Anda di halaman 1dari 2

da beberapa hal yang digunakan untuk menyatakan kualitas mie yang ideal.

Crosbie, et al (1999) dalam Kusrini (2008) menyatakan bahwa kualitas mie yang ideal adalah kenyal, elastis, halus permukaannya, bersih dan tidak lengket. Warna merupakan salah satu parameter mutu yang sangat diperhatikan dalam memilih mie di Australia (Allen, 2001). Zaman dahulu pengukuran terhadap warna mie dilakukan secara sensoris oleh panelis yang berpengalaman, namun sekarang pengukuran warna mie telah menggunakan alat yang serba modern. Hidayat (2008), menyatakan bahwa dalam pemilihan formulasi optimal dalam pembuatan mie ialah berdasarkan pada karakteristik organoleptik (warna, bau, rasa, dan kekenyalan) dan karakteristik fisik (tekstur dan rasio pengembangan) terbaik. Beberapa parameter kualitas fisik mie adalah cooking time, hidrasi, rasio pengembangan, cooking loss, daya putus dan daya patah. Cooking time adalah waktu yang dibutuhkan untuk memasakkan/mematangkan mie. Rasio pengembangan sangat dipengaruhi oleh kemampuan mie dalam menyerap air. Nilai rasio pengembangan yang terlalu tinggi tidak diinginkan karena semakin tinggi rasio pengembangan maka granula pati akan mudah pecah dan menyebabkan kebocoran amilosa. Nilai rasio pengembangan berkorelasi positif dengan nilai hidrasi. Semakin tinggi hidrasi mie kering maka semakin besar pula nilai rasio pengembangan mie kering (Kusrini, 2008). Daya patah adalah sifat fisik yang berhubungan dengan tekanan untuk mematahkan produk. Daya patah mie menggambarkan ketahanan mie selama penanganan produksi terutama terhadap perlakuan mekanis (Yuwono [1998] dalam Kusrini [2008]). Daya putus merupakan besarnya gaya tiap satuan luas penampang bahan yang dibutuhkan untuk memutuskan suatu produk. (Yuwono [1998] dalam Kusrini [2008]). Semakin tinggi gaya yang diberikan menunujukkan mie semakin elastis Secara fisik, mie kering memiliki tekstur yang lebih keras daripada mie instan sebelum dimasak (dalam keadaan kering). Hal ini dimungkinkan karena rongga-rongga di dalam adonan mie kering digantikan dengan udara akibat proses pengeringan, sedangkan pada mie instan rongga didalam adonan digantikan dengan minyak. Akibatnya mie instan memiliki tekstur yang lebih empuk. Gelatinisasi terjadi pada tahap pengukusan (steaming) pada pembuatan mie. Mie yang tergelatinisasi sempurna akan memiliki warna bening mengkilat (transparan) dibagian dalam untaian mienya. Semakin tinggi derajat gelatinisasi maka mie akan memiliki waktu pemasakan yang lebih rendah (semakin instan). Mie kering yang telah melalui tahapan gelatinisasi memiliki waktu pemasakan yang cepat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Winarno (2002), bahwa pati tergelatinisasi yang dikeringkan memiliki kemampuan untuk menyerap air kembali dengan jumlah yang sangat besar. Tingginya penyerapan air membuat waktu pemasakan semakin singkat. Hatcher et al. (1999) menambahkan bahwa absorbsi air berpengaruh terhadap kualitas mie. Semakin tinggi absorbsi air maka waktu masak semakin rendah. Gelatinisasi merupakan fenomena pembentukan gel yang diawali dengan pembengkakan granula pati akibat penyerapan air (Widjanarko, 2008). Didalam air dingin granula pati hanya dapat membengkak tidak lebih dari 30% dari berat tepung. Dengan adanya panas, granula pati akan membengkak semakin besar. Suhu dimana terjadi pembengkakan maksimal disebut suhu gelatinisasi. Menurut Winarno (2002), suhu gelatinisasi merupakan suhu pada saat granula pati pecah. Dengan adanya pemanasan terjadi pula beberapa perubahan lain. Granula pati akan kehilangan kekompakannya dan kelarutan akan meningkat dikarenakan terjadi pembebasan molekul amilosa yang mempunyai derajat polimerasi rendah. Larutan akan menjadi semakin kental dan dapat bersifat merekat. Pada saat suhu diatas 85oC granula pati pecah dan isinya mulai membuka dan terurai sehingga campuran pati dengan air menjadi semakin kental membentuk sol. Pada saat pendinginan, jika perbandingan pati dengan air cukup besar maka molekul pati membentuk jaringan dengan molekul air yang terkurung didalamnya sehingga membentuk gel (Myllarinen [2002] dalam Sriherfyna [2007]). Suhu gelatinisasi tidak disebutkan secara spesifik melainkan biasa disebutkan dengan cara kisaran suhu. Hal ini dikarenakan tidak semua granula pati mengembang di waktu yang sama. Granula pati yang berukuran besar akan tergelatinisasi terlebih dahulu dibandingkan granula pati yang berukuran lebih kecil (Whistler et al, 1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi antara lain: 1. Sumber pati: 2. Konsentrasi pati 3. pH larutan 4. Ukuran granula 5. Kandungan amilosa

DAFTAR PUSTAKA Allen, H.M and D.K Pleming. 2001. Instrumental evaluation of noodle sheet color. NSW Agriculture, Wagga Wagga Agricultural Institute, PMB, Wagga Wagga NSW 2650 Australia. Hatcher, D. W., J. E. Kruger dan M. J. Anderson. 1999. Influence In Water Absorption on the Processing and Quality of Oriental Noodles. Cereal Chem. 76 (4) : 566-572 Hidayat, B. 2008. Pengembangan Formulasi Produk Mie Berbahan Baku Pati Ubi Kayu. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008. Lampung. Universitas Lampung, (VII) 311-319 Hou, G. and Mark Krouk. 1998. Asian Noodle Technology. Technical Bulletin Portland Kusrini, Yulia. 2008. Studi Pembuatan Mie Kering (Kajian proporsi Tepung Kasava Terfermentasi dan Penambahan Gluten Kering). Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Unibraw, Malang. Myllarinen. 2002. Starches from Granules to Novel Application. VTT Biotechnology Publication. Page 1-70 Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Widjatmono, 2004. Noodle Technology Training. Human Resource development, Product Development Dept. PT. Heinz Suprama Whistler, Roy L., James N. BeMiller. 1997. Carbohydrate Chemistry for food Scientist. Eagen Press. Minnesota-USA Yuwono, S. dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi Pangan, Unibraw Malang. Rate t

Anda mungkin juga menyukai