Anda di halaman 1dari 4

Pemahaman terhadap Islam, jelas Jacques Waardenburg, perlu dibedakan antara Islam sebagaimana yang diyakini oleh Muslim\dengan

Islam sebagai kajian dalam studi atau penelitian Islam. Bagi Muslim, Islam, tegas Jacques Waardenburg, merupakan sesuatu yang bersifat normatif dan ideal. Inilah yang disebut oleh Jaqcues Waardenburd dengan Islam normatif (normative Islam) yang terdiri dari petunjuk-petunjuk, norma-norma, dan nilai-nilai yang diakui oleh pemeluknya sebagai pengejewantahan dari yang llahiah. Seiain yang Islam normatif tersebut, Jaqcues Waardenburg juga menyebut actual Islam (Islam aktual). Berbeda dengan Islam normatif, Islam aktual merupakan segala macam bentuk dan gerakan, tindakan, dan pemikiran yang berkembang dalam kehidupan Muslim pada konteks waktu dan tempat yang berbeda. Atas asumsi ontologis terhadap realitas Islam tersebut, Jaqcues Waardenburg kemudian memilah kajian Islam ke dalam tiga ruang lingkup sebagai berikut: pertama, the normative study of islamic religion. Kajian pada ruang lingkup pertama pada umumnya dilakukan oleh Muslim dengan tujuan mendapatkan kebenaran agama (Islam). Yang da pat dimasukkan pada kegiatan kajian pada ruang lingkup pertama ini adalah, tafsir (Qur'anic exegesis), hadist (the science of the traditions), fiqh (jurisprudence), dan kalam j (metaphysical theology). Kedua, the nonnormative study of Islamic relegion, adalah kajian terhadap apa yang oleh Muslim diyakini sebagai Islam yang benar dan dipandang sebagai living Islam (ekspresi keberagamaan Muslim yang sebenarnya). Kemudian ruang lingkup yang ketiga disebut dengan the nonnormative study of Islamic aspects of Muslim culture and societies, yakni kajian terhadap aspek budaya dan sosial Muslim. Pada masa sekarang ketika dunia Islam dihadapkan pada dilema yang ditimbulkan oleh hubungannya dengan tekanan modemitas dan kegagalannya sendiri, dicari alat-alat luar yang dapat digunakan untuk mampu bertahan, alat yang mungkin saja tidak sesuai dengan identitas, takdir, dan kehidupan umat Islam menurut Hukum Allah. Menurut kata-kata Grumebaum, alat yang dipilih adalah memandang sesuatu yang heterogenetik sebagai sesuatu yang ortogenetik (von Grunebaum, 1962). Maka kita menyaksikan fenomena perubahan radikal dalam

kehidupan sosial Umat Islam yang dilaksanakan menurut dasar yang benar-benar merefleksikan nilai-nilai Islam tradisional. Masalah yang dihadapi dalam upaya memahami konsep Islam disebabkan luasnya konsep, fakta yang ada, dan keragaman tingkat pemahaman diantara umat Islam sendiri. Pertanyaan, "Apa itu Islam?" terbukti sulit dijawab baik oleh umat Islam itu sendir maupun bagi para sarjana ilmu agama, meskipun pertanyaan ini mungkin sama sulitnya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti "Apa itu Kristen?" atau "Apa itu Budha?" Selain itu, sudut pandang yang dipakai mereka yang berusaha menjawab pertanyaan itu pun berbeda-beda. Menurut pendapat saya, tidak ada harapan untuk menemukan definisi Islam yang diterima secara universal. Jika permasalahannya memang demikian, Islam harus dipandang dari perspektif sejarah seperti respon berbagai generasi Muslim yang selalu berubah, berbenah, dan berkembang terhadap pandangan mendalam tentang realitas dan makna kehidupan manusia. Namun, hal ini tidak hanya menunjukkan pandangan yang berubah namun visi itu sendiri sebagai cita-cita umat Islam menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan antar generasi. Menetapkan makna agama tidak kalah sulitnya. Banyak sekali tulisan tentang bidang ini karena manusia sangat memperhatikan bidang ini, yang dasarnya bersifat kontroversial. Sering kali tulisan agama dipandang sebagai respon manusia terhadap kekuatan alam yang besar dan tak dapat dikontrol, seperti 'penyakit bahasa1, munculnya ketakutan dan dorongan terhadap keamanan. Pembahasan tentang topik ini terus berlanjut seperti yang disaksikan pada dasar baru atas pandangan lama bahwa agama adalah keyakinan terhadap dewa-dewa (Spiro, 1966). Banyak teori yang dihasilkan para akademisi memberi alat untuk menafsirkan materi Islam. Namun, teori semacam itu jarang sekali digunakan untuk menjelaskan pengalaman Islam. Alasannya adalah (1) fakta bahwa mahasiswa ilmu agama lebih tertarik pada agama-agama primitif daripada agama-agama yang lebih tinggi; (2) pengabaian Islam dalam keilmuan Barat terkait dengan ketidakcondongan pada agama lebih tinggi; (3) fakta bahwa keinginan untuk memahami pengalaman umat lain sering kali sangat rendah bila obyek

penelitiannya adalah Islam daripada jika mempelajari agama-agama India atau Timur Jauh; dan (4) bidang ini didominasi oleh orang-orang yang lebih tertarik dengan sejarah atau filsafat. Meskipun seseorang dapat memahami agama secara umum, namun masih ada pertanyaan tentang apa yang menjadi obyek penelitiannya. Apa harus diperhatikan seseorang untuk mengetahui agama Islam atau yang lain? Sekali lagi, jawabannya sulit didapat, karena keagamaan manusia dapat berfungsi sebagai penegasan terhadap pemyataan kredo atau doktrin, sebagai perumusan sistim filsafat, sebagai tindakan pemujaan, sebagai cara perilaku yang diatur sanksi moral, atau sebagai kaitan dengan dan partisipasi dalam kehidupan kelompok yang berorientasi agamis. Namun, apakah ada hal-hal penting yang dapat digunakan untuk memahami agama? Apakah dibalik semua itu ada pengalaman pribadi, pengalaman yang mendekatkan dengan inti makna agama bukannya manifestasi eksternalnya? Singkatnya, dalam agama terdapat bidang kesadaran, perasaan, dan respons pribadi yang tak dapat disampaikan. Beberapa Pendekatan dalam Studi Islam Kita dapat membedakan sejumlah perspektif yang mengatur dan masih mengatur pendekatan pada Islam. Dalam bagian ini, kita akan membahas beberapa pendekatan penting. Pendekatan pada Islam sangat beragam dari yang normatif sampai yang deskriptif. Pendekatan-pendekatan ini dapat juga diklasifikasikan menurut ada tidaknya komitmen agama peneliti. Pembedaan ini semakin jelas pada kasus mereka yang menyelidiki Islam dengan tujuan menarik perhatian pada satu sisi, dan mereka yang merespon motif intelektual pada sisi lain. Namun, kita keliru jika terlalu menekankan pembagian semacam ini karena upaya untuk mempertahankan pembedaan tersebut dapat menimbulkan bahaya perpecahan. Meskipun banyak usaha telah dilakukan untuk membangun penelitian agama yang benar-benar ilmiah dan mandiri di lingkungan universitas-universitas Barat, terbukti sulit sekali melakukan penelitian yang ebanr-benar netral pada masalah norma dan filsafat agama. Bukti kesulitan ini dapat dijumpai pada banyak teori agama yang

dikembangkan satu abad terakhir, yang jika dipahami lebih mendalam, sering kali memberi penilaian negatif terhadap kebenaran dan realitas agama terkait. Bukti lain kesulitan semacam itu dapat dijumpai pada pemikiran bapak pendiri ilmu agama Barat atau Religionswissenschaft yang motivasi keilmuannya yang motivasi keilmuannya terkait dengan kecenderungan teologisnya, Selain itu, masalah timbul karena sifat agama. Meskipun salah satu aspek agama merupakan fenomena historis dan manusaiwi, agama menegaskan diri memiliki rujukan transenden. Pada semua hal, agama melibatkan komitmen mendalam dan komitmen kuat para pengikutnya. Maka upaya untuk memisahkan pertimbangan normatif dari apa yang sebagian dipandang sebagai aspek ilmiah menjadi sangat mendesak ketika akademisi membahas agama yang tidak diyakininya seperti pada kasus mahasiswa Barat yang mempelajari Islam.

Anda mungkin juga menyukai