Anda di halaman 1dari 5

PROPENSITY: Pendorong Keberhasilan Pembelajaran Bahasa Indonesia (Studi Kasus)

Oleh I Nengah Sudipa BIPA-Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar

Pendahuluan Animo orang asing belajar di Program BIPA Fakultas Sastra UNUD kian menampakkan jumlah meningkat. Dari bulan Mei 1998- sejak BIPA Fakultas Sastra secara resmi menerima mahasiswa asing berdatangan pembelajar dari mancanegara , ada dari Amerika, Australia, Canada, Korea, Denmark dan paling banyak dari negara Sakura. Pada semester I (Januari-Mei) 2001 tercatat ada 4 level yang dibuka dengan jumlah mahasiswa tiap-tiap level 5-6 orang, status mahasiswa ada yang darmasiswa dan ada juga atas biaya sendiri. Pada level II tercatat ada 5 pembelajar dengan biaya sendiri yakni: Chun (Korea), Yuki, Keiko, Tomoko dan Satoko (Jepang). Mereka dipilih sebagai subjek pengamatan ini karena mereka memiliki motivasi tertentu yang mungkin berasal dari dirinya sendiri (hasil wawancara awal) untuk belajar Bahasa Indonesia. Menurut Gardner dan Lambert (1972), motivasi ada dua yakni : motivasi instrumental dan integral. Seseorang dikatakan memiliki motivasi bersifat instrumental karena mereka mempunyai tujuan belajar bahasa untuk dipakai alat mencapai tujuan tertentu, yakni mencari pekerjaan dan sejenisnya, kalau integral pembelajar betul-betul ingin menguasai Bahasa Indonesia untuk kepentingan bahasa itu sendiri, sehingga hasil akhir mereka benar-benar terintegrasi dengan nuansa bahasa tersebut (bandingkan dengan internal dan external motivations). Keberhasilan seorang pembelajar di dalam pembelajaran bahasa menurut Klein semestinya harus ada semacam propensity yang diterjemahkan semacam desakan. Secara teoritis propensity ini dibagi menjadi 4 unsur yang lebih detail yakni, apakah desakan itu karena : - (a) kebutuhan komunikatif, - (b) demi kepentingan integritas sosial - demi menunjukkan sikap - (d) demi tujuan pendidikan Kalau kita kaitkan dengan 5 pembelajar asing yang dijadikan sample studi kasus ini, maka telah tergambar bahwa ada desakan seperti diusulkan oleh Klein karena hasil akhir pembelajaran mereka cukup memuaskan. Untuk mengetahui masalah ini dan jenis propensity yang mana paling dominan sebagai pendesak sehingga kelima pembelajar mendapat hasil yang baik, maka hasil pengamatan ini pantas disajikan . 2. Dimensi Pemerolehan Bahasa Menurut Klein (1986) ada 6 dimensi pemerolehan Bahasa kedua yakni: Propensity, Language Faculty, Access, Structure, Tempo dan End-state.

2. 1 Propensity, sebagaimana diulas di depan bahwa dalam proses pemerolehan bahasa, faktor pertama yang perlu diperhitungkan demi keberhasilan pembelajaran itu adalah, apakah ada semacam desakan (desakan dari dalam atau luar) pembelajar, ini dikenal dengan propensity. Lebih lanjut Klein merinci propensity menjadi: Integritas Sosial, keberhasilan menguasai suatu bahasa tertentu berarti berhasil mencapai jati diri tertentu. Misalnya berhasil menguasai Inggris merupakan suatu identitas khusus melekat pada diri orang tersebut. Integrasi sosial ini bisa berdampak positif terhadap identitas seseorang bila bahasa yang dikuasai memiliki status sosial lebih tinggi daripada bahasa ibunya. Tetapi sebaliknya bisa berdampak negatif, terutama pada masyarakat bahasa yang lingkungannya terdiri atas bahasa migran. (b) Kebutuhan Komunikatif, perlu dibedakan bahwa faktor integrasi sosial memang berbeda dengan Kebutuhan Komunikatif. Faktor integrasi sosial lebih menekankan pada keterlibatan langsung orang itu pada suatu masyarakat bahasa, sedangkan Kebutuhan Komunikasi lebih ditekankan segi pemahaman atau produksi ujaran pada bahasa sasaran misalnya. Kebutuhan Komunikatif bahasa Inggris dalam pergaulan global dewasa ini dan masa datang menjadi faktor yang mendesak. (c) Sikap, merupakan sikap alami setiap orang bahwa keberhasilan menguasai bahasa Inggris dewasa ini, misalnya akan membawa prospek bagus, kehidupan yang lebih nikmat dan sejenisnya. Sikap positif seperti ini merupakan faktor pendorong dari dalam diri orang itu sendiri. Sikap sebaliknya juga ada, yaitu ramalan akan masa depan suram bila menguasai bahasa tertentu atau bidang tertentu, hal ini tidak banyak memberikan dorongan untuk menguasai hal itu, (d) Pendidikan, menurut Klein atas hasil observasinya dikatakan bahwa unsur pendidikan dikatakan merupakan faktor pendorong paling lemah, maka dari itu harus dikombinasikan dengan unsur lainnya. Unsur pendidikan ini dikatakan paling lemah karena, sedikit sekali pembelajar yang mempunyai motivasi untuk melanjutkan pendidikan dengan menguasai bahasa kedua, sehingga pengaruhnya menjadi amat lemah.
(a)

2. 2 Language Faculty, menurut Ferdinand de Saussure setiap orang memiliki kapasitas alami untuk memproses bahasa, baik sebagai pembicara maupun pendengar, Kapasitas itu sendiri disebut faculte du langage (1916): 34) meringkas kemampuan untuk belajar bahasa yaitu terdiri atas: - Kemampuan membedakan bunyi ujaran dan juga memproduksinya dengan benar - Kemampuan menganalisis urutan bunyi menjadi satuan-satuan bunyi bahasa yang dikaitkan dengan hal-hal atau kejadian tertentu pada lingkungan tertentu - Kemampuan mengingat hubungan unit leksikal dan kemudian menggabungkannya menjadi entitas yang luas (kalimat misalnya) Dalam kaitan dengan belajar Bahasa Indonesia, secara sederhana dikatakan bahwa ringkasan di atas telah mencakup kelima ranah yaitu : fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata dan Wacana. 2.3 Access, proses pemerolehan bahasa tidak pernah akan bisa berjalan kalau tidak ada peluang bagi kemampuan yang dimiliki orang. Ada dua pemikiran pokok tentang access ini yaitu: (a) input: menyangkut penguasaan kelima ranah bahasa, termasuk semua aspek bahasa meliputi telaah dari sudut pemakai dan pemakaiannya serta

simbol yang menyertainya, seperti anggukan kepala, roman muka, dan lain-lainnya dan reaksi pendengar termasuk input yang tak bisa diabaikan pula. (b) peluang berkomunikasi, seperti telah dijelaskan bahwa Pemerolehan Bahasa yang spontan terjadi akibat interaksi sosial. Orang diwajibkan siap dengan semua pengetahuan yang dimiliki, agar bisa memahami apa yang diujarkan oleh lawan bicara Bahasa Indonesia, peluang harus ada dan diatur sedemikian rupa sehingga sistematis dan berjenjang. Metode kelancaran (fluency) pada fase awal belajar lebih ditekankan daripada ketepatan (accuracy) memilih kata, struktur maupun intonasi. 2.4 Structure, struktur yang dimaksud di sini adalah ciri-ciri mum bahasa dengan berbagai perkecualian apabila dipakai dalam berkomunikasi. Dalam bahasa Indonesia perlu adanya sinkronisasi kemampuan berbahasa misalnya untuk membedakan lafal /l/ dan /r/ untuk orang Jepang; alomorf prefiks /me-/ men/meny/meng/ dll.; hukum DM atau MD,
2.4

Tempo, keempat dimensi di depan sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambannya proses ini terwujud. Desakan kebutuhan komunikatif berakselerasi dengan kemajuan setiap orang atau sebaliknya. Cepat atau lambannya proses Pemerolehan Bahasa ada juga disebabkan oleh daya ingat seseorang.

2.6 End-state, idealnya tahap ini seharusnya menandakan penguasaan sempurna terhadap bahasa. Perlu diingat bahwa istilah bahasa mengandung kenyataan yang terdiri atas berbagai varian, seperti dialek, sosiolek, register dan aspek lainnya. Diakui bahwa tidak ada seorang anak manusia menguasai semua varian ini dengan efektif, bahkan penutur asli sekali pun. Bagi mereka yang belajar bahasa Indonesia, hanya mampu menguasai beberapa ranah dengan pemakaian efektif pada kebutuhan tertentu, kemudian kemajuan akan berhenti. Berhentinya proses ini karena adanya masalah fosilisasi yaitu merasa tidak perlu meningkatkan, atau perangkat bahasa mengalami perubahan karena usia, dllnya. Sebab lain juga karena tidak tersedianya peluang untuk menggunakannya, misalnya dalam komunikasi sehingga apa yang telah dikuasai bisa makin memudar. 3. Hasil dan Diskusi Bagian ini memaparkan hasil pengamatan data yang telah berhasil dikumpulkan selama satu semester. Pengumpulan data diawali dengan wawancara yang mengarah pada alasan kenapa mereka belajar Bahasa Indonesia (BI), ini dilakukan pada waktu placement test berlangsung, pengumpulan data juga dilakukan selama pelajaran berbicara berlangsung dengan mengevaluasi bahan ajar, pada waktu itu dengan penekanan pada keberhasilan menguasai bahan tersebut. Wawancara dilakukan lagi pada tes tengah semester dan tes akhir semester dengan penekanan pada motivasi dan evaluasi. Dari hasil yang terkumpul dianalisis secara korelatif antara motivasi dan keberhasilan. Analisis data sepenuhnya bersandar pada teori pemerolehan bahasa kedua yang dikembangkan oleh W. Klein (1986). 3.1 Kebutuhan Komunikatif Dari kelima responden yang menjadi sumber data ini ternyata 3 orang memberi prioritas bahwa faktor yang amat mendesak adalah kebutuhan komunikatif, pada setiap daftar pertanyaan disediakan ruang komentar yang merepresentasikan kemampuan dan kelemahan (kendala) di dalam berkomunikasi. Dari kajian komentar

yang ditulis oleh 3 responden, pada dasarnya mereka tetap mengatakan bahwa mereka sangat terdorong belajar Bahasa Indonesia, karena desakan kebutuhan komunikatif. 3. 2 Integritas Sosial Secara ekplisit hanya satu responden yang mengatakan memiliki desakan demi integrasi sosial atas nama Subjek pengamatan Tomoka . Mengingat latar belakang kemampuan berkomunikasi sudah cukup baik dan selain itu Tomoko mempunyai keinginan kuat belajar seni melukis, maka ia memperioritaskan propensity ini pada alasan demi integritas sosial 3.3. Pendidikan Motivasi responden belajar Bahasa Indonesia sangat mempengaruhi di dalam mengidentifikasikan desakan kenapa ia belajar. Chun (pembelajar dari Korea) bercitacita melanjutkan pendidikan di Bali, pada level ini ia berusaha keras menguasai caracara berkomunikasi dengan baik dan ternyata berhasil baik, sambil mulai menyiapkan diri untuk bisa mengikuti kuliah di UNUD. Faktor pendorong ini nampaknya lebih kuat daripada unsur propensity lainnya, sehingga Chun sendiri yang memprioritaskan demi pendidikan ia belajar bahasa Indonesia. 3.4 Sikap Tidak adanya responden yang memilih demi sikap (baik dalam arti positif maupun negatif terhadap BI) mungkin disebabkan karena hampir semua berasumsi bahwa menguasai BI tidak secara otomatis membuat mereka berbahagia atau melarat. Hal ini sangat berbeda bagi pembelajar yang menguasai suatu bahasa tertentu yang lebih prestisius atau lebih menjanjikan mendapat posisi pekerjaan yang lebih baik jika dibandingkan dengan bila mereka hanya mampu berbahasa ibunya saja. Atau sebaliknya, ada anggapan mempelajari dan menguasai bahasa tetentu nanti setelah tamat pendidikan, kehidupannya akan lebih suram. Nampaknya sikap ini netral bagi kebanyakan pembelajar asing untuk BI. 4. Simpulan Dari pembahasan atas hasil pembelajaran dari kelima responden pada mata ajar Berbicara, ternyata desakan pada kebutuhan komunikatif menduduki tempat tertinggi sebagai pendorong keberhasilan mereka dalam pembelajaran BI. Ini mungkin disebabkan kemampuan pada level II ini yang mengutamakan lancar berkomunikasi, paham berinteraksi dengan lawan bicara dan mampu merespon wacana BI untuk keseharian.

Daftar Pustaka Byrnes, H. 1998. Learning Foreign and Second Languages. New York: The Modern Association of America Gardner, RC. dan Lambert, W. 1972. Attitude and Motivation in Second Language Learning. Rowley, Mass. Newburry House Klein, W. 1986. Second Language Acquisition Cambridge : Cambridge University Press. Ramirez, A.G. 1995. Creating Contexts for SLA; Theory and Methods. London : Longman Sussure, F de. 1916. The General Linguistics Course. New York: Basil Blackwell Sudipa, I Nengah. 1987. The English Acquisition of Balinese Students. Masters Thesis, Monash University, Melbourne Australia. Sudipa, I Nengah. 2000. Kendala Menulis Level II, makalah Workshop BIPA IALF Bali.

Anda mungkin juga menyukai