Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharyng atau nasopharyngeal

angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Angiofibroma nasofaring belia merupakan sebuah tumor jinak nasofaring yang cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7-21 tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya antara 1:5.000-1:60.000 pada pasien THT. Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada nasofaring, tetapi jumlahnya kurang 0,05% dari tumor kepala dan leher. Insiden dari angifibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of the Memorial Hospital, New Year di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada Royal Nation Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat kesimpulan bahwa sedikit angiofibroma di Londondibanding di New York. Berdasarkan angka kesakitan diatas, maka kelompok tertarik membahas tentang pembahasan makalah dengan judul Asuhan Keperawatan pada Klien Angiofibroma Nasofaring Belia

B. TUJUAN UMUM Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien Angiofibroma Nasofaring Belia dengan menggunakan metode proses keperawatan.

C. TUJUAN KHUSUS 1. Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit Angiofibroma Nasofaring Belia 2. Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan Angiofibroma Nasofaring Belia 3. Mampu membuat diagnosa keperawatan berdasarkan anamnesa 4. Mampu membuat rencana keperawatan berdasakan teori keperawatan

BAB II PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR PENYAKIT 1. DEFINISI Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, serta sangat mudah berdarah dan sulit dihentikan. Jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari tumor leher dan kepala. (Arif Mansjoer, dkk, 2001)

Gambar Penderita Angiofibroma Nasofaring

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG a. Hidung luar (piramid) Bagian hidung yang paling menonjol keanterior, yang merupakan puncak dari piramid, disebut apex nasi. Bagian hidung yang berjalan kurang lebih lurus disini kearah dorso cranial sampai tepat ke bawah arah dahi disebut dorsum nasi. Tempat pertemuan dorsum nasi dengan dahi disebut radix nasi. Bagian hidung yang berjalan ke dorsal mulai dari apex nasi sampai bagian tengah dari bibir atas disebut columela. Tempat pertemuan columela dengan bibir atas disebut basis nasi. Dikanan dan kiri columela terdapat lubang yang disebut nares, yang dibatasi dilaterosuperior oleh alae nasi dan bagian inferior oleh dasar cavum nasi.Tegaknya hidung didukung oleh rangka hidung yang terdiri dari os nasale kanan dan kiri, prosesus frontalis kanan dan kiri, cartilago alaris nasi kanan dan kiri, kartilago alaris nasi kanan dan kiri dan septum nasi.

b. Cavum nasi Rongga hidung dibagi 2 bagian, kanan dan kiri digaris median oleh septum nasi yang sekaligus menjadi dinding medial dari cavum nasi dan dibentuk oleh: 1) Lamina perpendikularis ossis et ethmoidalis Lamina perpendikularis ossis et Ethmoidalis membentuk septum nasi dibagian superior yang bagian bawahnya bertumpu pada os vomer. 2) Cartilago septi nasi atau cartilago quadrankularis Cartilago septum nasi adalah sekeping tulang rawan tunggal yang berbentuk quadri lateral, yang merupakan bagian anterior inferior septum nasi, yang merupakan bagian anterior inferior septum nasi. Dibelakang bersatu dengan bagian tulang septum dan lamina perpendukalaris os ethmoidalis, bagian bawah-nya bertumpu pada lekukan osvomer, crista maksila dan spina maksila. 3) Vomer Bagian ini membentuk septum nasi di bagian posterior dimana terdapat bagian yang terletak antara os vomer dan lamina perpendikularis, yang disebut sebagai processus sfenioid.

3. ETIOLOGI Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan. Diantaranya teori jaringan asal dan faktor ketidak-seimbangan hormonal. Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif1 dan mempunyai kemampuan mendestruksi2 tulang.

1 2

. Pemanbahan permukaan atau isi menjadi lebih luas . Pemusnahan, penghancuran

Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossapterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.

4. STADIUM ANGIOFIBROMA Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut a. Stage IA b. Stage IB :

: Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring : Tumor melibatkan nares posterior dan atau nasofaring dengan perluasan ke satu sinus paranasal.

c. Stage IIA d. Stage IIB

: Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila. : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang orbita.

e. Stage IIIA

: Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.

f. Stage IIIB

: Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch : a. Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang b. Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan destruksi tulang. c. Stage III : Tumor menginvasi fossa3 infra temporal, orbita dan atau daerah parasellar sampai sinus kavernosus. d. Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan atau fossa pituitary.

. Lekuk, parit

5. PATOFISIOLOGI Secara makroskopik, angifibroma nampak sebagai keras, berlobulasi

membengkak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari angifibroma nasoparing merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasoparing dan karena itu dibungkus oleh membram mukosa tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ektrafaringeal sering bewarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat mentisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokontriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan pendarahan yang berlimpah. Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas endothelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya terjadi thrombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel stromal4 yang melambangkan fibrolas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada nucleus stellata dan kadang-kadang, nukleous prominent.

6. MANIFESTASI KLINIS Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia5. Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba Eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia6 hebat terjadi bila tumor sudah

4 5

. Jaringan ikat atau penyangga dalam sebuah organ . Hilangnya daya mencium bau atau wangi 6 . Sakit kepala

meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada muka, disfagi7, proptosis8, dan gangguan visus. Pada rinoskopi posterior terlihat massa tumor dengan konsistensi kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. (Arif Mansjoer, dkk, 2001)

7. KOMPLIKASI Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury terhadaps truktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila tumor sudah berekspansi ke intracranial atau pasca operasi basis cranii. Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarangterjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson. Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant

transformation), gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus temporalis.

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Laboratorium Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini. b. Biopsy Pada pemeriksaan histologist, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa atau matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdingding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi pendarahan. Karena karakteristik klinis dengan gambaran raadiografi mungkin banyak klinisi yang merasa perlu untuk melakukan biopsy.
7 8

. Gangguan koordinasi dan ketidakmampuan menyusun kata-kata . Pergeseran suatu alat ke depan, terutama mata

c. Pemeriksaan Radiologis 1) Foto Sinar X Pada foto sinar X tumor tampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasoparing. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissure pterigopalatina membesar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak didaerah nasoparing yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di sekitar nasoparing. Dilakukan pemeriksaan radiologi konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral, dan posisi Waters), tomografi komputer, dan pemeriksaan arteriografi. Gambaran khasnya adalah tanda Holman Miller, yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar. Arteriografi untuk metihat vaskularisasi tumor biasanya dilakukan sekaligus dengan embolisasi praoperasi. Biopsi merupakan kontraindikasi sebab akan menyebabkan perdarahan masif. (Arif Mansjoer, dkk, 2001).

9. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan, dimana 6-24% rekuren, stereotactic radioterapi, digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus yang rekuren9. Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan selama operasi. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel non-absorpsi seperti Ivalon dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing.

. Berulang

B. PROSES KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN a. Riwayat kesehatan 1) Keluhan Utama Keluhan yang ditimbulkan dari Angiofibroma Nasofaring Belia adalah klien merasakan nyeri pada bagian hidung dan sering kali menyebar pada area wajah. 2) Riwayat Kesehatan Sekarang Hidung klien tersumbat dan merasa nyeri. Pada keadaan yang lebih kronis, wajah klien tampak tidak simetris. 3) Riwayat Kesehatan Dahulu Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit hidung lainnya. 4) Riwayat Kesehatan Keluarga Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama atau penyakit hidung lainnya.

b. Pola Fungsi Kesehatan 1) Aktivitas Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktorfaktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas. 2) Sirkulasi Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah, epistaksis atau perdarahan hidung. 3) Integritas ego Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah. 4) Eliminasi Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.

5) Makanan dan cairan Kebiasaan diit buruk (rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia, mual muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan kelembaban atau turgor kulit. 6) Neurosensori Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia10, juling, eksoftalmus 7) Nyeri, kenyamanan Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan 8) Pernapasan Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok) 9) Keamanan Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama atau berlebihan, demam, ruam kulit. 10) Interaksi sosial Ketidakadekuatan atau kelemahan sistem pendukung (Doenges, 2000)

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN a. Nyeri berhubungan dengan kompresi atau destruksi jaringan saraf b. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder c. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder d. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi e. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem

hematopoetik

3. INTERVENSI a. Nyeri berhubungan dengan kompresi atau destruksi jaringan saraf Tujuan :

Rasa nyeri teratasi atau terkontrol

10

. Penglihatan ganda, (satu objek terlihat dua objek)

10

Kriteria hasil : Mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri . Intervensi :

1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri 5) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 6) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau 7) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 8) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 9) Kurangi faktor presipitasi nyeri 10) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter personal) 11) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 12) Ajarkan tentang teknik non farmakologi 13) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 14) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 15) Tingkatkan istirahat 16) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 17) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri Analgesic Administration 1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat 2) Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi 3) Cek riwayat alergi 4) Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
11

5) Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri 6) Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal 7) Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur 8) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali 9) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat 10) Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek samping) (NIC NOC)

b. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder Tujuan :

Mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi Kriteria hasil : Mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan Intervensi :

1) Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat. 2) Orientasikan pasien terhadap lingkungan 3) Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi 4) Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur 5) Bicara dengan gerak mulut yang jelas 6) Bicara pada sisi telinga yang sehat

c. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah sekunder Tujuan :

Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi. Kriteria hasil :

1) Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah 2) Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat 3) Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab 4) Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan

12

Intervensi : 1) Kaji adanya alergi makanan 2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien. 3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe 4) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C 5) Berikan substansi gula 6) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi 7) Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi) 8) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. 9) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori 10) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi 11) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan Nutrition Monitoring 1) BB pasien dalam batas normal 2) Monitor adanya penurunan berat badan 3) Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan 4) Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan 5) Monitor lingkungan selama makan 6) Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan 7) Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi 8) Monitor turgor kulit 9) Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah 10) Monitor mual dan muntah 11) Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht 12) Monitor makanan kesukaan 13) Monitor pertumbuhan dan perkembangan 14) Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva 15) Monitor kalori dan intake nuntrisi 16) Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oral. 17) Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet

13

d. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder imunosupresi Tujuan :

Tidak terjadi infeksi Kriteria hasil :

1) Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal 2) Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri. 3) Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori Intervensi :

1) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain 2) Pertahankan teknik isolasi 3) Batasi pengunjung bila perlu 4) Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien 5) Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan 6) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan kperawtan 7) Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung 8) Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat 9) Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 10) Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing 11) Tingktkan intake nutrisi 12) Berikan terapi antibiotik bila perlu Infection Protection (proteksi terhadap infeksi) 1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 2) Monitor hitung granulosit, WBC 3) Monitor kerentanan terhadap infeksi 4) Batasi pengunjung 5) Saring pengunjung terhadap penyakit menular 6) Partahankan teknik aspesis pada pasien yang beresiko 7) Pertahankan teknik isolasi k/p
14

8) Berikan perawatan kuliat pada area epidema 9) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 10) Ispeksi kondisi luka / insisi bedah 11) Dorong masukkan nutrisi yang cukup 12) Dorong masukan cairan 13) Dorong istirahat 14) Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai resep 15) Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi 16) Ajarkan cara menghindari infeksi 17) Laporkan kecurigaan infeksi 18) Laporkan kultur positif (NIC NOC)

e. Resiko

terhadap

perdarahan

berhubungan

dengan

gangguan

sistem

hematopoetik Tujuan :

Perdarahan dapat teratasi Kriteria Hasil : 1) Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi 2) Tidak menunjukkan adanya epistaksis Intervensi :

1) Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit 2) Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis 3) Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan atau gesekan pada hidung

15

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa angifibroma nasoparing belia adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Etiologi tumor ini masih belum jelas. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%), kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%), khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (1018%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti Xfoto polos, CT scan, angiografi atau MRI.

B. SARAN 1. Sebaiknya seorang perawat dapat melaksanakn asuhan keperawatan kepada klien angiofibroma nasofaring belia sesuai dengan indikasi penyakit 2. Sebaiknya seorang perawat dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien angiofibroma nasofaring belia dengan baik dan benar

16

DAFTAR PUSTAKA
Adams GL. Boies LR, Jr. Highler PA. Boies Buku Ajar THT. Edisi 6. Effendi H. Santoso RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1993. 174-175. Doenges E. Marilynn, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 1999. Carpenito Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 2001. Masjoer Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FK UI. Robbins Stanley L, Buku Saku Dasar Patologi Penyakit, Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, 1996.

Sumber Lain :

http://www.scribd.com/doc/38853512/Refrat-THT-Nasofaring-Angiofibroma http://wikimed.blogbeken.com/angiofibroma-nasofaring-belia http://www.plnntt.co.id/showthread.php?t=15518&page=1 http://www.scribd.com/pande_sari/d/52618309-tht-angiofbroma-nasofaring

17

Anda mungkin juga menyukai