Anda di halaman 1dari 110

BAB IV PEMULIHAN EKONOMI

A.

Keadaan Awal

Krisis ekonomi yang berkembang menjadi krisis di berbagai bidang telah memberikan kesadaran baru akan adanya persoalan di bidang ekonomi, politik, hukum serta agama dan sosial budaya yang bersifat struktural dan terus berkembang di kalangan masyarakat. Persoalan ketidakadilan terus dipertanyakan dan dituntut oleh masyarakat untuk segera diperbaiki. Masyarakat menuntut reformasi di segala bidang secara mendasar, termasuk pemulihan ekonomi secepatnya. Langkah-langkah untuk menanggulangi krisis secepatnya dan melaksanakan reformasi tersebut selanjutnya telah diamanatkan rakyat Indonesia melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat bulan Nopember 1998. Namun demikian upaya pemulihan ekonomi berjalan lambat karena situasi sosial, politik, dan keamanaan yang kurang kondusif.

IV - 1

1.

Menjaga Stabilitas Ekonomi Makro dan Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Dalam masa krisis, gejolak perekonomian nasional dapat dilihat dari perkembangan indikator ekonomi diantaranya turunnya nilai tukar rupiah dan melonjaknya laju inflasi. Nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang cukup besar terhadap US$, yaitu secara riil sekitar 71,6 persen dalam tahun 1998. Laju inflasi dalam tahun tersebut mencapai 77,6 persen. Ini kemudian mendorong peningkatan suku bunga yang mencapai tingkat tertinggi 61,8 persen pada bulan September 1998. Tingginya suku bunga pada gilirannya ikut mendorong kelesuan kegiatan produksi seperti dicerminkan oleh penurunan PDB riil sebesar 13,0 persen. Langkah-langkah stabilisasi dan reformasi ekonomi yang dilaksanakan selama dua tahun terakhir, secara bertahap memulihkan stabilitas ekonomi. Selama tahun 1999 proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup mantap setelah mengalami krisis ekonomi yang berat sejak pertengahan tahun 1997. Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif, serta kondisi perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan kestabilan nilai rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional. Nilai tukar rupiah menguat dan relatif stabil, antara lain berkat terkendalinya jumlah uang beredar, yaitu dari rata-rata Rp 8.025 per US$ pada tahun 1998 menjadi sekitar Rp 7.809 per US$ pada tahun 1999, dengan fluktuasi yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Dalam periode yang sama, inflasi menurun tajam dari 77,6 persen menjadi hanya 2,0 persen dan suku bunga deposito menurun dari rata-rata 36,8 persen menjadi 24,2 persen. Meskipun terjadi perubahan iklim politik yang sangat penting dalam tahun 1999 antara lain sebagai hasil dari pelaksanaan pemilu, jajak pendapat Timor Timur, dan Sidang Istimewa MPR, perekonomian masih dapat tumbuh walaupun relatif rendah. Pertumbuhan ekonomi dalam triwulan I, II, III, dan IV tahun 1999 berturut-turut -7,7 persen, 3,7 persen, 1,2 persen, dan 5,0 persen dibandingkan dengan IV - 2

triwulan yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini terutama bersumber dari konsumsi masyarakat yang didorong oleh perkembangan harga dan nilai tukar mata uang yang relatif stabil serta suku bunga yang menurun. Unsur pendorong lain adalah konsumsi pemerintah yang berasal dari kenaikan pengeluaran rutin. Selama tahun 1999, secara keseluruhan investasi atau pembentukan modal tetap domestik bruto mengalami kontraksi sebesar 20 persen. Penurunan terjadi pada investasi swasta. Namun, investasi pemerintah juga belum berjalan sesuai dengan harapan sebagaimana tercermin pada kinerja pengeluaran pembangunan selama sembilan bulan pertama tahun fiskal 1999/2000 yang baru mencapai sekitar 54,7 persen dari anggaran. Rendahnya kegiatan investasi juga tercermin pada kinerja impor non migas kelompok barang modal yang menurun baik dari sisi nilai maupun volume. Minat investasi secara umum selama tahun 1999 belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat dari jumlah proyek persetujuan penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Persetujuan penanaman modal dalam negeri sedikit menurun akibat terbatasnya sumber pembiayaan dan tersendatnya aliran pembiayaan baik dari dalam maupun luar negeri. Sumber pembiayaan dalam bentuk kredit masih mencatat pertumbuhan negatif akibat terganggunya fungsi intermediasi perbankan. Ekspansi kredit baru masih sangat sedikit dan sebagian merupakan penyaluran kredit program yang sebagian besar dibiayai oleh Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Dengan perkembangan tersebut, perekonomian secara keseluruhan pada tahun 1999 tumbuh 0,3 persen. Pada sisi produksi, beberapa sektor mulai mengalami pertumbuhan positif. Sektor industri pengolahan yang pada tahun sebelumnya menurun tajam telah tumbuh positif sebesar 2,6 persen pada tahun 1999. Meskipun tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sebelum krisis, kegiatan di sektor industri pengolahan ini ikut mendorong sektor listrik sehingga tumbuh sekitar 8,2 persen. Sementara itu, panen yang cukup berhasil telah IV - 3

membantu sektor pertanian tumbuh 2,1 persen. Sektor pertambangan, bangunan, perdagangan, pengangkutan, dan keuangan masih mengalami pertumbuhan yang negatif namun dengan laju yang melambat. Menurunnya suku bunga konsumsi, mengalirnya kembali kredit pemilikan rumah (KPR), serta meningkatnya harga rumah sederhana dan rumah sangat sederhana telah ikut memperlambat laju penurunan sektor bangunan. Demikian pula, kegiatan perdagangan mulai tumbuh terutama didorong oleh kenaikan konsumsi masyarakat. Menurunnya suku bunga deposito yang mempersempit selisih negatif (negative spread) dan mulai berjalannya restrukturisasi kredit telah memperlambat penurunan laju pertumbuhan di sektor keuangan. Secara umum, perkembangan masing-masing sektor dalam tahun 1999 sudah menunjukkan tanda-tanda keluar dari krisis (bottom out). Komposisi pertumbuhan antar sektor dalam tahun 1999 telah mengakibatkan perubahan struktur ekonomi. Peranan sektor pertanian dan industri meningkat berturut-turut dari 17,6 persen dan 24,1 persen pada tahun 1998 menjadi 19,5 persen dan 25,4 persen pada tahun 1999. Adapun peranan sektor pertambangan menurun tajam dari 13,5 persen pada tahun 1998 menjadi 10,1 persen tahun 1999. Sementara itu, beberapa kendala yang menghambat program restrukturisasi perbankan telah ikut menurunkan peranan sektor keuangan dari 7,1 persen menjadi 6,3 persen dalam kurun waktu yang sama. Perkembangan tersebut meski menggembirakan, namun masih jauh dari tercapainya pemulihan ekonomi sesungguhnya. Parahnya keadaan yang diwarisi dewasa ini tercermin dalam beratnya pengelolaan keuangan negara yang berkelanjutan, pengendalian moneter dan neraca pembayaran, serta besarnya permasalahan yang dihadapi dalam restrukturisasi perusahaan dan perbankan. Dalam pengelolaan keuangan negara, krisis ekonomi IV - 4

menyebabkan beban yang besar terhadap anggaran negara. Pada tahun 1998/99 overall balance tercatat defisit 1,5 persen terhadap PDB. Pada pertengahan tahun 1999, ada tanda-tanda pemulihan ekonomi namun masih dalam tahap yang sangat awal. Oleh karena itu, terbatasnya penerimaan negara dan membengkaknya pengeluaran negara masih mewarnai pelaksanaan tahun anggaran 1999/2000 sehingga defisit anggaran membesar. Namun demikian, peran pemerintah dalam ikut menggerakan pemulihan ekonomi dalam tiga triwulan pertama tahun anggaran 1999/2000 masih belum optimal. Perkembangan tersebut mengakibatkan operasi keuangan pemerintah untuk keseluruhan tahun 1999/2000 mengalami defisit 3,9 persen dari PDB dibandingkan target defisit sebesar 6,8 persen dari PDB. Secara keseluruhan, selama tiga triwulan pertama tahun anggaran 1999/2000, penerimaan dalam negeri telah mencapai 88,7 persen dari target anggaran. Pencapaian target yang cukup tinggi ini terutama disebabkan oleh lonjakan penerimaan migas akibat kenaikan harga ekspor minyak dan tingginya penerimaan pajak penghasilan, terutama pajak atas bunga simpanan dan pajak perusahaan asing. Sementara itu, sebagai dampak belum pulihnya kegiatan dunia usaha domestik, penerimaan pajak penghasilan perusahaan dalam negeri masih relatif rendah. Di sisi pengeluaran, selama masa krisis terjadi peningkatan yang tajam untuk membiayai subsidi, pelunasan utang luar negeri, program jaring pengaman sosial, serta program restrukturisasi perbankan. Sementara itu, selama tiga triwulan pertama tahun anggaran 1999/2000, jumlah pengeluaran baru mencapai 61,6 persen dari target anggaran. Faktor utama yang menyebabkan rendahnya kinerja pengeluaran, khususnya pengeluaran pembangunan, adalah penarikan utang luar negeri yang jauh di bawah sasaran. Realisasi penarikan utang luar negeri baru mencapai 38,7 persen dari target anggaran. Terhambatnya penarikan utang disebabkan oleh keputusan beberapa kreditur utama, seperti Bank Dunia, untuk menunda pencairan utang berkaitan dengan masalah Timor Timur dan merebaknya kasus-kasus perbankan. IV - 5

Sumber utama utang luar negeri Indonesia berasal dari para anggota Consultative Group for Indonesia (CGI) yang terdiri atas 19 negara dan 10 lembaga internasional. Dukungan pembiayaan dari utang luar negeri yang tercermin pada pledge tahun 1999 mengalami penurunan dibandingkan pledge tahun sebelumnya. Pledge bilateral pada tahun 1999 sebesar US$ 1,64 miliar atau turun sebesar US$ 667,7 juta dari tahun 1998 dan untuk multilateral sebesar US$ 4,2 miliar atau turun sebesar US$ 1.365,0 juta dari tahun 1998. Di samping pledge CGI di atas, persetujuan fasilitas kredit ekspor diperketat dalam rangka penanggulangan gejolak moneter. Dengan perkembangan tersebut, dan setelah memperhitungkan amortisasi, jumlah utang luar negeri pemerintah pada tahun 1999 mencapai 52,9 persen PDB. Secara keseluruhan, stok utang pemerintah mencapai 97,6 persen PDB yang didorong oleh membengkaknya pinjaman dalam negeri untuk restrukturisasi perbankan yang meningkat dari 16,6 persen PDB di tahun 1998 menjadi 44,7 persen PDB di tahun 1999. Sementara itu, UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sudah harus diterapkan mulai 1 Januari 2001. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah agar pelaksanaan desentralisasi fiskal tetap selaras dengan upaya mengendalikan defisit anggaran dan beban utang pemerintah. Secara ringkas, masalah utama yang dihadapi adalah mencapai fiscal sustainability melalui penurunan beban utang pemerintah namun dengan tetap mampu mendukung upaya meringankan beban masyarakat terhadap dampak krisis serta mendorong pemulihan ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan makro lainnya yang memiliki peran sangat penting dalam pemulihan stabilitas ekonomi adalah kebijakan moneter yang relatif ketat selama periode krisis. Kondisi moneter selama tahun 1999 relatif mantap di banding tahun 1997 dan 1998. Pertumbuhan besaran moneter, yaitu uang primer, uang beredar dalam arti sempit (M1), dan uang beredar dalam arti luas (M2), telah IV - 6

makin terkendali ke arah sasaran yang ditentukan. Sebagai hasil terkendalinya besaran moneter tersebut, seperti diuraikan di atas, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga semakin stabil dan cenderung menguat, laju inflasi menurun tajam dan penurunan suku bunga deposito juga terus berlanjut. Namun demikian dalam tahun 1999 terjadi beberapa perkembangan yang menimbulkan tekanan pada nilai tukar rupiah, seperti belum stabilnya kondisi sosial politik di dalam negeri dan masih lemahnya kepercayaan pasar atas prospek pemulihan ekonomi. Dalam hal neraca pembayaran, selama periode krisis transaksi berjalan mengalami surplus tetapi surplus ini lebih disebabkan oleh penurunan secara drastis dari impor non migas, bukan karena kenaikan ekspor non migas. Di sisi lalu lintas modal, arus modal keluar oleh swasta masih lebih besar daripada arus modal masuk swasta. Sedangkan arus modal pemerintah yang positif selama masa krisis lebih disebabkan oleh masuknya pinjaman dan penjadwalan utang luar negeri. Terdepresiasinya nilai rupiah tidak otomatis meningkatkan nilai ekspor nasional. Berdasarkan data Bank Indonesia, dalam tahun 1998 dan 1999, ekspor non migas masing-masing menurun 3,6 persen dan 4,6 persen. Faktor utama penyebab turunnya ekspor non migas adalah anjloknya harga-harga komoditas ekspor utama di pasar dunia. Namun, faktor penting lainnya yang menghambat potensi peningkatan ekspor adalah terbatasnya pembiayaan perdagangan ekspor dan impor (trade financing) akibat kondisi perbankan nasional yang masih lemah dan tersendatnya pembentukan lembaga pembiayaan ekspor. Dalam periode yang sama, menurunnya kegiatan produksi dalam negeri berakibat pada menurunnya nilai impor secara keseluruhan, yaitu menjadi US$ 30,6 miliar. Penurunan tersebut terutama terjadi pada impor non migas, yang mencapai sekitar 8,4 persen. Dalam neraca jasa, pariwisata merupakan salah satu andalan IV - 7

bagi penerimaan devisa. Namun, berbagai gejolak sosial-politik yang berdampak negatif terhadap citra Indonesia di luar negeri telah mengakibatkan penurunan drastis jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Dalam tahun 1998, jumlah wisman hanya mencapai 4,6 juta orang dengan devisa yang dihasilkan sebesar US$ 4,3 miliar, atau masing-masing menurun sebesar 11,2 persen dan 40,0 persen dibandingkan tahun 1997. Melalui upaya pemulihan kepercayaan masyarakat luar negeri terhadap Indonesia guna menarik wisman mengunjungi Indonesia, pada tahun 1999 terlihat adanya peningkatan kunjungan wisman sekitar 2,6 persen dibanding tahun 1998 atau menjadi sebesar 4,7 juta kunjungan dengan menghasilkan devisa sebesar US$ 4,4 miliar. Pada tahun 1999, lalu lintas modal bersih kembali mengalami defisit sebesar US$ 4,6 miliar, lebih besar daripada defisit yang terjadi pada tahun 1998 yang mencapai US$ 3,9 miliar. Defisit yang terjadi pada lalu lintas modal swasta terkait dengan aliran modal keluar yang mencapai US$ 27,3 miliar yang terkait dengan pembayaran utang luar negeri swasta. Utang luar negeri swasta yang jatuh tempo pada tahun 1999 antara lain berasal dari utang bank swasta US$ 4,0 miliar, lembaga keuangan nonbank US$ 1,5 miliar, dan perusahaan swasta lainnya US$ 9,4 miliar. Sementara itu, aliran masuk modal swasta tercatat sebesar US$ 13,9 miliar atau menurun 2,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada penanaman modal asing langsung sebesar 52,1 persen sehingga menjadi US$ 3,3 miliar. Kinerja neraca modal swasta yang belum menunjukkan perbaikan selama tahun 1999 antara lain berkaitan dengan belum pulihnya kepercayaan internasional terhadap prospek pemulihan ekonomi Indonesia dan belum tuntasnya penyelesaian masalah utang luar negeri swasta nonbank. Sekalipun demikian, arus masuk modal melalui bursa saham mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejalan dengan sentimen positif yang ditimbulkan oleh mulai membaiknya situasi sosial politik di dalam negeri. Sementara itu, aliran bersih modal pemerintah dalam tahun IV - 8

1999 mengalami surplus sebesar US$ 5,4 miliar atau turun 46,3 persen dibandingkan surplus tahun sebelumnya yang mencapai US$ 10,0 miliar. Menurunnya surplus tersebut terutama disebabkan oleh penundaan realisasi pinjaman multilateral sebagai akibat penundaan program pemulihan ekonomi dengan IMF. Sekalipun lalu lintas modal masih mengalami defisit, secara keseluruhan neraca pembayaran masih mengalami surplus sebagai akibat surplus transaksi berjalan yang cukup besar. Dengan demikian, posisi cadangan devisa bruto pada akhir Desember 1999 meningkat menjadi US$ 27,1 miliar atau setara dengan kebutuhan devisa untuk membayar impor non migas selama 11,2 bulan dibandingkan US$ 19,0 miliar atau setara dengan 6,7 bulan impor non migas pada bulan Mei 1998. Dalam pada itu, sejalan dengan lebih besarnya jumlah pembayaran utang lama daripada penarikan utang baru oleh sektor swasta, jumlah utang luar negeri Indonesia selama tahun 1999 menurun dari posisi akhir tahun sebelumnya sebesar 1,8 persen menjadi US$ 148,1 miliar. Penurunan jumlah utang luar negeri tersebut disebabkan oleh penurunan utang swasta, sementara utang pemerintah masih mengalami kenaikan. Penurunan utang sektor swasta dalam tahun 1999 disebabkan oleh pembayaran sebagian utang yang telah jatuh tempo. Sedangkan peningkatan posisi utang pemerintah adalah akibat dari penarikan pinjaman multilateral dan IMF serta dampak dari menguatnya mata uang yen Jepang terhadap dolar Amerika Serikat. Sampai akhir Desember 1999, jumlah utang luar negeri pemerintah (termasuk pinjaman IMF) adalah US$ 75,7 miliar meningkat sebesar US$ 23,1 miliar (dibanding posisi Maret 1997) yang digunakan untuk menutup biaya defisit anggaran sebesar US$ 13,1 miliar dan memperkuat cadangan devisa sebesar US$ 10,2 miliar. Hingga akhir tahun 1999, posisi utang swasta lainnya (tidak termasuk BUMN) mencapai US$ 67,4 miliar atau menurun 15,2 persen dibandingkan posisi pada akhir tahun sebelumnya. Dari total utang luar negeri swasta tersebut, sebesar US$ 53,2 miliar IV - 9

merupakan utang perusahaan swasta nonbank, US$ 10,8 miliar utang perbankan, dan US$ 3,2 miliar merupakan surat-surat berharga yang dimiliki investor asing. Meskipun jumlah utang luar negeri telah menurun cukup signifikan, beban pembayaran pokok dan bunga utang masih sangat tinggi. Dengan tingginya beban utang sementara kegiatan ekonomi khususnya ekspor belum sepenuhnya pulih kembali, beberapa indikator beban utang telah jauh melewati standar internasional pengelolaan beban utang yang sehat. Sebagai contoh, rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap ekspor atau debt service ratio (DSR) masih sangat tinggi yaitu mencapai 56,8 persen, jauh di atas kriteria maksimum yang ditetapkan oleh Bank Dunia sebesar 20 persen. Kondisi ini menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan country risk Indonesia masih lebih tinggi daripada negara-negara lain sehingga minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya untuk investasi yang berjangka waktu menengah dan panjang, belum sepenuhnya pulih.

2.

Mempercepat Perusahaan

Restrukturisasi

Perbankan

dan

Selanjutnya upaya mendesak yang telah dilakukan dalam rangka membenahi perekonomian nasional adalah mengatasi akar penyebab krisis, yaitu, pemulihan dunia perbankan dan dunia usaha. Upaya pembenahan perbankan dan pemulihan dunia usaha ini terkait satu dengan lainnya dan harus dilaksanakan bersama-sama. Dunia usaha akan dapat bekerja, tumbuh dan berkembang jika sistem keuangan dan perbankan dapat dipercaya, sehat dan tentunya tumbuh dan berkembang pula. Sebaliknya, dunia perbankan akan tumbuh dan berkembang jika dunia usaha dapat bergerak, bekerja, tumbuh dan berkembang. IV - 10

Perbankan nasional ambruk karena membengkaknya kewajiban perbankan dalam bentuk valuta asing, hilangnya akses kredit dari bank asing, ditariknya deposito dalam jumlah besar oleh nasabah bank dan terjadinya negative spread. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengambil langkah-langkah penyehatan dan restrukturisasi terhadap perbankan nasional. Restrukturisasi perbankan diarahkan untuk memulihkan kesehatan perbankan, dan oleh karena itu juga kemampuan perbankan dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Adapun langkahlangkah yang telah ditempuh adalah pemberian jaminan terhadap nasabah bank umum; penyempurnaan undang-undang perbankan dan ketentuan kehati-hatian (prudential regulation); dan pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang mulai beroperasi tanggal 27 Januari 1998. Tugas pokok dan fungsi BPPN adalah menyehatkan perbankan nasional, mengelola aset perbankan yang dialihkan ke BPPN, dan mengembalikan dana pemerintah yang telah disalurkan kepada perbankan nasional. Sejak mulai beroperasinya BPPN, sejumlah 49 bank swasta terpaksa dibekuoperasikan, 13 bank swasta diambil alih, dan 7 bank swasta direkapitalisasi, serta 4 bank pemerintah digabung. Biaya restrukturisasi yang ditanggung pemerintah melalui penerbitan obligasi hingga Desember 1999 sudah mencapai Rp 510,3 triliun. Selanjutnya juga telah dialihkan kredit bermasalah dari bank-bank tersebut kepada BPPN sejumlah Rp 234 triliun, dengan jumlah kredit yang diterima dari debitur hingga September 1999 baru mencapai Rp 2,8 triliun. Kondisi awal CAR tujuh bank yang direkapitalisasi pada bulan Desember 1999 adalah sebesar 8,5 persen dengan Non Performing Loan (NPL) sebesar 42,8 persen. Ini menandakan bahwa dalam kurun waktu penyehatan perbankan, CAR dari bank-bank yang telah direkapitalisasi telah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Sedangkan jumlah bank yang tetap beroperasi sampai dengan bulan Desember 1999 mencapai 164 buah bank. Meski menuju ke arah perbaikan, hingga bulan September IV - 11

1999 kemajuan restrukturisasi perbankan dianggap masih lamban. Kondisi perbaikan tersebut belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh sektor riil karena masih belum berjalannya fungsi intermediasi perbankan. Di sisi lain, proses restrukturisasi perusahaan melalui mekanisme INDRA dan Prakarsa Jakarta berjalan lebih lambat lagi. Secara keseluruhan baru sebagian kecil utang perusahaan yang telah direstrukturisasi. Hingga Nopember 1999 hanya satu perusahaan yang bergabung dalam INDRA, yaitu Danareksa, dan 190 perusahaan dalam Prakarsa Jakarta. Baru 46 dari 190 perusahaan yang telah melakukan persetujuan restrukturisasi dengan kreditornya (US$ 3,252 miliar dan Rp 2,286 triliun dari US$ 23,2 miliar) Lambannya restrukturisasi utang perusahaan tersebut antara lain disebabkan oleh rumitnya program restrukturisasi utang perusahaan karena melibatkan ratusan perusahaan dalam negeri dan kreditur di banyak negara. Masalah lainnya adalah adanya sikap debitur dan kreditur (baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri) yang tidak kooperatif untuk melakukan perundingan, sistem peradilan niaga dan undang-undang kepailitan yang dirasakan belum berfungsi dengan baik, dan masih terhambatnya proses restrukturisasi perbankan.

3.

Menanggulangi Kemiskinan dan Menciptakan Lapangan Kerja serta Meningkatkan Perlindungan Tenaga Kerja

Tercapainya pemulihan ekonomi sangat diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah yang mengalami dampak negatif yang paling parah dari krisis ekonomi. Pada akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa (24,3 persen). Namun peningkatan jumlah penduduk miskin ini tidak seluruhnya disebabkan oleh krisis IV - 12

ekonomi. Kenaikan sebesar 12 juta orang disebabkan oleh adanya perubahan standar perhitungan angka kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dari standar 1996 menjadi standar 1998. Standar 1998 menggunakan garis kemiskinan dengan cakupan biaya hidup minimum yang diperluas, terutama untuk kelompok bukan makanan agar ukuran kemiskinan yang dihasilkan lebih mencerminkan standar hidup minimum yang memang sudah semakin berkembang. Sementara kenaikan sebesar 15 juta orang diakibatkan oleh adanya krisis. Bila standar 1998 diaplikasikan pada tahun 1996, tingkat kemiskinan pada tahun 1996 adalah 34,5 juta (17,7 persen). Dampak krisis lebih terasa di daerah perkotaan dibanding di daerah perdesaan. Hal ini dikarenakan daerah perkotaan lebih erat terkait dengan kegiatan sektor formal yang memang lebih terpukul akibat krisis ekonomi. Tingkat kemiskinan di perkotaan, dengan standar 1998, meningkat dari 9,6 juta (13,7 persen) pada tahun 1996 menjadi 17,6 juta (21,9 persen) pada tahun 1998. Tingkat kemiskinan di perdesaan untuk periode yang sama meningkat dari 24,9 juta (19,9 persen) menjadi 31,9 juta (25,7 persen). Komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan salah satu ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk. Pada periode 1996-1999, porsi makanan mengalami peningkatan yang berarti yaitu dari 55,3 persen menjadi 62,9 persen. Hal ini diduga bahwa akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, penduduk lebih mengutamakan pengeluaran untuk makanan dibandingkan bukan makanan. Namun, secara absolut pengeluaran masyarakat untuk konsumsi bahan makanan pokok mengalami penurunan dari tahun 1996 ke 1999. Penurunan mencolok terutama terjadi pada konsumsi beras, jagung basah berkulit dan gaplek. Meningkatnya konsumsi jagung pocelan/pipilan dan ketela pohon pada tahun 1999 dibandingkan 1996 menunjukkan usaha masyarakat yang tidak mampu membeli beras beralih ke jagung atau ketela pohon. Situasi ketenagakerjaan nasional masih diwarnai oleh IV - 13

berbagai permasalahan, seperti meningkatnya angka pengangguran, rendahnya produktivitas pekerja, serta terjadinya gejolak ketenagakerjaan melalui berbagai macam unjuk rasa. Sebagai akibat dari krisis ekonomi, jumlah pengangguran terbuka maupun setengah pengangguran meningkat dengan cepat. Jumlah pengangguran terbuka yang pada tahun 1997 berjumlah 4,2 juta orang atau 4,7 persen, meningkat menjadi 5,1 juta orang atau 5,5 persen pada tahun 1998. Jumlah pengangguran terbuka ini meningkat lagi pada tahun 1999 menjadi 6,0 juta orang atau 6,3 persen. Pada tahun 1999, bila dilihat dari segi pendidikan, jumlah penganggur terbuka terbanyak adalah mereka yang berpendidikan SLTA dengan jumlah 1,9 juta orang. Bila dilihat dari segi usia jumlah penganggur terbuka terbesar berumur antara 15 sampai 24 tahun. Jumlah setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu serta masih mencari pekerjaan dan bersedia pindah pekerjaan, berjumlah 10,7 juta pada tahun 1997, 8,6 juta pada tahun 1998, dan 11,9 juta pada tahun 1999. Dari segi pendidikan, jumlah setengah penganggur terbanyak adalah mereka yang berpendidikan sekolah dasar. Bila dilihat dari umur maka jumlah setengah penganggur terbanyak berusia antara 15 sampai 29 tahun. Sektor pertanian merupakan sektor terbesar yang menyerap setengah penganggur, diikuti oleh sektor perdagangan dan jasa-jasa. Sektor industri yang pada saat puncak krisis melakukan banyak PHK, mulai menunjukkan peningkatan jumlah pekerja dari 9,9 juta orang pada tahun 1998 menjadi 11,5 juta orang pada tahun 1999. Pekerja di sektor informal yang meningkat jumlahnya pada saat krisis beralih kembali dengan mulai terbukanya lapangan kerja formal. Hal ini terlihat dari meningkatnya pekerja formal dari 34,6 persen pada tahun 1998 menjadi 35,9 persen pada tahun 1999. Meskipun daya serap tenaga kerja antara tahun 1998-1999 meningkat sebanyak 1,1 juta, namun masih banyak penganggur terbuka yang belum terserap dalam pasar kerja. IV - 14

Peluang kesempatan kerja di luar negeri yang telah dimanfaatkan merupakan salah satu penyumbang devisa bagi negara. Namun demikian, prosedur yang rumit, keterbatasan keterampilan, serta perlindungan yang tidak memadai merupakan hambatan bagi kelancaran pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) yang berarti menghilangkan peluang penerimaan devisa. Gejolak sehubungan dengan aksi unjuk rasa dan pemogokan sangat menonjol seiring dengan terjadinya proses reformasi. Pada tahun 1998/99 terjadi 278 kasus pemogokan yang melibatkan sekitar 147 ribu tenaga kerja serta mengakibatkan 1,5 juta jam kerja hilang. Guna mengatasi permasalahan tersebut dilakukan berbagai upaya untuk mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, serta terciptanya kepastian hukum dalam pemberian hak-hak dasar pekerja. Hingga saat ini telah diratifikasi delapan konvensi ILO, yaitu konvensi ILO mengenai kerja paksa, penghapusan kerja paksa, kebebasan berserikat dan perlindungan atas hak berorganisasi, hak berorganisasi dan perlindungan bersama, kesamaan upah bagi laki-laki dan wanita untuk jenis pekerjaan yang sama, diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, usia minimum untuk bekerja, serta jenis-jenis pekerjaan terburuk untuk anak.

4.

Memulihkan Kegiatan Usaha: Produksi, Perdagangan, dan Investasi

Sementara itu, dunia usaha nasional pada umumnya mengalami dampak yang tidak menguntungkan dari krisis ekonomi. Usaha-usaha besar, utamanya yang berorientasi dalam negeri, banyak yang terpuruk karena beban pinjaman utang yang besar atau menurunnya permintaan dalam negeri. Di sisi lain, usaha kecil dan menengah juga mengalami akibat tidak langsung dari krisis ekonomi. Usaha kecil dan menengah (UKM) yang berjumlah sekitar 36,8 juta (99,9 persen) dengan kontribusi mereka dalam pembentukan PDB pada tahun 1998 sekitar 58,2 persen menggambarkan pentingnya keberadaan UKM sehingga dampak IV - 15

krisis ekonomi terhadap kelangsungan usaha mereka tidak dapat diabaikan. Perkembangan koperasi, terutama koperasi produksi yang mewadahi kegiatan usaha kecil dan mikro untuk memperoleh efisiensi usaha yang lebih tinggi belum sepenuhnya berkembang. Pada tahun yang sama, jumlah koperasi sebanyak 59,4 ribu unit menjadi potensi besar pula untuk mengembangkan skala usaha khususnya usaha mikro dan kecil serta untuk konsumen dalam memenuhi kebutuhan pokok dengan harga yang terjangkau. Dampak krisis ekonomi pada dunia perbankan relatif kurang berpengaruh bagi usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK) karena akses UKMK terhadap perbankan memang terbatas. Modal yang diperlukan untuk mengembangkan usaha UKMK lebih banyak mengandalkan pada hasil usaha yang diperoleh. Dengan menurunnya permintaan terhadap produk mereka, maka UKM mengalami kelangkaan sumber permodalan yang menghambat kelancaran dan kelangsungan usaha mereka. Masalah berikutnya adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang merupakan cerminan dari kurang berkembangnya kewirausahaan dan rendahnya profesionalisme UKM serta lemahnya kewirakoperasian para anggota dan pengelola koperasi. Selanjutnya adalah keterbatasan jumlah lembaga penyedia jasa untuk memberi akses UKMK terhadap informasi, teknologi, modal, dan pasar menjadi hambatan utama UKMK untuk meningkatkan volume usaha, produktivitas, dan daya saingnya. Selain itu masih ditemukan adanya mekanisme pasar yang distortif, termasuk regulasi dan retribusi yang dasar hukumnya kurang kuat dan proses perizinan yang kurang transparan serta lemahnya koordinasi antar badan/lembaga yang mengembangkan program pembinaan UKMK. Keadaan demikian menyebabkan UKMK menanggung beban biaya transaksi yang sangat besar. Di samping UKMK, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan pelaku ekonomi di Indonesia yang berperan penting dan bergerak di berbagai sektor ekonomi. Sebelum krisis ekonomi, IV - 16

jumlah BUMN mencapai 160 buah dengan total nilai aset sebesar Rp 462 triliun dan total keuntungan Rp 11,8 triliun atau 2,6 persen dari modal yang ditanamkan. Dibandingkan dengan badan usaha swasta sejenis, keuntungan BUMN sangat rendah, kurang dari 25 persen, bahkan lebih dari 50 persen BUMN mengalami kerugian. Kinerja BUMN belum memuaskan karena pola pembinaan dan tanggung jawab masing-masing BUMN berada di bawah departemen terkait dan masih kaburnya misi pokok antara memperoleh keuntungan dan pembangunan. Dengan demikian, keandalan pelayanan atau produk-produk BUMN secara umum masih rendah sehingga kerugian-kerugian yang dialami BUMN membebani keuangan negara, di samping BUMN merupakan salah satu sumber ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Selanjutnya dalam upaya meningkatkan efisiensi usaha dan menggerakkan sektor riil, selama periode krisis telah dilaksanakan deregulasi di berbagai bidang, khususnya perdagangan dalam dan luar negeri serta investasi tetapi hambatan masih sering terjadi dalam pelaksanaannya. Guna memperlancar arus perdagangan dalam negeri melalui UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jumlah dan cakupan pajak serta retribusi daerah dikurangi. Dalam implementasinya pajak dan retribusi di beberapa daerah tidak banyak berkurang. Di samping itu, pungutan tidak resmi masih banyak ditemui dalam pengangkutan barang dari satu daerah ke daerah lain, khususnya untuk komoditas pertanian. Demikian juga kuota perdagangan ternak yang sudah dihapus sejak September 1998 masih banyak ditemukan dalam bentuk baru yang ditetapkan oleh Dinas Peternakan tingkat propinsi. Dalam hal perdagangan luar negeri, tingkat tarif bea masuk dan hambatan nontarif terus diturunkan. Namun biaya ekonomi tinggi sebagai akibat lamanya waktu penyelesaian dokumen ekspor, prosedur yang masih panjang, serta adanya pungutan-pungutan resmi dan tidak resmi, dan sebagainya masih terjadi. Hal ini melemahkan daya saing produk ekspor Indonesia untuk dapat masuk di pasar global. Dalam bidang investasi, berbagai upaya telah dilakukan untuk mendorong investasi baik yang berasal dari dalam maupun IV - 17

luar negeri antara lain melalui penyederhanaan prosedur investasi, desentralisasi beberapa kewenangan BKPM, serta pengurangan daftar negatif investasi. Meskipun demikian masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu disempurnakan. Pertama, pemberian sistem insentif bagi kegiatan investasi masih kurang konsisten dan transparan. Kedua, masih rumitnya sistem perijinan usaha yang pada gilirannya akan menciptakan ekonomi biaya tinggi, khususnya bagi perusahaan kecil dan menengah. Persetujuan investasi di luar sektor minyak dan gas, perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi serta sewa guna usaha cenderung belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Proyek penanaman modal asing (PMA) tahun 1999 berjumlah 1.164 proyek dengan nilai sebesar US$ 10.890,6 juta, sedang tahun 1998 sejumlah 1.035 proyek dengan nilai sebesar US$ 13.563,1 juta. Sementara itu, penanaman modal dalam negeri (PMDN) tahun 1999 baru berjumlah 237 proyek dengan nilai Rp 53.550,0 miliar sedang tahun 1998 berjumlah 324 proyek dengan nilai Rp 60.749,3 miliar. Krisis ekonomi yang mulai terjadi pada pertengahan 1997, diperparah dengan keadaan alam yang saat itu tidak menguntungkan. Produksi pangan pokok menurun drastis karena musim kemarau yang panjang akibat EL-Nino serta kerusakan hutan dan kebun akibat kebakaran di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menyebabkan menurunnya ketahanan pangan sampai ke tingkat rumah tangga. Menurunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya harga-harga bahan pokok termasuk pangan telah menyebabkan kemampuan masyarakat untuk mendapatkan bahan pangan pokok semakin menurun, terutama keluarga miskin. Di sektor pertanian, krisis yang berkepanjangan ini mempunyai dampak terhadap sisi permintaan karena menurunnya daya beli masyarakat dan terhadap sisi penawaran karena menurunnya luas areal tanam akibat musim kemarau panjang dan rendahnya produktivitas. Meskipun demikian, dengan membaiknya keadaan alam dan upaya-upaya penanganan yang dilakukan, secara menyeluruh pembangunan pertanian dan kehutanan masih bisa IV - 18

tumbuh dibandingkan tahun sebelum terjadinya krisis yaitu sekitar 2,8 persen pada tahun 1999. Namun demikian, dengan jumlah penduduk yang besar dan terus meningkat maka keberlanjutan penyediaan pangan sangat kritis. Upaya ini menghadapi kendala keterbatasan lahan subur disertai terus terjadinya pengalihan fungsi lahan, dan degradasi kualitas lingkungan. Sementara itu, pola konsumsi pangan masih terlalu mengandalkan pada konsumsi beras. Konsumsi pangan lainnya masih rendah, seperti konsumsi pangan hewani khususnya ikan, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Sementara itu, potensi lestari sumberdaya ikan laut nasional yang diperkirakan sebesar 6,2 juta belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan (potensi produksi perikanan (tangkap) laut lestari sekitar 6,258 juta ton per tahun) namun baru bisa dimanfaatkan sekitar 61 persen. Potensi budidaya perikanan pantai (tambak), laut (marine culture), pariwisata bahari dan biota laut untuk pengembangan industri pangan baru sebagian kecil dimanfaatkan. Sebaliknya pada perairan dangkal terutama di Selat Sunda telah mengalami tangkap lebih (over fishing). Di samping itu, pada perairan dalam belum ada pengelolaan dan pengawasan yang memadai sehingga banyak terjadi pencurian oleh nelayan asing dan pemboman ikan dengan menggunakan bahan kimia. Perkembangan produksi penangkapan dalam kurun waktu lima tahun terakhir (1994-1998) hanya mengalami peningkatan ratarata 5,0 persen per tahun. Sementara pencapaian produksi perikanan darat (pembudidayaan air payau dan tawar) dalam lima tahun terakhir rata-rata naik sekitar 4,2 persen per tahun. Apabila dibandingkan luas perairan Indonesia yang mencapai 70 persen dari luas wilayah Indonesia, maka potensi perikanan laut jauh lebih besar daripada perikanan darat. Di sektor pertambangan, pengelolaan sumberdaya pertambangan menghadapi berbagai kendala di tingkat produksi, seperti masalah ganti rugi lahan, tenaga kerja dan pelestarian IV - 19

lingkungan hidup serta berbagai peraturan di daerah, namun belum sampai menurunkan tingkat kinerja produksi secara langsung. Kegiatan produksi pertambangan dan energi selama krisis ekonomi masih menunjukkan peningkatan, namun untuk mempertahankan tingkat produksi minyak bumi, gas alam dan produk pertambangan lainnya seperti tingkat sekarang ini perlu digiatkan kegiatan eksplorasi, mengingat peluang untuk mendapatkan sumber cadangan baru terutama migas masih cukup baik. Hal ini terbukti dengan ditemukannya cadangan minyak dan gas baru di kawasan Papua dan Kalimantan Timur. Masalah lainnya yang menjadi sorotan dan banyak dihadapi masyarakat pada saat ini adalah terutama akibat belum dilakukannya secara konsekuen penegakan hukum dalam upaya eksplorasi dan produksi pertambangan, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya di sektor industri pengolahan, strategi industri yang lebih ditekankan pada industri yang berspektrum luas (broad based industry) mengakibatkan kurang kokohnya struktur industri nasional, dan menimbulkan ketergantungan yang kuat terhadap bahan baku, bahan penolong, dan barang modal yang berasal dari impor, termasuk industri-industri andalan untuk eskpor. Selain itu, banyak industri nasional yang berlindung dibalik proteksi sehingga dayasaingnya lemah dan sangat tergantung kepada pasar dalam negeri. Akibatnya industri nasional sangat rentan terhadap gejolak nilai tukar dan situasi ekonomi dalam negeri. Selanjutnya, industriindustri ekspor andalan sejak pertengahan tahun 1985 pada umumnya masih merupakan industri padat karya dengan keterampilan rendah, yang seharusnya sudah mulai beralih ke industri padat karya dengan keterampilan lebih tinggi. Secara keseluruhan, sejak terjadinya krisis ekonomi, banyak perusahaan industri, utamanya yang berorientasi pasar dalam negeri dan membutuhkan bahan baku impor yang tinggi, mengalami penurunan kegiatan yang relatif besar bahkan tidak sedikit yang tutup. Pemanfaatan kapasitas terpasang rata-rata berkisar antara 50-60 persen. IV - 20

5.

Menyediakan Ekonomi

Prasarana

dan

Sarana

Penunjang

Dalam rangka mendukung upaya pembangunan ekonomi diperlukan dukungan sarana dan prasarana fisik yang memadai. Namun, penyediaan prasarana dan sarana umum (jalan, jembatan, saluran irigasi, saluran air minum, listrik, dan telekomunikasi) setelah krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan tahun 1997 pembangunannya baik yang dilakukan pemerintah, termasuk BUMN, dan swasta mengalami penurunan secara drastis. Krisis ekonomi telah menyebabkan kemampuan pemerintah untuk membiayai sektor prasarana semakin terbatas. Selama krisis, pemerintah sesuai dengan anggaran yang tersedia hanya menyediakan biaya operasi dan pemeliharaan yang terbatas. Jika kondisi ini terus berlanjut maka kerusakan dari prasarana dan sarana umum yang ada akan lebih lebih parah dan memerlukan dana yang jauh lebih besar untuk rehabilitasinya. Prasarana pengairan yang sangat penting dalam mendukung kegiatan pertanian masih belum berhasil mewujudkan sistem irigasi mandiri yang dikelola secara berkelanjutan. Upaya penyerahan jaringan irigasi kepada organisasi petani setempat serta pengenalan iuran pelayanan irigasi (Ipair) belum menunjukkan hasil yang memuaskan akibat berbagai hambatan dan kendala. Berbagai permasalahan dalam pengembangan, pemanfaatan, dan pelestarian sumberdaya air juga memerlukan reformulasi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya air. Beberapa permasalahan menonjol yang dirasakan mendesak adalah adanya berbagai kendala serta hambatan institusi dan regulasi dalam mekanisme pengelolaan, pengawasan, pembiayaan, serta peningkatan peranserta semua pengguna air dalam perumusan kebijakan. Selain itu, dalam rangka pelestarian sumberdaya air diperlukan pengendalian pencemaran industri dan rumah tangga yang lebih efektif yang menjamin tercapainya kelestarian sumber-sumber air. IV - 21

Sementara itu, untuk sektor transportasi, kondisi pada tahun 1998 secara umum menunjukkan penurunan kinerja pelayanan jasa prasarana dan sarana transportasi akibat menurunnya biaya pembangunan, serta operasi dan pemeliharaan. Terjadinya penurunan pelayanan angkutan umum dan terpuruknya usaha di bidang jasa angkutan, terutama akibat dari melonjaknya harga suku cadang dan biaya operasi yang tidak dapat diimbangi dengan kenaikan tarif karena daya beli masyarakat yang juga semakin menurun. Penurunan tersebut terutama terjadi pada pelayanan angkutan bus dan angkutan udara. Selain itu, masih diperlukan peningkatan efisiensi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan jasa transportasi pada umumnya, baik dari aspek perijinan dan birokrasi, profesionalitas SDM dan industri jasa transportasi. Kinerja pelayanan angkutan masih rendah karena tingkat keselamatan yang masih kurang; masih tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas dan angkutan baik angkutan jalan, kereta api, angkutan penyeberangan, baik akibat kurangnya disiplin SDM transportasi yang ada; serta kurangnya penegakan peraturan maupun kondisi kelaikan kendaraan dan kondisi fasilitas prasarananya. Kondisi prasarana jalan menurun karena banyak yang mengalami rusak berat pada tahun 1998/99 yaitu meningkat 27,0 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh terjadinya pelanggaran muatan lebih di jalan yang mempercepat perusakan jalan dari target umur teknisnya, selain berkurangnya jumlah anggaran biaya untuk rehabilitasi dan pemeliharaan prasarana jalan. Panjang jalan arteri dan kolektor yang direhabilitasi dalam tahun 1998/99 hanya sepanjang 16.412 kilometer atau menurun 51 persen dari tahun sebelumnya. Demikian pula pelayanan transportasi darat bagi angkutan umum penumpang terjadi penurunan karena jumlah armada bus pada tahun 1998/99 turun dari 724.395 unit menjadi 628.000 unit, dimana kondisi armada bus yang laik dan siap operasi hanya sekitar IV - 22

40 persen saja. Sedangkan untuk angkutan barang, pada tahun 1998/99 jumlah armada truk mengalami kenaikan sebesar 17 persen. Sementara itu pelayanan angkutan perkeretaapian, khususnya angkutan kereta api penumpang mengalami kenaikan 7 persen dalam tahun 1998/99 atau menjadi 169,6 juta. Sedangkan untuk jumlah angkutan barang melalui kereta api mengalami penurunan pada tahun 1998/99 sebesar 4 persen dari tahun sebelumnya. Keadaan transportasi laut pada tahun 1998/99 tercermin pada kondisi armada dan angkutan laut baik angkutan barang maupun penumpang untuk tujuan dalam dan luar negeri. Peran armada nasional dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional masih kecil, terutama masih terjadinya defisit neraca berjalan dalam sub sektor transportasi laut karena porsi pelayanan armada nasional yang terbatas. Pada tahun anggaran 1998/99 pangsa pasar armada laut nasional baik dalam angkutan barang dalam negeri maupun luar negeri masih rendah yakni 53,6 persen dan 3,9 persen. Sementara itu dalam pengembangan prasarana fasilitas pelabuhan, selama krisis prioritas utama adalah untuk merehabilitasi dermaga yang rusak sehingga upaya pengembangan pelabuhan terbengkalai seperti proyek untuk mengantisipasi kecenderungan angkutan peti kemas yang pertumbuhannya jauh lebih besar dari pertumbuhan angkutan konvensional. Selain itu untuk sarana dan prasarana fasilitas keselamatan pelayaran masih banyak kekurangan khususnya untuk penerapan global maritime distress and safety system (GMDSS), dan sarana bantu navigasi seperti menara dan rambu suar yang kebutuhannya meningkat, sejalan dengan disetujuinya permohonan pemerintah Indonesia untuk menetapkan tiga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) oleh sidang International Maritime Organization (IMO) pada 19 Mei 1998. Kondisi jasa pelayanan transportasi udara, sejak terjadinya krisis telah mengalami penurunan dalam jumlah pengguna transportasi udara baik domestik maupun ke luar negeri. Tahun IV - 23

1998/1999 jumlah penumpang angkutan udara dalam negeri yang diangkut oleh perusahaan penerbangan berjadwal menurun sebesar 36,6 persen. Penurunan yang terjadi pada angkutan barang mencapai 19,7 persen. Pada penerbangan internasional juga mengalami hal yang sama di mana jumlah penumpang dan barang yang diangkut oleh perusahaan penerbangan nasional menurun masing-masing sebesar 31,9 persen dan 37,3 persen. Jumlah pesawat udara yang melayani penerbangan berjadwal juga menurun cukup besar. Hal ini disebabkan antara lain umur sebagian besar pesawat udara sudah melampaui umur ekonomis dan memerlukan biaya pemeliharaan yang cukup besar, pendapatan perusahaan tidak mampu memenuhi kebutuhan operasional dan pemeliharaan yang meningkat sebagai akibat biaya komponen impor yang cukup dominan, perusahaan penerbangan tidak mampu untuk mengoperasikan pesawat-pesawat yang sebagian besar disewa dari luar negeri. Kondisi sarana dan prasarana operasional meteorologi dan geofisika, pada tahun 1998/99 masih kurang dapat mendukung kegiatan peramalan cuaca secara baik, karena banyak fasilitas dan peralatan yang sudah melampaui umur ekonomis. Kondisi tersebut mengakibatkan rendahnya akurasi peramalan cuaca. Sedangkan kondisi kemampuan tindak awal kegiatan pencarian dan penyelamatan dalam hal terjadinya kecelakaan (SAR), pada tahun 1998/99 masih rendah, sehingga operasi pencarian dan penyelamatan belum dapat dilakukan dengan optimal. Penyebab utama adalah minimnya peralatan penyelamatan, peralatan komunikasi, dan peralatan medis. Selanjutnya, pembangunan prasarana ketenagalistrikan diarahkan pada daerah yang memerlukan untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat. Hingga tahun 1998, daya terpasang pembangkit tenaga listrik mencapai 35,4 ribu MW yang terdiri dari pembangkit PLN sebesar 20,6 ribu MW, 651 MW dari listrik swasta dan 14,5 ribu MW non-PLN. Dengan kapasitas yang ada, produksi tenaga listrik pada tahun 1998 sebesar 77,8 juta MWh dan pada IV - 24

tahun 1999 meningkat menjadi 84,3 juta MWh. Namun secara nasional kemampuan penyediaan tenaga listrik masih terbatas. Kondisi ketenagalistrikan, terutama di luar Pulau Jawa, masih banyak mengalami masalah terutama dari segi kontinuitas penyediaannya. Di beberapa tempat di Sumatera dan Kalimantan, akibat kekurangan penyediaan perlu dilakukan pemadaman bergilir. Untuk itu, pembangunan sarana ketenagalistrikan terutama jaringan transmisi di Jawa dan pembangkit skala besar seperti PLTA Musi di Sumatera masih diperlukan. Penyediaan tenaga listrik terpengaruh oleh timbulnya gangguan keamanan di berbagai daerah. Selanjutnya, PLN sebagai perusahaan yang menyediakan prasarana tenaga listrik mengalami permasalahan keuangan yang berat, terutama dengan adanya kewajiban pembelian listrik swasta. Akibatnya pembangunan tenaga listrik banyak yang tertunda. Selain itu, akibat kenaikan harga suku cadang yang tajam, PLN terpaksa menurunkan bahkan menunda kegiatan pemeliharaan, yang pada gilirannya telah menurunkan kinerja penyediaan tenaga listrik. Dalam hal pelayanan jasa telekomunikasi, krisis ekonomi telah mengakibatkan terhambatnya pembangunan baru fasilitas telekomunikasi, di samping tertundanya pengoperasian jasa-jasa baru, serta terganggunya mutu pelayanan dan pelaksanaan kerjasama operasi (KSO) yang melibatkan partisipasi swasta, baik dalam maupun luar negeri. Sementara itu, pihak PT. Telkom dan mitra KSO mesti mengubah Memorandum of Understanding (MoU), antara lain penurunan kapasitas yang harus dibangun dari 1,8 juta satuan sambungan (ss) menjadi 1,3 juta ss saja. Dalam tahun 1998/99 hanya berhasil dibangun sentral telepon sekitar 0,5 juta ss saja atau 42 persen dari yang ditargetkan. Di samping itu, penyediaan fasilitas telepon umum belum mencapai 3 persen dari jumlah telepon terpasang dan pembangunan oleh mitra KSO hanya berhasil membangun 1,4 juta ss dari 1,8 juta ss yang ditargetkan semula. Pembangunan telematika telah mengalami kemajuan yang IV - 25

cukup berarti, namun masih terdapat tumpang tindih kegiatan serta belum optimalnya pendayagunaan prasarana teknologi informasi, aplikasi, sumber daya manusia dan informasi yang ada. Hal ini antara lain disebabkan belum adanya kebijakan dan pedoman nasional yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pembangunan telematika untuk meningkatkan efektivitas, produktivitas, dan pelayanan kepada masyarakat.

6.

Menata Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup

Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) yang dilaksanakan pada masa lalu lebih mengutamakan peningkatan produksi guna mengejar perolehan devisa negara, sehingga dalam mengeksploitasi SDA dan lingkungan kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya peranan dan kesempatan kontrol masyarakat, penggunaan teknologi yang tidak efisien, serta masih digunakannya pendekatan bernuansa perintah dan pengendalian (command and control). Untuk mendukung keberlanjutan SDA, diperlukan sistem pengawasan dan pengendalian yang baik. Namun pada kenyataannya kelembagaan konversi SDA hayati dan lingkungan hidup belum optimal. Hal ini disebabkan oleh lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengelola konversi SDA dan lingkungan hidup karena belum mantapnya program pengembangan SDM. Selain itu belum adanya kesamaan persepsi antara pihakpihak terkait dalam pengelolaan konservasi SDA dan lingkungan hidup seperti LSM, perguruan tinggi dan dunia usaha. Hal lain yang dianggap menjadi penyebab kerusakan SDA hayati dan ekosistemnya dan penurunan kualitas lingkungan hidup selama ini adalah lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan SDA dan pemeliharaan lingkungan hidup. IV - 26

Dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan keberadaan hak ulayat, hak masyarakat hukum adat dan komunitas lokal lainnya di kawasan hutan negara masih kurang mendapat perlindungan dan pemberdayaan, baik dalam peraturan perundangan maupun dalam peruntukan dan pemanfaatannya di lapangan selaras dengan asas keadilan, keterpaduan dan kelestarian. Akibatnya pemanfaatan sumberdaya hutan kurang memperoleh dukungan yang memadai dari masyarakat yang kurang dilindungi hak-haknya, sehingga mereka cenderung kurang merasa turut memiliki dan bertanggung jawab terhadap upaya pelestarian sumberdaya hutan. Dampak yang terjadi antara lain adalah terdegradasinya hutan akibat perambahan, penjarahan dan kebakaran menjadi sulit dicegah dan ditanggulangi. Akibat pemanfaatan sumberdaya hutan yang tak terkendali telah terjadi kerusakan hutan yang diperkirakan mencapai 1 juta sampai dengan 1,6 juta hektar per tahun. Selain itu, akibat konversi lahan maupun hutan menjadi lahan pertanian yang berlebihan serta terjadinya kebakaran hutan, menyebabkan bertambahnya luas hutan rusak dan lahan kritis setiap tahun. Di lingkungan perdesaan telah berlangsung alih fungsi lahan yang cukup tinggi, yaitu dari lahan pertanian menjadi lahan bukan pertanian. Sementara itu, kerusakan lahan oleh erosi dan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konversi tanah dan air telah menimbulkan lahan kritis yang diperkirakan telah mencapai 15 juta ha. Diperkirakan dengan bertambahnya jumlah penduduk dengan beragamnya aktivitas manusia kerugian akibat kerusakan lahan (erosi) akan semakin besar. Kondisi lingkungan perkotaan juga mengalami penurunan kualitas yang tajam yang disebabkan oleh peningkatan pencemaran air, udara, dan tanah, baik yang berasal dari rumah tangga, industri maupun transportasi. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pencemaran udara cenderung makin meningkat. Kondisi di beberapa kota besar mengindikasikan bahwa parameter debu (TSP) telah melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 260 ug/m3. Masalah perkotaan lainnya adalah sampah perkotaan dan dari IV - 27

jumlah tersebut hanya sekitar 40 persen yang dapat dimanfaatkan kembali sedangkan sisanya menjadi sampah murni. Rendahnya prasarana sanitasi lingkungan untuk limbah rumah tangga dan sifatnya yang masih tradisional menyebabkan banyak sumber air yang tercemar oleh bakteri koliform, di samping masih rendahnya akses penduduk perkotaan terhadap air bersih (32 persen penduduk perkotaan masih sulit mendapatkan akses air bersih). Berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya dan ekosistem laut, khususnya ekosistem terumbu karang dan kehidupan biota di sekitarnya telah mengalami kerusakan yang tidak dapat dipulih kembali. Hal ini terjadi pada sekitar 75 persen kawasan perairan nasional sebagai akibat pengelolaan potensi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan. Adanya hubungan yang erat antara rendahnya pendidikan dan peningkatan kebutuhan hidup yang tinggi telah memberikan dampak yang merugikan dalam pengelolaan sumberdaya alam, terutama sumberdaya laut. Kondisi tersebut memerlukan penanganan khusus untuk tercapainya ambang batas daya dukung yang diperlukan bagi kelestarian ekosistem terumbu karang dan biota di sekitarnya. Selain itu, hutan bakau, padang lamun, dan perairan dekat pantai banyak juga telah mengalami kerusakan atau kemerosotan kualitas akibat dari penggunaan yang melebihi daya dukung alam.

B.

Langkah-langkah Kebijakan dan Dicapai

Hasil-hasil

yang

Setelah berlangsungnya Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada bulan Oktober 1999, Indonesia telah memiliki sendi-sendi demokrasi yang lebih baik. Pelaksanaan pemilu yang baru lalu mencerminkan semakin tegaknya kedaulatan rakyat. Pemerintah memiliki legitimasi politik yang sangat kuat sehingga stabilitas politik yang sangat penting bagi terlaksananya pembangunan nasional mulai tercipta. Namun demikian, kerusakan IV - 28

ekonomi yang ditimbulkan selama ini adalah sedemikian besarnya. Sehingga meski telah memiliki dukungan situasi politik yang lebih stabil dan langkah-langkah reformasi selama dua tahun terakhir telah memberikan landasan bagi pemulihan ekonomi, akan diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk dapat memulihkan tingkat kesehatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pada tingkat sebelum krisis. Namun demikian, sesuai dengan amanat GBHN 1999, pemerintah bertekad untuk melaksanakan langkah-langkah penting yang akan mempercepat proses pemulihan ekonomi. Bersamaan dengan itu diupayakan langkah-langkah untuk memberikan landasan yang lebih kuat bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Kedua sasaran ini antara lain bertujuan agar pemulihan ekonomi berlangsung secara cepat dengan pilar pembangunan yang makin kokoh dan menjadi landasan bagi pencapaian sasaran-sasaran pembangunan berikutnya. Dengan latar belakang permasalahan dan kondisi perekonomian seperti telah diuraikan sebelumnya, kebijakan yang diambil selama satu tahun terakhir diarahkan untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk pemulihan perekonomian, yaitu menciptakan keadaan ekonomi makro yang stabil dan kondusif bagi kegiatan usaha, meningkatkan kondisi perbankan yang sehat yang dapat berperan dalam menyalurkan dana masyarakat kepada investasi di sektor riil, dan mempercepat restrukturisasi utang dunia usaha. Langkah-langkah tersebut didukung oleh berbagai langkah deregulasi di bidang investasi dan perdagangan serta pemberdayaan UKMK dalam rangka menggerakkan sektor riil. Selain itu, upayaupaya untuk menanggulangi kemiskinan dan mengurangi pengangguran lebih ditingkatkan lagi. Sedangkan dengan dana pembangunan yang terbatas, maka pembangunan prasarana sangat dibatasi, sebagian besar dana diarahkan pada kegiatan operasi dan pemeliharaan dalam rangka mengefektifkan pemanfaatan prasarana yang ada. Selanjutnya, menyadari pentingnya ketersediaan SDA dan lingkungan hidup yang sehat bagi tercapainya pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan, secara bertahap upaya penataan IV - 29

pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan hidup lebih ditingkatkan lagi menjadi bagian terpadu dalam pembangunan nasional.

1.

Menjaga Stabilitas Ekonomi Makro dan Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Mengingat kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih dan masih rentan terhadap gejolak, maka upaya dalam menjaga stabilitas ekonomi makro dipertahankan dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi. Dalam kaitan itu, strategi utama adalah mewujudkan kebijakan ekonomi makro dan mikro yang konsisten, baik melalui kebijakan fiskal, moneter, maupun sektor riil, dan didukung penciptaan stabilitas sosial dan politik. Keseluruhan kebijakan tersebut harus saling melengkapi sehingga menunjang pencapaian pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dalam jangka menengah. Hal ini juga penting untuk mengatasi meningkatnya unsur ketidakpastian antara lain sebagai akibat semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan pasar global dan diterapkannya sistem nilai tukar rupiah yang mengambang bebas sejak Agustus 1997. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi terus berlanjut pada triwulan pertama tahun 2000 didorong terutama oleh membaiknya stabilitas politik dan keamanan meskipun konflik sosial masih terjadi di beberapa daerah. Bersama-sama dengan pelaksanaan kebijakan moneter, stabilitas politik dan keamanan yang relatif membaik tersebut telah mendorong stabilitas harga dan nilai tukar mata uang yang pada gilirannya mendorong kegiatan di sektor riil dan ekspor (Lihat Tabel 1). Dalam merumuskan kebijakan makro, baik di bidang fiskal maupun moneter, diupayakan secara hati-hati dan terkoordinasi dengan baik. Selama dua tahun terakhir, 1998 dan 1999, upaya IV - 30

menstabilkan nilai rupiah dan menghindari hiperinflasi ditempuh melalui kebijakan moneter yang ketat dengan sangat membatasi pertumbuhan jumlah uang beredar. Sementara itu posisi penerimaan dan pengeluaran negara dirancang untuk memberikan stimulus fiskal agar perekonomian tidak merosot lebih jauh melalui kebijakan defisit anggaran negara. Secara keseluruhan, perkembangan ekonomi pada triwulan pertama tahun 2000 dapat dilihat dengan membandingkannya dengan triwulan sebelumnya (triwulan keempat tahun 1999) atau dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya (triwulan pertama tahun 1999). Perbandingan dengan triwulan pertama tahun 1999 dimaksudkan untuk melihat kemajuan yang dicapai dengan mengeluarkan faktor musimannya. Dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya, perekonomian pada triwulan pertama tahun 2000 tumbuh sebesar 3,2 persen. Sedangkan apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, perekonomian tumbuh sebesar 2,0 persen. Dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya, hampir semua sektor dalam triwulan pertama tahun 2000 mengalami pertumbuhan yang positif kecuali sektor pertanian dan pertambangan. Sedangkan dibanding dengan triwulan sebelumnya, pertumbuhan triwulan pertama tahun 2000 didorong oleh kenaikan produksi di sektor pertanian, sektor bangunan, pengangkutan, dan jasa-jasa. Triwulan pertama tahun 2000 yang merupakan musim panen raya mampu mendorong sektor pertanian tumbuh sebesar 15,3 persen terutama dalam produksi tanaman bahan pangan dan peternakan. Sedangkan pertumbuhan sektor industri pengolahan menurun sebesar 1,1 persen terutama yang terjadi pada sub sektor industri makanan dan minuman yang pada triwulan sebelumnya produksinya meningkat sehubungan dengan persiapan hari raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru yang lalu. Sementara itu, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi dalam triwulan pertama tahun 2000 digerakkan oleh semua unsur permintaan yaitu konsumsi baik rumah tangga maupun pemerintah, IV - 31

investasi, dan ekspor neto. Semua unsur permintaan ini mengalami pertumbuhan positif baik dibanding dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya maupun triwulan keempat tahun 1999. Konsumsi meningkat antara lain didorong oleh pengeluaran yang tertunda (delayed consumption) sebagai hasil dari penerimaan bunga yang tinggi tahun sebelumnya serta faktor musiman berkaitan dengan perayaan Idul Fitri, relatif stabilnya perkembangan harga dan nilai tukar mata uang. Dibandingkan triwulan sebelumnya, peningkatan konsumsi pemerintah dalam triwulan pertama tahun 2000 yang sekaligus merupakan triwulan terakhir pelaksanaan tahun anggaran 1999/2000 mencatat pertumbuhan yang tertinggi.
TABEL 1 INDIKATOR PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO 1998 2000 (TRIWULAN I)
Indikator 1998 Trw. I Perkiraan Indikator Pokok Laju Inflasi 1) Indeks Harga Konsumen 3) Nilai Tukar Rp/US$ Nominal 5) Perubahan Kurs Rupiah Riil (%) Tahunan Terhadap Januari 1997 3) Suku Bunga Deposito 6 Bulan (%) SBI 3 Bulan (%) 6) IHSG Pertumbuhan ekonomi (%) PDB Nominal Perkapita (US$) 7) Transaksi Berjalan/PDB (%) 7) Surplus/Defisit APBN/PDB (%) 7) Stok Utang Pemerintah/PDB (%) Utang Luar Negeri Utang Dalam Negeri Neraca Pembayaran Transaksi Berjalan Pertumbuhan Ekspor Non migas (%) Pertumbuhan Impor Non migas (%) Arus Modal Pemerintah (miliar US$) Swasta (miliar US$) Sumbangan terhadap Pertumbuhan Pertumbuhan Riil (%) Konsumsi Masyarakat Pemerintah Investasi (termasuk perubahan stok) 1999 Trw. Trw. II III 1999 Trw. IV 2000 Trw. I

77,6 8.025 -2,9 71,6 36,8 38,0 398 -13,0 515 4,3 -2,2 71,2 54,6 16,6

4,1 8.788 4,2 78,8 29,4 37,8 394 -7,7 -

-1,3 7.697 -21,1 41,2 28.,9 23,3 662 3,7 -

-2,6 7.609 29,6 83,0 21,7 13,1 548 1,2 -

1,9 7.142 -16,9 52,1 16,6 12,6 677 5,0 -

2,0 7.809 -16,9 52,1 24,2 12,6 677 0,31 689 4,0 -5,4 97,6 52,9 44,7

1,9 4) 7.963 9,4 66,4 13,1 11,1 583 3 ,21 3,4 -3,2 99,5 51,6 9) 47,9 26,9 25,1 -1,3 -2,0 3,2 2,5 2,3 0,2 0,4
8)

2)

-3,6 -29,8 10,0 13,8 -13,0 -9,2 -8,5 -0,7 -2,6

-17,4 -16,7 3,5 -2,9 -7,7 -6,0 -5,6 -0,4 -1,1

-10,2 -5,5 1,2 -2,0 3,7 3,0 2,7 0,3 0,5

-2,3 -13,0 0,6 -2,7 1,2 0,9 0,8 0,1 0,2

15,0 2,5 0,1 -2,3 5,0 4,0 3,7 0,3 0,6

-4,6 -8,4 5,4 -9,9 0,3 0,2 0,2 0,0 0,0

IV - 32

Ekspor, Neto Ekspor Impor Pertumbuhan PDB (%) Pertanian Industri Pengolahan Non migas Lainnya Distribusi PDB (%) Pertanian Industri Pengolahan Non migas Lainnya 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
10) 10)

-1,2 -6,7 -5,4 -0,7 -11,4 -13,1 -16,7 17,6 24,1 20,8 58,4

-0,5 -2,6 -2,0 8,8 -7,1 -8,3 -12,6 22,3 24,7 22,1 53,0

0,2 1,3 1,1 9,8 9,0 9,0 -0,3 21,3 24,0 21,4 54,7

0,1 0,4 0,3 -6,2 1,1 0,9 3,6 18,4 26,1 22,9 55,5

0,5 1,8 1,3 -4,0 8,5 8,6 6,0 15,9 27,0 23,5 57,1

0,0 0,1 0,1 2,1 2,6 2,2 -1,2 19,5 25,4 22,5 55,1

0,3 1,1 0,8 -8,5 7,2 7,4 5,5 18,5 25,3 22,3 56,2

angka laju inflasi triwulanan dihitung dengan membandingkan angka indeks harga konsumen triwulan bersangkutan dengan triwulan sebelumnya. angka triwulan II rata-rata sederhana dari rata-rata tertimbang bulanan sampai dengan bulan Juni minggu ke 3 tanda positif menunjukkan depresiasi dan tanda negatif menunjukkan apresiasi angka akhir periode tahun 1999 merupakan tahun anggaran 1999/2000 (1 April 1999 31 Maret 2000). Untuk tahun 2000 juga berlaku 1 April 2000 31 Desember 2000. Angka-angka tersebut masih merupakan perkiraan. angka triwulan 1 tahun 2000 dihitung berdasarkan posisi utang LN pada tanggal 31 Maret 2000. angka triwulan 1 tahun 2000 dihitung berdasarkan posisi utang DN tanggal 7 April 2000. angka triwulanan dihitung dengan membandingkan angka-angka triwulan yang sama tahun sebelumnya

Dengan kegiatan investasi dan ekspor yang sangat rendah pada triwulan yang sama tahun sebelumnya, unsur permintaan yang tumbuh pesat dalam triwulan pertama tahun 2000 adalah investasi dan ekspor. Namun meskipun tumbuh tinggi peningkatan investasi tersebut terutama didorong oleh investasi dalam negeri yang tidak memiliki ketergantungan besar terhadap kredit perbankan dan utang luar negeri. Dalam kegiatan ekspor, selain didorong oleh kinerja yang mulai membaik pada sektor industri pengolahan dan pertanian, meningkatnya ekspor dalam triwulan pertama tahun 2000 juga didorong oleh tingginya harga minyak di pasar internasional. Membaiknya kinerja ekspor ini selanjutnya mendorong impor baik berupa bahan baku, barang setengah jadi, barang modal, dan barang konsumsi. Keseluruhan kinerja ekonomi dalam triwulan pertama tahun 2000 menunjukkan bahwa proses pemulihan ekonomi terus berlangsung meskipun masih diliputi oleh suasana ketidakpastian sebagai gambaran dari stabilitas politik dan keamanan yang belum sepenuhnya terwujud. Sementara itu, di bidang fiskal, kebijakan selama krisis adalah menggunakan pinjaman luar negeri untuk membiayai sebagian besar defisit anggaran agar tidak menambah tekanan IV - 33

inflasi. Pada saat pemerintahan Kabinet Persatuan Nasional terbentuk, aliran pembiayaan tersebut dalam keadaan terhenti. Oleh karena itu, termasuk sebagai langkah utama di bidang fiskal adalah memulihkan kembali hubungan dengan lembaga-lembaga internasional. Langkah ini telah memungkinkan peningkatan penyerapan dana luar negeri dari sekitar 38,7 persen nilai APBNnya sampai dengan triwulan III 1999/2000 menjadi 56,4 persen sampai dengan triwulan IV. Hal ini merupakan bagian dari upaya menggunakan kebijakan fiskal untuk meringankan beban krisis dan mendongkrak kegiatan perekonomian nasional Namun, pada saat yang bersamaan, disadari bahwa cara pembiayaan tersebut tidak dapat dilakukan secara terus menerus. Oleh karena itu, secara bertahap kebijakan fiskal beralih dari stimulus fiskal kepada pewujudan kemampuan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability). Langkah ini memerlukan peningkatan efektivitas pengelolaan keuangan negara. Di sisi penerimaan negara, peningkatan efektivitas tersebut diwujudkan dengan pembenahan administrasi perpajakan, insentif perpajakan, dan tarif perpajakan serta meningkatkan transparansi pemungutan pajak dan mengurangi dana-dana off-budget. Pembenahan administrasi perpajakan ditempuh dengan memperbaiki audit dan penetapan sasaran untuk wajib pajak yang besar melalui pengelompokan wajib pajak baik perusahaan maupun perorangan ke dalam 4 kategori. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengumpulan pajak. Pembenahan insentif perpajakan dilakukan dengan mengganti tax holiday yang berlaku sejak Januari 1999 dengan investment tax allowances. Di samping itu, juga dihapuskan berbagai kemudahan perpajakan pada kawasan pengembangan ekonomi terpadu (Kapet). Dengan langkah-langkah tersebut, basis pajak akan menjadi semakin luas. IV - 34

Pembenahan tarif perpajakan terutama ditujukan pada kepabeanan dan cukai. Tarif bea masuk barang-barang modal dirasionalisasikan, namun dengan mengurangi pengecualian kewajiban pajak dan peningkatan transparansi dalam pemberian pengecualian tersebut. Langkah ini diharapkan memberikan insentif bagi investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan potensi pajak, namun tanpa mengorbankan penerimaan negara secara tidak perlu. Potensi pajak juga ditingkatkan dengan memperluas basis pajak melalui pengenaan pajak sebesar 5 persen secara merata (flat) terhadap semua barang yang sebelumnya dikecualikan dari pajak. Untuk cukai, langkah yang ditempuh adalah dengan mengurangi distorsi pemberian cukai dengan cara menyederhanakan struktur cukai hasil tembakau. Langkah ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan pemenuhan kewajiban pajak produsen rokok. Pemenuhan kewajiban pajak secara umum didorong pula dengan transparansi kinerja kantor pajak melalui audit kantor-kantor tersebut oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Langkah ini juga dimaksudkan untuk menurunkan kebocoran-kebocoran dalam penerimaan pajak. Di samping upaya meningkatkan penerimaan negara, ditempuh pula upaya-upaya untuk mengamankan penerimaan tersebut. Untuk itu dilaksanakan konsolidasi rekening-rekening offbudget ke dalam APBN. Melalui Instruksi Presiden, departemen diharapkan melaporkan rekening-rekening off-budget kepada Menteri Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap rekening-rekening tersebut untuk kemudian dialihkan ke dalam APBN. Di samping itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan BPKP telah mulai memasukkan semua biaya ekstra budgeter dalam audit lembaga-lembaga publik, termasuk militer. Di sisi pengeluaran negara, peningkatan efektivitas pengelolaan pengeluaran negara dimulai dari perencanaan hingga tahap pemantauan pelaksanaannya. Dalam perencanaan, prioritas pengeluaran dipertajam pada hal-hal yang memang harus IV - 35

dilaksanakan oleh pemerintah serta bersifat penting dan mendesak, termasuk di dalamnya upaya untuk meringankan beban rakyat miskin melalui program jaring pengaman sosial (JPS). Untuk meningkatkan efektivitas program ini, peran serta masyarakat terus ditingkatkan baik melalui LSM-LSM maupun setiap anggota masyarakat secara langsung melalui unit-unit pengaduan masyarakat yang ada di daerah. Upaya meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara secara lebih luas dilakukan dengan pelaksanaan desentralisasi. Dengan mendekatkan pengambilan keputusan dengan rakyat setempat, maka diharapkan langkah-langkah kebijakan pemerintah akan lebih sesuai dengan aspirasi dan kondisi rakyat. Sebagai upaya memperlancar pelaksanaan desentralisasi, pemerintah telah menunjuk Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan membentuk dua sekretariat, yaitu Sekretariat Bidang Otonomi Daerah dan Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Konsultasi mengenai pelaksanaan desentralisasi ini dilakukan dengan berbagai kalangan mulai dari pemerintah daerah, lembaga-lembaga keuangan internasional maupun dialog dengan masyarakat secara luas. Untuk langkah-langkah yang lebih khusus termasuk penyiapan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian fungsi antara pemerintah pusat dan daerah, mengenai tanggungjawab yang tumpang tindih, restrukturisasi pemerintah pusat, restrukturisasi pemerintah daerah, pemindahan pegawai negeri sipil (PNS) dari pusat ke daerah serta manajemen keuangan dan perimbangan keuangan. Dalam upaya menekan peningkatan jumlah utang luar negeri, pemerintah telah mengkaji ulang dan meninjau kembali penggunaan pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri digunakan hanya untuk membiayai investasi yang sangat mendasar, mendesak, IV - 36

dan dapat memberikan manfaat secara langsung bagi rakyat, serta terutama bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, proyek-proyek pembangunan yang sudah disepakati pendanaannya melalui pinjaman luar negeri dan pada saat ini sedang dalam tahap pelaksanaan namun menemui hambatan-hambatan ataupun kinerjanya buruk maka proyek tersebut dibatalkan atau ditunda. Kemudian, pinjaman-pinjaman baru oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, disesuaikan dengan kemampuan anggaran untuk membayar kembali dan penggunaannya lebih diarahkan untuk kegiatan ekonomi yang produktif dan dilaksanakan secara transparan, efektif, dan efisien. Dalam sidang CGI pada tanggal 2-3 Pebruari 2000 di Jakarta yang dihadiri pula oleh Portugal (sebagai Ketua Masyarakat Ekonomi Eropa), Belanda dan LSM-LSM sebagai peninjau, para peserta sepakat bahwa sidang kali ini sangat penting artinya bagi rakyat Indonesia serta negara dan lembaga donor. Untuk tahun 2000 (April-Desember 2000), disetujui pledge sebesar US$ 4,7 miliar. Berdasarkan sumbernya, US$ 2,0 miliar berasal dari sumber bilateral dengan US$ 429,6 juta berupa hibah dan US$ 2,7 miliar berasal dari sumber multilateral dengan US$ 106,0 juta berupa hibah. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Jepang, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia tetap merupakan donor terbesar. Selanjutnya, berdasarkan hasil pengkajian yang telah dilakukan, pada tahun 2000, pemerintah melalui Keppres No. 64/2000 mengubah status 27 (dua puluh tujuh) proyek yang semula ditangguhkan atau dikaji ulang menjadi dapat dilanjutkan, di antaranya 7 (tujuh) proyek yang dibiayai fasilitas kredit ekspor. Sampai dengan akhir Maret 2000, posisi utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$ 144,3 miliar atau mengalami penurunan sebesar US$ 3,8 miliar dibandingkan posisi akhir tahun 1999. Posisi pinjaman pemerintah menurun sebesar US$ 0,7 miliar, sementara posisi pinjaman luar negeri dunia usaha mengalami sedikit penurunan sebesar US$ 2,9 miliar. Untuk menurunkan beban pembayaran pinjaman luar negeri IV - 37

sementara pada masa krisis antara lain diupayakan penjadwalan kembali (rescheduling) utang pemerintah, terutama melalui kesepakatan Paris Club. Melalui Paris Club II telah disepakati penjadwalan kembali pembayaran utang Indonesia hingga Maret 2002 senilai US$ 5,9 miliar dan jatuh temponya berjangka waktu 20 tahun. Di samping melalui Paris Club II, juga dilakukan penjadwalan kembali utang komersial pemerintah sejumlah US$ 300 juta untuk tahun anggaran 2000 melalui London Club. Sementara itu, untuk mengkoordinasikan, mengadministrasikan, dan mengelola utang-utang pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 101/KMK 017/2000 tertanggal 31 Maret 2000, dibentuk unit manajemen utang (Debt Management Unit). Unit ini bertugas untuk melakukan pengkajian, perumusan, dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah, serta menyediakan data informasi dan pelaporan yang berkaitan dengan penerbitan dan pengelolaan surat utang pemerintah. Pemerintah juga membentuk unit monitoring (Monitoring Unit) yang bertugas untuk memonitor secara terus menerus bank-bank yang telah direkapitalisasi. Unit ini mulai bertugas pada tanggal 1 Juli 2000. Kemudian dalam rangka rekapitalisasi perbankan nasional, pemerintah menerbitkan obligasi sebagai salah satu sumber pendanaannya. Perdagangan obligasi pemerintah ini telah dimulai sejak 1 Pebruari 2000 dan merupakan langkah awal menuju terciptanya pasar obligasi pemerintah. Sejauh ini minat masyarakat terhadap obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah masih kurang. Kurang diminatinya obligasi pemerintah antara lain karena suku bunga yang kurang menarik dibandingkan suku bunga yang ditawarkan oleh obligasi swasta, serta belum berkembangnya pasar sekunder sehingga obligasi pemerintah tidak likuid dan resiko investor menjadi lebih tinggi. Sementara itu, dalam kebijakan moneter, arah yang dituju adalah pencapaian kestabilan nilai rupiah yang diperlukan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional. Dengan nilai tukar IV - 38

rupiah yang mengambang, upaya tersebut lebih difokuskan kepada pencapaian sasaran tunggal laju inflasi. Secara operasional, kebijakan ini diterapkan secara konsisten melalui pengendalian uang primer. Pada akhir triwulan IV tahun 1999 terjadi pelampauan sasaran uang primer yang cukup besar yang bersifat sementara sebagai akibat uang kartal yang didorong oleh kekhawatiran menghadapi Masalah Komputer Tahun 2000 (Y2K) dan faktor musiman (hari raya keagamaan), dan pada awal triwulan I tahun 2000 antara lain akibat meningkatnya rekening pemerintah dari penerimaan hasil minyak dan pajak. Namun demikian pada bulanbulan berikutnya pertambahan jumlah uang primer dapat dikendalikan. Konsistensi pelaksanaan kebijakan moneter telah membawa besaran-besaran moneter ke arah sasaran yang ditentukan. Terkendalinya pertumbuhan besaran-besaran moneter memberikan landasan bagi tercapainya kestabilan nilai rupiah, yang secara berangsur-angsur telah pulih, setelah mengalami tekanan yang berat dalam tahun sebelumnya. Secara umum, laju inflasi menurun tajam, sementara nilai tukar rupiah semakin stabil dan cenderung menguat. Dengan pencapaian stabilitas nilai rupiah tersebut, upaya menurunkan suku bunga dapat terus dilanjutkan guna lebih mendorong pemulihan ekonomi. Di samping itu, kemajuan yang dicapai dalam memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan turut menciptakan iklim yang kondusif bagi tercapainya kestabilan nilai rupiah. Namun demikian, beberapa perkembangan yang terjadi khususnya pada triwulan kedua tahun 2000, telah menimbulkan tekanan-tekanan yang cukup kuat terhadap kestabilan nilai rupiah. Pada triwulan kedua tahun ini, tekanan tersebut menyebabkan upaya penurunan suku bunga menjadi sempat tertahan. Nilai tukar rupiah yang sebelumnya berangsur-angsur menguat, kembali melemah sehubungan dengan terjadinya perkembangan eksternal seperti kenaikan suku bunga Fed Fund oleh Federal Reserve Bank dan IV - 39

perkembangan kondisi sosial politik dalam negeri serta tertundanya bantuan IMF. Bersamaan dengan itu, laju inflasi mengalami peningkatan, terutama didorong oleh melemahnya nilai rupiah dan ekspektasi masyarakat atas kenaikan harga beberapa barang yang dikendalikan oleh pemerintah (administered prices). Untuk menghadapi tekanan tersebut, kebijakan moneter Bank Indonesia tetap difokuskan kepada upaya pencapaian kestabilan nilai rupiah yang diperlukan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional. Selain dengan tetap mengendalikan likuiditas di pasar uang, Bank Indonesia juga secara temporer dan berhati-hati melakukan intervensi di pasar valas. Pengendalian likuditas diterapkan melalui pengendalian uang primer sebagai sasaran operasional. Di samping pencapaian sasaran uang primer, pengendalian likuiditas juga memperhatikan pencapaian sasaran faktor-faktor yang mempengaruhi uang primer yaitu aktiva domestik bersih (net domestic assets/NDA) dan posisi cadangan devisa bersih (net international reserves/NIR) yang harus selalu berada di atas batas bawah (floor). Dalam kaitan itu, jumlah uang primer untuk bulan Mei dan Juni 2000 yang lebih tinggi daripada indikatif target, perlu diwaspadai. Pengendalian besaran moneter terutama ditempuh melalui lelang SBI dan intervensi langsung di pasar uang rupiah (intervensi rupiah) yang berfungsi efektif sebagai instrumen operasi pasar terbuka (OPT). Selain itu, sterilisasi di pasar valuta asing dilakukan untuk menyerap kembali pengeluaran pemerintah yang berasal dari pinjaman luar negeri. Di samping membantu OPT dalam mengendalikan ekspansi moneter, kebijakan sterilisasi juga membantu mengurangi fluktuasi nilai tukar rupiah. Untuk dapat memberikan efek kontraksi yang cukup besar, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga SBI secara bertahap dari 10,91 persen pada akhir Maret 2000 menjadi 12,33 persen pada akhir Juni 2000 dalam rangka Operasi Pasar Terbuka (OPT). Upaya kontraksi moneter melalui OPT telah meningkatkan IV - 40

posisi SBI sebesar Rp 79,6 triliun dan intervensi rupiah sebesar Rp 21,8 triliun pada akhir Juni 2000. Biaya pengendalian moneter berupa pembayaran bunga telah mencapai sekitar Rp 1 triliun per bulan. Meningkatnya biaya OPT akibat belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Pulihnya fungsi perbankan tersebut perlu segera diupayakan karena ekspansi uang primer akan segera bersumber dari pembayaran bunga obligasi dalam rangka rekapitalisasi perbankan. Dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia sebagai bank sentral, UU No. 23 tahun 1999 menetapkan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen dengan tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia berwenang untuk menetapkan sasaran dan pilihan instrumen kebijakan yang dapat digunakan. Selain itu, untuk mengurangi kebocoran moneter, Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada pemerintah dan tugas pemberian kredit program dialihkan kepada badan usaha milik negara (BUMN) yang ditunjuk oleh pemerintah. Berkaitan dengan pengalihan kredit program tersebut, sejak 16 November 1999 fungsi pemberian kredit program dialihkan kepada tiga BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), dan PT. Permodalan Nasional Madani (PNM). Dengan konsistensi kebijakan yang ditempuh selama tahun 1999-2000, khususnya dalam mengendalikan likuiditas perekonomian sedemikian rupa sehingga tidak melebihi kebutuhan riilnya, tekanan laju inflasi dari sisi permintaan mengalami penurunan. Selama enam bulan pertama tahun 2000, inflasi mencapai 2,86 persen. Kenaikan tingkat inflasi ini terutama terjadi pada bulan Januari 2000 (1,3 persen), yaitu ketika beberapa perayaan hari raya keagamaan terjadi pada saat yang hampir bersamaan, dan bulan Mei 2000 (0,8 persen) yang terutama disebabkan oleh tekanan harga dari kelompok perumahan dan transportasi. Di sisi neraca pembayaran, berbagai kebijakan perdagangan IV - 41

luar negeri yang diambil oleh pemerintah memberikan hasil-hasil yang cukup menggembirakan. Selama semester I tahun 2000, net ekspor barang dan jasa relatif beranjak naik bila dibandingkan semester sebelumnya. Peningkatan total ekspor tersebut terutama didorong ekspor migas sejalan dengan kenaikan harga minyak di pasar intemasional, yang rata-rata selama 6 bulan pertama tahun 2000 mencapai sekitar US$ 26/barel dan kenaikan ekspor produk industri pengolahan, khususnya elektronik. Sementara itu, nilai ekspor gas pada semester I tahun 2000 diperkirakan mengalami penurunan sebagai dampak meningkatnya persaingan di pasar LNG. Sejalan dengan perkembangan ekspor dan impor, transaksi berjalan dalam semester I tahun 2000 diperkirakan masih mencatat surplus, sementara di sisi neraca modal mengalami defisit. Namun secara keseluruhan neraca pembayaran mengalami surplus, sehingga dengan perkembangan tersebut, posisi cadangan devisa meningkat dan mencapai US$ 27,24 miliar pada 19 Juni 2000 yang jauh meningkat dibandingkan minggu keempat bulan Juni 1998 US$ 18,99 miliar atau US$ 26,89 miliar pada bulan Juni 1999.

2.

Mempercepat Perusahaan

Restrukturisasi

Perbankan

dan

Upaya mempercepat pemulihan ekonomi memerlukan penuntasan restrukturisasi perbankan dan perusahaan, yang ditempuh melalui 4 langkah utama. Pertama, mengembalikan kepercayaan masyarakat pada sektor perbankan nasional melalui program penjaminan kewajiban bank umum. Program penjaminan bersifat sementara dan diarahkan untuk digantikan dengan suatu lembaga penjaminan. Kedua, membentuk perbankan yang sehat yaitu bank-bank yang beroperasi memiliki modal yang cukup dengan pengelolaan IV - 42

yang sesuai dengan standar internasional dan memiliki daya saing global. Hal ini dilaksanakan melalui program restrukturisasi dan penyehatan perbankan. Ketiga, menggerakkan kembali sektor riil melalui perbaikan struktur pembiayaan perusahaan agar dapat dikembalikan ke sektor perbankan. Hal ini dilaksanakan melalui program restrukturisasi utang macet perusahaan dan pengembalian utang lancar ke pasar dan perbankan. Dengan demikian akan terjadi pergerakan kembali sektor riil yang didukung oleh pemenuhan fasilitas modal kerja dari perbankan. Keempat, mengembalikan sebagian utang negara yang dipergunakan untuk restrukturisasi perbankan. Hal ini dilaksanakan melalui program divestasi aset yang dimiliki oleh BPPN sebagai salah satu sumber pembiayaan APBN. Proses divestasi ini memerlukan upaya untuk menarik minat investor asing terhadap aset nasional mengingat kemampuan investor domestik yang masih terbatas. Program penjaminan kewajiban bank umum telah berhasil meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sempat menurun. Dana masyarakat di perbankan nasional, khususnya simpanan berjangka rupiah, yang sempat merosot dari Rp 137,5 triliun pada Oktober 1997 menjadi Rp 125,7 triliun pada Desember 1997, dapat kembali dan terus meningkat menjadi Rp 293,7 triliun pada bulan Oktober 1999. Seiring dengan tercapainya stabilitas ekonomi, meskipun dengan tingkat suku bunga yang cenderung menurun, jumlah simpanan berjangka rupiah di perbankan masih meningkat menjadi Rp 301,9 triliun pada bulan Mei 2000. Program restrukturisasi perbankan pada tahun anggaran 2000 ini mencakup rekapitalisasi empat bank pemerintah untuk mencapai CAR sebesar 4 persen, rekapitalisasi Bank Take Over (BTO) dan mulai memprivatisasi BTO. Langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah adalah: pertama, mengganti manajemen utama BNI pada bulan Pebruari 2000 sebagai persyaratan untuk IV - 43

melakukan rekapitalisasi BNI; kedua, melakukan rekapitalisasi BNI sesuai dengan kontrak kerja yang diharapkan berakhir Juni 2000; ketiga, merekapitalisasi Bank Mandiri yang telah diselesaikan pada bulan Maret 2000. Sementara itu rekapitalisasi BRI hingga Juni 2000 mengalami penundaan, karena belum terbentuknya manajemen BRI yang baru. Setiap rencana rekapitalisasi bank-bank tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR. Dalam kaitan itu, Bank Take Over lainnya yaitu Bank Niaga telah direkapitalisasi pada akhir Mei 2000 melalui penerbitan obligasi pemerintah sebesar Rp 9,5 triliun. Kemudian, rencana merger 8 BTO ke Bank Danamon diharapkan selesai pada akhir tahun 2000. Untuk keperluan tersebut Bank Danamon telah mendapatkan tambahan dana rekapitalisasi sebesar Rp 28,9 triliun pada bulan Juni 2000. Sementara itu, dalam rangka membenahi peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan perbankan, Bank Indonesia mulai menerapkan master plan untuk memperbaiki sistem pengawasan dan peraturan perbankan pada akhir tahun 2001, dengan dibantu staf ahli internasional. Sistem ini secara berkala akan memonitor seluruh rencana perbankan dan kondisi keuangan dari seluruh bank swasta, termasuk tujuh bank yang direkapitalisasi melalui dana publik. Master plan juga memfokuskan pada perbaikan kualitas dan ketepatan waktu pelaporan data dari tiap-tiap bank. Bank Indonesia juga sedang membenahi kerangka peraturan perbankan. Kerangka ini dikembangkan untuk mengawasi kondisi perbankan nasional apabila dalam kesulitan. Di samping perbaikan peraturan dan pengawasan perbankan, pemerintah juga memperbaiki peraturan pada lembaga keuangan bukan bank seperti: perusahaan dana pensiun dan asuransi, lembaga pembiayaan dan pasar modal. Kondisi tujuh bank rekapitalisasi yaitu Bank Internasional Indonesia, Bank Lippo, Bank Universal, Bank Patriot, Bank Artamedia, Bank Prima Ekspres dan Bukopin per April 2000, telah meningkat yang tercermin dari kenaikan Capital Adequacy Ratio menjadi 10,1 persen pada bulan April 2000. Selain itu Non IV - 44

Performing Loan (NPL) pada bulan Mei 2000 turun menjadi 27,5 persen, lebih rendah dibandingkan bulan Maret 2000. Dengan demikian, program rekapitalisasi perbankan yang dilaksanakan pemerintah diharapkan dapat membantu program pemulihan perekonomian Indonesia secara cepat. Untuk mempercepat dan meningkatkan koordinasi pelaksanaan restrukturisasi perbankan dan perusahaan telah dibentuk Komisi Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai oleh Menko Ekuin pada bulan Januari 2000. Tugas utama KKSK adalah merumuskan arah kebijakan bagi penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang baik di BPPN maupun di Prakarsa Jakarta. Prinsip utama dari langkah kebijakan restrukturisasi utang perusahaan adalah mencapai penerimaan dana yang seoptimal mungkin. Terdapat empat langkah kebijakan berkaitan dengan restrukturisasi utang perusahaan. Pertama, berupaya untuk menghindari pengambilalihan beban utang perusahaan oleh pemerintah, karena hal ini dikhawatirkan akan meningkatkan biaya pemulihan ekonomi dan mendorong perilaku tidak hati-hati (moral hazard) dari perusahaan. Kedua, melaksanakan restrukturisasi utang secara transparan dan tegas, dengan mekanisme pasar dan prinsip non-diskriminatif, misalnya dengan cara memilih perusahaanperusahaan yang memiliki prospek pada masa mendatang. Ketiga, menciptakan lingkungan kondusif bagi tercapainya kesepakatan yang menguntungkan bagi pihak kreditur dan debitur, misalnya dengan cara memperkuat kelembagaan Prakarsa Jakarta, BPPN dan Pengadilan Niaga, dan instrumen pendukungnya; dan memastikan proses kepailitan dengan memperbaiki proses peradilan niaga. Keempat, menggunakan jasa lembaga lainnya (outsourcing), misalnya dengan bantuan perbankan nasional untuk menangani pinjaman-pinjaman yang nilainya kecil, namun jumlahnya banyak. Berkaitan dengan langkah-langkah kebijakan yang telah disusun di atas, maka telah diluncurkan berbagai peraturan dan keputusan pemerintah yang berkaitan dengan restrukturisasi utang perusahaan, antara lain KKSK meluncurkan keputusan yang IV - 45

menjadi acuan strategis dalam pelaksanaan mediasi Prakarsa Jakarta dan restukturisasi utang BPPN misalnya pembuatan prosedur yang berkaitan dengan batas waktu pengembalian utang perusahaan dan pengurangan jumlah utang (pokok dan bunga) terhadap perusahaanperusahaan yang berada dalam pemantauan BPPN; restrukturisasi utang perusahaan BPPN di atas Rp 1 triliun; serta merekomendasikan dilakukannya tindakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang mangkir dalam membayar utang. Selain penuntasan rekapitalisasi perbankan, juga ditempuh langkah penyelesaian restrukturisasi utang perusahaan oleh BPPN dan penjualan aset untuk menutup biaya penyehatan perbankan. Hingga awal Juli 2000, jumlah keseluruhan pinjaman debitur yang ditangani oleh BPPN mencapai sekitar Rp 280,9 triliun dengan jumlah debitur sebanyak 136.052. Komposisinya terdiri dari kelompok peminjam di atas Rp 50 miliar mencapai 82,6 persen nilai pinjaman dengan jumlah debitur 1813; kelompok peminjam di antara Rp 5 miliar sampai dengan Rp 50 miliar mencapai 12,1 persen dengan jumlah debitur 2.089; kelompok peminjam di antara Rp 1 miliar sampai dengan Rp 5 miliar mencapai 1,9 persen dengan jumlah debitur 2.216; dan terakhir kelompok peminjam lebih kecil dari Rp 1 miliar mencapai 3,4 persen dengan jumlah debitur 129.934. Dalam menangani restrukturisasi hutang debitur, unit Asset Management Credit (AMC) di BPPN mengimplementasikan 8 (delapan) langkah restrukturisasi yaitu pertama, negosiasi awal; kedua, penandatanganan stand still agreement; ketiga, penunjukkan advisor/konsultan yang diperlukan; keempat, pelaksanaan due diligence/pengumpulan data dan informasi; kelima, pelaksanaan negosiasi restrukturisasi; keenam, penerimaan proposal restrukturisasi; ketujuh, proses implementasi, dan kedelapan, proses pembayaran. Sedangkan untuk menangani kewajiban dari pemegang saham bank-bank yang dibekukan/diambil alih, langkahlangkah yang dilaksanakan oleh Asset Management Investment (AMI) BPPN terhadap 13 BTO/BBO dan 39 BBKU adalah IV - 46

melakukan negosiasi dengan pemegang saham bank tersebut untuk menghasilkan kesepakatan dalam Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang intinya meminta pembayaran kembali atas hutang-hutang bank kepada negara. Dalam pelaksanaan restrukturisasi utang hingga Juni 2000 BPPN telah menyelesaikan 35 persen restrukturisasi utang 21 obligor terbesar dengan total utang sebesar Rp 87,4 triliun. Secara keseluruhan jumlah debitur yang telah masuk dalam tahap akhir restrukturisasi (tahap 6,7,8) hingga Juni 2000 adalah 91 debitur untuk 21 obligor atau 285 debitur untuk seluruh obligor. Terkait dengan hutang debitur komersial telah dilaksanakan proses outsourcing. Untuk penanganan pinjaman di bawah Rp 5 miliar, KKSK telah menyetujui penghapusan denda dan bunga sebesar 100 persen bagi para debitur yang mempunyai insentif untuk melakukan pembayaran. Dalam hal pemulihan aset BPPN pada tahun anggaran 2000, BPPN diharapkan menyetor dana sebesar Rp 18,9 triliun kepada APBN. Pada tahun anggaran 1999/2000 BPPN berhasil memperoleh dana sebesar Rp 18,0 triliun, terdiri dari dana kas sebesar Rp 13,8 triliun dan Rp 4,2 triliun berupa pengurangan stok obligasi rekapitalisasi, melampaui target APBN sebesar Rp 17,1 triliun. Untuk mencapai target tersebut, di samping melaksanakan penyelesaian utang terhadap debitur yang besar, BPPN juga telah mengusahakan penjualan aset yang dimilikinya melalui pelelangan terbuka di pasar modal seperti penjualan sekitar 40 persen saham Astra pada bulan April 2000, penjualan 22,5 persen saham BCA pada bulan Mei 2000, penjualan berbagai aset non inti seperti kendaraan bergerak, properti, dan sebagainya serta penjualan perusahaan yang telah direstrukturisasi. Untuk meningkatkan transaparansi dan akuntabilitas BPPN, pada bulan Juli 2000 telah ditetapkan badan pengawasan (oversight body) BPPN, yang anggotanya terdiri dari berbagai kalangan independen ditambah kepala BPPN sebagai anggota ex-officio. Selain itu, BPPN juga telah menerbitkan audit laporan IV - 47

rekening/pembukuan BPPN untuk tahun 1999 dengan hasil audit disclaimer. Dengan hasil tersebut maka berbagai langkah pembenahan harus dilakukan untuk memberikan hasil audit yang lebih baik di masa depan. Dalam kaitannya dengan restrukturisasi utang melalui mediasi Prakarsa Jakarta, sampai dengan bulan Juli 2000, KKSK telah mengalihkan delapan perusahaan dengan utang yang besar untuk dimediasi di dalam Prakarsa Jakarta. Delapan perusahaan tersebut telah melakukan negosiasi dengan kreditur dalam batas waktu dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Prakarsa Jakarta. Sampai dengan akhir Juli 2000, jumlah debitur skala korporasi yang ditangani adalah 45 perusahaan dengan nilai utang sekitar US$ 10,4 miliar. Sedangkan jumlah kasus korporasi yang telah selesai direstrukturisasi per periode yang sama adalah 21 debitur dengan nilai utang sekitar US$ 5 miliar. Di samping itu, jumlah kasus usaha kecil dan menengah yang ditangani Prakarsa Jakarta adalah 456 kasus dengan total nilai utang sekitar US$ 342 juta. Dan untuk kasus usaha kecil dan menengah tersebut, 87 kasus telah mencapai kesepakatan dengan nilai utang sekitar US$ 41,7 juta.

3.

Menanggulangi Kemiskinan dan Menciptakan Lapangan Kerja serta Meningkatkan Perlindungan Tenaga Kerja

Kebijakan penanggulangan kemiskinan pada dasarnya mengacu pada pendekatan kemanusiaan yang menekankan pemenuhan kebutuhan dasar, pendekatan kesejahteraan melalui peningkatan dan pengembangan usaha ekonomi produktif, serta penyediaan jaminan sosial dan perlindungan keluarga miskin. Di samping itu, untuk mengatasi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang merosot sebagai akibat dari krisis ekonomi telah IV - 48

dilaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang sifatnya jangka pendek dan operasional. Untuk mengatasi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang merosot sebagai akibat dari krisis ekonomi terutama masyarakat yang berpendapatan rendah maka pemerintah terus melanjutkan program jaring pengaman sosial (JPS) dengan berbagai penyempurnaan guna meningkatkan efektivitas dan mengurangi kebocoran dana JPS. Prioritas program jaring pengaman sosial adalah peningkatan ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerja produktif, pengembangan usaha kecil dan menengah, dan perlindungan sosial masyarakat dalam pelayanan dasar khususnya kesehatan dan pendidikan. Pada tahun anggaran 1999/2000 kebijakan penanggulangan kemiskinan dilakukan secara khusus melalui program perluasan jaring pengaman sosial dan penanggulangan kemiskinan (JPS-PK). Program JPS-PK tersebut terdiri dari berbagai komponen seperti: (1) Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT); (2) Program Pengembangan Kecamatan (PPK); (3) Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); (4) Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE); (5) Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS); (6) Dana Bantuan Operasional Pemeliharaan SD/MI; (7) Bantuan Beasiswa Sekolah; dan (8) Dana Bantuan Operasional Pemeliharaan Puskesmas. Kegiatan-kegiatan ini terus dilanjutkan pada tahun anggaran 2000 yang sedang berjalan. Kebijakan penanggulangan kemiskinan juga dilakukan melalui program pembangunan sektoral, antara lain program penyediaan prasarana dasar permukiman yang diarahkan untuk memperbaiki kawasan kumuh perkotaan dan permukiman nelayan, program peningkatan pendapatan petani/nelayan kecil (P4K), program penyediaan kredit usaha tani, dan program penyediaan bantuan modal bagi kelompok usaha bersama (Kube). Selain itu, penanggulangan kemiskinan juga dilakukan oleh pemerintah daerah bekerjasama dengan berbagai pihak swasta, lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dan perguruan tinggi seperti tabungan keluarga sejahtera dan kredit usaha keluarga sejahtera. IV - 49

Dengan pelaksanaan langkah-langkah tersebut, pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 37,5 juta (18,2 persen). Penduduk miskin di perkotaan turun menjadi 12,4 juta (15,1 persen) dan di perdesaan menjadi 25,1 juta (20,2 persen). Tingkat kemiskinan tahun 1999 sudah menurun dibandingkan tahun 1998, namun kondisinya masih lebih tinggi, dan tingkat kedalamannya serta keparahannya masih lebih buruk dibandingkan tahun 1996 (sebelum krisis). Penurunan angka kemiskinan lebih dikarenakan penurunan harga, yang selanjutnya menurunkan garis kemiskinan. Sementara peningkatan per kapita pengeluaran golongan bawah lebih diakibatkan adanya transfer, termasuk program jaring pengaman sosial (JPS) dan berbagai upaya seperti menjual/ menggadaikan barang, meminjam, menambah jam kerja dan menambah pekerjaan. Di lain pihak, peningkatan rata-rata pengeluaran kelompok 20 persen teratas, yang pada tahun 1999 memang lebih cepat dari golongan bawah, lebih dikarenakan adanya penurunan harga-harga dan menurunnya minat masyarakat menyimpan uangnya di lembaga perbankan akibat rendahnya suku bunga tabungan. Namun dengan terus dilanjutkannya langkah di atas dan membaiknya perekonomian, diperkirakan jumlah penduduk miskin secara keseluruhan akan menurun dibandingkan tahun 1999. Dalam rangka mengatasi masalah penganggur, baik penganggur akibat PHK karena krisis maupun penganggur yang belum terserap di pasar kerja, ditempuh langkah-langkah kebijakan yang dapat memperluas kesempatan kerja. Untuk menolong para masyarakat yang paling terkena dampak krisis, termasuk penganggur karena PHK telah dilakukan berbagai program jaring pengaman sosial (JPS). Program JPS yang terkait langsung dengan penciptaan lapangan kerja salah satunya adalah program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) yang pada tahun 1999/2000 telah menyediakan lapangan kerja setara dengan 13 juta hari orang kerja. Program lain seperti program pengembangan ekonomi masyarakat di daerah (PEMD) diharapkan dapat menggerakkan perekonomian rakyat di daerah. IV - 50

Program ini diharapkan dapat mencakup 165 kabupaten pada tahun 2000 ini. Program JPS lain, walaupun tidak langsung menyediakan lapangan kerja, tetapi mendukung peningkatan sumberdaya manusia seperti program JPS kesehatan dan pendidikan, yang pada gilirannya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Selain upaya jangka pendek, dilakukan pula upaya strategis dalam mengembangkan kesempatan kerja. Krisis ekonomi mengakibatkan dilakukannya penyesuaian di segala bidang termasuk bidang-bidang usaha mana yang terlihat menjanjikan. Untuk itu pemecahan masalah ketenagakerjaan tidak terlepas dari kondisi ekonomi makro yang mendorong terbukanya kesempatan kerja, seperti pertumbuhan ekonomi yang memadai, inflasi yang rendah, serta berbagai kebijakan yang memberikan insentif bagi mobilitas tenaga kerja. Selama hampir satu tahun pelaksanaan kabinet Persatuan Nasional, telah terjadi perkembangan yang cukup berarti. Perekonomian nasional secara bertahap telah memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang positif, memberi dampak terhadap daya serap tenaga kerja di berbagai sektor dan kegiatan usaha. Sektor industri yang waktu lalu banyak memberhentikan pekerja, telah menunjukkan aktivitas usaha yang mulai nampak pulih. Dalam rangka mengurangi penganggur yang belum dapat terserap di pasar kerja, pemerintah melaksanakan berbagai program pengembangan kesempatan. Langkah nyata yang telah dilakukan dalam rangka perluasan kesempatan kerja, antara lain melalui upaya pemberdayaan usaha kecil dan menengah, pemberdayaan bagi para penganggur dan setengah penganggur melalui sistem padat karya, pembinaan terhadap usaha-usaha mandiri, khususnya dalam rangka memberikan kesempatan kerja dan menyerap tenaga kerja, terutama yang mengalami PHK. Selain itu, pada saat ini sedang dikaji program padat karya khusus wanita baik di perdesaan maupun di perkotaan. Bila dilihat dari komposisi penganggur terbuka maupun IV - 51

setengah pengangguran yang mayoritasnya adalah lulusan SLTA ke bawah dan berumur antara 15 sampai 29 tahun, maka dibutuhkan pelatihan keterampilan yang sesuai dan memadai agar mereka yang masih mencari pekerjaan dapat memperoleh pekerjaan dan bagi mereka yang termasuk setengah penganggur dapat meningkatkan produktivitasnya. Pelatihan keterampilan dilaksanakan dengan melibatkan peran serta pengguna tenaga kerja dan perusahaan, mulai dari saat perencanaan, penyusunan program sampai pada pelaksanaan pelatihan. Dalam rangka meningkatkan kualitas hasil pelatihan, peran serta asosiasi profesi dan keahlian serta asosiasi perusahaan terus ditingkatkan. Dengan demikian, pelatihan diharapkan dapat berorientasi pada kebutuhan pasar. Pada saat ini sedang diupayakan pembentukan suatu badan khusus yang akan bertugas mengkoordinasi standarisasi, kompetensi, dan sertifikasi pelatihan profesi. Untuk mengantisipasi kebutuhan akan tenaga kerja terampil, produktif, dan profesional, dilakukan pemantapan pelaksanaan program dan penataan kembali penyelenggaraan pelatihan khususnya di Balai Latihan Kerja/Kursus Latihan Kerja (BLK/KLK) yang berjumlah 153 buah di seluruh Indonesia. Penataan kembali pelatihan dilaksanakan antara lain dengan mengembangkan dan mengklasifikasi kembali jenis BLK/KLK yang ada, misalnya disesuaikan dengan jenis industri yang berada disekitarnya atau jenis BLK/KLK khusus berdasarkan potensi ekonomi tertentu seperti pariwisata atau agrobisnis. Selain itu, dilakukan pula pelatihan keliling dengan menggunakan Mobile Training Unit (MTU) bagi usaha kecil dan menengah. Dikembangkan pula BLK/KLK yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas instruktur dan pengembangan program pelatihan. Pada tahun anggaran 1999/2000 melalui BLK/KLK dan Balai Peningkatan Produktivitas Daerah (BPPD) telah dilakukan pelatihan bagi sekitar 56 ribu orang. Selain itu, dilakukan pula program pemagangan baik di dalam maupun di luar negeri, melalui bimbingan tenaga kerja yang sudah ahli berdasarkan standar kualifikasi keterampilan. Kerjasama IV - 52

dengan negara lain, yang dituangkan dalam bentuk kerjasama di bidang peningkatan produktivitas dan pemagangan tenaga kerja serta pertukaran tenaga ahli merupakan peluang bagi pengembangan sumberdaya tenaga kerja Indoensia. Secara operasional, program ini dilaksanakan melalui kerjasama antar lembaga tempat kerja atau perusahaan, lembaga penyelenggara pelatihan, dan lembaga uji keterampilan. Aktivitas pemagangan pekerja keluar negeri dilakukan bekerjasama dengan perusahaan di Jepang dan Korea Selatan. Masih dalam upaya perluasan kesempatan kerja dilakukan pembinaan bagi angkatan kerja yang berpendidikan tinggi, seperti sarjana, diploma, dan yang setingkat, melalui bimbingan usaha mandiri dan pembekalan kewirausahaan. Calon pekerja ini selanjutnya ditempatkan pada unit-unit ekonomi produktif, lembaga mandiri yang dapat diterima masyarakat, seperti lembaga keuangan non-bank yang dikelola untuk mendukung usaha-usaha kecil yang baru tumbuh. Selain itu, untuk membina masyarakat di daerah transmigrasi, telah ditempatkan tenaga motivator di beberapa daerah transmigrasi. Sedangkan bagi masyarakat yang berpendidikan rendah dan belum mengenal pemakaian teknologi tepat guna atau teknologi sederhana, diperkenalkan pemakaian teknologi padat karya yang bermanfaat untuk memberikan peluang usaha bagi pekerja khususnya di perdesaan. Berkaitan dengan program penempatan tenaga kerja, telah dilakukan penempatan tenaga kerja ke bidang usaha yang membutuhkan pekerja. Melalui mekanisme antarkerja antardaerah (AKAD), selama tahun 1999/2000 jumlah pekerja yang telah ditempatkan sekitar 12 ribu orang, tersebar pada sektor perkebunan, kehutanan, dan industri pertanian. Selain itu, dilakukan pula penempatan ke perusahaan yang membutuhkan, sebanyak 359 orang. Mengingat terbukanya peluang kesempatan kerja di luar negeri, saat ini sedang dilaksanakan penyempurnaan prosedur pengiriman, pelatihan, pemantauan dan perlindungan tenaga kerja IV - 53

Indonesia yang ingin bekerja di luar negeri. Prosedur pengiriman disederhanakan yang didukung dengan sistem penempatan TKI serta penyempurnaan kelembagaan pengiriman TKI. Selain kemudahan pengiriman TKI, dilakukan pula upaya pelatihan agar keterampilan TKI yang dikirim semakin meningkat. Berkaitan dengan masalah perlindungan TKI di luar negeri, telah ditandangani kesepakatan bersama antara pemerintah RI dengan perwakilan dari delapan negara penerima TKI. Dengan demikian, diharapkan TKI yang bekerja di luar negeri mendapatkan perlindungan yang memadai. Pada tahun 1999/2000 telah dikirim tenaga kerja Indonesia ke luar negeri sebanyak 427.619 orang dengan perolehan devisa lebih dari US $ 1,2 miliar. Proses demokratisasi yang sedang berjalan membuka peluang bagi para pekerja untuk menyampaikan ketidakpuasan terhadap lingkungan kerjanya. Dengan demikian, kebijakan yang berkaitan dengan upaya peningkatan perlindungan dan perwujudan hak-hak tenaga kerja menjadi semakin penting. Sebagai tindak lanjut dari diratifikasinya konvensi ILO oleh pemerintah, dilakukan upaya penyempurnaan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan. Pada saat ini Rancangan UndangUndang tentang Serikat Pekerja telah disetujui oleh DPR dan selanjutnya akan ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam waktu dekat pemerintah akan mengajukan Rancangan Undang-Undang mengenai Penyelesaian Perselisihan Industrial. Seiring dengan meningkatnya kebebasan berserikat dan membaiknya perlindungan atas hak berorganisasi bagi para pekerja, jumlah serikat pekerja terus bertambah. Dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan, pemerintah melalui lembaga kerja sama tripartit berupaya untuk menjembatani kepentingan pemerintah, tenaga kerja, dan pengusaha melalui dialog, konsultasi, serta musyawarah. Selain itu, dalam upaya untuk mencegah terjadinya unjuk rasa dan pemogokan yang berkepanjangan serta upaya untuk menciptakan ketenangan IV - 54

berusaha, telah dilakukan kesepakatan Tripartit Nasional yang ditandatangani pada tanggal 30 Maret 2000, dalam bentuk pernyataan bersama forum komunikasi tripartit Indonesia. Pernyataan bersama tersebut berisikan kesepakatan mengenai terwujudnya hubungan industrial yang harmonis, terciptanya kepastian hukum serta terlaksananya penegakan hukum, terciptanya rasa aman di masyarakat, serta dukungan terhadap kebijakan pemerintah yang konsisten sesuai dengan semangat reformasi dan era globalisasi. Dengan makin berfungsinya lembaga ketenagakerjaan diharapkan dapat meredam aksi unjuk rasa atau pemogokan oleh tenaga kerja yang merasa tidak tersalurkan hakhaknya. Dalam tahun 1999/2000, kasus pemogokan menurun dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 149 kasus, melibatkan 52 ribu tenaga kerja, serta mengakibatkan 979 ribu jam kerja hilang. Dalam rangka memelihara taraf hidup pekerja, dikembangkan sistem pengupahan yang terpadu dan secara bertahap mengacu pada tingkat kebutuhan hidup minimum. Untuk itu dilakukan penyesuaian upah minimum regional (UMR) secara berkala. Dengan menggunakan UMR tahun 2000, daerah tingkat II Batam di propinsi Riau merupakan daerah dengan UMR tertinggi yaitu sebesar Rp 350.000,00 per bulan. Sedangkan UMR terendah terdapat di propinsi Jambi dan Bengkulu sebesar Rp 173.000,00 per bulan. Pada prinsipnya penetapan besarnya UMR dilakukan dengan memperhatikan kepentingan semua pihak, melalui perundingan antara pemerintah, asosiasi perusahaan dengan serikat pekerja. Sampai saat ini, penetapan UMR mencakup 26 Propinsi. Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para pekerja, program jaminan sosial tenaga kerja terus disempurnakan serta mendorong pekerja untuk berpartisipasi dalam program tersebut. Sampai bulan April tahun 2000, jumlah tenaga kerja yang mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja berjumlah 16,4 juta orang, dengan jumlah perusahaan sebanyak 87,7 ribu perusahaan.

IV - 55

4.

Memulihkan Kegiatan Usaha: Produksi, Perdagangan, dan Investasi

Dalam upaya mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkokoh ketahanan ekonomi, serta mengingat potensinya yang besar dan menjangkau masyarakat luas, maka pemerintah bertekad untuk menciptakan usaha kecil dan menengah yang tangguh dan berdaya saing tinggi. Untuk itu telah dilakukan peningkatan upaya pengembangan UKMK yang telah ada, di samping mengembangkan upaya-upaya baru dalam rangka menghadapi tingkat persaingan yang terus meningkat. Tiga strategi pokok yang ditempuh untuk memberdayakan dan mengembangkan UKMK adalah membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya dan memberikan kepastian berusaha agar UKMK dapat semakin berkembang; memperluas akses UKMK kepada sumberdaya produktif agar mereka mampu memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang tersedia dan kesempatan berusaha yang semakin terbuka; dan meningkatkan kemampuan pengusaha kecil dan menengah agar dapat mengembangkan keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan kompetitif sehingga mampu memberi sumbangan terhadap peningkatan dayasaing usaha nasional. Pemberian kesempatan berusaha seluas-luasnya dilakukan dengan memberikan iklim usaha yang kondusif antara lain melalui stabilisasi suku bunga pinjaman yang wajar dan dapat dijangkau oleh UKMK, penyempurnaan peraturan perundang-undangan, penyederhanaan perizinan, peraturan daerah dan retribusi untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan produktif UKMK. Perluasan akses dilakukan kepada sumberdaya produktif antara lain ditempuh dengan penguatan dan pengembangan lembaga pendukung usaha, baik lembaga pembiayaan, lembaga layanan usaha, dan lembaga pengembangan sumberdaya bagi pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Seiring dengan pilihan strategi tersebut dan mengingat adanya perubahan-perubahan kondisi usaha IV - 56

nasional dilakukan penyempurnaan basis data usaha kecil, menengah dan koperasi untuk keperluan peningkatan kemampuan dan daya saing dalam jangka menengah dan jangka panjang. Berdasarkan basis data tersebut diharapkan dapat dirumuskan dan diterapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi setempat, misalnya melalui bantuan modal, sumberdaya manusia, manajemen, pengembangan teknologi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi, serta penciptaan iklim yang kondusif. Sebagai penjabaran dari tiga strategi pokok tersebut, upaya pertama yang dilakukan untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi dengan munculnya pengusaha mikro dan pengusaha kecil baru adalah pengembangan usaha kelompok dalam wadah lembaga ekonomi produktif yang mandiri dan mengakar di masyarakat (LEPMM). Pada tahun 1999 telah diberikan dukungan kepada 1.000 unit LEPMM yang tersebar di 100 daerah tingkat II. Dalam tahun 2000 akan didukung bantuan modal bagi 300 LEPMM di 30 daerah tingkat II lainnya. Untuk menyediakan modal usaha bagi UKMK telah dilaksanakan upaya penyempurnaan skim kredit maupun institusi pelaksananya dari 17 skim kredit yang berjalan dalam tahun-tahun sebelumnya. Pengembangan UKM juga didukung melalui penyediaan modal ventura terutama untuk tahap awal pengembangan usaha yang memilki prospek usaha yang baik. Melalui perusahaan modal ventura ini selain mendapatkan bantuan modal, usaha kecil dan menengah juga mendapatkan bimbingan usaha dan manajemen. Pada tahun 1998 terdapat 59 perusahaan modal ventura baik yang berasal dari swasta nasional maupun patungan, dengan rekan usaha sebanyak 508 unit usaha. Pada bulan Juni 2000 tercatat 60 perusahaan modal ventura dengan jumlah rekan usaha sebanyak 448 unit. Untuk memperluas kesempatan berusaha dan sebagai pelaksanaan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha yang tidak sehat, telah dibentuk komisi pengawas kegiatan usaha. Dengan adanya komisi tersebut IV - 57

maka diharapkan undang-undang tersebut menjadi lebih efektif untuk mengurangi dominasi usaha besar dan meningkatkan persaingan yang sehat di pasaran sehingga UKM akan mendapatkan kesempatan usaha yang lebih besar. Dalam kerangka ini terus didorong pula kemitraan antara UKMK dengan usaha besar. Sampai dengan bulan Juni 2000 terdapat 158 BUMN dengan mitra binaan sebanyak 57,9 ribu koperasi dan 130 ribu pengusaha kecil dan menengah. Demikian pula, untuk memperluas akses UKMK kepada sumberdaya produktif telah dibentuk klinik konsultasi bisnis di daerah-daerah. Sampai saat ini telah berkembang sekitar 608 klinik konsultasi bisnis yang sebagian besar diusahakan oleh swasta. Selain itu, upaya untuk terus memberikan bantuan dan pelayanan terpadu melalui inkubator bisnis juga masih terus dikembangkan. Sampai dengan Juni 2000 telah berkembang 26 inkubator teknologi dan bisnis yang tersebar di seluruh wilayah daerah tingkat I. Peningkatan kualitas sumberdaya pengusaha kecil, menengah dan koperasi ditempuh melalui pelatihan di bidang kelembagaan, teknis produksi, teknis usaha dan pemasaran. Peningkatan teknis produksi dilakukan baik untuk industriwan kecil, pengusaha agribisnis, nelayan dan petani ikan, serta penambang skala kecil. Peningkatan teknis produksi antara lain diberikan dalam bentuk pelatihan, bimbingan teknis, magang dan penyuluhan. Pengetahuan teknis produksi yang diberikan antara lain berupa peningkatan teknologi produksi untuk meningkatkan mutu produk usaha kecil dan menengah antara lain agar sesuai kebutuhan pasar termasuk pengenalan ISO 9000/14000 maupun pengenalan teknis produksi yang berwawasan lingkungan. Peningkatan teknis produksi ini didukung pula dengan penyediaan informasi teknologi terutama teknologi tepat guna dan teknologi yang sesuai dengan kondisi lokasi produksi dalam rangka pengembangan komoditas unggulan daerah. Peningkatan kemampuan usaha dan pemasaran dilakukan melalui pelatihan kewirausahaan dan kewirakoperasian, penyuluhan dan pendampingan. Upaya ini didukung pula dengan IV - 58

penyediaan informasi pasar, bantuan promosi dan pemasaran hasil, pengawasan dan pembinaan mutu barang. Sebagai tindak lanjut kebijakan pengembangan dan pemberdayaan usaha kecil dan menengah, sedang dilakukan penyusunan dan identifikasi basis data koperasi/KUD. Dengan tersusunnya basis data ini maka keragaan koperasi baik kualitas kelembagaan dan perkembangan usaha koperasi dan anggotanya dapat diketahui. Berdasarkan keragaan tersebut, faktor-faktor penting untuk peningkatan produktivitas dan kualitas usaha koperasi dan anggotanya yang sebagian besar dari mereka adalah pengusaha kecil dan menengah dapat diketahui. Informasi ini kemudian dapat dijadikan masukan dalam rangka meningkatkan kualitas kewirausahaan dan kewirakoperasian mereka. Secara kumulatif perkembangan jumlah koperasi sampai dengan Juni 2000 sudah mencapai 90,3 ribu koperasi dengan jumlah anggota sebanyak 22,6 juta orang. Untuk lebih meningkatkan efektivitas upaya-upaya pemerintah dalam pemberdayaan dan pengembangan UKMK, telah ditingkatkan koordinasi pelaksanaan pembinaan UKMK melalui pembentukan kelompok kerja di bidang iklim usaha, pelayanan pengembangan usaha dan pembiayaan UKM. Kelompok-kelompok kerja ini yang beranggotakan lembaga pemerintah dan nonpemerintah yang membina UKMK di berbagai bidang usaha. Sementara itu, sejalan dengan desentralisasi dan otonomisasi maka telah dilaksanakan upaya untuk membentuk Forum Daerah yang merupakan forum koordinasi antara pemerintah dan swasta untuk pemberdayaan dan pengembangan UKMK di daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Sejalan dengan itu, perubahan status Departemen Koperasi dan PUKM menjadi kantor menteri negara diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih besar pada gerakan koperasi dan asosiasi UKM dalam pembinaan dan pengembangan UKMK. Peningkatan efektivitas juga dilakukan pemerintah melalui upaya pembenahan BUMN. Pemerintah mulai merintis budaya good IV - 59

corporate governance agar BUMN mampu bersaing dengan usaha sejenis. Untuk itu, pemerintah akan berkonsentrasi sebagai pembuat kebijakan (regulator) agar semua pelaku ekonomi mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama. Setiap pelaku ekonomi didorong memasuki alam persaingan yang sehat untuk meningkatkan efisiensi. Langkah ini sekaligus merupakan persiapan untuk memasuki pasar bebas ASEAN (AFTA), APEC, dan ekonomi global. Reformasi dan restrukturisasi BUMN secara lebih spesifik ditujukan untuk memperbaiki alokasi sumberdaya sektor publik, meningkatkan keuntungan BUMN, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam seluruh kegiatan ekonomi. Salah satu kegiatan reformasi dan restrukturisasi BUMN tersebut adalah mewujudkan transparansi di bidang keuangan. Transparansi tersebut tercermin dari telah diauditnya 18 BUMN oleh akuntan publik dan akan diauditnya 14 BUMN lagi. Selanjutnya, guna membantu target APBN, sedang diupayakan divestasi 8 BUMN dengan target Rp 6,5 triliun yang sebagian hasilnya akan dimanfaatkan untuk menambah modal atau perluasan kegiatan BUMN yang bersangkutan. Dengan masih terbatasnya investasi dan kegiatan ekonomi dalam negeri maka upaya untuk meningkatkan penerimaan devisa baik melalui ekspor barang dan jasa juga investasi langsung luar negeri terus ditingkatkan dan mendapatkan prioritas. Langkah utama adalah melanjutkan dan meningkatkan upaya untuk mengurangi hambatan berusaha di berbagai bidang. Dalam upaya mengurangi hambatan berusaha, terdapat 3 langkah yang dapat ditempuh yaitu penurunan hambatan ekspor dan impor, pengurangan hambatan perdagangan dalam negeri dan penyederhanaan prosedur investasi. Pengurangan hambatan tarif dan non-tarif terus dilanjutkan. Selanjutnya adalah menyederhanakan administrasi prosedur ekspor, termasuk keluar masuk barang di pelabuhan, rasionalisasi biaya, pemberian insentif/kemudahan, pemasaran langsung ke negara konsumen akhir, penyempurnaan penetapan harga patokan dalam IV - 60

pengenaan pajak ekspor. Demikian pula dilaksanakan berbagai upaya untuk menjamin kelancaran impor bahan baku dan modal untuk tujuan ekspor. Pungutan tidak resmi di pelabuhan yang dapat meningkatkan biaya ekspor dan impor sehingga menurunkan daya saing komoditas ekspor nasional diupayakan dihilangkan. Guna mendukung upaya meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia maka fokus program dan kegiatan tahun 2000 dititik beratkan pada upaya pemulihan citra pariwisata Indonesia sebagai daerah wisata yang aman dan nyaman untuk dikunjungi. Langkahlangkah kebijakan yang telah dilakukan dalam upaya memulihkan kepercayaan masyarakat luar negeri kepada kepariwisataan Indonesia antara lain adalah meningkatkan kegiatan promosi dan pemasaran terutama ke luar negeri; meningkatkan pengembangan dan pembinaan objek dan daya tarik wisata; mengembangkan sumberdaya manusia melalui peningkatan kemandirian sekolah tinggi atau akademi pariwisata negeri; serta meningkatkan partisipasi dan kemitraan masyarakat dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. Bersamaan dengan itu dilakukan langkah-langkah untuk mengurangi hambatan-hambatan perdagangan dalam negeri, dalam pembelian, penjualan, dan lalu-lintas perdagangan semua komoditas, untuk melancarkan perdagangan lintas batas propinsi dan kabupaten/ kota. Upaya daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah perlu didukung, namun tidak dengan menetapkan berbagai pungutan yang dapat menghambat perdagangan bebas antardaerah tersebut. Perdagangan bebas antardaerah akan meningkatkan kegiatan ekonomi daerah yang secara langsung dan tidak langsung pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan asli daerah. Sedangkan di bidang investasi dilanjutkan perubahan yang menyeluruh dalam sistem perijinan investasi dan usaha melalui perubahan yang menyeluruh dalam sistem perijinan investasi dan usaha untuk menghilangkan hambatan-hambatan dengan penyempurnaan sistem insentif, penyederhanaan proses perijinan, serta peningkatan kepekaan terhadap berbagai keluhan dari IV - 61

masyarakat yang timbul. Selanjutnya dibentuk suatu sistem pemantauan yang mampu mengidentifikasi timbulnya praktikpraktik yang menghambat investasi. BKPM terus mengembangkan peranannya menjadi suatu badan yang bertanggung jawab, bersama dengan sektor swasta, untuk mendorong investasi, baik dalam negeri maupun luar negeri. Desentralisasi kewenangan BKPM dari pusat ke daerah dipercepat sesuai dengan terbitnya PP No. 25 tahun 2000 dan disesuaikan dengan kesiapan daerah yang bersangkutan. Selain itu, beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri juga telah diberikan kewenangan untuk memproses perijinan investasi. Dengan langkah-langkah tersebut dan didukung oleh membaiknya situasi keamanan nasional dan situasi perekonomian dunia, berdasarkan data Bank Indonesia, ekspor non migas dalam triwulan I tahun 2000 menunjukkan peningkatan yang tajam yaitu tumbuh sekitar 26,9 persen dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan impor non migas telah mulai membaik dengan pertumbuhan sekitar 25,1 persen dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh data BPS pada periode Januari-April 2000, nilai ekspor meningkat 36,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun 1999. Bila dikaji lebih lanjut, peningkatan ekspor pada periode ini diperoleh dari kenaikan ekspor non migas sebesar 28,4 persen dan kenaikan ekspor migas sebesar 72,3 persen. Peningkatan ekspor tersebut juga didorong kenaikan ekspor migas sejalan dengan kenaikan harga minyak di pasar internasional. Sedangkan kinerja ekspor barang non migas terlihat mulai membaik terutama pada sektor industri manufaktur dan pertanian. Peningkatan industri manufaktur ini didorong oleh peningkatan pada beberapa komoditas andalan seperti tekstil, produk kayu, dan elektronik sebagai dampak positif dari kembali meningkatnya permintaan dunia. Pada sisi ekspor jasa, pada triwulan I tahun 2000 secara umum masih belum mengalami perubahan. Tingkat kunjungan turis mancanegara bila dibandingkan triwulan sebelumnya hanya sedikit mengalami peningkatan, di mana terlihat IV - 62

pada posisi Januari-April 2000 jumlah kunjungan wisman mencapai 1,3 juta. Meskipun demikian, dengan semakin mantapnya situasi sosial politik dan keamanan, maka diperkirakan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia akan terus meningkat. Di sisi impor, meski relatif lambat, total impor barang dan jasa juga mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terutama bersumber dari impor barang non migas yakni impor barang setengah jadi dan barang modal. Sedangkan nilai impor barang konsumsi kembali meningkat bila dibandingkan triwulan sebelumnya terutama melalui impor produk makanan dan minuman. Salah satu faktor yang mendorong meningkatnya impor produk makanan ini adalah dampak dari kebijakan dibukanya perijinan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sementara itu, sebagai hasil langkah-langkah di sektor pariwisata adalah telah tersedia website pariwisata serta bahan promosi dalam upaya meningkatkan promosi dan pelayanan informasi kepariwisataan. Selain itu, telah diikuti bursa-bursa pariwisata internasional dan pengiriman misi kesenian antara lain ke Perancis, Amerika Serikat, Korea Utara, dan Cina. Kemudian, telah terjalin kerjasama kepariwisataan baik secara bilateral, regional, maupun multilateral, antara lain IMT-GT; PATA; ASEANTA; WTO; ICCA, APEC dan dilaksanakan proyek-proyek percontohan homestay di kawasan wisata Taman Nasional Kerinci Seblat; desa wisata di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Jawa Timur. Selanjutnya, kebijakan pembangunan industri secara umum diarahkan pada pengembangan industri yang mempunyai keunggulan komparatif menuju berkeunggulan kompetitif seiring dengan penguatan industri kecil dan rnenengah dalam rangka mewujudkan struktur industri nasional yang berdaya saing. Kebijakan industri secara umum dikembangkan melalui upaya penguatan industri di daerah yang bertumpu pada sumberdaya masing-masing daerah, pemberdayaan masyarakat, dan persaingan usaha yang sehat. Kebijakan ini memerlukan dukungan kegiatan perdagangan melalui pengembangan sistem distribusi yang dapat IV - 63

menjamin peningkatan penggunaan atau pemanfaatan kapasitas produksi industri tersebut. Kebijakan pembangunan industri juga dilakukan melalui upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pemanfaatan peluang pasar dalam dan luar negeri berdasarkan potensi obyektif melalui penguatan industri hasil pertanian (agrobased industry) didukung penerapan pengetahuan teknis (knowledge-based industry) dan teknologi bangsa sendiri. Dengan tetap memperhatikan kondisi obyektif lingkungan sosial-politik dan ekonomi yang mulai kondusif, langkah-langkah kebijakan pembangunan industri jangka pendek adalah sebagai berikut: pertama, pengamanan ketersediaan bahan baku dan keterjangkauan kebutuhan pangan dengan memprioritaskan pengadaan bahan baku keperluan vital masyarakat dan suku cadang dan komponen kendaraan, dan peralatan pabrik, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan kebijakan pangan diarahkan melalui pengembangan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri) dengan didukung oleh kegiatan perdagangan hasil pertanian olahan (agribisnis); serta kedua, pemberdayaan dan penguatan kegiatan industri berskala kecil dan menengah yang didukung oleh pengembangan kegiatan perdagangan berskala kecil dan menengah melalui pemanfaatan teknologi terapan, peningkatan ekspor hasil produk, dan kerjasama lintas daerah dan negara, dan penguatan bantuan modal yang dilakukan secara sinergi dalam rangka memperkokoh peranan industri kecil dan menengah dalam pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Dalam jangka panjang, langkah-langkah tersebut mencakup: pertama, pengembangan industri yang berdayasaing kuat dan berbasis pada potensi sumberdaya ekonomi daerah, penciptaan substitusi bahan baku impor, dan pengolahan bahan baku baru; kedua, penguatan struktur industri-hulu dan struktur industri-antara dalam rangka meningkatkan kemandirian industri-hilir. Selaras dengan penguatan struktur industri ini, maka dikembangkan pemanfaatan teknologi informasi untuk membantu ekspor seperti melalui fasilitasi sistem informasi manajemen perdagangan berbasis teknologi informatika IV - 64

(e-commerce). Selain itu dikembangkan pula kebijakan keterkaikan industri logam, mesin, elektronika, dan aneka yang menghasilkan produk-produk unggulan yang bernilai tambah tinggi guna meningkatkan nilai tambah industri bagi industri-industri yang sudah ada; ketiga, peningkatan kandungan teknologi melalui pemanfaatan hasil-hasil penelitian dan pengembangan; dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia industri melalui jalur bimbingan dan penyuluhan; serta keempat, penataan kelembagaan pembangunan industri dalam rangka pengamanan proses industrialisasi di era perdagangan bebas. Penataan kelembagaan diperlukan untuk menjamin proses industrialisasi yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta sesuai dengan standar nasional/internasional. Seiring dengan mulai tumbuhnya kepercayaan masyarakat dunia terhadap kondisi perekonomian di Indonesia saat ini, perkembangan sektor industri dalam tahun 1999/2000 ditandai dengan peningkatan volume produksi di beberapa kelompok industri khususnya produksi industri yang telah mempunyai akses pasar di luar negeri dan berpotensi ekspor. Pembangunan industri juga diharapkan mampu menopang pertumbuhan ekonomi di daerah, hal ini sejalan dengan semangat pembangunan daerah dalam meningkatkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Dengan semakin dekatnya pelaksanaan globalisasi di berbagai bidang, sektor industri diharapkan telah siap menghadapi era tersebut. Tantangan utama adalah mewujudkan pengelolaan sumberdaya secara efisien dan efektif sehingga proses pengelolaan sumberdaya bersifat berkelanjutan dan tetap memperhatikan aspek mutu dan standar industrinya serta aspek lingkungan. Untuk itu, ditetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh departemen-departemen terkait, yang salah satunya adalah peraturan tentang standar nasional Indonesia (SNI) dan Keppres tentang penyusunan, penerapan, dan pengawasan SNI. IV - 65

Berbagai isu dapat menjadi ancaman serius dalam persaingan di masa mendatang, seperti isu politik, teknologi, ekonomi dan yang sedang hangat-hangatnya saat ini adalah isu lingkungan. Proses industrialisasi pada saat ini, khususnya di negara berkembang kurang atau bahkan tidak memperhatikan aspek lingkungan. Di masa mendatang, hal itu harus menjadi perhatian pemerintah, pengusaha dan pihak terkait. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dalam tahun 1999 telah dikeluarkan peraturan yang terkait dengan kepedulian lingkungan oleh beberapa instansi, salah satunya berupa peraturan tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Selain itu, sebagai bagian dari kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intent dengan Dana Moneter International (LoI-IMF) mengenai kebijakan industri otomotif telah ditetapkan pemberian kemudahan dan restrukturisasi bea masuk impor, baik untuk kendaraan dalam keadaan utuh (CBU) atau untuk keperluan bahan baku pembuatan komponen, serta pemberian kemudahan relaksasi entreport tujuan ekspor. Peraturan yang dikeluarkan tersebut merupakan strategi untuk mengefisienkan dan mengembangkan pasar domestik, kemampuan industri komponen, dan pasar ekspor industri otomotif nasional. Sementara itu, untuk kelompok industri kimia, agro, dan hasil hutan, pada tahun 1999 menunjukkan rata-rata utilisasi kapasitas produksinya meningkat, yaitu mencapai 3,0 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan diperkirakan terus meningkat pada tahun 2000. Pada tahun 1999 rata-rata perkembangan produksi industri kimia, agro, dan hasil hutan menunjukkan pertumbuhan yang sangat berarti dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan produksi agroindustri yang mengalami peningkatan besar adalah buah-buahan dan sayur-sayuran dalam kaleng, kertas, ban kendaraan bermotor roda empat, ban sepeda motor roda dua, margarine, dan ban sepeda yaitu sebesar 78,4 persen, 66,5 persen, 50,3 persen, 44,0 persen, 24,8 persen, dan 22,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan produksi industri barang-barang dari kimia rata-rata dapat bertahan bahkan mampu meningkatkan IV - 66

produksinya dengan cara memanfaatkan peluang pasar ekspor pada saat nilai tukar rupiah melemah. Produksi kelompok industri kimia yang mengalami peningkatan produksi sangat besar, antara lain adalah industri pigmen sebesar 40,6 persen, ethylene dichloride (EDC) sebesar 39,9 persen, bahan peledak sebesar 31,0 persen, methanol sebesar 25,6 persen, dan vinyl chloride monomer (VCM) sebesar 21,9 persen, carbon black sebesar 19,6 persen dibandingkan tahun 1998. Industri kimia lain yang mengalami peningkatan produksi antara lain adalah industri bahan kimia tekstil, alkyl benzine sulfonat (ABS) dan sorbitol. Sedangkan pada kelompok industri barang galian bukan logam produksi yang mengalami peningkatan paling besar adalah kaca lembaran, yaitu sebesar 81,0 persen. Selain terjadi peningkatan utilitas kapasitas produksi, perkembangan kelompok industri logam, mesin dan elektronika pada tahun 1999 menunjukkan pertumbuhan yang sangat berarti dibandingkan tahun 1998. Pertumbuhan terjadi pada kelompok industri logam dasar, industri permesinan, dan industri mesin, alat listrik, dan elektronika rata-rata meningkat sekitar 8 persen, 11 persen, dan 15 persen. Peningkatan terbesar di kelompok industri logam adalah baja lembaran canai panas (HRC) sebesar 27,6 persen, kelompok industri permesinan adalah whell loader sebesar 20,0 persen dan pada industri mesin, alat berat dan elektronika adalah mesin jahit dan VHF/UHF single channel sebesar 34,3 persen dan 32,0 persen. Atas dasar harga konstan tahun 1993, pertumbuhan sektor industri, termasuk industri pengolahan migas, pada tahun 1999 meningkat 2,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dan kontribusinya terhadap PDB mencapai sebesar 25,4 persen. Sedangkan pertumbuhan industri pengolahan non migas pada periode yang sama meningkat 2,2 persen, dan sumbangannya mencapai 22,4 persen. Peningkatan kinerja industri antara lain disebabkan oleh mulai membaiknya sektor industri migas pada periode tersebut. Sedangkan kontribusi terbesar industri pengolahan non migas diberikan oleh kelompok industri makanan, minuman dan IV - 67

tembakau sebesar 13,5 persen, industri pupuk kimia dan barang kimia dari karet sebesar 2,9 persen, industri semen dan bahan galian non logam sebesar 4,1 persen, dan industri tekstil , barang kulit, dan alas kaki sebesar 1,9 persen. Sementara itu, sejalan dengan perkembangan produksi industri yang belum stabil, nilai dan volume ekspor sektor industri non migas pada tahun 1999 mengalami penurunan 5,1 persen dan 5,5 persen, atau meliputi US$ 40,9 miliar dan 170,6 juta ton menjadi US$ 38,8 miliar dan 161,2 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan perkembangan nilai ekspor industri kecil dan menengah tahun 1999 menurun dibandingkan tahun 1998. Pada tahun 1999 nilai ekspor industri kecil dan menengah mencapai US$ 2,5 miliar atau menurun 29,9 persen dibandingkan nilai ekspor tahun 1998 sebesar US$ 3,6 miliar. Sedangkan volume ekspornya tahun 1999 mengalami peningkatan 42,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan volume ekspor industri kecil dipengaruhi perubahan jenis produksi yang diekspor. Di bidang investasi, penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) sektor industri masih menunjukkan adanya kegairahan para investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri. Pada tahun 1999, jumlah PMA sektor industri yang disetujui mengalami kenaikan 29 proyek, walaupun nilainya menurun dibandingkan tahun sebelumnya, sedangkan nilai PMDN yang disetujui untuk sektor industri mengalami peningkatan 4,1 persen dengan nilai mencapai Rp 46.745,5 miliar dari nilai tahun 1998 yang sebesar Rp 44.908,0 miliar. Peningkatan terbesar PMDN dialami oleh industri logam dasar, industri tekstil, industri makanan, dan industri kertas. Selanjutnya dalam upaya mengatasi masalah kebutuhan pangan dan memperkuat ketahanan pangan, pembangunan pangan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan nasional dalam mencukupi kebutuhan pangan masyarakat secara adil dan merata baik dalam jumlah maupun mutu gizinya serta terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pembangunan pangan yang diharapkan adalah IV - 68

makin mantapnya ketahanan pangan yaitu berupa terpeliharanya kemantapan swasembada pangan secara dinamis. Swasembada pangan tersebut tidak hanya terbatas pada swasembada beras, tetapi juga mencakup penyediaan bahan pangan lainnya yang berupa sumber karbohidrat, protein, lemak, dan gizi mikro. Kebijakan yang ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut adalah mengupayakan peningkatan ketahanan pangan yang meliputi peningkatan produksi, distribusi dan kemampuan menyediakan pangan dengan harga yang stabil; meningkatkan keamanan pangan untuk melindungi masyarakat dari pangan yang berbahaya untuk kesehatan dan bertentangan dengan keyakinan; mendorong diversifikasi pangan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola pangan yang beraneka ragam untuk meningkatkan gizi; dan mengembangkan kelembagaan pangan yang efektif dan efisien dengan jalan meningkatkan keterpaduan dan koordinasi pembangunan pangan antara pemerintah dan masyarakat serta antar kelompok masyarakat. Hasil program pemantapan swasembada pangan sampai dengan triwulan I tahun 2000, harga rata-rata gabah di perdesaan turun sekitar 18,6 persen dari harga rata-rata tahun 1999. Sedangkan perbedaan harga rata-rata gabah pada musim panen di perdesaan pada tahun 2000 melonjak tajam. Pada tahun 2000 harga beras di perkotaan di musim panen meningkat sebesar 1,3 persen dibandingkan keadaan beras pada akhir 1998/99. Selama April 1999 sampai dengan Maret 2000, pemerintah tidak menaikkan harga dasar gabah kering panen (GKP), gabah kering simpan (GKS) dan gabah kering giling (GKG) dengan tetap memberlakukan Inpres No. 32 tahun 1998. Pada tahun 2000, pengadaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi sarana penyangga sehingga kekurangannya dipenuhi melalui impor. Turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing sebagai akibat tidak stabilnya politik dan keamanan dalam negeri menyebabkan harga beras impor menjadi sangat tinggi sehingga untuk memelihara stabilitas nasional dalam IV - 69

jangka pendek, penyediaan beras impor tersebut masih memerlukan subsidi dari pemerintah. Penyaluran beras selama tahun 1999/2000 mencapai jumlah 4.790 ribu ton yang terdiri dari golongan anggaran sebesar 1.791 ribu ton, operasi pasar murni sebesar 273 ribu ton, operasi pasar khusus sebesar 2.559 ribu ton, dan lain-lain sebesar 167 ribu ton. Jumlah penyaluran tersebut lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 4.768 ribu ton dengan dilaksanakannya program operasi pasar khusus untuk keluarga miskin dan rawan pangan. Stok akhir per 31 Maret 2000 berjumlah 948 ribu ton yang diperkirakan cukup aman untuk menghadapi kemungkinan buruk yang mungkin terjadi pada bulan-bulan berikutnya. Dalam kerangka program JPS di bidang pangan, telah dilakukan operasi pasar khusus (OPK) melalui penjualan langsung bahan pokok kepada keluarga miskin. Kebijakan OPK juga merupakan langkah untuk menghapus subsidi beras dari yang bersifat subsidi kepada konsumen umum menjadi subsidi kepada anggota masyarakat tertentu. Sedangkan dalam rangka memperkuat sektor pertanian, kebijakan pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi dan kualitas hasil pertanian untuk memelihara kemantapan swasembada pangan, meningkatkan penyediaan bahan baku secara berkesinambungan untuk pengembangan industri, serta meraih peluang dan meningkatkan pangsa pasar; meningkatkan kemampuan usaha pertanian rakyat, mempersempit kesenjangan ekonomi dan mengeliminasi kemiskinan, serta memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup; meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian serta memperluas kesempatan kerja produktif di perdesaan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia pertanian, peningkatan penguasaan teknologi dan pengembangan jaringan kelembagaan petani yang berorientasi agrobisnis. Hasil rata-rata padi pada tahun 1999 mencapai 4,3 ton per IV - 70

hektar atau turun 1,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi palawija umumnya mengalami peningkatan, khususnya produksi ubi kayu dan kedelai. Pada tahun 1999, produksi jagung, ubi jalar dan kacang tanah turun masing-masing sebesar 9,8 persen, 5,9 persen dan 6,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang disebabkan oleh meningkatnya harga-harga sarana produksi dan berkurangnya penyediaan kredit usaha tani. Pada tahun 1999 jumlah populasi ternak yang meningkat terutama adalah sapi perah, domba, ayam petelur dan itik. Perkembangan populasi ternak dan unggas yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya antara lain adalah sapi perah, domba, ayam petelur dan itik yang masing-masing 3,1 persen, 1,4 persen, 17,3 persen dan 6,7 persen. Sementara itu, perkembangan produksi perikanan selama tahun 1999 meningkat sebesar 18,2 persen per tahun. Produksi perikanan laut dan perikanan darat masing-masing meningkat per tahun sebesar 14,3 persen dan 33,0 persen. Perluasan kesempatan kerja di sektor pertanian terutama didukung oleh meningkatnya luas panen dan luas areal komoditas pertanian. Selama tahun 1999, sektor pertanian telah menyerap tenaga kerja rata-rata sekitar 108 juta orang atau 58,4 persen dari tenaga kerja nasional. Luas areal komoditas penting perkebunan pada tahun 1999 yang berupa kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, lada, kakao, tebu, dan tembakau masing-masing adalah sebesar 5,9 juta hektar, 1,7 juta hektar, 2,8 juta hektar,0,5 juta hektar, 0,08 juta hektar, 0,5 juta hektar, 1,5 juta hektar, dan 0,1 juta hektar. Sementara untuk memperoleh manfaat optimal dari pengembangan usaha perkebunan di suatu wilayah, baik pada areal yang telah ada maupun areal bukaan baru, telah ditempuh kebijakan pengembangan perkebunan dalam suatu kawasan industri masyarakat perkebunan (Kimbun). Saat ini telah masuk sejumlah usulan Kimbun sebanyak 293 lokasi di 16 propinsi. IV - 71

Di sektor kehutanan pada tahun 1999, produksi kayu bulat sebesar 20,6 juta m3 yang berasal dari hutan alam, areal konversi, kayu rakyat, hutan tanaman, dan hutan tanam industri (HTI). Sedangkan produksi kayu olahan pada tahun 1999 sebesar 4,0 juta m3 yang berupa kayu lapis, kayu gergajian, veneer, pulp, dan kayu olahan lainnya. Selanjutnya produksi hasil hutan non kayu yang berupa rotan, damar dan hasil hutan non-kayu lainnnya pada tahun 1999 sebesar 137,3 ribu ton. Sesuai kesepakatan dengan IMF telah disiapkan program kehutanan nasional (National Forest Programme) dan telah dikeluarkan Keppres No. 80 Tahun 2000 tentang Komisi Antardepartemen Bidang Kehutanan untuk menangani masalahmasalah bidang kehutanan yang dihadapi. Demikian pula dengan tuntutan reformasi pembangunan yang ada, telah dilakukan restrukturisasi penguasaan lahan perkebunan dan kehutanan antara lain melalui pencabutan kebun kelas IV dan V seluas 173,65 hektar di 17 propinsi, pencabutan SK pelepasan kawasan hutan seluas 1,07 juta hektar yang tersebar di 15 propinsi yang dikuasai oleh 118 perusahaan. Sementara itu, volume ekspor beberapa komoditas pertanian pada tahun 1999 mengalami peningkatan cukup tinggi dibandingkan tahun sebelumnya seperti kelapa sawit, teh, kulit ternak, dan rumput laut yang masing-masing naik sebesar 106,3 persen, 45,8 persen, 6,2 persen, dan 382 persen. Sementara volume ekspor palawija, karet, kopi dan lada turun masing-masing sebesar 55,2 persen, 9,2 persen, 1,3 persen, dan 6,2 persen. Penurunan ekspor tersebut diakibatkan oleh ketidakpastian kondisi ekonomi dan keamanan dalam negeri. Dalam tahun 1999, volume ekspor ikan segar dan udang segar/awetan menurun masing-masing sebesar 13,1 persen dan 22,5 persen dibandingkan tahun 1998. Penurunan ini terjadi karena menurunnya permintaan ekspor kedua komoditas tersebut. Pembangunan sektor kelautan pada dasarnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dengan memperluas kesempatan kerja IV - 72

dan usaha melalui pembangunan ekonomi yang didukung oleh industri kelautan dengan memanfaatkan, mendayagunakan, serta meningkatkan potensi yang dimiliki seperti sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, data dan informasi, sarana dan prasarana, serta organisasi dan kelembagaan dengan memperhatikan kelestarian dan daya dukung lingkungan yang didukung oleh hukum dan peraturan yang efektif. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam bidang kelautan terutama dalam pemanfaatan sumberdaya laut serta hasilhasil yang dicapai diantaranya adalah kegiatan survei dan pemetaan sumberdaya laut yang dilakukan berbagai lembaga dan departemen. Kegiatan ini adalah salah satu upaya yang dilakukan sehubungan dengan telah diratifikasinya UNCLOS 1982. Di bidang eksplorasi sumberdaya laut telah dilakukan survei spesifik, pengeboran eksplorasi, perluasan eksplorasi, dan pengembangan sisipan. Kegiatan seismik rata-rata 64.9 kilometer per tahun, dan pengeboran eksplorasi rata-rata 177 buah sumur pertahun. Ekstensifikasi eksplorasi di Kawasan Timur Indonesia dilakukan pada 1-2 cekungan sedimen laut dalam. Dalam bidang sistem informasi sumberdaya laut dilakukan penyediaan data dan informasi yang dikenal dengan SIGK (Sistem Informasi Geografi Kelautan) dan SIG-Kemla (Sistem Geografi Keamanan Laut). Sementara itu dalam upaya pengembangan dan peningkatan kemampuan serta kelembagaan sumberdaya laut telah dilakukan penataan organisasi dan kelembagaan kelautan, pemanfaatan Bakormia dan Pankorwilnas, penyempurnaan peraturan perundangan dan penyusunan perundang-undangan. Upaya pengembangan kemampuan Iptek dilakukan pengkajian teknologi inderaja untuk perkiraan cadangan ikan, pengembangan teknologi budidaya ikan laut, eksplorasi sumberdaya mineral dan energi laut, pengkajian gelombang sebagai sumber energi dan peningkatan kerjasama internasional. Di sektor pertambangan selama satu tahun terakhir telah dilakukan upaya-upaya pengembangan informasi geologi IV - 73

sumberdaya mineral, pemantapan penyediaan komoditas mineral dan energi untuk kebutuhan di dalam negeri serta peningkatan ekspor, dan peningkatan penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas serta pelestarian fungsi lingkungan hidup. Langkah penting lainnya adalah berkaitan dengan restrukturisasi di bidang pertambangan dan energi. Dalam kaitannya dengan penyediaan energi, harga energi rata-rata secara bertahap diarahkan kepada pembentukan harga yang mengikuti mekanisme pasar dengan memperhatikan aspek optimasi, pemanfaatan sumberdaya energi, peningkatan dayasaing ekonomi, perlindungan konsumen dan pemenuhan asas pemerataan. Untuk itu subsidi BBM secara bertahap akan dikurangi. Pemberian subsidi selain dinilai sangat membebani anggaran pemerintah juga tidak tepat sasaran, karena relatif hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat yang tidak berhak. Dampak negatif lainnya masyarakat cenderung mengkonsumsi secara boros dan tidak efisien. Usulan pemerintah kepada DPR untuk menurunkan subsidi BBM masih ditolak jadwal pelaksanaannya. Dalam upaya mewujudkan tugas Pemerintah sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, maka dirasakan bahwa UU Migas dan pertambangan yang berlaku dinilai telah tidak sesuai lagi, sehingga perlu digantikan oleh UU baru yang lebih sesuai dengan upaya pembaharuan yang memberikan peran nyata untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, memberikan jaminan kepastian hukum dalam berusaha serta menghilangkan usaha yang bersifat monopoli. Untuk itu, saat ini sedang dibahas RUU minyak dan gas bumi beserta petunjuk pelaksanaanya, dan akan segera disampaikan kepada DPR-RI dalam waktu dekat untuk mendapat persetujuan. Perangkat regulasi yang baru di bidang minyak dan gas bumi ini akan mampu meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana serta menjamin pasokan energi dan bahan baku bagi sektor industri, melayani kebutuhan masyarakat dengan harga yang bersaing dan terjangkau, serta mampu menyediakan energi yang bersih dan akrab lingkungan. IV - 74

Dengan langkah-langkah yang dilakukan di sektor pertambangan, maka berbagai produksi pertambangan terus meningkat. Produksi minyak bumi masih meningkat dari 511,1 juta barel dalam tahun 1998/99 menjadi 541,3 selama tahun 1999/2000, yaitu naik sebesar 5,9 persen. Kenaikan produksi juga diikuti oleh melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia hingga mencapai sekitar US$ 30 per barel. Keadaan ini diharapkan dapat semakin mendorong masuknya investasi asing di bidang perminyakan. Produksi LNG tahun 1999/2000 juga meningkat sebesar 6 persen dari tahun 1998/1999, yaitu meningkat dari 28,3 juta ton menjadi 30,0 juta ton. Saat ini juga sedang dibangun jalur pipa gas untuk mengalirkan gas dari lapangan Natuna Barat dan dari lapangan gas di Sumatera tengah melalui Batam ke Singapura. Hal ini akan menjadi penunjang peningkatan ekspor gas alam di masa depan. Produksi pertambangan utama lainnya meliputi batubara, tembaga. timah, nikel dan emas dalam tahun 1999/2000 masih menunjukkan peningkatan. Peningkatan produksi ini juga diikuti oleh peningkatan ekspornya baik harga maupun volumenya, hanya perak yang produksinya relatif menurun jika dibanding dengan produksi tahun 1998/99. Sejalan dengan mulai pulihnya kegiatan ekonomi, produksi bahan galian terutama yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri di dalam negeri juga meningkat.

5.

Menyediakan Ekonomi

Prasarana

dan

Sarana

Penunjang

Sebagai pendukung pelaksanaan program pembangunan pangan dan pertanian tak dapat lepas dari kinerja program pembangunan pengairan. Upaya reformulasi kebijakan pembangunan pengairan diarahkan pada penajaman pelaksanaan program-program pembangunan. Pelaksanaan reformasi pembangunan pengairan ditujukan untuk pemantapan kelembagaan di tingkat nasional untuk pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air; pembentukan kelembagaan pengelola sumberdaya IV - 75

air di tingkat wilayah sungai; penyempurnaan pengelolaan kualitas air yang mencakup peraturan, kelembagaan maupun implementasinya; dan penyempurnaan kebijakan pengelolaan jaringan irigasi. Hasil pembangunan pengairan dalam tahun 1999/2000 antara lain berupa penyelesaian pembangunan 5 unit waduk, 38 unit embung, 78 kilometer saluran air baku, 57 unit bendung irigasi, 1 unit bendung air baku, serta sekitar 10.560 hektar pencetakan sawah baru. Untuk penanggulangan bencana akibat daya rusak air, telah diselesaikan pula pembangunan 52 unit dam pengendali dan kantung lahar, perbaikan alur sungai sepanjang 122 kilometer serta pengamanan pantai sepanjang 4 kilometer. Selanjutnya, sektor pengairan dikelola melalui dua institusi guna memisahkan tugas-tugas yang menyangkut kebijakan dan kegiatan pelaksanaan pembangunan. Yang bersifat kebijakan antara lain berupa penyusunan kebijakan pengelolaan, pengembangan dan konservasi sumberdaya air pada Menteri Negara Pekerjaan Umum dan yang menyangkut pelaksanaan pada Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah melalui program-program pengembangan dan konservasi sumberdaya air, penyediaan dan pengelolaan air baku, pengelolaan sungai, danau dan sumber air lainnya, pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, pengembangan dan pengelolaan daerah rawa, dan pembinaan daerah pantai. Di sektor transportasi, kebijaksanaan yang ditempuh dalam mendukung upaya penanggulangan krisis dan pemulihan kondisi perekonomian adalah: mendukung program sektor-sektor ekonomi strategis; mempertahankan tingkat pelayanan, keamanan, dan keselamatan transportasi serta peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan jasa transportasi. Langkah-langkah yang telah dilaksanakan untuk mempertahankan tingkat pelayanan jasa transportasi, yaitu melalui IV - 76

pembangunan, rehabilitasi dan peningkatan prasarana transportasi baik untuk moda transportasi jalan, kereta api, penyeberangan, laut dan udara. Selain itu, menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasarannya guna menjamin kelancaran distribusi sampai ke seluruh pelosok daerah yang terpencil, dan penyediaan lapangan pekerjaan bagi usaha menengah kecil dan koperasi, namun tetap memperhatikan kualitas hasil pekerjaannya. Selain itu, dilakukan upaya optimalisasi kapasitas prasarana dan sarana yang ada, dan penajaman prioritas pelaksanaan program dan proyek-proyek pembangunan. Program reformasi pembangunan sektor transportasi untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, dilaksanakan melalui peningkatan transparansi dan kompetisi yang sehat serta peletakan landasan iklim yang lebih kondusif agar mendorong peran serta swasta dan masyarakat di bidang pembangunan dan pelayanan jasa prasarana transportasi. Selain itu tetap dilaksanakannya proses desentralisasi dalam sektor transportasi dan meredefinisi peran pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta peran serta swasta dan masyarakat baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan dan penyelenggaraan jasa transportasi agar tercapai sistem transportasi nasional yang efisien, terpadu dengan pengembangan wilayah/daerah serta terjangkau, namun tetap dan dalam kerangka untuk mendukung persatuan dan kesatuan wilayah Indonesia. Hasil-hasil yang telah dilaksanakan dalam rangka peningkatan keselamatan angkutan jalan terutama melalui pembangunan rambu lalu lintas, pagar pengaman jalan, delineator, marka jalan dan lampu lalu lintas. Selain itu, guna mendukung mobilitas manusia dan distribusi barang di wilayah terpencil dan kawasan pedalaman, telah dilaksanakan pula penyediaan subsidi operasi angkutan bis perintis di 12 propinsi, serta upaya koordinasi antar instansi dalam upaya mengatasi permasalahan kelebihan muatan di jalan. Produktivitas lalu lintas angkutan jalan telah IV - 77

meningkat pada tahun 1999/2000, yaitu terjadi kenaikan jumlah armada bus sebesar 2,7 persen dari tahun sebelumnya menjadi 645.000 unit, dan juga armada truk mengalami kenaikan 2 persen dari tahun sebelumnya. Program pembangunan perkeretaapian, selama tahun 1999/2000 telah melaksanakan rehabilitasi jalan kereta api sepanjang 24 kilometer, pembangunan tubuh ban sepanjang 5 kilometer dan pembangunan jalan kereta api sepanjang 54,5 kilometer diantaranya adalah pembangunan kembali jalur kereta api di Daerah Istimewah Aceh secara bertahap. Di samping itu, telah dibangun jembatan, pemasangan sinyal serta instalasi 13 buah fasilitas stasiun kereta api. Pada tahun 1999/2000, produktivitas angkutan perkeretaapian mengalami kenaikan 9 persen dibandingkan tahun sebelumnya atau menjadi 184,0 juta penumpang; sedangkan angkutan barang naik 8 persen menjadi 19,7 juta ton. Selama tahun 1999/2000, program angkutan sungai, danau dan penyeberangan telah selesai membangun 5 buah dermaga penyeberangan, melanjutkan pembangunan 15 dermaga penyeberangan, pembangunan 1 buah dermaga danau, 4 buah dermaga sungai, dan lanjutan penyelesaian pembangunan 9 buah kapal penyeberangan serta subsidi pengoperasian kapal perintis di 64 lintas untuk melayani wilayah terpencil dan pedalaman. Pada tahun 1999/2000, jumlah angkutan penumpang, barang dan kendaraan melalui penyeberangan naik dari tahun sebelumnya, yaitu angkutan penumpang naik 13,0 persen menjadi 70,2 juta orang, angkutan barang naik 11,6 persen menjadi 27,8 juta ton dan angkutan kendaraan naik 30,2 persen menjadi 9,6 juta unit. Pada tahun 1999/2000 dan 2000, telah dilaksanakan langkah-langkah kebijakan untuk mengevaluasi kembali proyekproyek pembangunan yang ada di subsektor transportasi laut. Dari evaluasi tersebut proyek-proyek yang tidak mendesak dan tujuannya meningkatkan kapasitasnya ditunda. Di bidang pengembangan IV - 78

armada pelayaran telah diupayakan untuk memperkuat armada pelayaran nasionalnya. Usaha tersebut diwujudkan dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) No. 82 tahun 1999 tentang angkutan di perairan yang ditujukan untuk memperkuat armada pelayaran nasional. PP tersebut bersama-sama dengan ketentuan 3 ALKI dapat digunakan untuk menegakkan asas cabotage karena kapal-kapal asing hanya boleh berlayar di ketiga alur pelayaran tersebut. Apabila ada kapal asing yang mengangkut cargo dalam negeri yang melakukan pelayaran di luar 3 alur tersebut, kapal tersebut bisa ditahan dan dikenai denda. Untuk menerapkan ketentuan ALKI tersebut, pemerintah diwajibkan memasang beberapa sarana bantu navigasi di ketiga alur tersebut. Pada tahun 2000 telah ditandatangani bantuan dari Jerman (KfW) pada tanggal 3 Mei 2000 (L.A. No, 1999.65.450) untuk pengadaan sarana bantu navigasi. Sementara itu sasaran program keselamatan pelayaran kebijakannya adalah mempertahankan tingkat kedalaman alur pelayaran dan merehabilitasi baik sarana bantu navigasi maupun kapal-kapal navigasi serta melengkapi sarana bantu navigasi yang diperlukan di ketiga ALKI yang telah ditetapkan. Dalam rangka menunjang keselamatan pelayaran, pada tahun 1999/2000 dibangun 15 unit rambu suar dan pada tahun 2000 baru dibangun 1 unit rambu suar. Sedangkan rehabilitasi kapal-kapal navigasi telah dilakukan masing-masing sebanyak 1 unit pada tahun 1999/2000 dan tahun 2000. Di samping itu pada tahun 2000 telah diadakan 4 unit pelampung suar. Pada tahun 1999 jumlah armada pelayaran nusantara sebanyak 4.339 unit dengan ukuran 4.934.178 DWT atau meningkat sejumlah 252 unit (284.364 GRT). Sedangkan jumlah pelayaran rakyat yang pada tahun 1999 sebanyak 2.613 dengan ukuran 384.970 GRT, pada tahun 1999 jumlah tersebut mengalami peningkatan menjadi 2.613 unit dengan ukuran 317.986 GRT. Pada tahun 2000 jumlah unit kapal pelayaran nusantara dan rakyat ini masih tetap. Sementara itu, armada pelayaran luar negeri pada tahun 1998 sebanyak 21 unit dengan total 357.470 DWT meningkat IV - 79

menjadi 23 unit namun dengan kapasitas yang menurun menjadi 410.370 DWT. Untuk angkutan penumpang PT. PELNI menunjukkan peningkatan, yaitu: pada tahun 1999 menjadi 22 unit dengan kapasitas angkut penumpang sebesar 29.600 penumpang. Selanjutnya pada tahun 2000 jumlah armada PT. PELNI menjadi 24 unit dengan kapasitas angkut penumpang sebesar 33.600 penumpang. Sedangkan jumlah armada pelayaran perintis belum mengalami peningkatan, yaitu masih sebanyak 37 unit dengan total 22.600 DWT dari tahun 1998 hingga tahun 2000. Pembangunan dermaga baru telah dilakukan sepanjang 830 m pada tahun 1999/2000 serta sepanjang 70 m pada tahun 2000. Sedangkan rehabilitasi dermaga pada tahun 1999/2000, dan tahun 2000 masing-masing telah dilakukan seluas 1.914 m2 dan 280 m2. Pada tahun 1999/2000 telah dibangun lapangan penumpukan seluas 14.642 m2 namun pada tahun 2000 (hingga saat ini) belum dilakukan tambahan pembangunan lapangan penumpukan baru. Sementara itu, pada tahun 1999/2000 telah dibangun terminal penumpang seluas 1.150 m2 sedangkan pada tahun 2000 (hingga saat ini) belum ada tambahan pembangunan terminal penumpang. Kebijakan yang dilakukan dalam meningkatkan pelayanan angkutan udara kepada masyarakat pengguna maupun penyedia jasa transportasi udara adalah mempertahankan tingkat pelayanan melalui rehabilitasi prasarana bandar udara, fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, pengawasan terhadap kelaikan pesawat udara, Di samping itu, melanjutkan pengoperasian penerbangan perintis dengan prioritas pada lokasi terpencil dan pedalaman yang belum dapat dilayani oleh moda transportasi lain. Pengembangan prasarana transportasi udara dilakukan secara selektif dalam upaya memenuhi kapasitas beberapa bandar udara, dan pemasangan peralatan navigasi dan telekomunikasi penerbangan serta peralatan IV - 80

pengatur lalu lintas penerbangan dalam rangka meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan. Pembangunan bandar udara pada daerah terpencil dan pedalaman juga mendapat perhatian dalam upaya membuka aksesibilitas masyarakat untuk kegiatan ekonomi maupun pemerintahan. Kinerja jasa pelayanan dihasilkan pada penerbangan berjadwal dalam negeri tahun 1999/2000 masih mengalami penurunan dibandingkan tahun 1998/1999. Jumlah penumpang yang diangkut tahun 1999/2000 dibandingkan tahun 1998/1999 menurun 16 persen. Meskipun terjadi penurunan, tetapi faktor muatan penumpang yang merupakan perbandingan kapasitas dengan produksi menunjukan peningkatan dari 59 persen pada tahun 1998/1999 menjadi 61 persen pada tahun 1999/2000. Demikian pula untuk angkutan barang tahun 1999/2000 juga menurun sebesar 5,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Faktor muatan pada angkutan barang mengalami sedikit kenaikan dari 53 persen pada tahun 1998/1999 menjadi 54 persen pada tahun 1999/2000. Pada penerbangan internasional berjadwal yang dilakukan oleh perusahaan penerbangan nasional juga menurun. Jumlah penumpang yang diangkut pada tahun 1999/2000 menurun 3,9 persen dibandingkan tahun 1998/1999. Meskipun terjadi penurunan dalam jumlah penumpang, tetapi faktor muatan penumpang menunjukan peningkatan dari 59 persen pada tahun 1998/1999 menjadi 71 persen pada tahun 1999/2000. Jumlah barang yang diangkut pada tahun 1999/2000 juga menurun sebesar 15,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Faktor muatan pada angkutan barang juga mengalami kenaikan dari 51 persen pada tahun 1998/1999 menjadi 60 persen pada tahun 1999/2000. Kenaikan faktor muatan pada angkutan penumpang dan barang baik pada penerbangan dalam negeri maupun penerbangan internasional menunjukan adanya peningkatan efisiensi penyediaan kapasitas. Namun di lain pihak meningkatnya faktor muatan mengakibatkan berkurangnya kemudahan pengguna dalam memperoleh jasa transportasi udara. IV - 81

Dalam hal penyediaan pesawat udara, pemerintah telah memberikan kebebasan kepada perusahaan penerbangan untuk menentukan jenis pesawat yang dipergunakan dengan tetap memperhatikan standar kelaikan dan keselamatan penerbangan nasional maupun internasional. Kebijaksanaan ini merupakan perubahan kebijaksanaan sebelumnya di mana sejak tahun 1980 perusahaan penerbangan diharuskan menggunakan produk dalam negeri dan pengecualian dari ketentuan yang berlaku harus mendapat persetujuan pemerintah. Selain itu, juga telah dilakukan kebijaksanaan berupa dibukanya kesempatan yang lebih luas dan sama kepada perusahaan pemerintah maupun swasta nasional untuk mendirikan perusahaan penerbangan baik yang beroperasi di dalam negeri maupun ke luar negeri. Kebijaksanaan ini telah mendapat sambutan yang positif dari pengusaha nasional dengan bertambahnya 7 perusahaan penerbangan nasional berjadwal sehingga jumlah perusahaan penerbangan nasional berjadwal menjadi 12 perusahaan. Bertambahnya jumlah perusahaan penerbangan akan berdampak terhadap persaingan yang keras dan terdapat kekhawatiran perusahaan penerbangan hanya mengutamakan pada rute-rute yang menguntungkan. Perusahaan penerbangan juga dituntut untuk lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan perusahaan sehingga masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang memuaskan dan tarif yang menguntungkan. Namun dilain pihak dengan semakin dekatnya pemberlakuan pasar global yang cenderung terbentuknya aliansi perusahaan penerbangan dunia, kebijaksanaan yang ditempuh dikhawatirkan justru memperlemah daya saing perusahaan penerbangan nasional. Program reformasi dan restrukturisasi kelembagaan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja BUMN serta kejelasan peran pemerintah dan BUMN sektor transportasi, tetap dilanjutkan penerapan pola pendanaan Public Service Obligation (PSO), Infrastructure Maintenance and Operation (IMO), dan Track Access Charges (TAC) di bidang perkeretaapian serta restrukturisasi IV - 82

organisasi PT Kereta Api Indonesia (Persero) guna meningkatkan efisiensi, akuntabilitas serta untuk meningkatkan peluang bagi peran serta swasta. Unit-unit usaha untuk angkutan udara juga telah dilaksanakan proses unbundling menjadi beberapa unit bisnis strategis sehingga menjadi lebih terfokus, independent dan menguntungkan. Privatisasi armada angkutan udara dilakukan dengan strategic placement atau Initial Public Offering (IPO) untuk mencapai skema yang kompetitif dan menguntungkan negara. Selanjutnya program swastanisasi BUMN di bidang transportasi laut untuk operasi terminal peti kemas pelabuhan laut di Tanjung Perak dan Tanjung Priok telah diupayakan dalam rangka menciptakan kompetisi dalam pelayanan jasa kepelabuhanan. Walaupun belum memenuhi kebutuhan, namun selalu diupayakan pengadaan, pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana operasional meteorologi dan geofisika. Sedangkan program pencarian dan penyelamatan, secara terus menerus peralatan pertolongan dan penyelamatan, peralatan komunikasi dan peralatan medis ditingkatkan jumlahnya. Selain itu, juga ditingkatkan latihan-latihan SAR baik yang bersifat lokal maupun internasional untuk meningkatkan kemampuan petugas-petugas SAR. Dalam program pembangunan kelistrikan, upaya mendesak dalam jangka pendek adalah menjaga tingkat pelayanan prasarana tenaga listrik agar tetap pada tingkat yang wajar dengan melaksanakan program jaminan pasokan tenaga listrik bagi masyarakat. Kegiatan yang dilakukan untuk menunjang program tersebut antara lain memberikan bantuan melalui APBN untuk sambungan rumah tangga terutama di luar Jawa. Selain itu, telah dilaksanakan intensifikasi sambungan pada rumah tangga di daerah perdesaan. Pasokan tenaga listrik yang memadai tersebut akan membuat keamanan dan ketentraman lebih terjaga. Kebijakan lain yang ditempuh adalah mengkaji kembali proyek-proyek pembangunan prasarana tenaga listrik berskala besar. Kebijakan ini ditempuh untuk menjaga agar antara kebutuhan dan IV - 83

penyediaan tenaga listrik dapat seimbang. Dengan pengkajian tersebut, maka beberapa proyek yang memang sangat mendesak untuk dilaksanakan dapat tetap dilanjutkan. Dengan pengkajian ini, maka pembangunan PLTA Musi (210 MW) dapat dilanjutkan untuk menanggulangi kekurangan daya di Sumatera bagian selatan. Selain itu untuk menghindari bottleneck penyaluran tenaga listrik di Jawa, pembangunan jaringan transmisi 500 kV selatan Jawa dari Paiton (Jawa Timur) sampai dengan Depok (Jawa Barat) tetap dilaksanakan. Pembangkit yang dimiliki PLN tidak mengalami peningkatan, bahkan sedikit menurun. Apabila kapasitas pembangkit PLN tahun 1998 sebesar 20,59 ribu MW, pada bulan April tahun 2000 jumlah kapasitas pembangkit PLN sekitar 20,38 ribu MW. Penurunan ini disebabkan adanya pembangkit disel tua skala kecil yang sudah tidak dioperasikan lagi. Selain itu, mengingat keterbatasan keuangan Pemerintah, maka pada kurun waktu tersebut tidak ada investasi pembangkit baru. Ketersediaan kapasitas tenaga listrik yang dimiliki PLN hingga saat ini telah menjangkau 51,34 persen dari seluruh rumah tangga yang ada di Indonesia. Dari jumlah desa yang ada, 83,14 persen telah mendapat pelayanan listrik. Langkah kebijakan lainnya adalah mengupayakan penyediaan suku cadang bagi pembangkit dan jaringan penyaluran tenaga listrik. Untuk itu, pemerintah mengupayakan pinjaman luar negeri guna menunjang pembelian suku cadang peralatan listrik. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kinerja pasokan tenaga listrik agar dapat tetap melayani masyarakat. Kebijakan lain yang harus dilakukan dalam jangka menengah adalah melaksanakan perampingan manajemen dan reorganisasi PT. PLN (Persero). Kegiatan ini dilakukan guna meningkatkan efisiensi di dalam pelaksanaan operasi penyediaan tenaga listrik untuk masyarakat luas. Dengan langkah ini diharapkan kinerja pelayanan PT. PLN akan meningkat dan dapat menekan kerugian, sehingga dapat melaksanakan pembangunan tenaga listrik yang berkesinambungan. IV - 84

Bersamaan dengan langkah di atas, di sektor kelistrikan secara bertahap dilaksanakan restrukturisasi sektor tenaga listrik. Empat tujuan pokok yang akan dicapai dari program restrukturisasi ini adalah pemulihan kelayakan keuangan, kompetisi, transparansi, serta partisipasi swasta yang efisien. Dalam kaitan dengan listrik swasta, pada saat ini telah dibentuk Tim Restrukturisasi dan Rehabilitasi PLN yang didukung oleh beberapa tenaga ahli hukum dan ahli lainnya. Hingga saat ini tim tersebut telah menyelesaikan beberapa kontrak dengan pengembang listrik swasta serta telah membentuk tim kerja untuk memformulasikan kerangka dasar guna perundingan secara komersial dalam jangka panjang. Di sektor telekomunikasi, selama satu tahun terakhir pemerintah terus melaksanakan deregulasi terhadap faktor-faktor yang menghambat investasi, produksi, distribusi, dan perdagangan, serta menciptakan penyelenggaraan telekomunikasi yang lebih kompetitif dan transparan dengan menghilangkan praktek-praktek monopoli dan persaingan tidak sehat berdasarkan pelaksanaan UU No. 36/1999 yang menggantikan UU No. 3/1989. Dari sisi penyelenggara juga telah dilakukan beberapa langkah untuk mengurangi dampak krisis, antara lain berupa penundaan dan bahkan penghentian proyek yang tidak cepat menghasilkan, serta pengembangan inovasi produk jasa telekomunikasi yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Di samping itu, pemerintah telah membatalkan lisensi yang bernuansa KKN dan melaksanakan pemberian lisensi secara terbuka. Guna memanfaatkan proses konvergensi antara teknologi telekomunikasi dan informatika untuk menunjang sektor ekonomi, pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) melalui Keppres No. 50 Tahun 2000. Diharapkan TKTI ini melanjutkan pengembangan telematika (telekomunikasi dan informatika) guna mengantisipasi kebutuhan masyarakat terhadap kemajuan telematika dan daya saing dunia usaha. Selanjutnya, upaya pengembangan telematika ditempuh antara lain melalui peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya IV - 85

manusia, penataan kelembagaan, peningkatan akses terhadap informasi, serta pengembangan dan peningkatan pemanfaatan prasarana telematika. Untuk meningkatkan efektivitasnya, telah diterbitkan Keppres No. 50 Tahun 2000 sebagai pengganti Keppres No. 186 Tahun 1998 tentang Tim Koordinasi Telematika Indonesia, serta sedang disusun kebijakan dan strategi teknologi informasi nasional. Jumlah lembaga pendidikan tinggi, mahasiswa dan lulusan di bidang telematika semakin meningkat. Demikian pula jumlah pengguna Internet, dan penyajian informasi melalui multimedia yang telah meningkatkan akses terhadap informasi.

6.

Menata Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup

Dalam hal pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup, telah dilaksanakan langkah-langkah berikut. Di bidang pengendalian pencemaran air, telah dilaksanakan penetapan baku mutu air, evaluasi program kali bersih (Prokasih) agar pelaksanaannya lebih efektif, dan pengawasan pencemaran laut akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia dan akibat transportasi. Dalam pengendalian pencemaran udara, program langit biru diteruskan serta diususunnya baku mutu udara ambien dan emisi yang diperbarui. Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas udara di perkotaan yang 80 persen tercemar oleh gas buang kendaraan bermotor, telah diupayakan pengadaan bahan bakar yang lebih bersih, terutama penghapusan secara bertahap bensin bertimbal. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini terkait dengan berbagai instansi di bawah payung program langit biru sumber bergerak yang telah diluncurkan pada tahun 1996. Sebagai komitmen atas LoI IMF Januari 2000, pemerintah telah menetapkan bahwa bensin bertimbal akan dihapuskan secara bertahap di Jabotabek pada 1 Januari 2001, Pulau Jawa pada 1 Januari 2002, dan Indonesia pada 1 Januari 2003. Di bidang pengendalian pencemaran udara secara global, telah dilakukan penghapusan penggunaan IV - 86

bahan-bahan perusak ozon dan inventarisasi emisi gas rumah kaca. Selain itu juga dilaksanakan pengendalian pencemaran limbah padat dan bahan berbahaya dan beracun (B3) melalui penetapan baku mutu dan pembuatan pedoman pengolahan dan pemanfaatan limbah B3. Teknologi pengendalian pencemaran lingkungan hidup tetap dilanjutkan di samping pengembangan teknologi pencegahan pencemaran lingkungan hidup dengan meminimalkan limbah, pelaksanaan produksi bersih, AMDAL, dan teknologi ramah lingkungan. Program-program sukarela yang mendukung seperti ekolabel, standardisasi lingkungan (ISO 14000) terus dikembangkan dan program seperti verifikasi teknologi lingkungan (VTL) mulai diperkenalkan. Untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup telah disusun Sistem Informasi Profil Lingkungan Hidup Daerah serta laporan mengenai status kualitas lingkungan hidup nasional berdasarkan standar yang ditentukan UNEP. Sementara itu untuk meningkatkan peran masyarakat telah dibuat kebijakan tentang transparansi dan kemudahan akses terhadap informasi yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Sebagai bagian yang tak terlepaskan dalam pengelolaan lingkungan hidup, telah juga dilakukan upaya penegakan dan penataan hukum lingkungan hidup melalui penindaklanjutan kasus-kasus sengketa lingkungan hidup, pelaksanaan kerjasama antara Kepolisian Republik Indonesia dengan KMNLH tentang penegakan hukum dan lingkungan hidup yang ditandatangani pada tanggal 24 Mei 2000. Selanjutnya, dalam rangka pelaksanaan UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, telah dikeluarkan beberapa peraturan pelaksanaan UU tersebut. Peraturan tersebut antara lain adalah PP No. 19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut; PP No. 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara; PP No. 27/1999 tentang Amdal; PP No. 18/1999, PP No. 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3; dan PP No. 54/2000 tentang Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Peraturan-peraturan yang masih berbentuk rancangan IV - 87

atau yang belum dibuat dan belum disahkan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 23 adalah Pasal 8 ayat (3); Pasal 13 ayat (2) tentang penyerahan urusan pada pemerintah daerah; Pasal 14 ayat (3) tentang baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan, dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya; Pasal 16 ayat (2) tentang ketentuan limbah hasil usaha dan atau kegiatan; Pasal 20 ayat (5) tentang pembuangan limbah ke lingkungan hidup, khususnya untuk pengendalian pencemaran air; serta Pasal 37 ayat (3) tentang ketentuan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan penderitaan masyarakat. Kebijakan yang ditempuh dalam pembangunan kehutanan selama satu tahun terakhir lebih banyak diarahkan pada usaha-usaha memperbaiki kondisi hutan yang sudah semakin parah akibat eksploitasi hutan yang berlebihan dan kurangnya usaha konservasi. Selain itu, kebijakan lain yang terkait dengan pembangunan bidang kehutanan adalah upaya penegakan hukum dan reformasi aparatur, pemulihan ekonomi, peningkatan kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya, serta konservasi SDA hayati dan ekosistem penyangga kehidupan. Dalam penegakan bidang hukum, untuk menjabarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan melengkapi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, saat ini sedang disusun delapan (8) Rancangan Peraturan pemerintah (RPP) dan tiga (3) RPP untuk UU No.5 Tahun 1990 tentang Sistem Penyangga Kehidupan dan tentang Cagar Biosfir. Disamping itu sedang disiapkan konsep-konsep Keputusan Menteri mengenai pedoman, kriteria, standard, prosedur dan norma sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000. Penegakan hukum juga telah dilaksanakan dalam penyelewengan terhadap penggunaan dana reboisasi, baik yang dilakukan untuk pemetaan hutan maupun pembangunan HTI, proses pinjam pakai dan tukar menukar kawasan hutan untuk keperluan non hutan. Selain itu juga dilakukan penanggulangan illegal logging (penebangan liar) yang IV - 88

terjadi di daerah Tanjung Puting, Taman Nasional Gunung Leuser dan daerah perbatasan Kalimantan-Malaysia. Sedangkan dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF), maka telah dibentuk suatu Komite Antar Departemen Bidang Kehutanan melalui Keppres No. 80 tahun 2000 yang mempunyai tujuh tugas, diantaranya adalah merumuskan program kehutanan nasional, menunda konversi hutan alam, menghitung ulang nilai tukar sumberdaya hutan dan mendesentralisasikan tugas dan kewenangan bidang kehutanan sebagai instrumen pengelolaan dan konservasi sumberdaya hutan secara lestari. Seiring dengan usaha pemerintah dalam memberantas praktek kolusi, korupsi dan nepotisme di bidang pengusahaan hutan (HPH) maka sampai dengan tahun 2000 pemerintah telah memeriksa ijin 51 HPH yang dinilai melakukan penyimpangan prosedur, 14 HPH belum diberi ijin operasi dan 2 HPH diarahkan untuk dicabut. Demikian pula pemeriksaan terhadap aparat Departemen Kehutanan dan Perkebunan serta 68 HPH dari kelompok usaha besar yang dinilai tidak melaksanakan kegiatan sesuai ketentuan. Kegiatan-kegiatan lainnya yang telah dilaksanakan dalam rangka pemberantasan KKN di bidang kehutanan adalah pencabutan perjanjian pengelolaan mutiara di Pulau Komodo, pemeriksaan kegiatan kredit usaha tani konservasi daerah aliran sungai (KUKDAS), kredit usaha hutan rakyat (KUHR), dan kredit usaha persuteraan alam (KUPA). Hasil yang diperoleh dari pemeriksanan tersebut adalah ditemukannya kredit macet KUKDAS sebesar Rp 9.293,6 juta dan KUPA sebesar Rp 460,46 juta. Sementara itu, hasil-hasil pembangunan kehutanan dalam rangka pemulihan ekonomi dilaksanakan melalui pemberdayaan koperasi serta perorangan dalam pengelolaan hutan, restrukturisasi BUMN Kehutanan, penataan kembali pengelolaan hutan produksi di luar Pulau Jawa, penyesuaian tarif dana reboisasi bagi peningkatan penerimaan negara. Dalam rangka memperkuat struktur ekonomi nasional maka telah dikembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan IV - 89

menguntungkan antara koperasi, swasta, dan BUMN serta usaha kecil, menengah dan besar melalui kredit kepada masyarakat seperti KUHR, KUPA, dan KUKDAS. Dalam upaya membangun komitmen politik di antara para pihak, pemerintah telah membentuk Komite Kehutanan Antardepartemen (IDCF) melalui Keppres No.80 tahun 2000. Kegiatan-kegiatan komite yang telah dilaksanakan meliputi penyusunan Rencana Strategis Kehutanan dan Perkebunan tahun 2001-2005; menyiapkan National Forest Program sebagai tindak lanjut kesepakatan dengan IMF; menerbitkan Surat Keputusan Menhutbun No. 146/Kpts-II/2000 tentang evaluasi tindak lanjut pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan usaha budidaya perkebunan; menyiapkan Master Plan Rehabilitasi dan Reboisasi Hutan Nasional; melakukan kajian terhadap kemungkinan penerapan Clean Development Mechanism; dan menyiapkan konsep rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang perencanaan kehutanan sebagai penjabaran Undang-undang No. 41 Tahun 1999. Menindaklanjuti penataan ruang dalam UU No. 24 Tahun 1992 melalui paduserasi antara tata guna hutan kesepakatan (TGHK) dengan tata ruang wilayah di masing-masing propinsi. Dari 26 propinsi yang telah disepakati paduserasinya sebanyak 17 propinsi telah ditunjuk tata guna hutan dan yang masih dalam proses penyelesaian sebanyak 9 propinsi. Dalam program peningkatan kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya langkah-langkah kebijakan yang dilaksanakan antara lain meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui kegiatan pengembangan hutan rakyat, pengembangan hutan kemasyarakatan, dan pengembangan aneka usaha kehutanan. Namun langkah kebijakan tersebut belum dilaksanakan secara optimal. Sedangkan kegiatan reboisasi yang ditujukan untuk memulihkan fungsi perlindungan tata air dan tanah, yang diutamakan pada daerah aliran sungai (DAS) telah dilaksanakan pada areal hutan seluas 5.419 hektar di 17 propinsi pada tahun 1999/2000. Hutan kemasyarakatan yang merupakan pola IV - 90

pendekatan dalam pengelolaan hutan untuk menciptakan hubungan yang serasi dan saling menguntungkan antara hutan dengan masyarakat sekitarnya telah dilaksanakan pada areal sekitar 9.000 hektar di 14 propinsi pada tahun 1999/2000. Kegiatan penghijauan dan konservasi tanah di luar kawasan hutan yang ditujukan untuk memelihara keadaan tata air dan tanah di bagian DAS telah dapat direalisasikan seluas 368.250 ha yang dilaksanakan melalui upayaupaya: pembuatan unit percontohan usaha pelestarian sumberdaya alam (UPSA); susaha pertanian menetap (PM); pembangunan kebun bibit desa dan pembuatan bangunan konservasi tanah serta rehabilitasi teras. Pengembangan aneka usaha kehutanan melalui diversifikasihasi hasil hutan non-kayu seperti lebah madu, sutera alam, tanaman obat-obatan, rotan dan lain-lain. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama 10 tahun terakhir ini cukup mengkhawatirkan. Pada tahun 2000 sampai dengan bulan Mei, tercatat 450 hektar kawasan hutan dan 6.822 hektar kebun terbakar dengan perkiraan kerugian sebesar Rp 8 miliar. Dalam pada itu, upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka penanggulangan kebakaran tersebut antara lain adalah meningkatkan koordinasi dengan instansi dan masyarakat dalam mengatasi kebakaran hutan; mengembangkan sistem peringatan dan deteksi dini dengan teknologi sederhana maupun teknologi tinggi seperti pembangunan stasiun NOAA dan GMS Himawari; menjalin kerjasama dengan berbagai pihak baik dalam negeri maupun lembaga internasional; dan memberikan sanksi administrasi kepada pengusaha hutan yang melakukan pembakaran hutan pada areal usahanya dalam pembukaan lahan dan juga diupayakan untuk dapat diproses secara yuridis.

IV - 91

C. Tindak Lanjut yang Diperlukan Tanda-tanda pemulihan ekonomi semakin tampak. Stabilitas ekonomi terkendali dan kegiatan sektor riil telah meningkat. Namun demikian keadaan ekonomi masih sangat rentan terhadap gejolak, baik internal maupun eksternal, dan masih jauh di bawah keadaan pemulihan ekonomi yang diharapkan. Berbagai tindak lanjut diperlukan untuk mencapai pemulihan ekonomi sepenuhnya. Beban ekonomi rakyat sudah semakin berat, sehingga lambatnya pemulihan ekonomi cenderung memicu timbulnya gejolak sosial yang akan membahayakan proses pemulihan ekonomi itu sendiri. Proses pemulihan ekonomi yang berjalan lambat juga menghadapi ancaman munculnya gejolak ekonomi lainnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dapat membuat Indonesia menjadi lebih terpuruk. Dengan momentum reformasi yang ada saat ini, upaya keras harus dilanjutkan dan ditingkatkan, sedangkan kekurangan-kekurangan yang ada diperbaiki.

1.

Menjaga Stabilitas Ekonomi Makro dan Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi

Prospek perekonomian nasional di tahun 2000-2001 diperkirakan terus mengalami perbaikan. Namun demikian, terdapat beberapa tantangan dan permasalahan yang perlu segera diatasi. Permasalahan tersebut antara lain mencakup potensi gejolak inflasi sesaat dari sisi penawaran, lambatnya proses restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri, besarnya defisit keuangan negara, dan kendala yang dihadapi ekspor. Dalam kaitan itu, perlu ditingkatkan koordinasi yang lebih baik antarkebijakan dan insitusi terkait. Dalam hal keuangan negara, upaya mencapai kesinambungan anggaran akan terus dilanjutkan melalui upayaupaya meningkatkan penerimaan negara, mengurangi subsidi, IV - 92

membatasi peningkatan belanja pegawai dan mengamankan tahapan desentralisasi yang sesuai dengan kestabilan ekonomi makro. Sementara itu, jumlah utang luar negeri pemerintah yang semakin besar mengakibatkan beban pembayaran pokok dan bunga semakin membengkak sehingga upaya-upaya untuk mengurangi beban tersebut, khususnya melalui program restrukturisasi utang, menjadi tantangan tersendiri. Penyelesaian masalah utang tersebut di atas merupakan faktor pendukung pemulihan ekonomi nasional. Mengingat beban utang luar negeri yang besar dan untuk memberikan landasan yang mantap dan kejelasan bagi terciptanya kelembagaan dan hubungan kelembagaan dalam pengelolaan pinjaman luar negeri, perlu disusun UU Pinjaman Luar Negeri. Melalui UU ini nantinya diharapkan akan ada prinsip-prinsip dasar dan sanksi yang jelas dalam pencarian, penerimaan, penggunaan (penilaian) pinjaman luar negeri, dan hubungan kelembagaan yang jelas dalam pengelolaan dan pengendalian pinjaman luar negeri. Masalah lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah masih besarnya potensi tekanan inflasi beberapa bulan mendatang terutama sebagai dampak dari penyesuaian administered prices. Kebijakan moneter pada dasarnya hanya dapat mempengaruhi tekanan inflasi dari sisi permintaan, sehingga apabila terjadi gejolak di sisi penawaran akan sulit diakomodasi oleh kebijakan moneter dalam jangka pendek tanpa menimbulkan efek negatif terhadap kegiatan perekonomian. Tekanan inflasi juga akan berasal dari peningkatan kegiatan ekonomi beberapa sektor produksi penting serta faktor eksternal. Faktor ini tercermin dari kecenderungan melemahnya nilai tukar rupiah beberapa bulan terakhir dan potensi kenaikan harga komoditas dunia terhadap kenaikan inflasi dalam negeri. Untuk mengatasi masalah ini, maka uang primer akan dikendalikan secara ketat agar tetap berada di dalam target. Selanjutnya dalam rangka pengendalian inflasi misalnya agar kebutuhan pokok masyarakat tetap terjangkau perlu dilaksanakan kebijakan yang konsisten dan saling mendukung antar institusi yang mengatur arus perdagangan, membangun prasarana fisik, dan yang meningkatkan produksi bahan-bahan pokok, termasuk dalam IV - 93

menghadapi hal-hal khusus seperti menyongsong hari-hari besar (lebaran, natal, dan sebagainya). Dari sisi moneter, kebijakan terus difokuskan pada pengendalian nilai rupiah. Dalam rangka menjaga kestabilan nilai rupiah, khususnya pencapaian sasaran laju inflasi, Bank Indonesia telah menetapkan sasaran-sasaran moneter khususnya uang primer. Ekspansi uang primer akan dikendalikan sehingga tidak akan melebihi 8,3 persen pada akhir tahun 2000. Penetapan sasaran uang primer tersebut dilakukan bersama-sama dengan penetapan net domestic asset (NDA) dan net international reserve (NIR). Pada akhir tahun 2000, NIR diupayakan tetap berada di atas US$ 16,2 miliar dan posisi NDA tidak boleh lebih ekspansif dari negatif Rp 211 triliun. Namun demikian, Bank Indonesia dan pemerintah sepakat bahwa penetapan sasaran-sasaran moneter tersebut disesuaikan kembali apabila pemerintah melakukan penyesuaian harga-harga barang dan jasa yang dikendalikan (administered price). Dalam pelaksanaan pengendalian moneter, Bank Indonesia akan terus mengambil langkah-langkah guna meningkatkan efektivitas piranti pengendalian moneter yang dimiliki terutama OPT. Sehubungan dengan mulai diperdagangkannya obligasi pemerintah, Bank Indonesia akan menjajaki kemungkinan penggunaan obligasi tersebut sebagai alternatif instrumen OPT. Untuk dapat mendukung kebijakan moneter yang efektif dan pengembangan sistem perbankan yang sehat, maka arah kebijakan di bidang sistem pembayaran akan tetap difokuskan pada langkah penciptaan sistem pembayaran yang efisien, cepat, dan aman. Untuk itu, pelaksanaan real time gross settlement (RTGS) akan dipercepat dan penanggulangan peredaran uang palsu diprioritaskan. Selanjutnya, untuk mengatasi masalah beban pengendalian moneter maka perlu dilakukan upaya untuk lebih meningkatkan fungsi intermediasi perbankan. Hal ini memerlukan langkah-langkah yang tepat untuk dapat mempercepat proses restrukturisasi di sektor perbankan maupun sektor riil. IV - 94

2.

Mempercepat Restrukturisasi Restrukturisasi Perusahaan

Perbankan

dan

Pelaksanaan restrukturisasi perbankan yang belum berjalan seperti yang diharapkan merupakan salah satu faktor yang menghambat percepatan restrukturisasi dunia usaha. Selain itu, belum pulihnya sektor perbankan mengakibatkan kebijakan moneter menjadi tidak efektif karena proses transmisi kebijakan moneter ke sektor riil melalui intermediasi sistem perbankan tidak berjalan. Upaya mempercepat pelaksanaan restrukturisasi perbankan ini akan menentukan kinerja perekonomian mendatang. Upaya ini akan ditempuh dengan lebih mengefektifkan forum koordinasi yang melibatkan pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan restrukturisasi perbankan, khususnya program rekapitalisasi dan restrukturisasi kredit. Dalam rangka mencegah terulangnya kembali krisis perbankan pada tahun-tahun mendatang, pemerintah mendukung upaya Bank Indonesia untuk terus memantapkan ketahanan sistem perbankan melaiui penciptaan lingkungan perbankan yang kondusif, peningkatan kualitas pengelolaan bank (good governance), serta pemantapan pengawasan bank. Pemantapan pengawasan bank dilakukan antara lain dengan lebih menitikberatkan kegiatan pengawasan pada identifikasi risiko yang dihadapi (risk based supervision), dan mengupayakan tercapainya CAR perbankan nasional sebesar 8 persen sesuai dengan standar internasional pada akhir tahun 2001. Selanjutnya, BI akan mendorong pemulihan fungsi intermediasi bank terutama melalui peningkatan pembiayaan usaha kecil dan menengah (UKM) dengan pemberian bantuan teknis untuk pengembangan UKM dan pengembangan peranan bank yang sudah mempunyai keahlian di bidang pembiayan UKM. Restrukturisasi utang luar negeri swasta yang berjalan lambat menjadi kendala utama bagi dunia usaha untuk kembali menjalankan aktivitas usahanya secara optimal. Proses penyelesaian IV - 95

utang swasta tersebut semakin berat akibat lemahnya koordinasi antar instansi terkait. Untuk penuntasan restrukturisasi utang perusahaan, beberapa langkah tindak lanjut perlu dilakukan antara lain adalah memperkuat institusi yang berkaitan dengan restruksturisasi utang perusahaan, antara lain Prakarsa Jakarta, BPPN, dan Pengadilan Niaga; dan instrumen-instrumen dasar, antara lain perangkat peraturan yang berkaitan dengan upaya penyelesaian utang perusahaan. Sedangkan untuk mencegah terulangnya pinjaman swasta yang tidak terkendali diperlukan penyempurnaan sistem pemantauan utang luar negeri swasta termasuk BUMN, perluasan cakupan data pokok posisi utang luar negeri, dan penyempurnaan sistem pelaporan utang luar negeri.

3.

Menanggulangi Kemiskinan dan Menciptakan Lapangan Kerja serta Meningkatkan Perlindungan Tenaga Kerja

Selanjutnya, sebagai masalah pokok nasional dalam pembangunan nasional, pelaksanaan penanggulangan kemiskinan harus terus ditingkatkan dan tidak dapat ditunda dengan dalih apapun. Sesuai dengan prinsip keadilan, penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu upaya strategis dalam mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan. Dalam kaitan itu tindak lanjut yang perlu diupayakan adalah melanjutkan berbagai upaya untuk melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi dan melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha, dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensional sehingga memerlukan strategi penanggulangan yang komprehensif. Karena itu, kedua strategi penanggulangan IV - 96

tersebut di atas, perlu didukung oleh kebijakan makro seperti stabilisasi harga dan kebijakan pro-poor growth, sektoral seperti pembangunan pertanian dan pengembangan UKMK, pendidikan dan kesehatan, dan lintassektoral seperti pengembangan perdesaan. Sesuai dengan otonomi daerah, maka berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut akan dilaksanakan dengan prinsip desentralisasi, yaitu mendelegasikan proses pengambilan keputusan, tanggung jawab dan kewenangan sedekat mungkin dengan kelompok sasaran. Pemerintah daerah berperan untuk mengkoordinasikan dan memfasilitasi semua kegiatan penanggulangan kemiskinan di daerahnya dan secara umum bertanggungjawab atas keberhasilan pelaksanaan kebijakan di daerahnya sedangkan pemerintah pusat berperan dalam pengembangan sistem informasi yang didasarkan pada data dasar yang lengkap, akurat, dan mutakhir mengenai kondisi penduduk miskin. Di sektor ketenagakerjaan, tindak lanjut yang diperlukan adalah memperluas kesempatan kerja dalam berbagai bidang usaha, menciptakan tenaga kerja mandiri dalam rangka mengurangi pengangguran baik di perdesaan maupun di perkotaan. Berbagai kebijakan yang dibuat seyogyanya mendorong penciptaan pasar kerja yang fleksibel dan responsif terhadap peluang-peluang yang tersedia. Krisis ekonomi membawa perubahan kepada prospek usaha yang memerlukan mobilitas tenaga kerja yang memadai. Terkait dengan perluasan kesempatan kerja, diperlukan peningkatan kemandirian dan kompetensi tenaga kerja. Untuk itu, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang memadai dan sesuai dengan permintaan pasar perlu ditingkatkan. Salah satu pilar penting adalah untuk secepatnya membentuk lembaga pengembangan standarisasi dan sertifikasi kompetensi profesi. Selain itu, perlu ditingkatkan kualitas dan relevansi pelatihan kerja melalui pembinaan dan pemberdayaan lembaga pelatihan kerja agar menghasilkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan. IV - 97

Khusus untuk pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, perlu disempurnakan mekanisme pengiriman, pembinaan, bimbingan, dan seleksi yang lebih ketat. Keterbatasan keterampilan mengakibatkan tenaga kerja yang dikirim banyak bekerja pada sektor informal, di masa datang diharapkan tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri mempunyai keterampilan yang lebih tinggi. Selain itu, perlu diupayakan pernyempurnaan perlindungan yang lebih baik terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam program perlindungan tenaga kerja, perlu ditindaklanjuti peraturan dan perundang-undangan sebagai konsekuensi diratifikasinya delapan konvensi ILO oleh pemerintah Indonesia. Hal ini agar secepatnya terwujud hubungan industrial yang serasi dan saling menguntungkan antara pekerja dan pengusaha. Upaya peningkatan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial bagi pekerja perlu ditingkatkan. Dalam bidang jaminan sosial tenaga kerja, perlu disempurnakan berbagai kebijakan agar perusahaan dan pekerja yang mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja dapat benar-benar merasakan manfaatnya sehingga tingkat partisipasi dalam program jaminan sosial tenaga kerja dapat meningkat.

4.

Memulihkan Kegiatan Usaha: Produksi, Perdagangan, dan Investasi

Pemberdayaan dan pengembangan UKMK memerlukan upaya yang besar, proses dan waktu, serta komitmen segenap komponen masyarakat. Upaya lanjutan yang perlu dilakukan antara lain adalah penyempurnaan peraturan-peraturan untuk mendukung desentralisasi dan otonomi, termasuk mewaspadai agar di masingmasing daerah tidak muncul peraturan maupun pungutan/retribusi daerah yang dapat menghambat kelancaran usaha, khususnya UKMK, termasuk arus barang dan jasa antardaerah dan wilayah. IV - 98

Selanjutnya, untuk meningkatkan pembinaan usaha kecil dan menengah yang mandiri, perlu terus dikembangkan layanan pengembangan bisnis baik lembaga maupun tatanan antar kelembagaannya, terutama untuk menumbuhkan lebih luas lembaga layanan tersebut di daerah. Untuk lebih mendorong swasta dalam menyediakan pelayanan bisnis kepada UKMK perlu dikaji sistem insentif yang wajar. Pelayanan pengembangan bisnis baik di bidang teknis produksi, usaha maupun pemasaran perlu terus ditingkatkan mutu pelayanannya, baik mutu materi maupun cara pelayanannya, sesuai dengan kebutuhan UKMK. Dengan makin meningkatnya mutu pelayanan sesuai kebutuhan tersebut, maka peran masyarakat dapat meningkat menjadi lembaga layanan yang dapat berkembang secara mandiri. Seiring dengan upaya tersebut, terus ditingkatkan pula penguasaan teknologi informasi termasuk teknologi proses dan produk agar dayasaing UKM semakin meningkat. Demikian juga, pelaksanaan kemitraan antara UKM dengan usaha besar masih perlu terus didorong untuk memperluas jaringan usahanya, baik di dalam maupun luar negeri. Upaya ini dapat dipercepat melalui pemasyarakatan transaksi dagang melalui sistem elektronik (e-commerce) sehingga usaha kecil dan menengah dapat memanfaatkan peluang usaha ini, termasuk mewaspadai bahaya serta kerugian yang mungkin timbul dari transaksi tersebut. Berkenaan dengan aspek pembiayaan, bersamaan dengan peninjauan kembali terhadap faktor-faktor penghambat efektivitas kredit dan penyederhanaan skim kredit bagi UKMK, maka pengembangan skim dan lembaga penjaminan kredit UKMK perlu ditindaklanjuti serta penyederhanaan peraturan yang menghambat pengembangan lembaga pembiayaan alternatif. Yang perlu dilakukan juga adalah penguatan dan peningkatan corporate governance lembaga pembiayaan untuk usaha kecil, menengah, dan koperasi ini. Dalam hal BUMN, terus diupayakan langkah-langkah untuk memperbaiki kinerja BUMN yang antara lain adalah: pertama, IV - 99

menerapkan dan membudayakan corporate governance dengan kaidah fairness, transparansi, accountability, dan responsibility; kedua, memisahkan kegiatan bisnis dari fungsi pelayanan pemerintah sehingga BUMN yang bersangkutan dapat memperoleh keuntungan yang maksimal yang memungkinkan perluasan dan peningkatan jaringan pelayanan yang sejalan dengan kaidah-kaidah ekonomi dan bisnis; ketiga, meningkatkan upaya restrukturisasi dan privatisasi BUMN; serta keempat, menanamkan prosedur yang adil (fair) dan transparan dalam manajemen tenaga kerja serta pengadaan barang dan jasa. Peluang peningkatan ekspor non migas sangat terbuka. Peluang tersebut antara lain tercermin dari perkembangan nilai tukar yang relatif stabil, masih kuatnya permintaan dunia, dan membaiknya harga sejumlah komoditas ekspor non migas. Dalam upaya meningkatkan penerimaan devisa baik dari penerimaan ekspor barang terutama non migas maupun ekspor jasa seperti TKI, pariwisata, jasa angkutan, dan jasa lainnya, pemerintah terus mengurangi hambatan-hambatan dalam perdagangan dan investasi. Selain itu juga diperlukan upaya untuk mendorong efektivitas lembaga pembiayaan perdagangan ekspor dan impor (trade financing) seperti Bank Ekspor Indonesia (BEI) yang antara lain melalui perubahan status BEI, meningkatkan promosi ekspor ke luar negeri termasuk upaya pemulihan citra masyarakat internasional terhadap Indonesia. Demikian pula diplomasi perdagangan dan pariwisata ke luar negeri lebih digalakkan agar hambatan perdagangan yang dihadapi para eksportir dapat dikurangi. Selanjutnya, diperlancar distribusi bahan baku dan produk ekspor di dalam negeri, khususnya dari dan ke kawasan penghasil ekspor andalan, untuk menjamin kelancaran ekspor, mengembangkan potensi pariwisata, dan mempermudah pemberian ijin usaha pariwisata. Upaya untuk mengikuti bursa kepariwisataan internasional dan menjalin kerjasama dengan lembaga kepariwisataan internasional perlu terus ditingkatkan. Dalam hal perundang-undangan, untuk mendukung pariwisata maka perlu IV - 100

dilakukan perubahan UU No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kepariwisataan saat ini. Demikian pula, sedang dipersiapkan penyusunan RUU tentang Kesenian. Pengaruh gejolak moneter dan musim yang tidak menentu selama tahun 1999/2000 memberikan dampak terhadap tidak stabilnya ketersediaan pangan baik sebagai sumber energi maupun protein. Perkembangan komposisi energi yang berasal dari padipadian semakin menjauhi komposisi yang dianjurkan dalam penilaian skor mutu PPH. Dengan demikian sesuai dengan mutu gizi seimbang sasaran konsumsi masih diperlukan upaya peningkatan baik dari aspek budaya maupun ketersediaan sumber energi yang berasal dari bahan pangan lainnya. Untuk peningkatan mutu pangan diperlukan komposisi yang seimbang dengan tersedianya energi dan protein dengan cara diversifikasi pangan dan pemanfaatan teknologi mutakhir serta bibit-bibit unggul hasil terakhir. Dampak krisis ekonomi dan moneter saat sekarang merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk kembali mengandalkan pembangunan yang berbasis pertanian dan perdesaan. Momentum ini merupakan kesempatan untuk lebih mewujudkan kelestarian swasembada pangan, mengembangkan agrobisnis produk-produk pertanian dan kehutanan, sekaligus mendukung upaya program percepatan penghapusan kemiskinan. Program ini dilaksanakan melalui pendekatan pertanian rakyat terpadu dengan titik berat kegiatan pada upaya-upaya meningkatkan produktivitas usaha tani melalui peningkatan mutu dan perluasan areal intensifikasi, menjamin ketersediaan dan distribusi benih unggul dan sarana produksi, memperbaiki pengelolaan pasca panen dengan pengembangan dan penggunaan alat dan mesin pertanian, serta meningkatkan penerapan teknologi konservasi. Di sektor kelautan, upaya-upaya yang akan dilakukan dalam pengelolaan sumberdaya laut di masa mendatang adalah penguasaan teknologi kelautan dan perikanan, pemanfaatan sumberdaya laut, pengelolaan lingkungan hidup laut, pembinaan daerah pantai, IV - 101

penataan ruang, inventarisasi dan evaluasi potensi kelautan, serta peningkatan efisiensi dan kapasitas aparatur negara. Sesuai dengan perkembangan era reformasi, restrukturisasi kegiatan dan bidang usaha di sektor pertambangan akan terus dilanjutkan untuk mencapai dasar-dasar pengusahaan yang menghapuskan monopoli dan terbuka bagi masyarakat luas. Dengan demikian pengusahaan di sektor pertambangan dan energi dapat dilakukan secara efisien, transparan dan sesuai dengan cara dan sistem pengelolaan usaha pertambangan dan energi yang modern, serta hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas dalam bentuk pelayanan yang lebih baik dan harga yang bersaing. Selanjutnya, dalam rangka otonomi daerah, secara bertahap kewenangan pemerintah pusat akan didelegasikan kepada pemerintah daerah secara bertangungjawab, hal ini diharapkan dapat mewujudkan iklim yang kondusif untuk masuknya investasi baru. Selain itu perlu tindak lanjut dari penyelesaian berbagai masalah secara hukum meliputi penyelundupan BBM, kegiatan pertambangan tanpa izin (Peti), penghapusan KKN di lingkungan BUMN pertambangan dan energi. Penyesuaian harga BBM perlu menjadi salah satu agenda yang sangat mendesak untuk segera dilaksanakan. Berdasarkan perhitungan, kenaikan harga BBM dinilai tidak akan terlalu membebani golongan miskin, karena kepada rakyat miskin pemerintah masih akan memberikan subsidi langsung dalam bentuk harga untuk minyak tanah dan subsidi angkutan umum untuk kelas ekonomi. Sebaliknya, dipertahankannya harga BBM akan meningkatkan subsidi BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah. Hal ini akan berdampak kepada besarnya beban APBN, rendahnya tingkat efisiensi konsumsi dan tertundanya upaya diversifikasi energi.

5. Menyediakan IV - 102

Prasarana

dan

Sarana

Penunjang

Ekonomi Dalam hal prasarana pengairan, untuk mencapai pendayagunaan sumberdaya air yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan pula UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta peraturan lain yang masih berlaku di sektor pengairan, diperlukan tindak lanjut untuk mengatur kembali peranan pemerintah dan peningkatan peran serta masyarakat. Langkah-langkah yang diperlukan antara lain adalah penyiapan berbagai prosedur dan perangkat pengaturan yang berkaitan dengan semakin meningkatnya kompetisi pemanfaatan sumber air; pengaturan kembali peranan pemerintah pusat yang akan dibatasi hanya pada kegiatan pengaturan; pembinaan, peningkatan partisipasi peran swasta dan masyarakat di masing-masing daerah, serta penyerahan pengelolaan sumberdaya air ke masing-masing pemerintah daerah; penyiapan prosedur dan peraturan dalam rangka penyerahan kewenangan pelaksanaan pembangunan pengairan kepada pemerintah daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten; reorganisasi struktur pemerintah daerah di tingkat propinsi untuk menjamin optimalisasi pelayanan pemenuhan kebutuhan air di tingkat kabupaten sampai ke tingkat desa. Reformasi pembangunan transportasi harus terus dilanjutkan melalui deregulasi ataupun regulasi untuk penghapusan berbagai bentuk restriksi yang dapat menghambat upaya peningkatan efisiensi pelayanan jasa transportasi, pelaksanaan reformasi hukum, kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang transportasi dalam menciptakan kelembagaan yang efisien, bertanggung jawab, dan aparat yang bersih dan upaya pemerataan kesempatan berusaha melalui peningkatan keikutsertaan usaha kecil dan menengah/ koperasi dalam pengadaan barang dan jasa transportasi. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi perlu diupayakan peningkatan peran serta masyarakat dan swasta baik melalui kerjasama operasi dengan BUMN, proses privatisasi serta restrukturisasi kejelasan tugas, kewajiban, dan peran antara IV - 103

pemerintah dan BUMN, baik dalam pelaksanaan pembangunan maupun pengelolaan jasa transportasi. Penerapan sistem kebijakan tarif angkutan perlu diupayakan lebih transparan dan lebih kompetitif melalui perbaikan mekanisme penetapan yang lebih mendekati keseimbangan daya beli dan keinginan pasar dan mekanisme sistem subsidi yang efisien dan tepat sasaran agar kepentingan pelayanan umum dapat diprioritaskan. Program pengembangan fasilitas lalu lintas angkutan jalan perlu dilanjutkan untuk menjamin terselenggaranya sistem lalu lintas angkutan jalan yang lancar, terpadu, aman dan nyaman, sehingga mampu meningkatkan efisiensi pergerakan orang dan barang serta memperkecil kesenjangan antarwilayah sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Selanjutnya, pembangunan perkeretaapian perlu terus dikembangkan untuk meningkatkan pelayanan angkutan kereta api secara cepat, murah, aman dan nyaman sehingga tidak saja mampu berperan sebagai alternatif angkutan jalan yang handal tetapi juga menunjang pergerakan orang dan barang secara massal dan efisien. Begitu pula angkutan sungai/danau, perlu terus ditingkatkan untuk meningkatkan pelayanan angkutan sungai, danau, dan penyeberangan yang diharapkan dapat berperan sebagai tulang punggung pengembangan ekonomi daerah, khususnya di kawasan terpencil dan pedalaman maupun untuk menghubungkan kesatuan wilayah dan pulau-pulau melalui suatu sistem jaringan transportasi yang terpadu. Untuk menjamin lancar dan amannya pelayaran di perairan Indonesia serta menegakkan asas cabotage dan UNCTAD Code of Conduct of Liner Conference, maka tindak lanjut yang diperlukan adalah : peningkatan kemampuan daya saing usaha transportasi laut; peningkatan investasi dan partisipasi swasta; peningkatan kemampuan SDM dan manajemen khususnya untuk pelaut Indonesia melalui pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan STCW 1995; penataan regulasi/ peraturan perundang-undangan dan kelembagaan; pembangunan, pemeliharaan prasarana, sarana dan sistem jaringan; pengolahan lingkungan hidup, pemanfaatan IV - 104

teknologi dan konservasi energi; dan peningkatan pengoperasian dan pelayanan jasa transportasi laut. Untuk meningkatkan jasa pelayanan transportasi udara, kepada masyarakat dan menghadapi era pasar global, diperlukan upaya-upaya yang bertujuan mempertahankan kelangsungan usaha dan daya saing nasional melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif; meningkatkan keselamatan dan keamanan transportasi melalui pembangunan fasilitas bandar udara, fasilitas navigasi penerbangan dan telekomunikasi yang memenuhi persyaratan penerbangan; melakukan pengawasan operasional dan kelaikan di bidang bandar udara, pengaturan lalu lintas penerbangan dan pesawat udara; mengupayakan agar perusahaan penerbangan juga berminat dan ikut mempunyai tanggung jawab melayani rute-rute yang kurang menguntungkan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam pengelolaan bandar udara, peralatan navigasi dan telekomunikasi penerbangan. Sejalan dengan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, maka perlu dilakukan perubahan fungsi pemerintah pusat dengan lebih memberdayakan daerah untuk lebih berperan dalam penyediaan transportasi udara. Selanjutnya dalam pembangunan meteorologi dan geofisika, perlu ditingkatkan kemampuan peramalan cuaca untuk mendukung keselamatan transportasi khusunya dan kegiatan masyarakat pada umumnya. Di samping itu meningkatkan sarana dan prasarana operasional, serta rehabilitasi terhadap prasarana dan sarana meteorologi dan geofisika. Demikian pula dalam program pencarian dan penyelamatan, perlu ditingkatkan kemampuan operasi SAR terutama di daerahdaerah rawan bencana, memasyarakatkan ketrampilan SAR kepada masyarakat dengan cara melatih potensi-potensi SAR dalam masyarakat. Di samping itu juga berusaha mempersingkat tindak awal sehingga korban bencana dan kecelakaan transportasi dapat diminimalkan. Mengingat kebutuhan investasi prasarana ketenagalistrikan yang sangat besar di masa mendatang, maka prioritas perlu IV - 105

dilakukan untuk mendukung restrukturisasi utang, restrukturisasi korporat dan sektor dalam mengemban misi sosial dan komersial, rasionalisasi listrik swasta serta mengurangi beban pemerintah melalui partisipasi swasta. Kebijakan lain yang diperlukan adalah pengaturan harga energi yang kompetitif, penghematan konsumsi energi serta untuk mendukung penganekaragaman penggunaan energi, yaitu mengutamakan pembangunan pembangkit tenaga listrik non BBM, seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), serta pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Restrukturisasi ketenagalistrikan harus ditindaklanjuti dengan perangkat perundang-undangan untuk menjamin aturan main bagi terselenggaranya pelayanan jasa kelistrikan secara efisien, kompetitif, handal, dan terjangkau melalui pengembangan secara bertahap struktur pasar yang kompetitif yang terbuka sepenuhnya. Dalam upaya mengurangi beban PLN di dalam penyediaan tenaga listrik, maka secara bertahap tarif listrik untuk konsumen besar dan industri akan dinaikkan. Selain itu untuk menjamin tersedianya listrik di perdesaan, perlu dibuat suatu aturan yang jelas bagi koperasi untuk dapat menyediakan tenaga listrik di perdesaan melalui kerjasama PLN dengan KUD. Langkah penting lainnya adalah mempersiapkan tenaga kerja yang memadai melalui peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan dan pelatihan. Dengan peningkatan SDM yang memadai maka ketergantungan terhadap teknologi asing dapat dikurangi. Dalam hal pembangunan prasarana telekomunikasi, pemerintah yang merupakan pemegang saham mayoritas mempersiapkan program privatisasi bagi PT. Telkom dan PT. Indosat. Untuk mendukung pelaksanaan UU No. 36 tahun 1999 yang akan dimulai pada September 2000, pemerintah tengah mempersiapkan regulasi pendukung. Hingga saat ini pemerintah tengah menyusun Peraturan Pemerintah (PP) Interkoneksi, PP Frekuensi dan Orbit Satelit, cyber law (Undang-undang tentang Pemanfaatan Jasa Internet), serta PP tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Pemerintah juga tengah mempersiapkan peraturan IV - 106

tentang tarif dan interkoneksi jaringan serta penyelesaian jangka panjang menyangkut masalah KSO. Untuk mendukung penyelenggaraan telekomunikasi yang kompetitif, PT. Telkom dan PT. Indosat harus segera merestrukturisasi usaha dengan mengurangi kepemilikan bersama pada sejumlah perusahaan afiliasi. Guna meningkatkan transparansi, pemerintah juga akan melakukan audit khusus (special audit) terhadap PT. Telkom. Khusus untuk menunjang penyelengaraan telematika termasuk untuk peningkatan pelayanan publik, upaya yang ditempuh mencakup penyiapan perangkat hukum dasar dan master plan, serta pembentukan lembaga koordinasi yang mantap.

6.

Menata Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup

Dengan telah diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, UU No. 25 tahun 1999, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, maka perlu diupayakan langkah-langkah dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya hutan seperti kelestarian ekosistem, kelestarian ekonomi dan kelestarian sosial budaya masyarakat setempat. Untuk mencapai sasaran pembangunan di bidang sumberdaya alam yang telah ditetapkan dan sekaligus mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi kebijakan yang ditempuh adalah: (1) Menerapkan pendekatan berimbang antara mekanisme pasar, tata nilai dan regulasi berkeadilan dengan pola kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi; (2) Menjamin keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam, adanya kepastian hukum atas pemilikan, IV - 107

pengelolaan, serta pemanfaatan nilai tambah sumberdaya alam termasuk pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal; (3) Menerapkan teknologi yang terbaik dan tersedia termasuk teknologi tradisional, untuk kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam; (4) Mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ekonomi, ekologi dan sosial dalam pemanfaatan sumberdaya alam; (5) Menata kelembagaan, termasuk pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam secara bertahap kepada pemerintah daerah; (6) Melakukan pembenahan terhadap sistem hukum yang ada menuju sistem hukum yang responsif yang didasari prinsip-prinsip keterpaduan, pengakuan hak-hak asasi manusia, keseimbangan ekologis, ekonomis, kesetaraan gender dan desentralisasi; dan (7) Melakukan reorientasi paradigma pembangunan yang mengakui kesetaraan posisi antarpihak, melembagakan hak-hak publik terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Institusi pelaksana pengelolaan lingkungan hidup di pusat dan di daerah perlu diperkuat kapasitas dan perannya agar pengelolaan lingkungan berjalan lebih efektif, dibutuhkan peningkatan peran masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat lokal, pengakuan hak-hak adat dan penguatan kontrol masyarakat. Sementara itu, pengembangan kualitas aparat pemerintah perlu terus dilakukan dan penegakan hukum masih perlu ditingkatkan melalui penataan peraturan perundangan, pengembangan sumberdaya manusia (SDM) di bidang hukum lingkungan, seperti penyidik PNS dan aparat penegak hukum, serta penyelesaian sengketa lingkungan yang menguntungkan berbagai pihak. Dalam melaksanakan strategi kebijakan tersebut, ditetapkan 5 (lima) program pokok pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam lima tahun mendatang. Kelima program tersebut saling terkait satu sama lain dengan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi dalam kualitas lingkungan hidup yang semakin baik dan sehat. Program-program tersebut adalah program pengembangan dan IV - 108

peningkatan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup; program peningkatan efektivitas pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumberdaya alam; pencegahan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup; penataan kelembagaan dan penegakan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup; dan peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Sementara itu, untuk kehutanan, sebagai tindak lanjut bagi kebijakan yang telah ditempuh dalam upaya penegakan hukum dan reformasi aparatur adalah menginventarisasi berbagai peraturan perundangan dibidang kehutanan, mulai undang-undang sampai dengan keputusan menteri, guna memberi arahan hukum pembangunan kehutanan, yang disertai dengan penegakan hukum secara adil, transparan, dan konsisten. Demikian pula dalam rangka pemberantasan KKN dalam pembangunan kehutanan, terus dikembangkan pemeriksaan KKN. Dalam rangka pemulihan ekonomi, tindak lanjut yang perlu dilaksanakan antara lain adalah pemantapan status hukum kawasan hutan guna memberikan iklim kondusif dan investasi pembangunan kehutanan; dan pemantapan standard, kriteria, norma, dan pedoman pengelolaan hutan guna mendukung dan mempercepat kebijakan otonomi daerah dan terwujudnya kelestarian fungsi hutan bagi kesejahteraan rakyat. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dan ketahanan budaya, upaya tindak lanjut yang akan dilaksanakan adalah pemberdayaan masyarakat melalui penciptaan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; peningkatan pendidikan, keterampilan, pengenalan teknologi ramah lingkungan; dan perlindungan terhadap persaingan yang tidak seimbang. Usaha lainnya adalah pemberdayaan ekonomi rakyat berbasis hutan; pengembangan partisipasi masyarakat melalui kegiatan pengembangan berbasis masyarakat; pengembangan hutan kemasyarakatan; mempercepat penyusunan RPP tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Reklamasi Hutan, RPP tentang IV - 109

Peranserta Masyarakat Dalam Pembangunan Kehutanan, dan RPP tentang Hutan Kota; serta mengevaluasi dan mengkaji kebijakan pemberian kredit sesuai dengan kebijakan baru dalam hal penggunaan dana reboisasi. Pengembangan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang berdasarkan pada pengakuan hak terhadap para pihak (stakeholders) merupakan salah satu upaya tindak lanjut dalam rangka pembangunan daerah. Upaya lainnya adalah penyusunan kebijakan, standard, tata ruang dan tata guna lahan yang dilakukan secara partisipatif, transparan dan berkeadilan; penyesuaian teknik-teknik budidaya sesuai kondisi sosial budaya setempat; dan pemantapan mekanisme koordinasi dan keterpaduan pembangunan kehutanan dengan pembangunan daerah secara konsisten bagi kepentingan para pihak sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang tersedia.

IV - 110

Anda mungkin juga menyukai