Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Dalam strategi nasional Making Pregnancy Safer (MPS) Indonesia 2001-2010 disebutkan

bahwa rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 memiliki visi bahwa kehamilan dan persalinan di Indonesia berlangsung aman, serta bayi yang dilahirkan hidup dan sehat. Peristiwa kelahiran merupakan sebuah rangkaian kejadian fisiologi yang diawali dengan kehamilan yang berlangsung selama 9 bulan. Janin yang bertumbuh dan berkembang berasal dari sel telur dan sel sperma yang kemudian mengalami proses pembelahan sampai terbentuklah zigot yang awalnya hanya sebesar kecambah. Peristiwa ini membuat pasangan suami-istri berubah status menjadi orang tua, dan mengalami banyak kejadian berarti bersama-sama. Kesehatan dan keselamatan bayi yang akan dilahirkan bergantung sepenuhnya pada sang ibu dan support dari keluarga selama masa kehamilan dan persalinan. Asupan nutrisi, aktivitas, dan kondisi psikis ibu sangat mempengaruhi tumbuh kembang bayi dalam kandungan, juga sangat berpengaruh pada saat kelahiran. Seperti yang dikatakan Hurlock (1980) bahwa: kondisi-kondisi yang baik dalam tubuh ibu dapat menunjang perkembangan sifat bawaan sedangkan kondisi yang tidak baik dapat menghambat perkembangannya bahkan sampai mengganggu pola perkembangan yang akan datang. Kehamilan adalah masa paling sulit bagi seorang wanita, karena situasi ini menimbulkan perubahan drastis pada segi fisik dan juga psikologis, oleh kerena itu keberadaan pasangan (suami) merupakan hal terpenting untuk membantunya menyelesaikan tugas perkembangan saat ini. Segala kecemasan, kekuatiran, perasaan tidak nyaman, perubahan mood akibat perubahan hormon, semua itu adalah gejala-gejala yang sering dialami oleh wanita hamil. Dengan adanya suami yang selalu mendampingi dan memberi dukungan kepada istri, semua gejala di atas dapat dikomunikasikan dengan baik untuk mencari solusi yang tepat. Anggapan bahwa kehamilan dan kelahiran adalah urusan wanita, saat ini sudah dianggap kuno. Dunia medis telah mengetahui bahwa calon ayah pun ingin mengetahui pertumbuhan calon anaknya, ingin membantu pasangannya sebisa mungkin, serta ikut mengambil peran. Saat ini ayah tidak lagi dianggap sebagai orang asing dalam ruangan bersalin, bahkan sejak tahun 1972

ayah sudah diizinkan masuk di ruangan bersalin pada saat istrinya melahirkan. Pada tahun 1980, kira-kira 80% rumah sakit di Amerika Serikat sudah memberlakukan peraturan yang mengijinkan ayah hadir saat istrinya melahirkan (Dagun, 2002). Kehamilan melibatkan seluruh anggota keluarga, karena konsepsi merupakan awal perkembangan bagi janin dan merupakan proses pematangan hubungan keluarga baru serta terjadinya perubahan hubungan dalam keluarga. Keluarga harus beradaptasi terhadap kehamilan dan menginterpretasikannya berdasarkan kebutuhan masing-masing (Grossman dkk., 1980, seperti yang dikutip dalam Bobak, 2004). Keluarga dengan ibu hamil perlu memelihara keterbukaan dan keseimbangan, menjaga tugas perkembangan, serta mencari bantuan dan dukungan agar tidak terjadi konflik. Pada saat seperti ini, dukungan moral seorang suami pada istrinya adalah hal yang memang dibutuhkan. Sangat dianjurkan suami memberikan dukungan lebih besar kepada istrinya. Dalam suatu penelitian terhadap 26 pasangan suami-istri yang tengah menghadapi kehamilan di California, Johanna Gladieux menyimpulkan bahwa dukungan emosional suami terhadap istri dapat menyebabkan adanya ketenangan batin dan perasaaan senang dalam diri istri (Dagun, 2002). Wanita, dari remaja sampai usia sekitar 40-an, menggunakan masa hamil 9 bulan untuk beradaptasi terhadap peran sebagai seorang ibu. Adaptasi ini merupakan proses sosial dan kognitif kompleks yang bukan didasarkan pada naluri, tetapi dipelajari (Rubbin, 1967; Affonso & Sheptak, 1989, seperti yang dikutip dalam Bobak, 2004). Untuk menjadi seorang ibu, seorang remaja harus beradaptasi dari kebiasaan dirawat ibu menjadi seorang ibu yang melakukan perawatan. Kehamilan adalah suatu krisis maturitas yang menimbulkan stres, tetapi juga berharga karena wanita tersebut menyiapkan diri untuk memberi perawatan dan mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Seiring persiapannya untuk mengahadapi peran baru, wanita tersebut mengubah konsep dirinya supaya ia siap menjadi orang tua. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosi dari pasangan merupakan faktor penting dalam mencapai keberhasilan tugas perkembangan ini (Entwistle dkk., 1967, seperti yang dikutip dalam Bobak, 2004). Richardson (1983, dalam Bobak, 2004) mengatakan bahwa ayah sang anak (suami) adalah orang yang paling penting bagi seorang wanita hamil. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa wanita yang diperhatikan dan dikasihi oleh pasangan prianya selama masa kehamilan akan menunjukkan lebih sedikit gejala emosi dan fisik, lebih sedikit komplikasi

persalinan, dan lebih mudah melakukan penyesuaian selama masa nifas (Grossman dkk., 1980 seperti yang dikutip dalam Bobak, 2004). May (1982, seperti yang dikutip dalam Bobak, 2004) menemukan bahwa kesiapan ayah untuk menyambut suatu kehamilan dicerminkan dalam tiga aspek: (1) keuangan yang relatif cukup, (2) hubungan yang stabil dengan pasangan, (3) kepuasan dalam hubungan tanpa anak. Banyak pria memandang status memiliki anak dan menjadi ayah sebagai bagian dari rencana hidup mereka. Pasangan yang memiliki hubungan yang stabil sebelum kehamilan terjadi cenderung menjadi lebih dekat karena akan berperan sebagai orang tua (Lederman, 1984 dalam Bobak, 2004). Kelahiran seorang anak atau persalinan menyebabkan timbulnya suatu tantangan mendasar terhadap struktur interaksi keluarga yang sudah terbentuk. Menjadi orang tua menciptakan periode ketidakstabilan yang menuntut perilaku yang meningkatkan transisi untuk menjadi orang tua. Orang tua harus menggali hubungan mereka dengan bayi dan mengatur kembali hubungan di antara mereka. Tugas, tanggung jawab dan sikap yang membentuk peran menjadi orang tua dirumuskan oleh Steele dan Pollack (1968, dalam Bobak, 2004) sebagai fungsi menjadi ibu (mothering function). Mereka juga menyatakan bahwa menjadi orang tua merupakan satu proses yang terdiri dari dua komponen. Komponen pertama bersifat praktis atau mekanis, melibatkan keterampilan kognitif dan motorik; komponen kedua bersifat afektif dan kognitif. Menurut Hamilton (1995) mekanisme persalinan adalah proses keluarnya bayi dari uterus ke dunia luar pada saat kelahiran. Thar dan Turmin (1997) mendefenisikan persalinan sebagai suatu rangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan atau hampir cukup bulan, disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput janin dari tubuh ibu. Sedangkan Wiknjosastro (2005) mengatakan bahwa partus adalah pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar. Proses ini dimulai dengan kontraksi persalinan sejati, yang ditandai oleh perubahan progresif pada serviks, dan diakhiri dengan pelahiran plasenta (Varney dkk., 2007). Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (38 - 42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. Persalinan dibagi dalam 4 kala, yaitu: (1) kala I yang dimulai saat persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10 cm), (2) kala II dimulai dari pembukaan lengkap sampai dengan bayi lahir, (3) kala III dimulai

segera setelah bayi sampai lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit, (4) kala IV dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam setelah postpartum. Pada penelitian ini, peneliti memilih kala I dan kala II sebagai fokus penelitian karena, (1) dalam seluruh tahapan persalinan kala I berlangsung lebih lama, (2) tahap ini merupakan tahap yang paling membutuhkan energi dalam suatu persalinan, (3) kontraksi pada tahap ini terasa berbeda dari sakit yang terpusat pada satu titik menjadi kontraksi yang kuat untuk mengeluarkan bayi dari rahim, (4) dukungan yang besar dibutuhkan dalam kala I dan kala II karena perasaan ketakutan, kecemasan, kesendirian, stress/kemarahan yang berlebihan dapat menimbulkan kemajuan persalinan lambat, rasa nyeri dalam persalinan tentunya akan menimbulkan perasaan gelisah pada sang ibu serta perasaan ibu seringkali berlebihan dan suasana hati ibu dalam keadaan terendah (Rose, 2007 & Henderson 2006). Proses persalinan dipengaruhi oleh bekerjanya tiga faktor, yaitu kekuatan mendorong janin keluar (power) yang meliputi his (kekuatan uterus), kontraksi otot dinding perut, kontraksi diafragma dan ligamentum action, faktor lain adalah faktor janin (passenger), dan faktor jalan lahir (passage). Apabila ketiga faktor ini dalam keadaan baik, sehat, dan seimbang, maka proses persalinan akan berlangsung secara normal/spontan, namun, apabila salah satu faktor tersebut mengalami kelainan, misalnya keadaan yang menyebabkan kekuatan his tidak adekuat, kelainan pada bayi atau kelainan jalan lahir, maka persalinan tidak dapat berjalan normal. Persalinan yang tidak berjalan dengan normal dapat mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, salah satunya, yaitu kematian ibu atau janin. Data statistik kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa partus lama rata-rata di dunia menyebabkan kematian ibu sebesar 8% dan di Indonesia sebesar 9% (Saifuddin, 2002). Lamanya persalinan tidak mudah ditentukan secara tepat karena permulaan persalinan sering tidak jelas dan bersifat subjektif. Dalam studi terhadap wanita yang persalinannya mulai secara spontan, terdapat variasi yang luas untuk lama persalinan. Misalnya kala 1 pada primipara (pertama kali melahirkan) berlangsung lebih lama daripada multipara (lebih dari satu kali melahirkan), yaitu berkisar antara 2 - 12 jam, sedangkan pada multipara hanya berkisar antara 1 - 9 jam. Persalinan biasanya lebih singkat apabila pasien tahu tentang fisiologi persalinan normal, dalam keadaan sehat sewaktu memulai persalinan, dan percaya penuh kepada petugas yang merawatnya, serta bersikap tenang.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi lama persalinan, antara lain usia, paritas, pengetahuan mengenai proses melahirkan, besarnya janin dan posisinya di dalam uterus (Jones & Derek, 2001). Varney (2002) juga mengatakan bahwa lama persalinan kala I dan kala II sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor pertama adalah karakteristik ibu, faktor kedua adalah komplikasi dalam persalinan (penyakit yang diderita ibu, kelainan jalan lahir, kelainan janin, dan inersia uteri), sedangkan faktor ketiga adalah faktor perawatan pendukung (lingkungan, perawatan fisik, dukungan sosial). Perlunya dukungan sosial suami selama kehamilan dan persalinan berlangsung dibuktikan dengan penelitian tentang Gambaran karakteristik ibu dan dukungan suami selama proses persalinan yang dilakukan oleh Yuanita (2006) terhadap 83 responden yang dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok primipara sebanyak 30 orang dan kelompok multipara sebanyak 53 orang. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 50% ibu bersalin mendapat dukungan baik fisik maupun emosional. Dukungan emosional terbanyak yang diberikan suami adalah mendampingi ibu, sedangkan dukungan fisik terbanyak adalah memberikan posisi yang nyaman bagi ibu. Sebagian besar lama waktu persalinan kala I dan kala II baik pada primipara ataupun multipara termasuk dalam kategori paling singkat. Selain itu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Hodnett dkk., (2011) di Amerika Serikat terhadap 15.061 wanita yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa wanita yang mendapatkan dukungan secara terus-menerus selama proses persalinan memiliki kecenderungan untuk tidak menggunakan analgesik intrapartum (RR 0,90), menjalani persalinan normal spontan (RR 1,08), dan tidak menjalani operasi sesar (RR 0,79) atau menjalani persalinan dengan bantuan (RR 0,84). Penelitian lainnya yang menggunakan variabel peran pendamping terhadap tingkat kecemasan, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2010) terhadap 30 responden menunjukkan bahwa 0 responden (0%) mengalami panik, sedangkan 13 responden (100%) mengalami cemas berat. Hasil tersebut adalah presentase untuk kategori peran pendamping baik, sedangkan untuk peran pendamping buruk terdapat 12 responden (70,06%) yang mengalami panik dan 5 responden (29,04%) mengalami kecemasan berat. Untuk p valuenya, didapat hasil p value = 0,00. P value < 0,005 artinya Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara peran pendamping terhadap tingkat kecemasan pada ibu primipara selama proses kala I persalinan.

Dengan melihat berbagai dampak yang ditimbulkan akibat persalinan yang tidak berjalan normal, dan mengingat pentingnya dukungan sosial suami selama proses persalinan terutama pada kala I dan kala II, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara dukungan sosial suami selama kehamilan sampai persalinan dengan lama persalinan kala I dan kala II pada wanita primigravida.

B.

Identifikasi Masalah Persalinan sampai saat ini masih merupakan fenomena yang sangat menegangkan, baik

bagi wanita yang sedang hamil maupun anggota keluarga lain yang sedang menunggu dengan perasaan cemas. Ayah seringkali terlihat standar sebagai pengamat istri yang sedang hamil. Suami hanya diperlukan untuk konsepsi, membayar biaya, dan menyiapkan penuntun perkembangan anak (Susanti, 2008). Wanita hamil yang memiliki hubungan yang harmonis dengan pasangannya menunjukkan lebih sedikit gejala emosi dan fisik, lebih sedikit komplikasi persalinan, dan lebih mudah melakukan penyesuaian selama masa nifas (Grossman dkk., dalam Bobak, 2004). Sama seperti wanita yang sedang menantikan kelahiran anaknya, calon ayah juga memerlukan dukungan saat ia mempersiapkan diri untuk peran barunya. Penelitian Jordon (1990) pada para calon ayah menunjukkan pentingnya hal itu. Pria dalam penelitiannya menyatakan bahwa mereka dikenal sebagai penolong atau pencari nafkah keluarga, tetapi mereka merasa asing akan pengalaman kehamilan dan persalinan. Mereka merasa tidak memliki contoh untuk berperan sebagai ayah baru (Bobak, 2004) Sering terjadi perasaan menolak karena banyak faktor, misalnya apakah kehamilan itu direncanakan atau tidak, bagaimana hubungan pria tersebut dengan pasangannya, pengalaman kehamilan sebelumnya, umur, dan kestabilan ekonomi (Susanti, 2008). Selama fase laten persalinan kala I, wanita mengalami emosi yang bercampur aduk: wanita merasa gembira, bahagia dan bebas karena kehamilan dan penantian yang panjang akan segera berakhir, tetapi ia mempersiapkan diri sekaligus memiliki kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi. Secara umum, dia tidak terlalu merasa tidak nyaman dan mampu menghadapi situasi tersebut dengan baik. Seiring persalinan kala I memasuki fase aktif, ketakutan wanita

meningkat. Pada saat kontraksi semakin kuat, lebih lama, dan tejadi lebih sering, semakin jelas bahwa semua itu berada diluar kendalinya. Wanita atau istri yang berada dalam tahapan ini, ingin seseorang mendampinginya dan memberinya dukungan untuk melewati masa yang penuh dengan perasaan-perasaan ketakutan, kecemasan, kegelisahan juga rasa kelelahan yang hebat akibat nyeri yang tak tertahankan. Kala II merupakan tahap yang membutuhkan energi yang besar dalam suatu persalinan. Disebut tahap kerja persalinan, yaitu seorang ibu akan berusaha mengeluarkan bayinya dengan mengikuti kontraksi yang kuat sehingga memungkinkan ikut berperan aktif dan positif. Perasaan positif dan partisipasi aktif ibu bersalin membuat kondisi kejiwaan ibu lebih tenang yang sangat mendukung kelancaran persalinan dan tidak menyebabkan stress pada bayi. Hal ini dapat difasilitasi dengan adanya dukungan dari suami saat proses persalinan (Rose, 2007). Dukungan yang besar dibutuhkan dalam kala I dan kala II karena perasaan ibu seringkali berlebihan dan suasana hati ibu dalam keadaan terendah (Henderson, 2006). Dengan menghindarkan atau mengurangi stres psikologis ibu dan meningkatkan rasa sejahtera bagi ibu dapat mendorong proses fisiologis persalinan sehingga mengalami kemajuan proses persalinan (Simkin, 2005).

C.

Batasan Masalah Pada penelitian tentang hubungan antara dukungan sosial suami selama kehamilan

sampai persalinan dengan lama persalinan kala I dan kala II pada wanita primigravida, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas, yaitu: 1. 2. Dukungan sosial suami Lama persalianan kala I dan kala II

D.

Rumusan Masalah Apakah ada hubungan antara dukungan sosial suami selama kehamilan sampai persalinan

dengan lama persalinan kala I dan kala II pada wanita primigravida?

E.

Tujuan Penelitian Mengetahui adanya hubungan antara dukungan sosial suami selama kehamilan sampai

persalinan dengan lama persalinan kala I dan kala II pada wanita primigravida.

F. Manfaat Penelitian 1.Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang peran dukungan sosial suami selama persalinan kala I dan kala II dan juga dapat menjadi bahan tambahan untuk penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis a. Bagi bidang keperawatan: menjadi bahan pertimbangan untuk lebih banyak melibatkan suami dalam masa kehamilan dan proses persalinan istrinya. b. Bagi keluarga: menambah informasi suami dalam memberikan dukungan baik secara fisik maupun psikis bagi kelancaran proses persalinan. c. Bagi peneliti: menambah wawasan dan menjadi pengalaman bagi penulis dalam melakukan penelitian.

Anda mungkin juga menyukai