Anda di halaman 1dari 6

Depok, 04 Juli 2012

Kekeliruan Umum tentang Uang Kertas


Zaim Saidi - Direktur Wakala Induk Nusantara

Detik ini banyak orang yang masih percaya bahwa uang kertas diterbitkan oleh bank sentral dengan back up logam mulia, emas dan atau perak.

Ini sungguh keliru. Kebanyakan uang kertas langsung kehilangan nilai ekuivalennya untuk dapat ditukarkan dengan emas dan perak (ataupun komoditas lainnya) dalam tahun yang sama dengan saat ia diterbitkan.

Telaah

atas

sejarah

uang

kertas

menunjukkan

kegagalan yang selalu dialami oleh otoritas yang menerbitkannya untuk memenuhi kewajiban kontraktualnya (saat ada warga mau menebuskan uang kertas), yang pada mulanya adalah dalam bentuk emas dan perak.

Setelah PD II kebanyakan mata uang di dunia ini telah bergabung dengan Perjanjian Bretton Wood (dibentuk 1944). Dalam sistem Bretton Wood kebanyakan mata uang kertas ini dikaitkan dengan dolar AS yang dikaitkan dengan emas, dengan kesetaraan 35 dolar AS/ troy ounce emas. Sistem ini akhirnya dibubarkan secara sepihak oleh Richrad Nixon, Presiden AS, pada 1973. Sejak saat itu tidak ada satupun mata uang kertas yang didukung dengan emas.

Uang kertas, sepenuhnya, adalah 'uang fiat' yang nilainya didasarkan sepenuhnya sematamata atas 'jaminan' hukum dari pemerintah. Saat ini bahkan uang kertas ini pun semakin sedikit dibutuhkan, sebab telah digantikan hanya dengan byte-byte dalam komputer, yang ditransaksikan secara elektronik.

Diterbitkan oleh Perusahaan Swasta Di sini ada kesalahkaprahan lain di tengah kita yang secara keliru mempercayai bahwa uang kertas suatu negara diterbitkan oleh pemerintah. Yang benar adalah uang kertas, maupun koin-koin recehan yang terkait dengannya - dan byte dalam komputer yang diciptakannya -

diterbitkan oleh bank sentral. Sudah ditunjukkan [dalam buku Ilusi Demokrasi] di atas kebanyakan bank sentral adalah perusahaan swasta, milik pribadi sekelompok bankir. Lebih dari itu, sebagian besar uang yang beredar di tengah masyarakat, tidak lagi berbentuk 'uang fisik' (uang kartal, kertas dan koin).

Kebanyakan uang beredar saat ini berbentuk deposito dan kredit (uang giral), berupa kertas cek maupun byte, yang dibuat oleh bank-bank komersial. Perbandingan antara uang fisik dan uang ciptaan bank komersial ini biasanya adalah 1:20, suatu angka yang kini menjadi standar internasional Bank Sentral, atau lebih dari itu. Ini berarti bahwa sebagian besar uang yang berada di tengah kita sebenarnya diterbitkan oleh perbankan komersial swasta.

Jadi, siapa yang paling bertangungjawab atas pemasokan uang di tengah kita? Jawabnya adalah institusi swasta, yang kita sebut bank komersial ini, yang tentu saja, mendapatkan keuntungan luar biasa dari penciptaan uang dari ketiadaan ini. Perlu ditambahkan di sini, saat ini, bank-bank sentral, yang kebetulan masih berada di tangan pemerintah (walaupun sudah sepenuhnya dikendalikan oleh jaringan bankir swasta global), cenderung diswastanisasi sepenuhnya. Ini akan berarti bahwa pemaksaan alat pembayaran, yang berarti secara esensial adalah sebentuk pemajakan, tidak ditarik oleh pemerintah melainkan perusahaan swasta (perbankan).

Dari uraian lain dari Helairie Beloc, sebagaimana dikutip oleh Dallas (2005) di bawah ini, kita akan mendapatkan kejelasan tentang tentang trick perbankan swasta dalam menciptakan uang dari kehampaan, hingga mereka mendapat sumber kekuasaan yang sangat besar. Pada awalnya seorang pemilik koin [emas] yang ingin mengamankannya dari bahaya akan menitipkannya pada seorang pandai emas atau seseorang yang memiliki peti yang kuat dan loket untuk penebusannya. Ia akan meninggalkannya, tentu saja, dengan syarat ia dapat menariknya kembali, semuanya atau sebagiannya, setiap saat ia perlukan. Misalnyanya ada sebelas orang menitipkan masing-masing 100 keping emas pada seorang pemilik peti penyimpanan; maka orang ini akan menjadi bankir mereka. Mereka akan datang kepadanya dari waktu ke waktu, masing-masing menarik sebagian uang mereka yang akan dipakai, atau menyerahkan sejumlah uang lain untuk disimpan.

Dengan segera diketahui, pada prakteknya, jumlah uang yang ditarik dalam jangka waktu tertentu, katakanlah sebulan, telah digantikan oleh depositor dengan kecepatan rata-rata

tertentu: yakni, meski ada jumlah atau kecepatan tertentu yang ditarik ada sejumlah yang terkait yang didepositkan. Tapi di antara arus masuk dan arus keluar selalu ada sejumlah besar cadangan di tangan: selalu ada sejumlah besar emas dan perak di tangan orang yang dipercayai menyimpannya.

Dalam praktek diketahui bahwa secara permanen sisa uang yang tak terpakai ini ada sejumlah sepuluh kali dari jumlah yang perlu disiapkan untuk memenuhi permintaan penarikan. Di tangan si bankir yang mendapat kepercayaan sebelas nasabah yang menitipkan uang, ada sebanyak 1.100 poundterling, dengan 1000 pound dari yang 1.100 pound ini, sepenuhnya menganggur dalam waktu tertentu. Cukup bagi si bankir untuk hanya menyimpan yang 100 pound itu sebagai cadangan untuk memenuhi permintaan penarikan, sebab ia bisa mengandalkan arus masuk deposit baru sebebasnya untuk memenuhi seberapa pun arus penarikan terjadi. Si Jones boleh jadi menarik 10 pound dari 100 pound tabungannya untuk keperluan Tahun Baru, tapi pada Candlemas, sebulan kemudian, ia akan membayarkan 10 pound yang ia ambil itu untuk kembali ditabung.

Dengan demikian, cuma 1/10 dari jumlah total, yang harus disimpam oleh si bankir untuk memenuhi kewajibannya. Sisanya - sekurangnya - ia gelapkan, ini penggelapan karena seseorang menggunakan milik orang lain yang dipercayakan kepadanya demi tujuan pribadi. Tapi karena terbiasa, penggelapan ini lama-kelamaan dianggap wajar. Maka, pada akhirnya, si bankir merasa aman bila ia hanya mencadangkan 1/10 dari uang yang, berdasarkan hukum dan moral, ia wajib membayarkannya saat diminta. Sisanya yang 9/10 ia dapat gunakan untuk apa saja yang ia mau - dan khususnya diutangkan dengan riba.

Sihir Uang Kertas Tapi itu baru awal dari cerita. Sebab, sebagaimana kita ketahui para bankir akan menerbitkan 'tanda terima', kuitansi, atau istilah resminya 'janji pembayaran' (promissory note), sebagai bukti penitipan koin emas itu. Oleh nasabahnya kuitansi ini diterima seolah sebagai benarbenar pembayaran. Kertas ini, hari ini kita sebut sebagai cek, kemudian beredar dari satu tangan ke tangan yang lain untuk suatu waktu di-cash-kan (ditukarkan dengan koin emas) di bank.

Secarik kertas ini pun, di bawah undang-undang mata uang (law of legal tender), akhirnya

menjadi uang itu sendiri. Dengan instrumen ini para bankir mendapatkan keuntungan secara luar biasa karena, dengan mengeluarkan kertas-kertas 'janji pembayaran' ini, telah menciptakan uang dari kehampaan. Beloc mencontohkan bagaimana para bankir mendapatkan pelipatgandaan keuntungan tersebut sebagai berikut ini: Anda dan saya dengan 1.100 poundsterling dapat mengupah 11 orang untuk membangunkan sebuah rumah untuk kita dalam waktu 6 bulan. Tapi seorang bankir dengan 1.100 pound dapat sekaligus membangun 10 rumah. Anda dan saya dapat meminjamkan uang kita yang 1.100 pound itu dengan 5% bunga dan mendapatkan 50 pound dalam setahun; tapi seorang bankir, dengan dasar yang sama, dapat memperoleh sebanyak 550 pound dalam setahun. Ini juga belum akhir dari cerita, karena dengan berlakunya janji pembayaran tersebut sebagai uang itu sendiri, para bankir dapat melipatgandakan uangnya lagi, dengan cara menciptakan utang kepada para nasabah. Dengan teknik cadangan sebagian ini seorang bankir kemudian dapat memperbanyak 'uang'-nya sampai jumlah hampir tak terbatas, dengan jalan mengutangkan (tepatnya: membukukan utang) dengan bunga tersebut. Dalam istilah perbankan praktek ini disebut sebagai 'ekspansi kredit'. Syarat cadangan sebagian atau fractional reserve requirement lazimnya pada mulanya adalah antara 8-10%. Dengan teknologi yang lebih baru, kartu kredit, sebuah bank bahkan praktis dapat membukukan utang dengan demikian menciptakan uang tanpa cadangan sama sekali.

Di Indonesia, pasca liberalisasi sektor perbankan pada 1988, persyaratan cadangan ini bahkan menjadi sangat kecil, diturunkan dari 15% menjadi 2%. Inilah bibit yang menjadi awal malapetaka bangsa ini yang terjadi satu dekade kemudian ketika sektor perbankan di Indonesia rontok. Kita akan dengan luas kembali membahas nasib bangsa Indonesia yang kini terjebak dalam permainan para rentenir global ini di bawah nanti.

Kemampuan menciptakan kredit inilah yang memberikan oligarki keuangan kekuataan politik yang sebenarnya. Sejumlah bukti-bukti lain akan diberikan di bawah nanti [dalam buku Ilusi Demokrasi], baik di masa awal konsolidasi kapitalisme (abad ke-19) maupun di zaman mutakhir kini. Bank-bank kini menciptakan kredit dalam bentuk utang nasional, pada dasarnya, untuk tujuan apa saja - mulai dari perang, proyek 'pembangunan', bahkan 'reformasi politik'. Tujuan utang, bagi para rentenir, adalah demi memperbanyak utang itu sendiri, karena dengan begitu mereka menciptakan kekayaan dengan cepat dan mudah.

Tapi bagi sebuah bangsa, utang nasional apalagi yang merupakan 'kredit politik' seperti yang

dikenal sebagai Structural Adjustment Loan dari IMF, dapat berarti 'utang untuk menggali kuburnya sendiri'. Contoh kasusnya: utang kepada Daulah Utsmani dan, semakin dapat dibuktikan kebenarannya, yang diberikan kepada bangsa kita sendiri sebagaimana kita alami hari-hari ini. Kita akan melihat fakta-faktanya di bawah nanti [dalam buku Ilusi Demokrasi]. Pajak Terselubung Semuanya sudah makin jelas kini. Tapi masih ada juga kesalahpahaman lain tentang uang kertas dan implikasinya. Sebagian orang beraggapan bahwa uang kertas lebih memajaki (membebani) kaum kaya yang punya lebih banyak uang daripada kaum miskin yang lebih sedikit memegangnya. Ini kekeliruan fatal, karena yang sebaliknyalah yang terjadi. Inflasi adalah pajak yang jauh lebih dibebankan kepada orang miskin. Sebab, meskipun inflasi menurunkan nilai semua mata uang dalam suatu waktu tanpa melihat siapa yang memilikinya, inflasi lebih menguntungkan orang-orang yang tengah berutang. Sebab, mereka yang berutang, akan melunasinya dengan nilai uang yang secara riil lebih kecil dari nilai asal yang menjadi kewajibannya semula. Karena yang mendapatkan kredit ini kebanyakan adalah orang kaya, merekalah yang lebih diuntungkan oleh sistem ini, dengan dua alasan: Inflasi menurunkan nilai riil uang yang harus dibayarkan oleh debitur kaya tersebut. Sistem uang kertas memberikan keistimewaan eksklusif yang luar biasa kepada orang kaya berupa akses untuk mendapatkan modal dari perbankan. Secara keseluruhan sistem uang kertas adalah suatu bentuk ketidakadilan berupa pajak yang paling berat bagi warga negara, terlepas dari kelas sosial dan kondisi lainnya, demi keuntungan segelintir pribadi-pribadi. Semakin banyak uang yang diciptakan, dalam bentuk kredit yang dikeluarkan oleh bank, semakin tinggi pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat. Tingkatnya melebihi inflasi, karena harus kita tambahkan di sini dengan tidak meratanya peredaran uang, karena berlakunya formula 'uang-datang-kepada-uang'. Seseorang yang akan meminta kredit kepada bank, katakanlah Rp 1 milyar, harus menyediakan ekuitas senilai yang sama, Rp 1 milyar. Mungkinkah Rp 1 milyar ini disediakan oleh seorang nelayan di Muara Angke? Kredit perbankan hanya akan datang kepada kaum kaya, yang akibatnya akan makin mempertajam jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

Itulah, boleh jadi, sisi terburuk dari sistem uang kertas: perpajakan terselubung, yang tidak terlihat karena tidak mudah, dan tidak pernah, dihitung seperti halnya inflasi. Secara keseluruhan itulah kapitalisme, yang ditopang oleh dua sumber hidupnya, riba sebagai jantung kiri dan pajak sebagai jantung kanannya. Dalam skala global kapitalisme,

sebagaimana akan segera kita perlihatkan di bawah ini [dalam Ilusi Demokrasi], telah menggantikan kekuatan militer sebagai alat untuk mengendalikan (baca: menjajah) warga masyarakat.

*)Dinukil dari buku Ilusi Demokrasi (Republika, 2007)

Anda mungkin juga menyukai