Anda di halaman 1dari 5

MANAJEMEN LABA (EARNING MANAGEMENT) Defenisi Manajemen Laba Manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan keputusan tertentu

dalam laporan keuangan dan transaksi untuk mengubah laporan keuangan sebagai dasar kinerja perusahaan yang bertujuan menyesatkan pemilik atau pemegang saham atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkan (Healy dan Wahlen , 1999). Laba merupakan informasi utama yang disajikan dalam laporan keuangan, sehingga angkaangka yang ada di dalamnya merupakan crucial point yang harus dicermati oleh para pemakai laporan keuangan. Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig (1995) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit usaha yang menjadi tanggungjawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang. Healy dan Wahlen (1999), menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung beberapa aspek. Pertama intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Disamping itu manajer memiliki pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar. Ada berbagai motivasi yang mendorong dilakukannya manajemen laba. Teori akuntansi positif (Positif Accounting Theory) mengusulkan tiga hipotesis motivasi manajemen laba, yaitu: 1. hipotesis program bonus (the bonus plan hypotesis),

Motivasi bonus merupakan dorongan manajer perusahaan dalam melaporkan laba yang diperolehnya untuk memperoleh bonus yang dihitung atas dasar laba tersebut. Manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih mungkin menggunakan metode-metode akuntansi yang meningkatkan income yang dilaporkan pada periode berjalan. Alasanya adalah tindakan seperti itu mungkin akan meningkatkan persentase nilai bonus jika tidak ada penyesuaian untuk metode yang dipilih. 2. hipotesis perjanjian hutang (the debt covenant hypotesis), Motivasi kontrak muncul karena perjanjian antara manajer dan pemilik perusahaan berbasis pada kompensasi manajerial dan perjanjian hutang (debt covenant). Semakin tinggi rasio hutang/ekuitas suatu perusahaan, yang ekuivalen dengan semakin dekatnya (yaitu semakin ketat) perusahaan terhadap kendala-kendala dalam perjanjian hutang dan semakin besar probabilitas pelanggaran perjanjian, semakin mungkin manajer untuk menggunakan metodemetode akuntansi yang meningkatkan income. 3. hipotesis biaya politik (the political cost hypotesis) Motivasi regulasi politik merupakan motivasi manajemen dalam mensiasati berbagai regulasi pemerintah. Perusahaan yang terbukti menjalankan praktik pelanggaran terhadap regulasi anti trust dan anti monopoli, manajernya melakukan manipulasi laba dengan menurunkan laba yang dilaporkan (Cahan, 1992; Jogiyanto dan Ainun, 1998). Perusahaan juga melakukan manajemen laba untuk menurunkan laba dengan tujuan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan terhadap perusahaan yang mengalami damage award. Sasaran Manajemen Laba Menurut Ayres (1994:27-29) terdapat unsur-unsur laporan keuangan yang dapat dijadikan sasaran untuk dilakukan manajemen laba yaitu : 1) Kebijakan Akuntansi. Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh suatu perusahaan, yaitu antara menerapkan akuntansi lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijakan tersebut. 2) Pendapatan. Dengan mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan. 3) Biaya. Menganggap sebagai ongkos (beban biaya) atau menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas suatu biaya (amortize or capitalize of investment). Terjadinya Manajemen Laba.

Menurut Ayres (1994:27-29) manajemen laba dapat dilakukan oleh manajer dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Manajer dapat menentukan kapan waktu akan melakukan manajemen laba melalui kebijakannya. Hal ini biasanya dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. 2. Keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh suatu perusahaan. Yaitu antara menerapkan lebih awal atau menunda sampai saat berlakunya kebijakan tersebut. 3. Upaya manajer untuk mengganti atau merubah suatu metode akuntansi tertentu dari sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh badan akuntansi yang ada (GAAP). Tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer dapat diminimumkan melalui penerapan good corporate governance yang terdiri dari empat prinsip utama, yaitu kewajaran, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas. Kasus Bank Lippo adalah bank menarik dana publik melalui tabungan maupun deposito. Melalui kredit yang disalurkan, dana itu, selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi di perusahaan afiliasi. Ketika krisis melanda, dan perusahaan- perusa- haan berguguran, kredit macet, bank pun berguguran. Ketika kemudian diperoleh berita bahwa pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia (BI) akan melakukan uji tuntas terhadap bank-bank, apakah melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terhadap perusahaan afiliasi, maka Bank Lippo cepat bergerak. Mereka mengambil alih semua agunan dari kredit perusahaan afiliasi. Dengan demikian, seluruh kredit dianggap lunas, dan hapus dari pembukuan. Dengan begitu, loloslah pemilik Bank Lippo dari daftar orang tercela (DOT). Bank Lippo melakukan pembukuan ganda pada tahun 2002. Pada tahun tersebut Bapepam menemukan adanya tiga versi laporan keuangan. Laporan yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau diiklankan melalui media massa pada tanggal 28 Nopember 2002. Kedua, laporan ke BEJ pada tanggal 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor akuntan publik Prasetio, Sarwoko & Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada tanggal 6 Januari 2003. Dari ketiga versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar telah diaudit dan

mencantumkan opini wajar tanpa pengecualian adalah laporan yang disampaikan pada tanggal 6 Januari 2003. Dalam laporan keuangan Bank Lippo per 30 September 2002 kepada publik pada tanggal 28 November 2002, manajemen menyebutkan total aktiva perseroan Rp 24 trilyun dan laba bersih Rp 98 milyar. Namun, dalam laporan keuangan kepada BEJ 27 Desember 2002, manajemen menyebutkan total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 trilyun dengan rugi bersih Rp 1,3 trilyun. Perbedaan laba dikatakan karena adanya kemerosotan nilai agunan yang diambil alih dari Rp 2,393 trilyun pada laporan publikasi menjadi Rp 1,42 trilyun pada laporan ke BEJ. Akibatnya, dalam keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat kecukupan modal (CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen. Akibat adanya manipulasi tersebut maka Bapepam menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp. 2,5 Milyar, karena pencantuman kata diaudit dan opini wajar tanpa pengecualian di laporan keuangan 30 September 2002 yang dipublikasikan pada tanggal 28 Nopember 2002, dan sanksi denda sebesar Rp. 3,5 Milyar juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner akuntan publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi penting mengenai penurunan agunan yang diambil alih (AYDA) Bank Lippo selama 35 hari. Pemegang saham (shareholders), pengelola (top management), dewan pengawas (board of directors). Seharusnya skandal pada Bank Lippo dapat dihindari dengan control manajemen dan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka adalah pemegang saham (shareholders), pengelola (top management), dewan pengawas (board of directors). Para pemegang saham selalu berkepentingan mengamankan investasinya agar menghasilkan dividen tiap tahun. Untuk itu, mereka menugaskan para dewan pengawas untuk memonitor kinerja manajemen agar sesuai kepentingannya. Di sinilah letak pentingnya peran dewan pengawas (komisaris) yang bertindak atas mandat yang diberikan para pemegang saham, bukan pihak pengelola. Dilihat dari definisinya, corporate governance akhirnya hanya sebuah mekanisme untuk melindungi kepentingan investor, pemegang saham, dan pemilik perusahaan (shareholders) saja. Sedangkan semestinya, tata kelola yang baik itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari tanggung jawab mereka secara sosial. Para ahli strategic management sudah mengembangkan konsep yang menekankan tanggung jawab perusahaan dalam

pengertian

luas

ini.

Anda mungkin juga menyukai