Anda di halaman 1dari 6

KENAPA HARUS DIA? Temanku Adinda seorang cewek cantik, baik, dan perhatian.

Mungkin dia nggak menganggap aku sebagai sahabatnya. Tapi aku, iya. Kalau kau sekarang ada di dekatku kau akan melihat aku, seorang cewek pendiam berkulit sawo matang duduk di sebelah cewek berkulit putih yang sedang bercanda dengan sekumpulan cewek penggosip. Meski begitu, Adinda bukan tipe cewek yang suka ngomongin kekurangan orang lain. Dia cewek yang baik, sangat baik. Tapi, karena kebaikannya itu aku menjadi gelap mata. Aku sudah sering mendengar cerita tentang para fans yang akhirnya membunuh sang idola. Kuharap aku bukan salah satu dari para penghianat itu. Kau nggak bisa bilang kalau aku ngefans pada Adinda. Enggak. Aku nggak mikirin Adinda setiap saat, aku nggak majang fotonya di kamarku. Tapi satu hal yang membuatku terlihat seperti seorang fans adalah aku selalu ada di dekatnya. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku menganggap dia sebagai sahabatku. Tapi mungkin itu cuma pendapat atau malah mimpiku. Biar kujelaskan kenapa. Aku sudah bilang bahwa Adinda cantik. Ya, dia cantik. Kulitnya bersih tanpa noda, matanya memancarkan cahaya yang indah, alisnya lebat, bulu matanya lentik, dan pipinya selalu merona di bawah sinar mentari. Ditambah lagi, ia tak pernah terlihat murung. Ia selalu tersenyum kepada semua orang. Kau tau, semua cewek bisa merasa iri pada nona muda ini, salah satunya adalah aku. Adinda baik, kau bisa melihat dari cara ia bicara dan tersenyum. Seolah ia seperti sebuah bantal empuk yang tak bisa menyakiti. Ia selalu menjaga perasaan orang-orang di sekitarnya. Sikapnya terlihat murni, tanpa dibuatbuat. Ia mencoba selalu ada untuk orang lain. Ia selalu memberi masukan yang takterlihat menggurui dan sok pintar. Yah, tak ada yang salah dalam dirinya kecuali ia sempurna. Mungkin kau takkan memahami perasaanku kalau kau tak tau ini. Adinda seorang yang tak bisa diam, ia aktif, sangat aktif. Ia pengurus OSIS inti, ia ketua Organisasi Islam di sekolah dan lingkungan rumahnya, ia selalu mewakili sekolah dalam olimpiade-olimpiade sains, ia mengikuti 5 macam ekstrakulikuler dan berhasil menorehkan jejak pada setiap hal yang ia ikuti dalam bentuk prestasi. Oh, adakah yang lebih baik dari itu? Aku tau peribahasa diatas langit masih ada langit. Aku sangat menyadari maknanya, pasti masih ada seseorang yang lebih baik dari seorang Adinda. Tapi masalahnya, yang aku kenal saat ini adalah Adinda dan aku memang benar-benar mengenalnya (menurutku). Adinda seperti seorang putri, seolah tak ada celah sedikitpun untuk mengejeknya. Kau tau lah Cowok Mereka suka bercanda, bukan begitu? Setiap orang pasti pernah diejek meski hanya untuk guyonan seperti yang dilakukan para cowok. Tapi untuk Adinda, mungkin tak ada yang bisa mereka ucapkan. Sejak pertama kali aku mengenal Adinda, tepatnya 4 tahun lalu ketika aku baru duduk di bangku SMP, tak ada satupun kata tidak baik yang mereka ucapkan mengenai Adinda. Acting mereka di depan Adinda tidak beda dengan acting mereka di depanku atau cewek-cewek lain, tapi soal ejekan itu satu-satunya perbedaan. Aku nggak masalah dengan ejekan itu, aku nggak masalah dengan sikap cowok-cowok. Cuma, aku nggak bisa menjawab pertanyaan dalam benakku. Kenapa harus Adinda? Hey, Vi! Gabung sama kita-kita gitu kek Gak seru lagi kalo kamu sendirian disana! Eh, iya, ajakan Gabriela membuyarkan lamunanku. Aku segera bergeser mendekat kearah mereka. Hahaha Adinda nih, kapan sih kamu ga nyenengin?! kata Dessy. Enaknya kapan ya Adinda menimpali. Ga mungkin kali seorang Adinda bisa bertindak ga nyenengin. Kalo sampe itu terjadi, gue pecat jadi temen baru tau rasa! kata Gabriela. Berani? Gue suapin tai kebo baru boleh pecat gue kata Adinda diiringi tawa dari teman-teman lainnya. Tapi aku masih bersembunyi di belakang Adinda, tetap diam tanpa suara sedikitpun. Tak ada hasrat untuk tertawa. Setelah tawa mereka reda, kembali mereka bercakap-cakap. Tak ada yang

menyadari keadaanku dan apa yang kulakukan. Aku mengerti yang mereka ucapkan, aku mengerti bahwa yang diucapkan Adinda memang lelucon, tapi aku masih menikmati perasaanku, kesendirianku, duniaku. Dunia yang sepi penuh pertanyaan. Aku terus bersembunyi di belakang Adinda, tapi kau tak bisa bilang bahwa aku bayangan. Bukan. Karena bayangan dibutuhkan, tanpa bayangan kau akan merasa aneh, tapi aku tidak. Adinda tidak perlu aku untuk bersinar, ia tak butuh aku untuk menopang bebannya. Ia cukup kuat untuk menahan kilauan cahaya, ia cukup kuat untuk menghadapi setiap rintangan di depannya. Dia tak butuh aku sama sekali. Yaah, kau bisa lihat. Beberapa menit kemudian, cewek-cewek penggosip mulai ngobrol masalah hal-hal yang nggak kontroversial tapi menjadi sangat kontroversial karena mereka menambahkan bubuk imjinasi dalam ceritanya. What about Adinda? She went away. Dia cuma bilang bentar ya itupun bukan padaku. Pada jam pelajaran, aku melihat Adinda masuk ke kelas dan mengatakan sesuatu pada guru kimiaku. Lalu, ia berjalan menuju bangku tempat aku dan dia duduk. Saat ia sudah berada di bangkunya, mengambil catatan dari dalam ransel Eigernya, aku bertanya, Dari mana? Adinda menjawab sambil menatapku dan tersenyum, Dari ruang OSIS, lihat pengumuman. Aku cuma mendesah pelan dan kembali fokus pada tabel periodik di atas buku. Aku bukan siapa-siapanya. Aku cuma seorang teman yang selalu mengikutinya dan duduk di sebelahnya ketika di kelas. Finally! Weekend! seru Adinda setelah pelajaran kimia usai. Mau kemana? tanyaku. Istirahat. Mungkin naik sepeda bareng temen-temen dari takmir rumah, jawabnya. Enak ya , kataku sambil memaksakan tersenyum. Lho? Kenapa Vi? tanyanya penasaran. Nggak kok. Aku cuma ikut seneng aja. Hehe. Hmm Besok kamu mau ikut? tanyanya menawarkan. Eh? Nggak usah. Lagian nggak enak sama temen-temenmu. Nggak enak kenapa? Kan acara organisasi, masa aku orang luar ikut gitu aja Bukan acara organisasi kok. Cuma sekedar main-main. Kamu kan bisa tambah temen juga. Nggak usah deh. Lain kali. Makasih. Jawabku sambil tersenyum Hmm.. Oke. Jawabnya membalas senyumku. Ia sangat baik, bukan? Apa yang salah denganku? Kenapa aku sangat iri terhadap anak ini? Bukankah seharusnya aku meniru sikap baiknya? Makin hari, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Rasanya aneh sekali. Ketika aku melihat kebaikannya padaku atau orang lain, aku merasa ia hanya bersandiwara. Padahal aku sudah mengenalnya sejak lama, 4 tahun. Bahkan aku pernah menginap di rumahnya, melihat keluarganya, melihat lingkungan tempat ia tumbuh dan dibesarkan. Memang, rumah Adinda terlihat sesempurna penghuninya. Tak mungkin aku

menyangkal kebenaran bahwa lingkungan ini benar-benar berdampak baik pada seorang Adinda. Mungkinkah yang kurasakan? Ia menyembunyikan sebuah topeng dariku? Topeng sebenarnya dari seorang Adinda. Sore itu, aku mengambil Polygonku untuk berangkat menuju tempat les Matematika. Untuk sampai di tempat les, aku harus melewati rumah Adinda. Aku bersyukur Adinda termasuk anak yang pandai, karena dengan begitu ia tak perlu lagi les. Bukan berarti ia pasti les di tempat yang sama denganku. Tapi, kemungkinan itu tentu masih ada. Saat lewat di depan rumahnya, aku hanya sedikit menengok. Dan tidak ada siapa-siapa di sekeliling rumah itu. Hanya terlihat taman depan rumahnya dengan rumput hijau yang dipangkas rapi dan bunga-bunga indah yang terlihat segar karena telah disiram. Aku segera mengalihkan pandangan, kembali berkonsentrasi ke jalan. Aku tak ingin terpergok melihat ke arah rumah Adinda oleh salah satu penghuni rumah. Pagi, Vivi Sebuah suara mengagetkanku. Eh, Iya. Pagi, aku pun menoleh. Dan ternyata, itu Adinda. Udah ngerjain tugas Agama? Agama? Dammit! Aku lupa, aku terus mengumpat dalam hati. Adinda beranjak pergi. Apa maksudnya? Apakah itu cuma basa basi? Dan untuk sepersekian kalinya aku merasa muak pada Adinda. Vi, nyontek Agama dong! rengek Gea. Ini juga masih ngerjain. Kerjain sendiri napa? Yee Kamu pelit ah. Kalo gitu aku ngerjain disini sama kamu ya? Yeah. Tiba-tiba Adinda sudah berdiri di depan mejaku. Loh, Gea. Belom ngerjain agama juga? Belom, Din. Kalo kamu udah, contekin kita gitu kek, kata Gea setengah bercanda. Hmm Gimana ya? Ogah ah, kata Adinda menimpali. Ya udah. Pergi sono! Ganggu kita ngerjain aja, kata Gea sambil melet. Jahatnya Iya deh, ini nih. Adinda memberikan buku tugasnya. Nah, gitu kek dari tadi. Thanks ya. Gea tersenyum. Adinda ikut tersenyum. Aku hanya bisa melihat LKS Agama sambil mengaduk pikiran. Setelah semua soal memuakkan dan guyonan Adinda-Gea selesai, kami pergi ke koperasi Siswa. Adinda mengambil Bengbeng, Biskuat, jajanan mie, dan Fruittea Punch. Gea mengambil Pilus, Tango, dan Aqua gelas. Aku mengambil Better, Hello Panda, dan sebotol kecil UC1000. Kami segera membayar dan menghabiskan jajanan kami sambil berjalan ke kelas. Ngapain beli gituan, Vi? Tanya Gea. Sariawan. Minta dikit ya. Kayanya aku juga sariawan nih.

Aku menyerahkan botol kaca itu pada Gea. Adinda yang sedang berusaha memasukkan sisa jajan mie terakhir ke mulutnya menyengol lengan Gea. Botol itu meluncur dengan indah dari tangan Gea. Pecah. Maaf ya, Vi. Beneran deh, Maaf ya, kata Adinda memohon. Sorry, ya Vi, Gea memohon. Iya. Gak masalah, aku diam. Terus berjalan di sebelah mereka. Aku beliin lagi aja ya? Tanya Adinda. Nggak, Din. Nggak usah. Aku beli tadi juga iseng aja. Pengen coba, kataku mencoba memperbaiki suasana. Bener? Iya, ujarku mantap. Katanya sariawan? Tanya Gea. Udah mendingan kok, jawabku sambil tersenyum. Kami terus berjalan. Sambil di pintu kelas, kami bisa melihat Pak Mahmud yang duduk di kursi guru. Kami segera mengetuk pintu dan meminta maaf atas keterlambatan kami. Setelah diizinkan duduk, kami pergi ke bangku masing-masing. Pak Mahmud beranjak dari kursi. Anak-anak, tugas yang kemarin kalian kerjakan dengan sebaik-baiknya ya. Coba kalian analisa lagi. Lalu buat cerpen dengan tema Suudzon atau Husnuzzon. Silakan pilih salah satu. Kumpulkan minggu depan. Boleh berupa print out, Pak? Tanya Adinda. Silakan. Saya tidak ingin membebani kalian dengan tugas saya. Saya tau, menulis dengan tangan memang melelahkan. Iya kan, Adinda? Iya, Pak, jawab Adinda sambil tersenyum. Selasa sore, aku di rumah. Bingung tentang tugas Pak Mahmud. Karena Deadlinenya adalah besok. Aaargh. Aku nggak punya inspirasi. Aku mencari remote, dan menyalakan TV. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumahku. Ibu sedang di dapur, jadi aku yang membuka pintu. Assalamualaikum Waalaikumussalam, jawabku sambil membuka pintu. Hai, Vi, itu Adinda. Oh, Dinda. Tumben kesini? Ada perlu apa? tanyaku to the point. Aku benar-benar sedang suntuk, kenapa dia malah muncul! Aku mau minta tolong. Kan aku besok nggak masuk sekolah, diajak ke puncak. Terus habis ini mau berangkat. Boleh nitip tugas Agama nggak? Oh, tugas Agama. Iya, aku menjawab dengan terpaksa. Meski menyerahkan tugas agama bukan hal yang sulit. Aku memang malas melakukan bisnis titip menitip.

Makasih banyak ya. Nanti pulang aku bawain oleh-oleh kok. Hehe. Aku pulang dulu. Thanks ya sekali lagi. Wassalamualaikum. Oke. Sama-sama. Waalaikumussalam. Jawabku, lalu menutup pintu. Ngapain juga dia? Apa? Nitip? Dia kira aku siapa? Babunya? Shit! Aku bener-bener nggak mood hari itu. Akhirnya aku pending tugas itu sampai tengah malam. Aku bangun jam 1 berharap suasana tenang bisa membuat ideku mengalir deras. Dan aku mencoba mengerjakan tugas cerpen, berdasarkan pengalaman hidupku Paginya aku duduk dengan Gea di kelas. Hari itu Adinda dan Karina, teman sebangku Gea biasanya, absen. Aku cukup senang telah menyelesaikan tugas agama. Pukul 06.45 bel berbunyi. 10menit kemudian, Pak Mahmud memasuki kelasku. Setelah berdoa, beliau beranjak dari kursi. Anak-anak. Ada sebuah pengumuman yang harus saya sampaikan. Kita baru saja kehilangan salah satu warga sekolah yang kita sayangi. Kalian sangat dekat dengannya, ia adalah Adinda Maharani. Kemarin, mobil yang ia tumpangi terperosok di jurang. Adinda yang duduk di depan tidak bisa menyelamatkan diri. Oleh karena itu, sesudah jam pertama kalian diharapkan melawat ke rumah Adinda. What! Bener nih berita? Apa? Adinda? Beribu suara menggema di kelasku. Benar-benar unbelievable. Ia kemarin, ia datang ke rumahku. Menitipkan tugasnya. Dan sekarang, berita bahwa ia meninggal? Setelah jam pertama selesai, kami naik mobil sekolah menuju rumah Adinda, rumah yang sering aku lewati. Aku mendengar cerita lengkapnya dari Mama Adinda. Katanya ia duduk di depan dekat jendela, agar bisa menjadi yang pertama melihat pemandangan indah di sekitarnya. Sebelum kami pulang, Mama Adinda memanggilku. Beliau menyerahkan sebuah bungkusan padaku. Aku bertanya apa isinya. Mama Adinda tidak menjawab, beliau hanya tersenyum. Katanya, yang tau hanya Adinda. Aku segera pamit pulang. Di rumah, aku ingin langsung membuka bungkusan dari Mama Adinda. Aku benar-benar penasaran ingin mengetahui isinya. Aku buka kertas kado yang menyelimuti misteri itu. Melihat sebuah kotak, lalu membukanya. Dan isinya sebuah buku, diary tepatnya. Aku mengambil diary itu dari kotaknya. Mengangkatnya dan memperhatikan tiap detail diary itu. Warnanya Pink, dengan gambar pita besar manis berwarna putih dengan motif polkadot dan tulisan Be there for you di cover depannya. Halaman belakangnya plain, hanya ada sebuah puisi Let me be your sun Brighten your day, with a smile Let me be your cloud Cover your life, with a hug Let me be your rainbow Color your fate, with friendship Aku membuka tiap halamannya, kertasnya halus, halamannya berwarna-warni dengan gambar-gambar lucu sebagai border. Dan di halaman tengah, aku menemukan sepucuk surat dengan tulisan tangan Adinda.

Kalaupun aku tak lagi bersamamu, jangan biarkan hatimu meronta. Tuangkan semua dalam lembaran ini. Karena tak pernah kuingin melihat kelam harimu. Aku hanya ingin ada mentari yang terus bersinar dari kedua matamu. Maafkan setiap goresan yang kubuat, setiap luka yang kutinggalkan bersamamu. Rawatlah, sucikan, sembuhkan Tiap tinta yang terjatuh di atas lembaran ini, akan kubaca, akan kurasa, akan kuingat. Warna apapun, setebal apapun tinta itu. Kalaupun merah, tebal, kumintakan maaf pada Yang Kuasa. Kalaupun putih, ringan, kuelukan pada Yang Esa. Terima kasih. Semua yang kulalui menjadi semakin berarti. Sincerely yours, Adinda Maharani

APA! Dia pikir siapa dirinya? Dia pikir aku butuh dia? Aku nggak bisa hidup tanpa dia? Dia cuma Adinda. Aku juga bukan siapa-siapanya. Untuk apa ia mengirimkan surat bodoh ini? Menyelipkannya dalam diary Pink? Buat apa diary, Dinda? Kamu baca? Orang mati nggak bisa baca, Tolol! Sungguh, Din. Enyahlah! Aku tak peduli lagi. Kau pasti puas melihatku menderita seperti sekarang. Berusaha menyakinkan diri bahwa aku akan baik-baik saja. Hahaha. Kau kira aku bisa? Ucapkan salamku pada Yang di Atas Terima kasih atas ketidaksetiakawananmu yang pergi tanpa pamit!

Anda mungkin juga menyukai