Anda di halaman 1dari 12

SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

Oleh : Nuril Ayu Aniwindira 080911039 urilion@yahoo.co.id Desiana Nurul Hikmawati 080911041 desi_itl@yahoo.co.id

Ilmu dan teknologi lingkungan

PENDAHULUAN
Dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pencemaran dan perusakan lingkungan mengandung kepastian elementasi karakteristik tertentu untuk menentukan bahwa pencemaran dan perusakan lingkungan itu sebagai pencemaran dan perusakan lingkungan yang menyebabkan terjadinya sengketa lingkungan. sehingga pencemaran dan perusakan lingkungan itulah yang merupakan biang keladi sengketa lingkungan menurut UUPLH. Penegakan hukum lingkungan merupakan pengamatan hukum lingkungan melalui pengawasan dan pemeriksaan serta melalui deteksi pelanggaran hukum, pemulihan kerusakan lingkungan dan tindakan kepada pembuat (perusakan).

Sengketa Lingkungan

Sengketa lingkungan hidup merupakan species dari genus sengketa yang bermuatan konflik maupun kontroversi di bidang lingkungan. Di sisi lain, sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Sengketa lingkungan lahir dari adanya pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan condition sine quanon bagi timbulnya sengketa lingkungan. Kemudian pada pasal 1 ayat 19 dalam UUPLH mengintrodusir sengketa lingkungan adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Dalam hal ini, istilah dampak lingkungan merupakan pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan, dan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal). Masalah lingkungan hidup pada dasarnya timbul karena: 1. Dinamika pertumbuhan penduduk yang cepat, persebaran tidak proposional, tidak adanya keseimbangan struktur penduduk. 2. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang kurang bijaksana. Karena dikejar mencapai target keuntungan sebanyak-banyaknya, berbagai sumber alam dikuras habishabisan tanpa mempertimbangkan generasi pendatang.
3. Kurang terkendalinya pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Saat ini

teknologi untuk menyedot minyak dari perut bumi dengan teknologi canggih. Sehingga manusia berlomba menyedot minyak dalam jutaan barel per hari.
4. Dampak negatif yang sering timbul dari kemajuan ekonomi yang seharusnya positif.

Seperti timbulnya industri-industri raksasa, pencemaran yang berat terhadap sungai maupun di muara sungai.
5. Benturan tata ruang. Contohnya kawasan seharusnya untuk reboisasi dijadikan kawasan

industri. Pembangunan menempuh jalurnya sendiri dan pengembangan lingkungan berjalan di atas jalurnya sendiri pula. Pembangunan dipisahkan dengan pengembangan lingkungan hidup. Maka lahirlah pandangan keliru terhadap proses pembangunan dan pengembangan lingkungan hidup.

Sehingga untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan lingkungan diperlukan prinsip : konservasi, keterkaitan, keanekaragaman, berkelanjutan, berkesinambungan dan keserasian. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah menandai awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Penegakan hukum lingkungan merupakan pengamatan hukum lingkungan melalui pengawasan dan pemeriksaan serta melalui deteksi pelanggaran hukum, pemulihan kerusakan lingkungan dan tindakan kepada pembuat. Sehingga penyelesaian masalah yang timbul dalam kasus lingkungan dapat dilakukan melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. a. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) yang merupakan ekspresi responsive atau ketidakpuasan penyelesaian sengketa lingkungan melalui proses litigasi yang konfrontatif dan zwaarwichtig (berteletele). Hal ini memiliki macam-macam bentuk mekanisme ADR, yaitu: 1. Negoisasi Negoisasi merupakan penyelesaian sengketa lingkungan melalui perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan. Negosiasi bersifat informal dan tidak terstruktur serta waktunya pun tidak terbatas. 2. Mediasi

Pada prinsipnya, mediasi adalah negoisasi yang melibatkan pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang. 3. Konsiliasi Konsiliasi lebih formal dari mediasi. Konsiliasi didefinisikan sebagai upaya penyelesaian sengketa lingkungan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. 4. Pencari fakta Dalam konteks ADR, pencari fakta merupakan uapaya penyelesaian sengketa dengan cara menunjuk pihak-pihak yang netral dan imparsial yang bertugas mengumpulkan bahan-bahan atau keterangan-keterangan guna dianalisi dan dievaluasi dengan tujuan untuk memperjelas masalah-masalah yang menimbulkan sengketa serta disertai rekomendasi pemecahan masalah. 5. Arbitrasi Arbitasi merupakan penyelesaian sengketa dengan cara menyerahkan kepada pihak ketiga netral yang mempunyai wewenang untuk memutuskan. Sistem penyelesaian sengketa meliputi sarana pemilihan hak melalui pengadilan maupun upaya penjajakan perdamaian di luar pengadilan. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1982 dengan UU nomor 23 Tahun 1997 adalah wewenang berdasarkan hukum untuk mengatur tentang pengembangan penyelesaian sengketa lingkungan di luar lembaga pengadilan secara kooperatif. Namun bagi penyelesaian sengketa lingkungan dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 mengandung konsekuen diperlukannya pedoman rinci yang dapat membantu aparat pengendalian dampak lingkungan di daerah yang diharapkan dapat mendorong pelakasanaan ketentuanketentuan tersebut dalam penyeleseaian kasus-kasus lingkungan di daerahnya. Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki karakteristik sistem kelembagaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, yaitu:

1) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat

substantif daripada yang bersifat teknis yuridis. 2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan benar-benar memuaskan kedua belah pihak. 3) Hal-hal yang tersirat atau yang terpendam dapat diselesaikan secara tuntas.
4) Memberikan peluang dan memungkinkan pihak-pihak lain untuk ikut terkena

dalam penyelesaian sengketa tersebut. 5) Proses penyelesaian sengketa bersifat luwes dan tidak kaku atau fleksibel. 6) Model penyelesaian sengketa ditentukan sesuai dari sifat sengketa atas dasar pilihan secara sukarela. 7) Para pihak yang menyelesaikan sengketa dapat lebih berperan dalam penyelesaian sengketa. b. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan Penyelesaian sengketa melalui pengadilan mengacu pada ketiga pendekatan instrumen, yaitu Hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata. Ketiga pendekatan tersebut merupakan instrumen utama dalam penegakan hukum lingkungan. 1. Penyelesaian Masalah Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Administrasi Penyelesaian masalah lingkungan melalui instrumen hukum administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum ada pelanggaran). Oleh karena itu, fokus dari sanksi administratif adalah perbuatannya, sedangkan sanksi hukum pidana adalah orangnya. Selain itu hukum pidana tidak hanya ditujukan kepada pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial menjadi pembuat (pelanggar). Sementara itu, penyelesaian melalui instrumen administrasi, juga tetap berpatokan pada beberapa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Menurut Mas Ahmad

Santoso, ada 4 peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar bagi penegakan hukum administrasi, yaitu : a. Hinder Ordonantie; b. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup; c. PP Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian pencemaran Air jo. PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; d. PP No.19 tahun 1994 jo.PP No.12 tahun 1005 tentang Pengelolaan Limbah B-3, sebagaimana telah diubah dengan PP No.18 Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun 1999. Menurut UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur dalam empat pokok masalah, yakni: a) Ganti rugi Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Selain itu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu. Penetapan ketentuan ini adalah merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. b) Masalah tanggung jawab mutlak Bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Pencemaran lingkungan hidup yang diatur dalam pasal 1 ayat 12 UU Nomor 23 Tahun 1997 mempunyai pengertian luas dan berusaha menjaring perbuatan-perbuatan yang merusak tatanan lingkungan.

c) Masalah daluwarsa untuk pengajuan gugatan

Ketentuan daluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun. d) Masalah hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan Hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu: 1) Memohon kepada pengadilan agar seseorang diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan tujuan pelestarian lingkungan hidup. 2) Menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak lingkungan hidup. 3) Memerintahkan seseorang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit pengolahan limbah. Kemudian berikut ini sesuai dengan HO (Undang-Undang Gangguan), secara hukum memberikan kewenangan kepada Bupati/Walikota untuk menerapkan Paksaan Pemerintah (Administratif). Paksaan Pemerintah sendiri menurut Mas Ahmad Santoso yang juga sejalan dengan pasal 25 Tahun 1997, mengatakan bahwa paksaan pemerintah ini dimaksudkan untuk : 1. Mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran;

2. Menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh pelanggaran sebagai tindakan

penyelamatan; 3. Penanggulangan serta pemulihan lingkungan atas biaya penanggung jawab usaha. Kemudian tindakan dari paksaan pemerintah ini dapat berupa : a. Penutupan Usaha Menurut Hinder Ordonantie Tahun 1926, bahwa sebab titik pangkalnya adalah melarang tanpa izin mendirikan bangunan-bangunan tempat bekerja yang di dalam tempat bekerja tersebut terdapat bahan-bahan yang mudah meledak atau menggunakan bahan kimiawi, tempat pemotongan hewan dan lain-lain. Inti dari undang-undang gangguan (HO) ini adalah apabila tempat bekerja itu sangat riskan dengan kepentingan dan kenyamanan serta mengganggu masyarakat, maka mutlak diperlukan izin gangguan. b. Uang Paksaan (Dwangsom) Satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa UU 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, belum lengkap mengatur secara detail terhadap tata cara penarikan uang paksaan terhadap tata cara penarikan uang paksaan terhadap pelanggaran lingkungan hidup. Sementara Mas Achmad Santoso mengatakan bahwa paksaan pemerintah berdasarkan undang-undang ini yang berbentuk tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan atau pemulihan, dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu (Pasal 25). Filosofi yang melatarbelakangi pengenaan uang paksa ini sebagai alternatif dari paksaan pemerintah yang apabila sungguh-sungguh dilaksanakan akan menimbulkan akibat yang serius dan tidak mudah dalam menangggung bebannya dari dwangsom ini, penerapan dwangsom tidak dapat dilakukan secara bersamaan dengan paksaan pemerintah. Dwangsom hanya pengganti dari paksaan pemerintah. c. Penarikan Izin

Pencabutan izin operasi ini tidaklah mudah dilaksanakan meskipun batas waktu telah dilampaui. Kesulitan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor berikut : 1. Izin usaha diterbitkan oleh instansi lain dari luar instansi yang bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan. 2. Persepsi antara instansi lingkungan hidup/dampak lingkungan dengan penerbit izin usaha (depatemen/dinas sektoral) sering kali sangat berbeda, yang biasanya didasarkan pada perbedaan orientasi (ekonomi/pendapatan daerah versus lingkungan). Khususnya PP No. 18 Tahun 1999 (tentang Pengelolaan Limbah Beracun) tidak mengatur secara jelas dan definitif mekanisme dan tahapan-tahapan penjatuhan sanksi administratif peringatan sampai kepada pencabutan izin operasi, dan bagaimana koordinasi yang harus dilakukan antara instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan penerbit izin operasi untuk sampai kepada penjatuhan sanksi pencabutan izin operasi tersebut. 2. Penyelesaian Dengan Instrumen Hukum Pidana dan Perdata a) Secara Hukum Pidana Penerapan hukum pidana lingkungan ini tetap dikaitkan dengan perbuatan pidana seseorang atau badan hukum. Kemudian ketentuan pidana lingkungan hidup yang berlaku adalah Pasal 41-45 UU Nomer 23 Tahun 1997, dalam perumusan Pasal 41 sampai Pasal 44 di atas, yang akan dibahas adalah elemen melawan hukum, elemen perbuatan yang sengaja, dan elemen akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Arti elemen melawan hukum perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, berarti sebelumnya harus diketahui tentang perumusan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, yang diancam dengan hukuman. Sedangkan perbuatan yang sengaja dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan tindakan melalaikan yang diancam

hukuman, sehingga mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. b) Secara Hukum Perdata Penyelesaian sengketa lingkungan melalui instrumen Hukum Perdata menentukan seseorang atau badan hukum bertanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran atau perusakan lingkungan, penggugat dituntut membuktikan adanya pencemaran, serta kaitan antara pencemaran dan kerugian yang diderita. Pembuktian dalam kasus lingkungan, khususnya delik, karena kasus-kasus pencemaran sering kali ditandai oleh sifatsifat khasnya, antara lain :

Penyebab tidak selalu dari sumber tunggal, akan tetapi berasal dari Melibatkan disiplin-disiplin ilmu lainya serta menuntut keterlibatan Sering kali akibat yang diderita tidak timbul seketika, akan tetapi

berbagai sumber (multisources);

pakar-pakar diluar hukum sebagai saksi; selang beberapa lama kemudian (long period of latency). Kenyataan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban dalam gugatan perdata sering kali menjadi kendala bagi para korban pencemaran untuk menuntut keadilan lewat forum pengadilan. Sistem Penerimaan Pengaduan Suatu model Penyelesaian sengketa lingkungan dalam suatu sistem pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan telah dikembangkan oleh Isna marifa (1997:47). Anggota masyarakat dapat memperoleh konsultasi mengenai bahan pencemar, dampak terhadap kesehatan masyarakat maupun kelangsungan fungsi ekosistem, hak dan kewajiban pengelolaan lingkungan melalui Pusat Pelayanan Informasi Lingkungan (PPIL). Kemudian akan diterima oleh Loket Pelayanan Pengaduan Lingkungan dan akan masuk pada Bagian Verifikasi Ilmiah dan Hukum. Setelah itu masyarakat dapat memperoleh petunjuk mengenai pilihan-pilihan yang dapat

ditempuh untuk menyelesaikan sengketa lingkungan melalui Pusat Penyelesaian Sengketa Lingkungan.

Beberapa Contoh Kasus-kasus Sengketa Lingkungan Hidup Kasus Limbah Tahu (PN SIDOARJO, 1998) Kasus Perusakan Hutan Pinus dan Pencemaran Sungai Asahan (PN JAKARTA PUSAT, 1989) Kasus Burung Cenderawasih (PN SORONG)

PENUTUP
Penyelesaian sengketa lingkungan dapat melalui dengan cara diluar sidang dan melalui sidang. Penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan meliputi negoisasi, mediasi, konsiliasi, pencari fakta dan arbitrasi. Kemudian penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan meliputi instrument-instrument yaitu hukum administrasi, hukum pidana, dan hukum perdata. Menurut UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, didalamnya terdapat empat pokok masalah yaitu ganti rugi, masalah tanggung jawab mutlak, masalah daluwarsa untuk pengajuan gugatan dan masalah hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan. Kemudian sistem penerimaan pengaduan melalui Pusat Pelayanan Informasi Lingkungan (PPIL). Lalu akan diterima oleh Loket Pelayanan Pengaduan Lingkungan dan akan masuk pada Bagian Verifikasi Ilmiah dan Hukum. Setelah itu dapat memperoleh petunjuk mengenai cara menyelesaikan sengketa lingkungan melalui Pusat Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Oleh karena itu, untuk mengurangi penyalahgunaan tersebut maka perlu dilakukan upayaupaya yang bersifat mekanisme, yaitu permohonan izin harus disertai informasi lingkungan sebagai alat pengambilan keputusan studi Amdal, konsultasi publik, keberdaan mekanisme pengolahan masukan publik, pengambilan keputusan berdasarkan kelayakan lingkungan

(disamping kelayakan dari sudut teknis dan ekonomis yang dilakukan), kemudian setelah mendapatkan izin maka harus diumumkan karena bersifat terbuka untuk umum, membuat laporan secara berkala dan disampaikan kepada regulator, mekanisme inspeksi lapangan secara berkala dan impromptu sesuai kebutuhan, adanya hak dan kewajiban pengawas, pemberlakuan administrasi dan mekanisme koordinasi antara pejabat dengan penyidik pidana apabila pelanggaran telah memenuhi unsure-unsur pidana. Sehingga, untuk mengurangi kerusakan yang dilakukan masyarakat maka timbulah permasalahan sengketa lingkungan.

Kepustakaan S. H.,Supriadi, Hum, M. 2005. Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sebuah Pengantar. Jakarta: Sinar Grafika Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup Dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Rineka Cipta Wijoyo, Suparto. 1999. Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press

Anda mungkin juga menyukai