termasuk para staf perpustakaan dan juga pustakawan rujukan, perlu ditindaklanjuti dengan penggunaan instrumen ukur Proactive Coping Inventory (PCI) . Dengan instrumen ukur PCI, diharapkan kondisi burnout yang terdeteksi dapat dikurangi dan dihilangkan jika sudah terlanjur terjadi, dan sebaiknya diantisipasi untuk dihindari, jika kondisi burnout belum terjadi. Menurut penulis, pustakawan yang telah terlanjur mengalami burnout, yaitu mereka yang telah berada di tingkatan sinyal kuning dan sinyal merah berdasarkan perolehan skor Maschlach Burnout Inventory, perlu mengikuti program konseling menggunakan instrumen ukur Proactive Coping Inventory. Seyogyanya penggunaan instrumen ukur MBI untuk mengetahui kondisi burnout, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penggunaan instrumen ukur PCI, perlu dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi dan kualifikasi sesuai.

55

Burnout pada pustakawan

Bibliografi Baird, Tim & Baird, Zahra.M. (2005). Running on empty: dealing with burnout in the library setting. Bopp, Richard E., and Linda C. Smith. (2001). "Stress and Burnout." In Reference and Information Service, 18-19. Englewood: Libraries Unlimited, Inc. Caputo, Janette S. 1991. Stress and Burnout in Library Service. Phoenix, Oryx Press. Farber, B. A. (1991). Crisis in Education: Stress and Burnout in the American Teacher. Oxford: Jossey Bass. Freudenberger, H. J. (1974). Staff burnout. Journal of Social Issues, 30(1), pp. 159-165 Greenglass, Esther R. (2001). Proactive coping, work stress and burnout. Stress News, 13, no.2 Hudiburg, R.A., and Necessary, J.R. (1996b). Coping with computer stress. Journal of Educational Computing Research, 15, pp.107-118. http://www2.una.edu/psychology/hudiburg.htm Diakses 25 Juni, 2005 Maslach, C. & Jackson, S. E. (1981). The measurement of experienced burnout. Journal of Occupational Behavior, 2, 99-113. Sheesley, Deborah F.(2001). Burnout and the academic teaching librarian: an examination of the problem and suggested solutions. Journal of Academic Librarianship 27, pp. 447 451 Sutjipto. 2002. Apakah anda mengalami burnout? http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/32/apakah_anda_mengalami_burnout.htm. Diakses 25 Juni 2005.

56

Anda mungkin juga menyukai