Anda di halaman 1dari 22

Manajemen Efek Kejang

Hippocrates memperingatkan, "Satu kesenangan seseorang merupakan racun bagi orang lain." Hal ini dapat diterapkan pada obat antiepilepsi. Apa yang membantu satu pasien bisa tidak berefek apa-apa untuk pasien kedua dan dapat menghasilkan efek samping diinginkan pada pasien ketiga. yang tidak

Kerja dan Efek Samping Obat Antiepilepsi


Prinsip Farmakologi Obat antiepilepsi tidak hanya mempengaruhi situs otak tertentu dan fungsi tertentu. Sebaliknya, obat antiepilepsi mempengaruhi seluruh otak dan banyak fungsi. Beberapa prinsip dasar dapat membantu dalam memahami efek ini. Beberapa kejang disebabkan oleh pelepasan muatan listrik yang berlebihan dari bagian otak, seperti yang terjadi pada kejang parsial . Beberapa kejang disebabkan oleh ledakan inhibisi dari bagian otak yang lebih dalam, seperti yang terjadi pada kejang absans, myoclonic, dan atonic. Pada daerah pelepasan muatan listrik fokal, pembesaran dan penyebaran daerah ini ke area yang jauh sangat penting. Menghambat Eksitasi yang berlebihan dan sebaliknya Antikonvulsan bekerja dengan cara menghambat pelepasan muatan listrik yang berlebihan, dengan cara memprovokasi timbulnya hambatan yang berlebihan, atau dengan cara menghentikan penyebaran muatan listrik. Kerja otak di perantarai oleh neutotransmitter. Ada neurotransmitter penghambat dan neurotransmitter perangsang kerja otak. Obat antiepilepsi bekerja dengan cara meniru neurotransmitter, mengeblok kerja neurotransmitter, memfasilitasi produksi neurotransmitter atau menghambat penghancuran neurotransmitter. Menghentikan pembesaran dan penyebaran fokus kejang Kerja antiepilepsi mungkin adalah untuk menghambat fokus dari pelepasan impuls listrik yang berlebih, untuk membatasi fokus tersebut agar tidak menjadi cukup besar untuk menimbulkan kejang, atau untuk membatasi penyebaran fokus ke bagian otak yang lainnya. Jika area pelepasan muatan listrik meningkat ukuran atau kekuatannya, hal ini dapat melibatkan lokasi di area yang berdekatan atau terkadang yang jauh, hal ini cukup untuk mengatasi sistem penghambatan impuls listrik alami otak sehingga terjadilah kejang. Bahkan

jika kejang tidak terjadi, pembesaran dari lokasi pelepasan muatan listrik, atau respon dari area otak yang berdekatan dapat mengganggu fungsi pada area yang terlibat. Obat-obatan yang menghambat pelepasan muatan listrik sel juga dapat menghambat fungsi kognitif dan bahasa. Obat-obatan berefek lebih dari hanya sekedar penghambat pelepasan muatan listrik pada kejang Jika fokus pelepasan muatan listrik menghambat atau mendistorsi perjalanan sinyal saraf yang berfungsi kognitif, linguistik, atau perilaku, maka obat antiepilepsi yang menghambat focus pelepasan muatan listrik ini mungkin dapat meningkatkan fungsi otak yang terkait. Obat yang hanya menghambat pembesaran dari area fokus kurang tepat untuk dimanfaatkan memberikan sedikit manfaat pada disfungsi yang terkait. Target efek dari obat antiepilepsi menuju pada neurotransmitter tertentu atau neuron, bukan ke regio otak tertentu. Pengaruh obat tersebut mempengaruhi seluruh otak, dimanapun neurotransmitter atau neuronal target berada, tidak hanya pada focus kejang. Akibatnya, obat tersebut dapat mempengaruhi fungsi terkait lainnya. Obat yang menghambat pelepasan muatan listrik yang berlebihan cenderung menghambat fungsi otak lainnya yang justu dibutuhkan seperti kewaspadaan, tingkat pemikiran, dan bahasa. Obat-obatan yang meningkatkan aktivitas otak untuk mengatasi produksi kejang dengan cara meningkatkan aktivitas inhibisi yang berlebih cenderung tidak menggangu fungsi kesadaran, kognisi, atau bahasa. Tetapi terkadang obat ini dapat menghilangkan hambatan dari kegiatan yang tidak diinginkan, seperti tingkahlaku. Obat lama versus obat baru Obat-obatan antiepilepsi ditemukan pada awal abad kedua puluh dan didominasi sebagai kontrol upaya pengobatan epilepsi sepanjang abad itu. Obat-obatan ini didasarkan pada struktur asli barbiturat. Barbiturate cenderung sebagai obat penghambat yang menyebabkan sedasi dan melambatkan fungsi. Efek obat ini meluas tidak hanya pada otak, yaitu menyebabkan penurunan reaksi yang berlebihan pada organ lain. Barbiturat dan derifat turunananya memproduksi efek baik dan efek samping pada sistem saraf pusat dan organ lain. Pengembangan obat antiepilepsi adalah sama pada tingkat stukturnya, yaitu berlatarbelakang pada barbiturate, bahwa jika lebih dari satu atau dua obat diresepkan bersama maka cenderung akan meningkatkan aspek-aspek negative daripada peningkatan kontrol kejang. Dengan pada disfungsi yang terkait. Obat yang kerja utamanya mencegah penyebaran focus mungkin hanya

demikian, aturan pemakaian biasanya adalah satu obat, jarang dua atau tiga obat, lebih dari empat obat tidak pernah digunakan. Obat jenis baru cenderung tidak menambah efek samping. Neurotransmitter adalah agen messenger yang mempromosikan aktivitas sel penghambat, tergantung pada jenis akhiran neurotransmitter. Agen neurotransmitter ini juga memfasilitasi bahasa, proses belajar, dan emosi. Obat-obatan antiepilepsi baru seringkali ditargetkan pada sistem neurotransmitter tertentu yang terlibat pada produksi kejang, dan dengan demikian dapat dipilih sebagai kombinasi tambahan tanpa terjadi penambahan efek samping. Namun obat-obatan baru juga dapat mengubah fungsi neuronal , baik kognitif maupun dan perilaku. Obat-obatan yang lebih baru, yang dirancang untuk meniru neurotransmitter, dan efeknya hanya pada SSP, dimana kedua efek yang diinginkan dan tidak diinginkan terlihat. Efek sampingnya muncul terutama mempengaruhi fungsi otak Obat-obatan yang lebih baru, yang dirancang untuk meniru neurotransmiter, lebih terbatas dalam tindakan untuk SSP, dimana kedua efek yang diinginkan dan tidak diinginkan terlihat. Efek samping terutama tampaknya mempengaruhi fungsi otak. Dengan demikian, peneliti belajar untuk memulai pengobatan pada dosis yang lebih rendah dan membuat meningkat perlahan-lahan untuk menghindari sensitivitas awal dengan membiarkan kimia otak untuk menyesuaikan diri dengan obat baru. Inhibisi versus Eksitasi Obatan-Obatan penghambat epilepsy, seperti barbiturate, menghambat pelepasan muatan listrik yang berlebihan pada kejang parsial tapi juga meningkatkan inhibisi pada penghambatan kejang minor. Satu efek samping dari obat-obatan seperti itu mungkin adalah peningkatan dari absan, atonik, dan sentakan mioklonik. Obat yang merangsang otak dapat mengatasi inhibisi dari jenis kejang epilepsy minor tetapi dapat mencetuskan kejang tonikklonik parsial dan umum. Obat-obatan baru kurang tepat untuk dikategorikan dalam Inhibisi versus eksitasi. Seringkali, neurotransmiter digambarkan sebagai inhibitor atau eksitator , tetapi suatu neurotransmiter yang bertindak sebagai inhibitor pada lobus temporal dan sistem limbic dapat bertindak sebagai neurotransmiter eksitator pada lobus frontal. Neurotransmiter pada otak bayi muda yang belum mature mungkin memiliki satu efek , tetapi ketika otak menjadi mature mungkin memiliki efek yang sebaliknya. Lebih jauh lagi, sebuah situs kejang yang aktif dapat merubah hubungannya menjadi inhibitor atau eksitator pada sirkuit masuk. Jika suatu area rusak, sel dapat hilang dan inhibitor yang tersisa memasuki sirkuit mungkin dapat tumbuh dari pada sel inhibitor yang lainnya, menghasilkan inhibisi dari inhibitor, yaitu penciptaan dari

aktivitas pencetus. Kejang yang berulang dapat mengakibatkan hilangnya efektifitas dan bahkan menimbulkan efek paradox pada obat yang dipilih. Rasional Polifarmasi Jika dipilih dan digunakan dengan benar, obat antiepilepsi tepat digunakan untuk meningkatkan pengendalian kejang tetapi tidak dapat untuk memperbaki gangguan lain sehingga sering ditemukan menjadi bagian dari sindrom epilepsi, yaitu gangguan proses belajar, gangguan berbahasa, dan aspek emosi. Obat-obatan tidak membantu dalam mengatasi pekerjaan individual maupun membantu dalam bersosialisasi. Jika digunakan dengan tidak benar, antikonvulsan tidak mengendalikan kejang dengan baik dan malah dapat memperburuk kognisi, emosi, atau masalah bahasa dan dengan demikian, secara langsung atau tidak rasa frustasi,meningkatkan frekuensi kejang. Penggunaan obat secara rasional, terutama ketika lebih dari satu obat antiapilesi dibutuhkan, dalam arti memilih obat yang tidak menduplikasi tidakan dan efek samping, yang melengkapi tindakan obat lainnya , dan, dalam pertimbangan untuk pasien tertentu, tidak mencetuskan kelemahan fungsi yang potensial. Dalam kenyataanya, hal ini termasuk memilih sebuah agen epilepsy atau kombinasi obat sehingga dapat meningkatkan pengendalian kejang dan mendapatkan keuntungan pada sisi emosional.

Efek Obat Antipilepsi pada Proses Berbicara dan Berbahasa


Henry & Browne (1987) mengkaji efek obat antiepilepsi pada proses berbicara dan berbahasa pada Konferensi St Francis Epilepsi Center . Antikonvulsan dapat mempengaruhi proses berbicara dan berbahasa. Pada dosis tinggi, atau pada pasien yang sensitif terhadap obat, mungkin akan lambat dalam berbicara, terbata-bata, atau ragu-ragu, dan secara keseluruhan proses berpikir termasuk proses mengolah bahasa pada pasien mungkin akan terganggu. Memori pendengaran mungkin akan terganggu. Masalah pengolahan bahasa dapat memburuk. Penggunaan beberapa antikonvulsan atau kombinasi antikonvulsan dengan obat lain yang mempengaruhi otak, seperti obat penenang, antidepresan, stimulan, dll, lebih cenderung menghasilkan masalah yang sama seperti jika kita menggunakan obat tunggal dosis tinggi. Pada beberapa pasien penggunaa polytherapy (penggunaan beberapa obat) dapat mengurangi proses pengendalian kejang dari pada meningkatkannya.

Obat antikonvulsan jarang memperbaiki masalah bicara atau bahasa, kecuali jika hal yang mendasari tercetusnya epilepsi ikut mengganggu proses bahasa. Bahkan pada kasus yang terjadi akhir-akhir ini, perbaikan sering tidak lengkap dan terjadi hanya pada beberapa pasien. Ketika seorang anak memiliki gangguan kejang dan problem dalam bicara atau bahasa, anak tersebut memerlukan pengobatan dengan antikonvulsan yang dipilih dan dipantau secara hatihati, bersamaan dengan ini dilakukan juga terapi bicara dan bahasa untuk mengatasi masalah proses berbicara dan berbahasanya. Tidak ada obat yang tidak memiliki efek samping. Obat yang ideal mampu bekerja mengontrol pusat masalah dan tidak menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan, tetapi tidak ada obat yang seperti ini. Jika seorang anak menderita kelambatan dalam proses berbicara atau perkembangan mental, terbata-bata, berbicara tidak jelas, penyebabnya mungkin kejang yang tidak terlewat tak terdeteksi atau karena tingkat obat antikonvulsan yang berlebih dalam darah. Penyebab kejang akan jelas. Pada obat yang berefek panjang (longacting drug) jika terjadi kasus keracunan antikonvulsan maka akan terus menetap kecuali jika dilakukan perubahan dalam pemberian dosis, atau dapat teratasi dalam beberapa jam tetapi akan timbul setiap hari jika yang diberi adalah obat dengan efek pendek (short-acting drug) Orang tua dan guru cenderung untuk menyalahkan masalah dalam belajar, perilaku, atau bahasa pada proses pengobatan daripada pada epilepsi itu sendiri atau pada cara penanganan anak epilepsi. Tingkat obat dapat diperiksa untuk menghindari pemberian dosis yang berlebihan. Lebih berhati-hati dalam mengevaluasi karena gangguan dan reaksi dari kejang yang diderita. sebuah masalah mungkin dapat mengungkapkan bahwa hal tersebut bukan disebabkan karena proses pengobatan tetapi justru

Obat Kejang Mayor


Obat-obatan yang paling sering digunakan untuk mengobati kejang parsial dan kejang tonik-klonik umum adalah barbiturat, hydantoins, karbamazepin, dan valproate, yang merupakan obat-spektrum luas. Barbiturat Barbiturat meliputi fenobarbital, mephobarbital, metharbital, dan obat terkait lainnya yaitu primidone. Mephobarbital dan metharbital yang disebut-sebut dapat dipakai untuk menghindari efek samping barbiturat yaitu berupa perubahan perilaku, tetapi hal ini hanya karena terbukti pada tingkat level dan ternyata tidak dapat dipertahankan pada dosis yang memadai. Barbiturat dapat merusak proses belajar verbal dan menekan proses pendengaran, terutama pada proses

diskriminasi

dan

memori

pendengaran

(terutama

memori

sekuensial),

dan merusak

pemahaman bahasa dan ekspresi verbal. Efek ini terlihat pada tingkat terapeutik yang lebih tinggi. Penurunan dalam usaha untuk berbicara spontan dengan lancar mungkin dicatat. Jika fokus pelepasan muatan listrik pada kejang mengganggu proses berbicara dan berbahasa , terkadang penggunaan Phenobarbital mungkin dapat membantu untuk mengatasi hal ini, sebaliknya, mungkin tidak akan didapat manfaat langsung pada proses berbicara dan berbahasa. Hydantaoins Hydantoins tersusun dari phenitoins dan obat yang lebih lama yaitu ethotoin dan mephenitoin, yanng mana sudah tidak digunakan lagi. Phenytoin telah diklaim dapat memberikan manfaat bagi anak-anak dengan masalah berbicara atau bahasa yang memiliki EEG dimana terdapat fokus epilepsi pada lobus temporal. Tidak ada laporan dan catatan tentang keuntungan yang signifikan dari penggunaan phenytoin di tingkat terapeutik mengenai masalah berbahasa dan berbicara, walaupun telah tercatat bahwa satu pasien penderita afasia dapat mengucapkan kata-kata yang masuk akal dan kemudian hal ini menghilang ketika pasien tersebut beralih ke pengobatan ke phenobarbital. Jika tingkat phenitoin sedikit tinggi atau jika pasien sangat sensitif terhadap obat dapat menimbulkan bicara yang lambat dan terbata-bata, sering dengan tingkat berbicara diperlambat, dipandang sebagai gejala awal keracunan. Fenitoin dapat merusak memori pendengaran. Carbamazepin Carbamazepine, baik dalam bentuk reguler dan long-acting, adalah satu-satunya obat di kelompok ini. Suatu obat baru yang terkait, oxcarbamazepine, mungkin menawarkan manfaat yang sama dengan efek samping yang lebih sedikit. Karbamazepin dapat mempercepat proses berbicara dan meningkatkan kosa kata. Beberapa pasien lebih banyak bicara ketika diberikan carbamazepine. Seorang anak penderita kelainan artikulasi kronik dan masalah pengolahan bahasa tiba-tiba menjadi normal ketika menggunakan karbamazepin untuk mengobati epilepsi parsial kompleks bitemporalnya. Tidak ada catatan mengenai penggunaan karbamazepin yang menimbulkan gangguan bicara atau bahasa. Periode berbicara terbata-bata dapat terjadi jika tingkat obat dinaikkan, terutama jika pasien mengkonsumsi dalam keadaan perut kosong. Baik karbamazepin monoterapi maupun dalam kombinasi dengan carbamazepine vigabatrin mengubah potensi P300 (Mervaala et al, 1993.).

Valproate Valproate adalah obat yang berguna untuk hampir semua jenis kejang. Obat ini dapat meningkatkan kemampuan seorang anak untuk berkomunikasi. Penggunaan obat ini tercatat dapat menimbulkan gangguan berbicara. Dengan dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan terbata-bata dalam berbicara. Ketika dikombinasikan dengan obat lain, potensi protein pengikat valproate dapat lebih mengatur bentuk tak terikat pada protein pengikat lainnya ke otak, sehingga menghasilkan intosikasi (bicara terbata-bata, masalah memori, dll). Walaupun level normal obat masih dalam pengujian, beberapa anak dilaporkan mengalami kerusakan kemampuan berbicara, dengan menunjukaan adanya intoksikasi. Valproate jarang menyebabkan kerusakan pendengaran, motorik, dan kognitif. Dalam beberapa penelitian, 25-42% pasien mengeluhkan pendengarannya memburuk. Seringkali, hal ini dikaitkan dengan penurunan motorik dan kognitif. Hal ini telah didokumantasikan sebelumnya pada pasien tersebut dengan menggunakan audiogram Karageorgiou et al, 1991; Morales et al, 1992). Setelah menghentikan pengobatan, 91% pasien menunjukkan adanya peningkatan. Tiga pola penurunan pendengaran yang terpantau adalah : perubahan frekuensi rendah hanya terjadi ketika terjadi deficit frekuensi tinggi yang berat, perubahan frekuensi tinggi terjadi ketika terjadi deficit frekuensi sedang, dan terjadi perubahan baik pada frekuensi tinggi maupun rendah (Armon et al, 1991). Valproate dan ethosuximide secara signifikan memperpanjang konduksi pendengaran, seperti yang terpantau pada pengujian bangkitan pendengaran pada batang otak (Morales et a, 1992). Pada tingkat supraterapeutik serum valproate ditemukan perpanjangan laten antar puncak III-IV, hal ini menunjukkan bahwa valproate mempengaruhi konduksi pada batang otak (Karageorgiou et al, 1991). Obat Kejang minor Obat kejang Minor digunakan pada serangan ringan seperti absans, atonik, akinetik, dan mioklonik. Obat tersebut termasuk succinimides, yang benzodiazepines, diones (yang tidak lagi digunakan), dan valproate. keterlambatan berbicara, kelambatan perilaku motorik, dan terbata-bata dalam berbicara, yang terakhir terkait dengan ataksia dan nistagmus, hal ini

Benzodiazepine Kelompok ini mencakup diazepam, clonazepam, nitrazepam, dan lorazepam, dan obat yang sama, clorazepate. Semua obat ini bisa membuat seorang anak lebih aktif berbicara, tetapi cenderung meracau dan sulit dimengerti. Kadang-kadang sulit untuk mendengar apa yang dikatakan anak tersebut karena berbicara sangat halus. Upaya dalam berbicara mungkin akan tampak tersendat-sendat, sehingga kalimat dan frase yang terucap menjadi tidak lengkap. Hal ini terlihat ketika obat tersebut digunakan pada dosis terapi tinggi atau jika anak sangat sensitif terhadap obat. Diazepam dikaitkan dengan keterbata-bataan dalam berbicara dengan disartria. Akumulasi air liur memberikan masalah dalam proses artikulasi. Lidah terasa tebal dalam berbicara termasuk menjadi suatu permasalahan dalam penggunaan clonazepam. Anak mungkin akan menjadi terbata-bata dalam berbicara. Kesulitan menelan merupakan kesulitan utama. Beberapa anak mungkin bermasalah dalam menangani kelebihan air liurnya. Terbata-bata dalam berbicara, peningkatan usaha berbicara tetapi sulit dimengerti maknanya telah terpantau, bersamaan dengan tersendatnya atau ketidaklengkapan dalam menyeleseikan kalimat atau frase (Browne, 1970; Gottschalk et al., 1972; Gottschalk, 1977;Wilson et al., 1983). Clobazam dikaitkan dengan terjadinya afasia dimana pasien berbicara masuk akal tetapi dengan pola yang monoton tanpa disertai penekanan apapun. Bila penggunaan obat dihentikan, afasia akan menghilang. Clobazate juga dihubungakan dengan kecenderungan terbata-bata dalam berbicara. Dione Dione terdiri dari trimethadione dan paramethadione. Obat ini sekarang jarang digunakan, meskipun obat ini belum pernah dikaitkan dengan masalah berbicara yang spesifik dan masalah berbahasa. Succinimide Succinimide terdiri dari methsuximide ethosuximide, dan phensuximide, dua obat terakhir tidak umum lagi digunakan. Obat ini relatif bebas dari potensi gangguan kemampuan berbahasa. Ethosuximide telah dilaporkan dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran verbal. Telah ditemukan laporan mengenai gangguan bicara, tetapi tidak ada masalah spesifik yang telah teridentifikasi dan tidak ada anggota keluarga lainnya yang memperlihatkan adanya kesulitan dalam berbicara dan berbahasa.

Anticonvulsants Baru
Dalam dekade terakhir, sejumlah obat baru yang sangat berbeda dari antikonvulsan yang telah dibuat lebih dulu bermunculan. Obat baru ini tersedia untuk untuk kejang parsial, kejang parsial dan khususnya kejang parsial kompleks dan kejang kompleks sekunder, tapi beberapa obat baru telah menunjukkan potensi untuk menangani berbagai jenis kejang. Obat-obat baru telah dirancang untuk meniru neurotransmitter yang membawa pesan antara sel-sel di otak. Felbamate adalah obat untuk epilepsi parsial dan sindrom Lennox-Gastaut. Obat ini mungkin berpotensi untuk menawarkan aktivitas yang lebih luas. Namun, beberapa individu tidak bisa mentolerir obat ini, karena dapat menimbulkan anemia aplastik atau hepatitis, obat epilepsy yang sangat efektif ini berkurang pengggunaanya. Tidak ditemukan ganguan yang spesifik dalam berbahasa. Beberapa orang dapat berbicara lebih baik karena obat ini lebih berefek memperbaiki daripada berefek sedatif. Seorang anak dengan retardasi mental membaik dan mulai dapat berbicara ketika menggunakan obat ini. Gabapentin awalnya dirancang untuk menangani nyeri saraf, tetapi kemudian diketahui efektif juga untuk menangani kejang parsial. Aman dan dengan demikian berguna untuk pasien usia lanjut yang memiliki masalah toleransi obat. Pada dosis tinggi mungkin beicara dapat menjadi terbata-bata, tetapi selain itu tidak ada catatan mengenai gangguan yang spesifik dalam berbicara dan berbahasa. Lamotrigine merupakan obat baru lainnya yang digunakan untuk menangani epilepsi parsial yang memiliki potensial untuk menjadi obat antiepilepsi spectrum luas. Jika diberikan kepada pasien yang sebelum yang sudah menggunakan valproate sebelumnya, lamotrigine harus diberikan dengan cara inisisasi mulai dari dosis rendah lalu perlahan-lahan ditingkatkan, hal ini dilakukan untuk menhhidari terjadinya ruam kulit. Pada 65% pasien retardasi mental . lamotrigine dapat meningkatkan kewaspadaan, mobilitas, bicara, dan kemandirian. Jarang didapatkan laporan mengenai adanya gangguan bicara dan disartria. Levetiracetam tidak pernah dihubungkan dengan gangguan yang spesifik apapun dalam proses berbicara maupun berbahasa, walaupun pengalaman penggunaan obat ini agak terbatas. Losigamone, obat yang masih dalam masa percobaan telah dilaporkan menimbulkan disartria pada beberapa pasien. Sulthiame, meningkatkan produksi air liur sehingga dapat mengganggu artikulasi Tiagabine dapat menimbulkan kesulitan dalam berbicara jika dosisnya dinaikan terlalu cepat atau diberikan dalam jumlah yang terlalu tinggi. Dengan demikian, obat ini diberikan

dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan perlahan. Sejumlah pasien dengan persantase yang sangat kecil mengalami gangguan berbicara seperti disartria, atau masalah dalam berbahasa. Oxcarbamazepine terkait dengan carbamazepine, tetapi tubuh mematabolisir obat ini dengan cara yang berbeda, cara ini dapat menghindari racun yang diproduksi seperti yang terjadi pada carbamazepine. Topiramate adalah antikonvulsan potensial baru dengan berbagai metode aksi dalam otak. Obat ini digunakan untuk menanaini kejang parsial dan kejang umum primer, tetapi obat ini terbukti berpotensial menjadi obat dengan spectrum luas seperti yang telah terpantau pada beberapa aktivitas epilepsy. Sebagai obat antiepilepsi yang potent, obat ini juga memiliki resiko yang tinggi untuk menimbulkan efek yng tidak diinginkan pada otak. Jika dimulai pengunaannya dengan dosis yang terlalu tinggi atau ditingkatkan dosisinya terlalu cepat, pasien dapat menjadi mengantuk, bingung, dengan masalah dalam berpikir, terutama jika pasien memang sudah memiliki riwayat yan bermasalah dalam berpikir dan berperilaku. Masalah berbahasa dapat menjadi masalah yang signifikan, dengan keraguan dalam berbicara dan kesulitan untuk mengingat suatu kata. Sensitivitas ini terpantau terutama dalam beberapa bulan pertama pemakaian. Oleh karena itu aturan pemakaina obat ini adalah dimulai dengan dosis rendah lalu ditingkatkan perlahan. Bahkan setelah sensitivitas extra pada beberapa bulan pertama telah membaik, dapat terjadi masalah berbicara dan berbahasa denga afasia, disnomia (gangguan dalam mencari kata-kata), keragu-raguan (1-11%). Masalah seperti ini walaupun biasanya bersifat sementara, dapat kembali terjadi dengan peningkatan dosis obat. Pasien-pasien seperti ini memiliki masalah yang berulang dengan informasi semantic. Problem dalam memulai pembicaraan perlu untuk dicatat. Gunagguan dalam berbahasa sebagai efek samping dari obat antiepilepsi yang mengandung sulfa (zonisamide dan topiramate) berbeda dari efek samping antikonvulsan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa obat-obatan ini dapat mengganggu kandunagn kimia dalam jalur saraf bahasa. Hampir 4% pasien yang menggunakan topiramate mengeluhkan penurunan hanya pada proses berbahasa, seperti anomia, gangguan ekspresi verbal, gangguan masalah berbahasa lainnya, dan gangguan kognisi. Pasien dengan keterbelakangan mental menjadi bisu tetapi menjadi lebih waspada (Ojemann et al, 1999). Vigabatrin adalah obat yang sangat efektif pada pasien dengan kejang parsial kompleks dan dengan Sindrom West, tetapi segera setelah dirilis ditemukan bahwa obat ini mengakibatkan kehilangan penglihatan perifer. Obat ini sudah ditarik dari pasaran. Beberapa

pasien mengalami masalah daya ingat, kesulitan mencari kata-kata, dan masalah menemukan substitusi kata ketika menggunakan obat ini. Zonisamide merupakan obat baru lainnya yang digunakan pada kejang parsial kompleks dan berpotensial dapat digunakan pada kejang mioklonik. Kesulitan memori dan kelambanan berpikir dapat menggangu upaya berbicara pada beberapa pasien. Zonisamide menimbulkan anomia (12%) dan disnomia (12%). Dalam uji coba obat , skor IQ verbal yang rendah terpantau sebagai sebuah kecenderungan bagi pasien dengan performa IQ yang rendah pada setengah dari pasien yang menggunakan zonisamide dosis tinggi. Kesilitan dalam komunikasi dapat terpantau (Mandelbaum et al, 2001).

Pembedahan pada Kejang dan Fungsi Berbicara dan Berbahasa


Gates (1999) meninjau pemilihan pembedahan untuk stimulasi nervus vagus pada prekonfrensi komunitas epilepsy Amerika. Kandidat pembedahan pada kejang dievaluasi untuk menentukan letak fokus pelepasan muatan listrik pada kejang.

Kegiatan sebelum pembedahan Jumlah jaringan otak yang bisa di potong pada lobus temporal yang dominan lebih terbatas jumlahnya. Area berbicara pada otak perlu dilokalisasi dan area bicara lainnya (lateraltemporal, suprafrontal) perlu ditemukan. Area berbicara tidak selalu berada di tempat yang seharusnya. Reorganisasi dari fungsi berbahasa setelah terjadi cedera otak fokal menunjukkan bahwa kontribusi dari hemisphere kontralateral dapat muncul, bahkan pada orang dewasa. Terdapat resiko afasia setelah pembedahan bahkan juga dapat terjadi pada lobektomi temporal kanan. Walaupun fokus terjadinya kejang merupakan kunci dalam memprediksi perubahan bahasa, umur pada saat terjadinya onset juga berpengaruh penting, karena onset yang terjadi belakangan meningkatkan resiko terjadinya penurunan bahasa pasca operasi. Wanita mempunyai lebih banyak situs bahasa, dengan lebih sedikit lateralisasi dan memori verbal yang lebih simetris dan korelasi volume hippocampus (Loring et al., 1988; Langfiitt & Rausch, 1996; Trenerry et al., 1995). Sebuah resiko yang lebih besar dari penurunan dikaitkan dengan tingkat kinerja yang lebih tinggi (Chelune et al, 1991). Penghapusan korteks yang rusak meningkatkan pemahaman dan kelancaran umum (Saykin et al, 1995;. Hermann & Wyler, 1988; Davies et al, 1995;. Loring et al, 1988). Hemisphere yang mendominasi kemampuan bahasa harus dinilai sebelum melakukan operasi temporal apapun, hal ini berdasarkan banyaknya variabilitas lateralisasi dan lokalisasi

yang ditemukan (Devinsky et al, 2000.). Ada berbagai metode yang digunakan dalam menentukan lateralisasi dan lokalisasi bahasa pada seseorang, termasuk riwayat kewenangan dan keluarga, hasil neuropsikologi, terutama penamaan, tes Wada, aktivasi aliran darah otak regional (PET, fungsional magnetic resonance imaging (fMRI) ), dan electrocorticography (EcoG). Metode baru dalam menilai lateralisasi dan lokalisasi bahasa yang kurang invansive seperti fMRI dan aktivitas magnetic transkranial dalam proses penelitian. Setiap teknik baru menunjukkan bias. Tes Intracarotid amytal (Wada) Tes Wada, dimana barbiturat fast-acting disuntikkan ke arteri yang membawa darah ke otak, ke satu sisi yang pada waktu itu paling sering digunakan. Hasilnya adalah setengah dari bagian otak akan terbius sebentar. Selama waktu ini, dilakukan tes psikologi kusus dan bahasa untuk melihat kemampuan mana yang akan menghilang ketika satu sisi otak dibius. Prosedure amobarbital intrakarotid pediatric dapat memperjelas belahan otak mana yang paling mendominasi kemampuan mayoritas bahasa verbal pada anak usia sekolah dan remaja yang memiliki intelegensi setidaknya dalam garis batas dan pada anak-anak dengan keterbelakangan mental. Pada anak-anak tes ini membutuhkan pretest tambahan dan persiapan emosional. Skor retensi memori anak-anak cenderung lebih rendah daripada orang dewasa sehingga harus ditafsirkan secara hati-hati, terutama pada anak-anak yang terbelakang (Szabo & Wyllie, 1993; Williams & Rausch, 1991). Sebagian besar anak-anak yang gagal dalam tes ini berusia kurang dari 12 tahun, dengan dominasi bahasa kiri dan lesi otak kiri (Szabo & Wyllie, 1993; Williams & Rausch, 1991). Tes ini telah dilakukan pada anak-anka dengan respon yang cukup baik, terutama pada anak berumur lebih dari 8 tahun. Pada pasien yang menjalani lobektomi temporal setelah sebelumnya dilakukan pengujian tes neuropsikologi dan andamytal tetapi tanpa pemetaan stimulasi korteks, pasien dengan dominasi epilepsy pada lobus temporal kiri menunjukkan tidak terdapat kehilangan fungsi berbahasa dan sebenarnya banyak parameter yang mengalami peningkatan setelah dilakukan reseksi konservatif. Citra fungsional Dominasi belahan otak untuk fungsi bahasa dapat dinilai dengan fMRI, teknik non-invasif untuk mendemonstrasikan aktivasi otak yang berhubungan dengan tugas-tugas bahasa, yang berkorelasi baik dengan uji WADA. Hasil diagnostik lebih lanjut mungkin mempengaruhi usah diagnose lebih lanjut dan harus dilakukan sebelum melakukan prosedur diagnostik invasif lainnya, terkadang secara tidak terduga fMRI mengungkapkan dominasi bahasa-belahan otak

kanan, yang mempengaruhi penilaian diagnostik pre-pembedahan lebih lanjut l (Speer et al, 2001). Pemetaan korteks Pemetaan fungsi bahasa pada korteks pasien sebelum melakukan standart lobotomy temporal atau reseksi lateral dapat mengurangi insiden terjadi gangguan bahasa pasca operasi, seperti anomia. Pemetaan korteks yang baik dapat dilakukan sebelum operasi dengan electrocorticography dan merupakan bagian dari metode bedah. Representasi Atypical kortikal besar atau beberapa situs bahasa, seperti yang melibatkan korteks temporal inferior atau anterior, terpantau pada pasien dengan IQ yang lebih rendah, lama pendidikan hanya sebentar, miskin dalam memori verbal, penurunan konfrontasi penamaan, dan berkurangnya kefasihan lisan Metode pembedahan Tingkat reseksi neokorteks temporal bervariasi. Reseksi gyrus temporal superior dapat kejang. Operasi kejang yang paling umum adalah pembuangan semua atau, lebih sering, bagian dari lobus temporal untuk mengontrol kejang parsial kompleks yang resisten terhadap terapi medis. Perhatian utama adalah bahwa operasi tidak boleh menghapus setiap pusat bahasa vital. Untuk mengoptimalkan hasil, hippocampus sebanyak mungkin harus direseksi. Risiko mengambil hippocampus posterior sebanyak mungkin adalah kerusakan arteri vital, sehingga pembuluh darah tersebut harus dijaga agar tetap intak. Memori yang sudah tersimpan sebelumnya tidak akan terpengaruh karena penyimpanannya tersebar di seluruh otak. Hasil Sekitar 70-80% pasien menunjukkan bahwa mereka menjadi bebas kejang. Sekitar 05 menunjukkan peningkatan yang signifikan, tetapi 7% tidak membaik. Lobus temporal terlibat erat denagn pengolahan persepsi suara tingkat tinggi. Sejumlah penelitan telah terfokus dalm mengidentifikasi kemungkinan perubahan fungsi pendengaran pasca operasi. Pendengaran dichotic telah banyak dievalusi. Pada beberapa pasien pasca operasi terjadi penurunan fungsi telinga kontelateral terkombinasi dengan perbaikan fungsi diskrimasi telingan ipsilateral. Berbagai penelitian menunjukaan bahwa pasca operasi lobus dilakukan (Loring et al, 1988.). Tujuan dari operasi fungsional adalah membuang atau menghancurkan pusat seluler atau mengganggu jalur saraf yang menyebarkan

temporal. sangat sedikit terjadi perbaikkan pada fungsi pendengaran sentral seperti yang diharapkan. Beberapa laporan secara mencoloh menunjukka peningkatan kemampuan pada tes dichotic digit dan bahkan p-300 berpotensial untuk terlibat. Beberapa anak dapat menunjukkan sedikit peningkatan pada proses pendengaran sentral, tetapi anak-anak yang lain hanya menunjukkan peningkatan yang minimal. Defisit diskrimasi pendengaran yang parah ditemukan di telinga yang terletak kontralateral dari sisi otak yang sakit, hal ini mungkin dapat diperbaiki dengan operasi. Pengujian memanfaatkan uji SCAN untuk meneliti proses pendengaran sentral pada anak-anak, tes dichotic digit, tes pola durasi, dan p-300 bahkan tes potensial lainnya yang terkait dilakukan secepatnya pacsa operasi dan setahun pasca operasi n pada anak-anak, hal ini dapat menunjukkan sejumlah perbaikan pasca operasi pada beberapa pasien tetapi juga menunjukkan tidak adanya perubahan atau perbaikan yang bagus pasca operasi pada beberapa orang lainnya. (Cranford et al, 1996.). Komplikasi pascaoprasi Tingkat komplikasi tidak lebih tinggi dari 1%. Operasi konservatif pada lobus temporal yang dominan (yang terkait bahasa) pada penderita kejang parah yang cacat mungkin akan menimbulkan anomia untuk nama-nama orang dan lebih banyak lagi pada kata kerja. Risiko untuk anomia muncul lebih besar pada pasien yang sejak awal tidak teridentifikasi mempunyai faktor risiko epilepsi. Masalah memori yang terkait dengan proses bahasa mungkin dapat timbul, terautama setalah beberapa bulan pasca operasi. Kefasihan tidak terpengaruh. Beberapa pasien dengan pembedahan dominan pada lobus temporal mengalami simptom afasia yang membaik atau menjadi normal kembali setelah beberapa waktu kemudin. Hal ini tidak terlihat pada pasien non-dominan lobus temporal, yang sebaliknya mungkin mengalami masalah dalam mengingat hal-hal yang telah mereka lihat. Penurunan bahasa pasca operasi lebih besar pada pasien yang tidak memiliki sindrom klasik mesial epilepsy lobus temporal yaitu onset usia dini dan sclerosis hippokampus (Milner, 1975; Loring et al, 1988). Pada pasien baik dengan lobektomi temporal kiri maupun kanan menunjukkan bermacam penuruanan pada memori verbal episodic, tetapi pasien dengan lobektomi temporal kanan tidak menunjukkan adannya penurunan fungsi bahasa dan mungkin malah menunjukkan peningkatan (Davies et al.,1995). Tindakan lobotomy temporal dilain pihak dapt mengontrol kejang tapi di juga tidak selalu berhasil dalam meningkatkan proses pendengaran

Pascaoperasi pada anak-anak, terutama pada mereka dengan fokus temporal kiri, dapat menunjukkan penuruanan dalam performa bahasa (Lendt et al., 1999). Anak-anak dan remaja yang berusia kurang dari 17 tahun tidak memunculkan resiko apapun yang berkaitan dengan gangguan verbal pasca operasi. Sampai dengan 10% pasien dapat mengalami penurunan keterampilan kecerdasan verbal , meskipun 9% mengalami peningkatan yang signifikan dalam fungsi verbal. Resiko untuk terjadi penurunan adalah termasuk pada usia berapa operasi dilakukan dan adanya lesi struktural selain mesial temporal sclerosis (Loring & Meador, 2001). Reseksi Neokorteks Gates (1999) menemukan bahwa mayoritas epilepsies parsial refrakter yang beronset anak merupakan extratemporal, yaitu dari beberapa bagian otak selain lobus temporal. Jika displasia heterotopia atau fokal ditemukan, operasi dapat dipertimbangkan. Pada lesi epilepsi parsial, baik lesi dan epilepsi halo harus dipetakan. Operasi neokorteks non-lesi kurang berhasil dan lebih berisiko daripada lobektomi temporal. Beberapa transections subpial dapat dipertimbangkan, terutama di daerah yang melibatkan fungsi vital. Sectioning Corpus Callosum Pasien kejang yang resisten terhadap obat bukan merupakan kandidat untuk dilakukan reseksi pada situs kejang, corpus callosotomi mungkin dapat dipertimbangkan untuk mencegah penyebaran dari pelepasan muatan listrik, terutama jika pasien trauma terhadap kejang. Ini bukan metode kuratif, tetapi dapat mengurangi baik frekuensi dan tingkat keparahan kejang. Kandidat untuk metode ini termasuk pasien yang memiliki kejang multifocal yang tidak merespon baik pada pengobatan antiepilepsi, dengan kerusakan otak multifokal sampai general, dan pada pasien yang mengalami trauma fisik akibat kejangnya. Sectioning corpus callosum memungkinkan 71% pasien mengalami pengurangan frekuensi atau intensitas kejang yang signifikan, tapi bukan berarti pasien menjadi bebas kejang (Rayport et al, 1991.). Defisit bahasa yang ekspresif setelah dilakukan callosotomy telah dilaporkan pada pasien dengan dominasi serebral campuran (Crone et al, 1992.). Sesekali ditemukan efek samping seperti gangguan produksi bahasa, dengan bisu yang kontinu dan penurunan perhatian dan memori. Hal ini lebih cenderung terjadi pada pasien yang mengalami dominasi campuran dan kerusakan otak multifokal yang menjalani metode dua-tahap. Terdapat penurunan tajam dalam hal berbicara spontan, pengulangan yang utuh, dan kesalahan paraphasic jarang terjadi. Pasien membaik seiring dengan waktu namun terus menunjukkan latensi respon verbal yang panjang dan pemanjangan frasa pendek. Ketika berbicara, kecepatannya dapat berlebihan

daripada melambat. Dalam pengamatan tidak ditemukan deficit dalam fungsi bahasa reseptif. Defisit tersebut terjadi hanya setelah tahap kedua, sectioning dari bagian belakang. Hal ini tidak terlihat pada individu dengan dominasi otak kanan (al Rayport et, 1984.). Mengikuti 80% dari studi mengenai callosal section, tidak terdapat pasien yang memiliki defisit bahasa jangka panjang karena sepertinya merka dapat mengimbangi dan memulihkan kemampuan mereka sendiri (Crone et al, 1992.). Terdapat kemungkinanan timbul disfasia dari belahan otak yang tidak dominan karena dominasi campuran. Pasien kidal dengan dominasi belahan otak kiri dapat menyebabkan disgraphia seperti halnya pada pasien pengguna tangan kanan (tidak kidal) dengan dominasi belahan otak kanan. Mungkin juga didapatkan bisu yang bersifat residual. Alexia tanpa Alexia tanpa agraphia dapat dilihat pada pasien dengan dominasi otak yang buruk dengan kerusakan oksipital dan bagian splenium. Etiologi yang mungkin dapat mencakup masalah-masalah mendasar adalah mengenai disfungsi belahan otak non-dominan yang rusak sehingga dikompensasi oleh corpus callosum dengan pengaruh dari belahan otak yang dominan. Luka akibat pembedahan pada struktur sekitar mungkin berasal dari traksi yang diakibatkan oleh commissurotomy satu tahap. Penggunaan obat-obatan mungkin telah menutupi munculnya disfungsi pada aktivitas kejang terdahulu. Beberapa lesi menyebabkan cacat yang lebih kecil daripada lesi tunggal tetapi besar. Transeksi subpial Konsep multiple subpial transactions (MSTs) yang digunakan sebagai kontrol dari kejang yang secara medis sulit dilawan dalam aspek bahasa, memori, dan korteks motorik sensorik didasarkan pada konsep pelepasan muatan listrik pada epilepsi horisontal dan vertikal yang berada di organisasi fungsional korteks serebral (Dogali et al, 1992.). MSTs tidak mengganggu pola perilaku tapi mengganggu sinkronisasi saraf (Fried, 1999). MST memutuskan koneksi horisontal untuk mengurangi perambatan kejang, menjaga organisasi fungsional columnar (Loring et al, 1988.). Ini adalah prosedur operasi yang dirancang untuk menghilangkan kapasitas sel kortikal untuk menghasilkan debit epileptiform tanpa mengganggu fungsi normal secara substansial (et al Morell, 1992.). Ini telah dilakukan di area Wernicke dan Broca's (Loring & Meador, 2001). Metode ini dikembangkan terutama untuk penderita Landau-Kleffner yang mengidap afasia dengan sindrom epilepsy (Loring & Meador, 2001). Metode ini juga telah digunakan pada epilepsy parsial kontinu, kejang fokal sensorik, serta untuk dysplasias korteks fokal, heterotopia, dan sindrom Rasmussen. MSTs telah digunakan pada transeksi sagittal-cortical pada kedua sisi

otak untuk menekan penyebaran ke ipsilateral, tetapi tidak ke fokus kontralateral atau di dalam fokus itu sendiri. c Pada anomia akut dan paraphasia tanpa gangguan bahasa yang signifikan dapat timbul setelahnya (Devinsky et al, 1993.). Hal ini hanya berupa gangguan yang ringan pada hamper separuh pasien. Mungkin ditemukan disnomia sedang pada sekitar 22% pasien, dengan pemulihan yang seiring dengan waktu. Pasien dapat kembali bersekolah atau bekerja (Loring & Meador, 2001). Pasien yang menjalani operasi saraf yang rutin jika terganggu area bahasa primernya mungkin akan mengalami penurunan fungsi berbahasa yang lebih besar. Jika pembedahan direncanakan dekat di regio bahasa primer , pemetaan dapat membantu untuk mengurangi resiko tersebut, tetapi tidak akan benar-benar menghindari resiko. MSTs dapat dilakukan pada area bahasa tersebut. Metode ini secara umum ditoleransi lebih baik pada area motorik dari pada area bahasa. Pada area bahasa, terdapat pengurangan frekuensi kejang sebesar 90% atau lebih, tetapi 69% disnomia yang signifikan terlihat setalah setengah tahun pasca operasi. MST dikaitkan dengan kemampuan penamaan (naming), kelancaran verbal, dan membaca yang buruk pasca operasi jika dibandingkan dengan pasien yang menjalani operasi lobektomi temporal anterior standar, terutama sekitar 6 bulan pasca operasi (Loring & Meador, 2001). Hemidecortikasi dan hemispheretomy Hemispheretomy, seperti yang digunakan dalam menangani pasien dengan sindrom Rasmussens dan dengan beberapa malformasi perkembangan otak unilateral, menghasilkan heparesis spastic dan hilangnya fungsi sensori kontralateral yang terkait, visual, dan motorik, termasuk fungsi bahasa jika belahan otak yang dominant terlibat. Sejumlah pemulihan yang mengejutkan kemudian terjadi, termasuk fungsi bahasa, seperti belahan otak yang lain mengambil alih fungsi-fungsi tersebut. Hal ini terutama terlihat ketika operasi dilakukan pada anak yang lebih muda. Bayi yang setengah dari bagian otaknya yang rusak parah sudah dihilangkan (hemidecortication) menunjukkan deficit kemampuan bahasa yang dihasilkan jauh lebih kecil dari pada orang dewasa, meskipun anak-anak ini cenderung memiliki IQ yang lebih rendah. Tampaknya dalam jaringan otak normal yang tersisa, bahasa dan kemampuan kemampuan non verbal bersaing untuk sejumlah kecil sel saraf utuh yang tersisa. Dalam memprediksi kemampuan bahasa setelah hemispherectomy, integritas dari belahan otak yang tidak direseksi tampak sebagai index yang dapat dipercaya yang mengintegrasikan dan menyumbang sejumlah variable yang sebelumnya telah disebutkan dalam literatur (De Bode et al, 2000).

Stimulasi Vagal
Gates (1999), Ben-Manachem (1999), dan Frost (1999) meninjau pengalaman mereka mengenai rangsangan saraf vagal pada pre- konferensi American Society Epilepsi. Vagal nerve stimulation (VNS) merupakan pilihan utama untuk menawarkan kandidat metode non-bedah, metode ini secara kemungkinan untuk menurunkan frekuensi kejang sebasar 25-30%

signifikan, bahkan beberapa hingga 50% pada tahun berikutnya. Penderita dengan kejang parsiallah yang paling terbantu dengan metode ini, tetapi penderita dengan serangan kejang umum tonik-klonik, atipikal absans, begitu juga dengan kejang atonik dan serangan tonik pada sindrom Lennox-Gestat juga dapat merasakan manfaatnya. Lama serangan kejang menjadi lebih pendek, dengan pemulihan yang cepat dan berkurangnya kecenderungan untuk timbul kluster. Perbaikan kewaspadaan, kemampuan verbal, memori, mood, dan kinerja sekolah muncul dalam tiga bulan dan bahkan lebih baik dalam 15 bulan. Kontrol yang bersifat total jarang tercapai. Metode ini efektif, aman, dan reversible. Implantasi dari saraf vagal di bagian samping dapat menyebabkan suara serak dan kesulitan menelan jika traksi ditempatkan berulang secara berlebihan pada saraf laring, menyebabkan kelumpuhan. Kadang-kadang, pasien dapat mengeluh sakit tenggorokan atau batuk. Stimulus itu sendiri dapat menyebabkan perubahan suara (suara serak atau tremulousness) pada 13% pasien. Gejala lain yang tercatat, terutama ketika stimulator memancarkan muatan listrik, adalah termasuk sensasi tersedak, batuk, suara serak, batuk saat menelan, atau sesak napas. Jarang terjadi perubahan nada suara selama tercetusnya rangsangan. Efek samping cenderung mempengaruhi proses berbicara daripada menghasilkan masalah bahasa. Eksaserbasi psikosis telah dilaporkan pada satu pasien.

Diet Khusus
Tidak ada masalah khusus yang mempengaruhi pembicaraan atau bahasa pada anakanak yang mengkonsumsi menu diet khusus untuk mengotrol kejang. Gula darah yang rendah, terutama di waktu pagi ketika memulai diet ketogenik, dapat mengganggu fungsi, tapi hal ini telah dihindari dengan cara monitoring dan dengan memulai diet secara perlahan. Beberapa anak dengan kejang yang sulit diatasi dan beberapa episode dari status, ketika ditempatkan pada diet ketogenic, secara berangsur-angsur kehilangan kemampuan berbahasa, sebelumnya mereka telah mempunyai perkembangan bicara normal. EEGs interictal menunjukkan lonjakan multifokal pada saat tidur. Anak-anak cenderung mengembangkan perilaku autistik. Kejang, bagaimanapun, dapat dikendalikan dengan cara diet ketogenic (Shafrir, 1999).

REFERENCES

Armon, C., Paul, R. G., Miller, P., et al. (1991). Valproate induced hearing impairment: active ascertainment in an epilepsy clinic population and result of therapeutic intervention. Epilepsia 32 (suppl 3): 8. Ben-Manachem, E. (1999). History and theories of action. Presented at the American Epilepsy Society Conference, Orlando, FL, 1999. Browne, T. R. (1970). Drug therapy, clonzepam.N. Engl. J. Med. 299: 21215. Chelune, G. J., Naugle, R. I. & Luders, H. (1991). Prediction of cognitive change as a function of preoperative ability status among temporal lobectomy patients seen at 6-month follow-up. Neurology 41: 399404. Cranford, J. L., Kennalley, T., Svoboda, W., et al. (1996). Changes in central auditory rocessing following temporal lobotomies in children. J. Am. Acad. Audiol. 7: 28995. Crone, N. E., Vining, E. P. G., Lesser, R. P., et al. (1992). A bilateral (mixed) language dominance: effects of corpus callosotomy. Epilepsia 33 (suppl 3): 27. Davies, K. G., Maxwell, R. E., Beniak, T. E., et al. (1995). Language function after temporal lobectomy without stimulation mapping of cortical function. Epilepsia 36: 13046. De Bode, S., Curtiss, S. & Methern, G.W. (2000). Hemispherectomy: integrity of the remaining hemisphere as a predictor of language outcome. Epilepsia 41 (suppl 7): 138. Devinsky, O., Perrine, K., Hirsch, J., et al. (2000). Relation of cortical language distribution and cognitive functions in surgical epilepsy patients. Epilepsia 41: 400404. Devinsky, O., Perrine, K. & Llinas, R. (1993). Anterior temporal language areas inpatients with early onset of temporal lobe epilepsy. Ann. Neurol. 34: 72732. Dogali, M., Devinsky, O., Luciano D., et al. (1992). Experiences with multiple subpial cortical transections for the control of intractable epilepsy in exquisite cortex. Epilepsia 33 (suppl 3): 100. Fried, I. (1999). Non-resective strategies: stimulation and disconnection. Presented at the American Epilepsy Society Conference, Orlando, FL, 1999. Frost,M.(1999). The epilepsy teamapproach to implantation.Presented at the American Epilepsy Society Conference, Orlando, FL, 1999. Gates, J. (1999). Alternative to surgery if latter not possible. Presented at the American Epilepsy Society Conference, Orlando, FL, 1999. Gottschalk, L. A. S. (1977). Effects of certain benzodiazepine derivatives on disorganization of thoughts as manifest in speech. Curr. Ther. Res. 21: 192206. Gottschalk L. A., Elliot, H. W., Bates, D. E., et al. (1972). Content analysis of speech samples to determine effect of lorazepam on anxiety. Clin. Pharmacol. Ther. 13: 3238.

Henry, D. & Browne, M. (1987). Language and auditory processing deficits. Presented at the St Francis Epilepsy Symposium,Wichita, KS, 1987. Hermann, B. &Wyler, A. (1988). Effects of anterior temporal lobectomy on language functions: a controlled study. Ann. Neurol. 23: 5858. Hermann, B., Beghi, E., Besag, F.M. C., et al. (2001). Panel discussion 2. In Epilepsia and Learning Disabilities, ed. G. F. Ayala, M. Elia, C. M. Cornaggia & M. M. Trimble. Epilepsia 42: 28. Karageorgiou, C., Kontogianni, B. & Tagaris, G. (1991). Brainstem auditory evoked potentials in epileptics patients receiving long-term valproate monotherapy. 19th International Epilepsy Congress. Epilepsia 32 (suppl 1): 27. Langfitt, J. T. & Rausch, R. (1996). Word-finding deficits persist after left anterior temporal lobectomy. Arch. Neurol. 53: 726. Lendt, M., Helmstaedtet, C. & Elger, C. E. (1999). Pre- and postoperative neuropsychological profiles in children and adolescents with temporal lobe epilepsy. Epilepsia 40: 154350. Loring, D. W. & Meador, K. J. (2001). Cognitive and behavior effects of epilepsy treatment. Epilepsia 42 (suppl 8): 2432. Loring, D. W., Meador, K. J., Martin, R. C. & Lee, G. P. (1988). Language deficits following unilateral temporal lobectomy. J. Clin. Exp. Neuropsychol. 11: 41. Mandelbaum, D. E., Kugler, S. L., Wenger, E. C., et al. (2001). Clinical experience with levetiracetam and Zonisamide in children with uncontrolled epilepsy. Epilepsia 42 (suppl 7): 183. Mervaala, E., Kalviainen, R., Kjnononen, M., et al. (1993). Vigabatrin and carbamazepine monotherapy does not impair cognitive functions in event-related potentials. Epilepsia 34 (suppl 6): 95. Milner, B. (1975). Psychological aspects of focal epilepsy and its neurosurgical management. In Advances in Neurology, ed. D. P., Purpura, J. R. Penry & R. D.Walter, Vol. 8. New York: Raven Press. Morales, A., Verhulst, S., Faingold, C. L., et al. (1992). Absence epilepsy: brainstem auditory evoked responses (BAERs) before and during treatment. Epilepsia 33 (suppl 3): 63. Morrell, F., Whisler, W. W., Smith, M. C., et al. (1992). Clinical outcome in Landau-Kleffner Syndrome treated by multiple subpial transection. Epilepsia 33 (suppl 3): 100. Ojemann, L. M., Crawford, C. A., Dodrill, C. B., et al. (1999). Language disturbances as a side effect of Topiramate and Zonisamide therapy. Epilepsia 40 (suppl 7): 66. Rayport, M., Ferguson, S. M. & Corrie,W. S. (1984). AES Society Proceedings. Epilepsia 25: 5.

Rayport, M., Ferguson, S. M. & Schell, C. A. (1991). Long-term outcomes after corpus callosum section: neurosurgical, neurological, neuropsychiatric and neuropsychological aspects. Epilepsia 32 (suppl 3): 89. Saykin, A. J., Stafiniak, P.&Robinson, L. J. (1995). Language before and after temporal lobectomy: specificity of acute changes and relation to early risk factors. Epilepsia 36: 10717. Shafrir, Y. (1999). Loss of speech in 2 patients with excellent seizure control on Ketogenic diet. Epilepsia 40 (suppl 7): 124. Speer, J., Quiske, A., Altenmuller, D. M., et al. (2001). Unsuspected atypical hemisphere dominance for language as determined by fMRI. Epilepsia 42: 9579. Szabo, A. &Wyllie, E. (1993). Intracarotid amobarbital testing for language and memory dominance in children. Epilepsia 34 (suppl 6): 31. Trenerry,M. R.,Westerveld, M. & Meador, K. (1995). MRI hippocampal volume and neuropsychology in epilepsy surgery. Magn. Reson. Imaging 13: 112532. Williams, J. & Rausch, H. R. (1991). Factors in children that predict memory performance on the intracarotid amobarbital procedure. Epilepsia 32 (suppl 3): 70. Wilson, A., Petty, R., Perry, A. & Rose, F. C. (1983). Paroxysmal language disturbance in an epileptic treated with clobazam. Neurology 33: 6524.

Anda mungkin juga menyukai