pemberantasan TB dunia tahun 2010 : WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap merata 2% pertahun. Di Negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%. khususunya Rifampisin dan INH strategi DOTS : meningkatkan angka kesembuhan sehingga mengurangi angka resistensi termasuk resistensi ganda.
M. tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya
RESISTENSI PRIMER
RESISTENSI INISIAL RESISTENSI SEKUNDER
sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT @ telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan.
tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah
penderita TB dengan AIDS, menimbulkan angka kematian yang amat tinggi (70-90%) dalam waktu yang amat singkat (hanya 4-16 minggu lamanya antara diagnosis sampai terjadinya kematian).
Turki
35% resisten 1 jenis obat,6% resisten 2 jenis obat, 3,9% 3 macam obat dan 2,8% 4 macam obat. 17,7% resistensi RM, 14,7% resisten INH, dan 8,7% resisten EMB. 13,9% resisten INH dan 7,4% resisten SM. 41% resisten 2 jenis obat. 7,2% resisten RM, 3,3% resisten SM dan 1.2% resisten INH.
Pakistan
India
Saudi Arabia
Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang obat datang ke suatu daerah dan kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.
Pasien dengan TB-MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman
Pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman TB yang mendapat pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyak OAT yang resisten ( The amplifier effect).
Penggunaan panduan pengobatan yang tidak memadai, baik karena jenis obatnya yang tidak tepat maupun karena lingkungan itu tercatat adanya resistensi yang tinggi
Fenomena addition syndrome : suatu obat ditambahkan dalam suatu panduan pengobatan yang tidak berhasil.
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat
Pemberian obat TB yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan 2@3 minggu lalu stop, lalu setelah dua bulan berhenti lalu berpindah dokter
FAKTOR MIKROBIOLOGIK
Resisten yang natural Resisten yang didapat Amplifier effect Virulensi kuman Tertular galur kuman MDR
FAKTOR PROGRAM
Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan Ampli fier effect Tidak ada program DOTS-PLUS Program DOTS belum berjalan dengan baik Memerlukan biaya besar
FAKTOR KUMAN
Kuman M. tuberculosis super strains Sangat virulen Daya tahan hidup lebih tinggi Berhubungan dengan TB-MDR
FAKTOR HIV-AIDS
Kemungkinan terjadi TB-MDR lebih besar Gangguan penyerapan Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar.
FAKTOR KLINIK
OBAT
PENYELENGGARA KESEHATAN
PASIEN
Keterlambatan diagnosis
Pengobatan TB lebih dari 6 bulan sehingga membosankan pasien Obat toksik menyebabkan efek samping Obat tidak dapat diserap dengan baik
Kurangnya informasi atau penyuluhan Kurang dana untuk obat, pemeriksaan penunjang dll Efek samping obat
resisten baik dengan lini pertama @ lini kedua. Tidak ada lagi obat yang bisa dipakai.
Total Drug Resistance
Poly-resistance
MDR + kekebalan terhadap salah satu obat fluorokuinolon, & sedikitnya satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin)
Extensive drugresistance (XDR)
kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid dan rifampisin
Multidrugresistance (MDR)
KASUS BARU
baru didiagnosis Tb & sebelumnya tidak pernah diobati (OAT) @ durasi terapi < 1 bulan ini terinfeksi galur M. Tb yang telah resisten obat : RESISTENSI PRIMER
MDR-TB mendapatkan terapi Tb sedikitnya 1 bulan KASUS DIOBATI awalnya terinfeksi galur M Tb yang masih sensitif obat tetapi selama perjalanan terapi timbul resistensi : RESISTENSI SEKUNDER
Secara mikrobiologi
mutasi genetik membuat obat tidak efektif melawan basil mutan.
Diantara populasi M. Tb wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT
Populasi galur M. Tb resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati.
Resisten > 1 OAT jarang disebabkan genetik & biasanya merupakan hasil penggunaan obat yang tidak adekuat
sebelumnya individu telah terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. Tb berisi organisms resisten obat
menyebabkan proliferasi
Kasus TB paru + gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu
Pasien TB paru + pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 2
Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin Pasien TB paru + gagal pengobatan kategori 1 Pasien TB paru + pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1 TB paru kasus kambuh Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori 2 Suspek TB + keluhan, tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas dibangsal TB-MDR TB-HIV
Dipastikan dengan : hasil uji kepekaaan terdapat M.tuberculosis yang rrsisten minimal terhadap rifampisin & INH.
Didukung oleh : pengenalan faktor risiko untuk TB-MDR pengenalan kegagalan obat secara dini uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasi
Resistensi silang
Aminoglikosid
Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau amikasin Resisten terhadap kanamisin atau amikain gunakan kapreomisin
Fluorokuinolon
Ofloksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang untuk semua fluorokuinolon
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi silang dengan obat golongan lain.
Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor mode, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT masih sensitif.
Obat lini-2 yang digunakan : fluorokuinolon,aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin + as klavulanat.
OAT yang masih sensitif minimal 2-3 OAT lini 1 + obat lini 2 (Siprofloksasin 10001500 mg @ ofloksasin 600-800 - single dose atau 2 kali/hari).
Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR TB.
Tingkatan
Obat
Dosis Harian
Aktiviti antibakteri
Aminoglikosid a.Streptomisin
15 mg/kg
b. Kanamisin
atau amikasin c. Kapreomisin 2 Thionamides (etionamid Protinamid) 3 Pirazinamid 20-30 mg/kg 10-20 mg/kg
multiplikasi aktif
5-7,5
10-15
Bakterisid
4-8
7,5-10
4
5 6 7
Ofloksasin
Ethambutol Sikloserin PAS asam
7,5-15 mg/kg
15-20 mg/kg 10-20 mg/kg 10-12 g
Bakterisid mingguan
Bakteriostatik Bakteriostatik Bakteriostatik
2,5-5
2-3 2-4 100
Strategi sebaiknya berdasarkan: 1: Uji kepekaan 2: Frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut
Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari populasi pasien yang representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan indivisual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan
Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual
Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Kelompok 2: Bersifat bakterisidal (Kanamisin atau kapreomisin jika alergi terhadap kanamisin)
Kelompok 5: Obat yang belum jelas efikasinya. Tidak disediakan dalam program ini.
Paduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB MDR dan harus disesuaikan Berdasarkan keadaan dibawah: Hasil uji kepekaan OAT lini kedua menunjukkan resisten terhadap salah satu obat diatas. Etambutol dan pirazinamid tetap digunakan Ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut di atas sebelumnya sehingga dicurigai ada resistensi, Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat yang sudah dapat diidentifikasi sebagi penyebabnya Terjadi perburukan keadaan klinis, sebelum maupun setelah konversi biakan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah kondisi umum, batuk, produksi dahak, demam, penurunan berat badan
Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah: 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs Z: Pirazinamid, E: Etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.
1. Setiap rejimen TB MDR terdiri dari paling kurang 4 macam obat dengan efektifitas yang pasti atau hampir pasti. 2.PAS ditambahkan ketika ada resistensi diperkirakan atau hampir dipastikan ada pada fluorokuinolon. Kapreomisin diberikan bila terbukti resisten kanamisin.
Dosis obat berdasarkan berat badan. Obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) digunakan sekurangkurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Periode ini dikenal sebagai fase intensif. Lama fase intensif: Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil kultur, sputum, foto thorax dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan menghentikan pemakaian obat suntik.
5.Definisi konversi dahak: pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif.
6.Suntikan diberikan 5x/minggu selama rawat inap dan rawat jalan. Obat per oral diminum setiap hari. Pada fase intesif obat oral diminum didepas petugas kesehatan kecuali pada hari libur diminum didepan PMO. Sedangkan pada fase lanjutan obat oral diberikan maksimum 1 minggu dan diminum didepan PMO. Setiap pemberian suntikan maupun obat oral dibawah pengawasan selama masa pengobatan.
7.Pada pasien yang mendapat sikloserin harus ditambahkan Piridoxin (vit.B6), dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin
Gejala klasik TB batuk, berdahak, demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama pengobatan.
Pemeriksaan dahak dan biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan.
Periksa kadar kalium dan kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin)
Pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid
Pemeriksaan dahak dan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif
*Lama pemberian suntikan atau fase intensif di tentukan oleh hasil konversi kultur Anjuran minimal untuk obat suntikan harus dilanjutkan paling kurang 6 bulan dan sekurang-kurangnya 4 bulan setelah pasien menjadi negatif dan tetap negatif untuk pemeriksaan dahak dan kultur
Lama pengobatan Lama pengobatan yang dianjurkan ditentukan oleh konversi dahak dan kultur. Anjuran minimal adalah pengobatan harus berlangsung sekurangkurangnya 18 bulan setelah konversi kultur sampai ada bukti-bukti lain untuk memperpendek lama pengobatan
Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program dan telah mengalami sekurang-kurangnya 5 kultur negatif berturut-turut dari sampel dahak yang diambil berselang 30 hari dalam 12 bulan terakhir pengobatan. Pasien kategori IV meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR.
Pasien kategori IV yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai protokol program tetapi tidak memenuhi definisi sembuh karena tidak ada hasil pemeriksaan bakteriologis
Pengobatan dianggap gagal jika 2 atau lebih dari 5 kultur yang dicatat dalam 12 bulan terakhir masa pengobatan adalah positif, atau jika salah satu dari 3 kultur terakhir hasilnya positif. Pengobatan juga dapat dikatakan gagal apabila tim ahli klinis memutuskan untuk menghentikan pengobatan secara dini karena perburukan respons klinis, radiologis atau efek samping
Pasien kategori IV yang pengobatannya terputus selama berturut-turut dua bulan atau lebih dengan alasan apapun tanpa persetujuan medik
Pasien kategori IV yang pindah ke unit pencatatan dan pelaporan lain dan hasil pengobatan tidak diketahui.
1.OAT lini kedua mempunyai efek samping yang lebih banyak, lebih berat dan lebih sering dari pada OAT lini pertama. 2.Efek samping terkait dosis. 3.Mengelakkan kasus drop-out.
1.RS rujukan TB MDR dan UPK satelit menjadi tempat penatalaksanaan efek samping tergantung berat ringan gejala. 2.Dokter Puskesmas akan menatalaksana efek samping ringan dan sedang. Tim klinis TB MDR di RS rujukan TB MDR akan mendapat laporannya 3.Pasien dengan efek samping berat atau serius dan pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah penanganan efek samping ringan atau sedang harus segera dirujuk ke Tim Klinis RS rujukan MDR dengan transportasi dari Puskesmas
Pasien harus menghentikan semua obat, segera dirujuk dengan didampingi ke RS rujukan TB
Pendengaran berkurang
Reaksi alergi berat yaitu Syok anafilaktik dan angionerotik edema, harus segera ditangani oleh dokter puskesmas sesuai standard penanganan syok sebelum segera dirujuk ke RS rujukan TB-MDR Reaksi alergi berat yang lain yang berupa kemerahan pada mukosa (selaput lendir) seperti mulut, mata dan dapat mengenai seluruh tubuh berupa pengelupasan kulit (Steven Johnsons Syndrome)
Semua pasien wanita usia subur harus didahului pemeriksaan kehamilan. pemakaian kontrasepsi dianjurkan bagi semua wanita usia produktif yang akan mendapat pengobatan TB MDR
*ibu menyusui harus mendapat pengobatan penuh. *Jika ibu dengan BTA positif, pisahkan bayinya beberapa waktu sampai BTA nya menjadi negatif atau ibu menggunakan masker N-95
1.Diabetes mellitus bisa memperkuat efek samping OAT, terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer 2.Obat-obatan hypoglycaemi oral tidak merupakan kontraindikasi selama pengobatan TB MDR, tetapi mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus
Kadar Kalium dan kreatinin harus dipantau, setiap minggu selama bulan pertama dan selanjutnya sekurang-kurangnya sekali sebulan
1.OAT lini kedua kurang toksis terhadap hati dibanding OAT lini pertama 2.Pasien dengan penyakit hati kronik tidak boleh diberikan Pirazinamid 3.Pemantauan kadar enzim secara ketat dianjurkan dan jika kadar enzim meningkat, OAT harus dihentikan dan dilaporkan kepada tim therapeutic advisory 4.Jika diperlukan, untuk mengobati pasien TB MDR selama hepatitis akut, kombinasi empat OAT yang tidak hepatotoksis merupakan pilihan yang paling aman
1.Tentukan apakah gangguan kejang terkendali atau telah menelan obat anti kejang Jika kejangnya tidak terkendali, pengobatan atau penyesuaian pengobatan anti kejang diperlukan sebelum mulai pengobatan. 2. Cycloserine harus dihindarkan pada pasien dengan gangguan kejang yang aktif dan tidak cukup terkontrol dengan pengobatan.
2.Strategi penemuan kasussecara rasional yang akurat dan tepat waktu menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji kepekaan yang terjamin mutunya.
3.Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
Prosedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB-MDR. Dari hasil beberapa penelitian pembedahan efektif dan relatif aman. Pembedahan tidak diindikasikan pada penderita dengan gangguan paru luas bilateral. Pembedahan dilakukan pada kasus awal-awal seperti kelainan suatu lobus atau paru dan setelah pemberian pengobatan selama 2 bulan untuk menurunkan infeksi bakteri dalam paru. Setelah pembedahan, pengobatan tetap diberikan selama 12-24 bulan.
*Harus diakui bahwa pengobatan terhadap tuberkulosis dengan resistensi ganda ini amat sulit dan memerlukan waktu yang amat lama dan pada beberapa keadaan bahkan sampai 24 bulan lamanya. *Pemberian pengobatannya pada dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji kepekaan. *Resistensi ganda terhadap obat tuberkulosis adalah masalah besar dalam penanggulangan tuberkulosis dewasa ini. Pemberian obat tuberkulosis yang benar dan terawasi secara baik merupakan salah satu kunci penting untuk mencegah dan mengatasi masalah ini. Konsep Direcly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat penderita dan menaggulangi masalah tuberkulosis khususnya resistensi ganda ini. Perkembangan obat baru mungkin juga diperlukan untuk menanggulangi hal ini.
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 3. Balai Penerbit FKUI; 2001. 2.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. 3. PDPI. Standard Pelayanan Medik Paru. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang Jakarta; 1998 4. Rasad sjahrir, Sukonto Kartoleksono, dan Iwan Ekayuda. Radiologi Diagnostik. Balai Penerbit FKUI; 2000. 5.Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, ed III. Lab Mikrobiologi RSUP Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis ; 2000 6.Tuberkulosis pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia ; 2006.