Anda di halaman 1dari 7

Objek PPN

Objek PPN diatur di Pasal 4 UU PPN 1984. Berikut ini saya kutif langsung dari undangundangnya. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas : penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; impor Barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.

Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak unutk diperjualbelikan (bukan inventory) oleh PKP, sepanjang Pajak Masukan yang dibatar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.

PPN menganut prinsip destinasi atau tujuan. Prinsip destinasi ini dapat terlihat dari Pasal 4 UU PPN 1984 diatas, yaitu [1] penyerahan dan pemanfaatan di daerah pabean, dan [2] impor. Sedangkan ekspor dicantumkan sebagai objek PPN justru mempertegas prinsip ini karena tarif ekspor adalah 0%. Tarif nol persen ini akan melucuti PPN yang telah dibayar di dalam negeri sehingga barang yang diekspor benar-benar bebas PPN. Prinsip destinasi maksudnya bahwa target PPN adalah barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam negeri. Kebalikan dari prinsip destinasi adalah prinsip original atau asal, yaitu pengenaan PPN atas barang atau jasa yang berasal dari dalam negeri. Jika suatu negara menganut prinsip asal maka impor bukan objek PPN atau objek PPN dengan tarif 0% sedangkan ekspor dikenakan pajak dengan tarif dalam negeri (untuk Indonesia tarifnya 10%). Dengan demikian, barang yang diekspor pasti mengandung PPN. Kita persempit lagi bahwa semua barang yang diserahkan di daerah pabean adalah objek PPN. Kata diserahkah tidak mengharuskan untuk dikonsumsi, karena jika barang tersebut diserahkan kepada produsen maka akan diolah lagi dan jika diserahkan kepada pedagang maka akan dijual kembali. Tetapi semua penyerahan di dalam negeri (daerah pabean) merupakan objek PPN. Jadi objek PPN adalah penyerahan.

Jika kita paham bahwa objek PPN adalah penyerahan maka barang yang sudah dijual dengan kredit tetapi piutang kita macet kemudian piutang itu dihapuskan maka penghapusan piutang tersebut tidak menghapus PPN. Begitu juga dengan penyerahan antar cabang. Dari pabrik kita sendiri, barang dagangan kita serahkan ke toko (cabang) di tempat lain berarti telah terjadi penyerahan dan objek PPN. Begitu juga dengan barang yang kita serahkan ke orang lain sebagai hadiah (pemberian cuma-cuma), dan barang yang kita konsumsi sendiri (pemakaian sendiri). Pemakaian sendiri dikenakan pajak karena kita telah bertindak sebagai konsumen akhir yang merupakan target utama PPN. Sedangkan yang berkaitan dengan jasa maka lebih gampang jika kita perpatokan padapemanfaatan di daerah pabean. Jasa bersifat abstrak (tidak terlihat) dan hanya satu kali penyerahan. Artinya, suatu jasa tidak dapat dilempar dari produsen ke distributor, terus ke agen, dan seterusnya. Jasa yang diberikan wajib pajak A hanya dapat diberikan ke wajib pajak B. Jika wajib pajak B juga seorang pengusaha jasa tetapi jasa yang diberikan wajib pajak B tentu bukan berasal dari A. Siapa pun yang memberikan jasa, dan dimanapun jasa itu diberikan jika yang menikmati manfaat jasa itu berada di dalam negeri (di daerah pabean) maka wajib pajak dalam negeri tersebut wajib bayar PPN. Contoh yang gampang adalah desain bangunan. Sebuah desain konstruksi bangunan yang dibuat di luar negeri oleh orang asing (wajib pajak luar negeri) tetapi desain konstruksi bangunan tersebut dimanfaatkan (dipakai untuk bangunan) di dalam negeri maka wajib pajak dalam negeri yang membeli desain tersebut wajib pajak PPN luar negeri. Contoh lain tentang jasa adalah jasa perbaikan mesin. Sebuah mesin dibawa ke negara Singapur untuk diperbaikan di Singapur. Apakah jasa perbaikan bersebut objek PPN? Jawaban saya adalah : jika setelah diperbaiki mesin tersebut dipergunakan di luar negeri (bukan daerah pabean) maka jasa tersebut bukan objek PPN walaupun jasa tersebut dibayar oleh wajib pajak dalam negeri. Tetapi jika setelah perbaikan mesin tersebut dipergunakan di dalam negeri (di daerah pabean) maka jasa tersebut objek PPN dan terutang PPN luar negeri. Sekali lagi, jika kita melihat objek PPN dari prinsip destinasi, maka akan mudah untuk mengidentifikasi mana objek PPN dan mana bukan objek PPN. Barang yang kita produksi di dalam negeri tetapi dikonsumsi di luar negeri maka disebut ekspor barang. Begitu juga jasa yang kita kerjakan di dalam negeri tetapi dimanfaatkan di luar negeri maka harus disebut ekspor jasa. Dan sebaliknya : impor. Bisa impor barang, bisa impor jasa. Impor jasa merupakan objek PPN luar negeri.

Bukan Objek PPN


UU PPN 1984 menganut negative list. Artinya, semua barang adalah barang kena pajak (objek PPN) kecuali yang dikecualikan. Dan, semua jasa adalah jasa kena pajak (objek PPN) kecuali yang dikecualikan. Karena itu, semua barang dan jasa selain yang disebutkan dibawah ini adalah obje PPN.

~ Jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah: barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu : minyak mentah (crude oil ); gas bumi; panas bumi; pasir dan kerikil; batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak; dan barang hasil pertambangan dan pengeboran lainnya yang diambil langsung dari sumbernya. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu: Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam atau beras ketan putih dalam bentuk: Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih Digiling. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak Beras pecah. Menir (groats) dari beras. Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan atau popcorn(jagung brondong), dalam bentuk: Jagung yang telah dikupas maupun belum/jagung tongkol dan biji jagung/jagung pipilan. Munir (groats)/beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran. Sagu, dalam bentuk: Empulur sagu. Tepung, tepung kasar dan bubuk dari sagu. Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning atau kedelai hitam dalam bentuk pecah atau utuh. Garam baik yang berjodium maupun tidak berjodium termasuk: Garam meja. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 Kg atau lebih, dengan kadar NaCL 94,7% (dry basis). makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga);

uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

~ Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN adalah : Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi : jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi; jasa dokter hewan; jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi; jasa kebidanan dan dukun bayi; jasa paramedis dan perawat; dan jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi : jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo; jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial; jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; jasa Lembaga Rehabilitasi kecuali yang bersifat komersial; jasa pemakaman termasuk krematorium; jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial; dan jasa pelayanan sosial lainnya kecuali yang bersifat komersial. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; Jasa di bidang keagamaan, meliputi : jasa pelayanan rumah ibadah; jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan jasa lainnya di bidang keagamaan. Jasa di bidang pendidikan, meliputi: jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional; dan jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air.

Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi: jasa tenaga kerja; jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang Pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja Jasa di bidang perhotelan; Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.

Subjek PPN
Berdasarkan ketentuan yang mengatur tentang objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 16 Cdan Pasal 16 D UU PPN 1984, Subyek PPN dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
Pengusaha kena pajak

Ketentuan yang mengatur bahwa subyek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak diatur dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, huruf h, dan Pasal 16 D serta Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984. Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah : Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP (Pasal 4 huruf a dan c UU PPN 1984) Pengusaha yang mengekspor BKP atau JKP (Pasal 4 huruf f, g, dan h UU PPN 1984) Pengusaha yang melakukan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (Pasal 16 D UU PPN 1984)

Bukan Pengusaha Kena Pajak Subyek PPN tidak harus Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengusaha yang bukan PKP juga dapat menjadi subyek PPN sesuai Pasal 4 huruf b, huruf d, huruf e dan Pasal 16 C UU PPN 1984. Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan bahwa dapat dikenakan PPN terhadap : yang melakukan impor BKP (Pasal 4 huruf b UU PPN 1984) yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean ke dalam daerah Pabean (Pasal 4 huruf d UU PPN 1984) yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya (Pasal 16 C UU PPN 1984)

Pengusaha Kena Pajak


Pengertian pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pasal 1 angka 14 dan 15 UU PPN 1984 adalah sebagai berikut :

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha menyerahkan barang atau jasa yang terutang PPN. Kegiatan usaha tersebut meliputi : menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

Batasan Pengusaha Kecil


Berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 diatur bahwa Pengusaha Kecil tidak termasuk sebagai PKP sehingga tidak diwajibkan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, Namun demikian, berdasarkan Pasal 3A ayat (1a) UU PPN 1984 Pengusaha Kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Batasan Pengusaha Kecil sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 68/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut : Pengusaha kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.

Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya telah melebihi Rp 600 juta. Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600 juta. Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan tidak dipenuhi pengusaha, DJP dapat mengukuhkan pengusaha sebagai PKP secara jabatan. DJP dapat menerbitkan skp dan/atau STP untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai PKP, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 600 juta.

Anda mungkin juga menyukai