Anda di halaman 1dari 5

Resiliensi : Definisi baru dari Kesehatan untuk Orang dan Komunitas Dimulai dengan Studi Framingham (Dawber, Meadors,

dan Moore 1951), penelitian faktor resiko telah mencapai riwayat yang panjang dan sukses dalam mengidentifikasi kelemahan biologis dan psikologis dari penyakit baik akut maupun kronis. Pada usia 65 tahun, kebanyakan rakyat Amerika akan memiliki beberapa faktor resiko dari penyakit yang mengancam nyawa. Namun begitu studi menunjukkan mereka yang mencapai usia ini (65 tahun) memiliki kesempatan hidup rata-rata 20 tahun lagi. Sebagai tambahan, Akademi Ilmu Nasional (National Academy of Science) menemukan adanya penurunan tingkat kecacatan, menurun hingga 20% untuk pertama kalinya sejak tahun 2000, pada lansia, dengan melihat tingkat pendidikan, pola makan, olahraga, dan kemajuan kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan, semua membawa para lansia menuju usia lanjut yang lebih sehat (National Research Council 2001). Bahkan para lansia yang mencapai usia 100 tahun menunjukkan tingkat kebahagiaan yang menyaingi orang usia muda dan tertawa sebanyak orang usia muda (Jopp & Smith, 2006). Bagaimana sesungguhnya sehingga mereka dapat mempertahankan dirinya ketika sakit, dan bagaimana beberapa dari mereka dapat pulih dari sakit yang mereka alami? Pencarian pengetahuan mengenai kemampuan ini tidak hanya mengenai mereka yang berhasil mengalahkan takdir mereka. Terdapat juga anomali atau kelainan pada kesehatan komunitas (Evans, Barer & Marmor, 1994), tingkat penyakit dan kecacatan yang tidak dapat dilihat dari faktor resiko yang dimiliki, dan tingkat kesehatan yang mengejutkan mengetahui bahwa mereka memiliki faktor resiko yang mengancam nyawa mereka. Dan hal ini tidak dapat dijelaskan dalam penelitian-penelitian. Status sosial, misalnya, ternyata berperan besar dalam peningkatan kesehatan meskipun telah dilakukan kalkulasi multivariat rasio resiko antara resiko dan tingkat kesehatan yang buruk (Marmot & Fuhrer, 2004). Selanjutnya, terdapat paradoks pada beberapa grup yang menunjukkan hasil yang berlawanan dengan gradien sosial (Heidrich & Ryff, 1993). Salah satu contoh terbaik yang dapat ditunjukkan adalah paradoks pada etnis Hispanik. Bahkan pada keadaan dimana faktor resiko yang dimiliki sangat signifikan, mereka yang memiliki kekerabatan yang erat dengan grup dengan etnis yang sama memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik terlepas dari status sosial mereka apakah menjamin atau tidak (Fuentes Afflik, Hessol & Perez-Stable, 1993; Gould, Madan, Qin & Chavez, 2003).

Anomali ini dapat terjadi karena adanya matriks dari berbagai faktor yang terjalain dalam hidup manusia dan komunitas yang menunjukkan resiliensi. Indikasi dari kemampuan resiliensi ini dapat ditemukan dalam diri manusia, jalinan kekerabatan keluarganya, dan profil sosiokultural dari hidup bertetangga dan komunitasnya. Dalam bab ini kami mengajukan resiliensi sebagai konstruksi integratif yang menunjukkan salah satu pendekatan untuk memahami bagaimana orang dan komunitasnya dapat mencapai tingkat kesehatan yang baik dan hidup yang bahagia meskipun dilanda hal-hal yang menunjukkan sebaliknya. Tujuan kami adalah untuk mendefinisikan resiliensi berdasarkan pemikiran terkini dalam biopsikososial, untuk mengambil garis besar metode penelitian untuk mempelajari resiliensi, dan untuk menunjukkan bagaimana pendekatan ini mampu menjadi pemicu penelitian dan pengembangan selanjutnya untuk mempromosikan kesehatan. Apa itu Resiliensi? Kami mulai dengan definisi istilah untuk hal ini. Kebutuhan untuk adanya kejelasan semakin penting setelah apa yang disebutkan oleh Rutter (1999) sebagai millenium Rorschasch. Sampai akhir-akhir ini, studi-studi mengenai resiliensi merupakan provinsi tunggal dari psikologi perkembangan (Luthar, 2006). Dalam arena ini, resiliensi dipelajari sebagai proses dinamis dari adaptasi yang sukses terhadap hal yang merugikan yang nampak melalui kacamata psikopatologi perkembangan. Dalam berbagai penelitian dan praktek, telah terjadi beberapa debat mengenai definisi dan operasionalsisasi dari resiliensi (Luthar, Cicchetti, & Becker, 2000). Apakah resiliensi lebih tepat dikategorikan sebagai sebuah proses, sebuah sifat kepribadian, sebagai proses perkembangan yang dinamis, sebagai sebuah hasil, atau semua di atas? Sebagai tambahan, dimana batasan antara adaptasi yang sukses dengan respon non-resilien? Dalam pandangan kami, resiliensi paling tepat didefinisikan sebagai sebuah hasil dari adaptasi yang sukses terhadap kesulitan. Karakteristik dari orang dan situasi mampu menidentifikasi adanya proses resiliensi, namun hanya akan disebut resiliensi jika mereka mampu membawa diri mereka menuju hasil yang lebih baik setelah melalui keadaan yang stress. Dua hal mendasar yang harus dtanyakan ketika menilai sebuah resiliensi. Pertama adalah Pemulihan / Recovery, atau bagaimana seseorang mampu bangkit kembali dan pulih sepenuhnya dari sebuah halangan (Masten, 2001; Rutter, 1987). Orang dengan resiliensi menunjukkan adanya kapasitas untuk bangkit dengan cepat untuk berfungsi dengan normal secara fisiologis,
2

psikologis, dan dalam hubungan sosial. Yang kedua dan yang sama pentingnya adalah Ketahanan / Sustainability, yaitu kemampuan untuk tetap melangkah maju didepan sebuah tantangan (Bonnanno, 2004). Untuk menilai kedua aspek ini kami menanyakan bagaimana baiknya orang dapat mempertahankan kesehatan fisik dan psikologis dalam sebuah lingkungan yang dinamis dan menantang. Definisi 1 : Pemulihan : Dari Resiko menuju Resiliensi Salah satu malash yang kami dapatkan dalam memahami proes pemulihan dari kejadian yang menekan adalah kebanyakan model dari kesehatan fisik dan psikis tidak mampu menjabarkan secara detail pemahaman mengenai definisi pemulihan. Masalah ini diperparah dengan frekuensi kejadian pemulihan terhadap kesulitan yang terjadi di masyarakat. Dalam beberapa kasus, kejadian hidup anak yang mengalami penyiksaan bahkan disebutkan di media sebagai sebuah sulap yang biasa / ordinary magic. Ini terjadi secara konsisten dengan resiliensi yang kami jumpai dalam komunitas: kemampuan alami untuk bertahan dan bahkan dalam beberapa kasus meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi kesulitan. Orang-orang melaporkan bahwa mereka telah menemukan hal yang paling berarti dalam hidup, menemukan bagaimana besarnya orang lain peduli terhadap mereka, dan menemukan kekuatan baru dalam diri mereka (Zautra, 2003). Peneliti yang memfokuskan hal ini dalam resiko perkembangan sering menemukan resiliensi sebagai sebuah pengecualian diibanding suatu hal yang seharusnya terjadi (luthar, 2006). Bagaimanapun, orang adalah luar biasa, dan adalah hal yang biasa, bukan langka, untuk melihat bagaimana resiliensi ini terjadi pada masa anak-anak (Garmezy, 1991) dan sepanjang hidup (Bonanno, 2004; Greve & Staudinger, 2006). Berberapa tekanan psikologis yang diikuti pengalaman yang menekan telah diduga dan mungkin merupakan kunci bagi keberhasilan adaptasi. Dari perspektif resiliensi, kecepatan dan proses pemulihan yang menyeluruh dari sebuah bahaya adalah kunci hasil ultama yang diobservasi. Sebuah pemulihan resiliensi mungkin dapat terjadi tanpa adanya bekas luka emosional, namun kembalinya fungsi kesehatan tubuh dapat terjadi diluar apa yang telah diprediksi dalam model psikologi perkembangam. Sebuah pandangan yang lebih lebar mengenai kesehatan fisik dan mental merupakan titik awal yang baik untuk melihat bagaimana pengalaman-pengalaman resiliensi ini.

Meskipun respon resiliensi ini hampir terjadi secara universal, adalah kurang mungkin bahwa kita semua berada dalam kapasitas yang sama, dan kekuatan ligkungan yang dapat memperkuat atau melemahkan resiliensi terhadap stress menyebar secara merata dalam populasi. Setiap orang berbeda dalam kekuatan diriya, fleksibilitas, dan kapasitas cadangan (Gallo, Bogart, Vrancean, & Matthews, 2005) sebagaimana berbagai komunitas berbeda dalam sumber daya yang dimilikinya dan secara keseluruhan kapasitas resiliensinya. Lebih jauh lagi, tingkat respon terhadap lingkungan fisik dan sosial berbeda dari satu keluarga dengan keluarga lain, dan dari satu lingkungan ke lingkungan lain (Garmezy, 1991). Beberapa peneliti resiliensi telah memfokuskan pada ciri-ciri kepribadian (seperti Friborg, Barlaug, Martinussen, Rosenvinge & Hjemdal, 2005), dan telah menunjukkan adanya determinan sosial-lingkungan dari kapasitas respon dari individu. Namun tanpa memperhatikan keadaan sosial dan psikologis dari komunitas, model resiliensi ini memiliki penerapan yang terbatas. Adanya aspek psikologi sosial dan komunitas diperlkan jika kita ingin memahami mengapa kebanyakan dari kita mampu mempertahankan keadaan dengan baik dan mempertahankan pencapaian kita terhadap tujuan yang sudah kita tentukan jika kita menentukan tujuan tersebut untuk kita maupun orang yang kita sayangi (Cowen, 1994). Sebagai tambahan, perhatian terhadap faktor sosial dan kontekstual dapat menyediakan pandangan yang lebih luas dan lebih baik, dalam menganalisa perbedaan proses resiliensi lintas kultur, sebuah area yang memerlukan interogasi teori dan empiris yang lebih dalam. Kita seringkali gagal untuk menemukan bahwa komunitas mengalami pemulihan juga, meskipun sangat berbeda jika kita lihat secara lintas kultural dan lintas negara. Faktanya, pemulihan dari kehancuran yang mengerikan adalah salah satu tema yang paling sering terjadi dalam sejarah dari suatu kota. Sebagaimana diceritakan dalam The Resilient City (Vale & Campanella, 2005), kota-kota telah mengalami kehacuran sepanjang sejarah. Hanya 42 kota di dunia ini yang secara permanen ditinggalkan (Chandler & Fox, 1974), dan kota lainnya telah pulih dari kehancuran. Sebagaimana Kelly (1970) telah memperingatkan kita prinsip adaptasi ternyata terjadi pada manusia dan komunitas sebagaimana terjadi pada ekosistem yang lain. Telah berkali-kali terlihat bahwa dalam proses pemulihan dari kehancuran, sebagian besar anggota dari sebuah komunitas menunjukkan peningkatan yang tidak biasa dari kerjasama dan keterikatan satu sama lain.Namun begitu, perubahan perilaku ini tidak bertahan lama. Apakah itu sebuah contoh yang ekstrim seperti tragedi 9/11 atau bencana alam yang sering terjadi seperti
4

banjir atau angin puting beliung, masyarakat cenderung kembali seperti semula setelah proses perbaikan atau pembersihan selesai. Pada banyak komunitas, resiliensi komunitas berakhir dengan pemulihan yang cepat. Resiliensi sosial dapat sebagian terjadi dari krisis, namun keberlangsungan resiliensi ini membutuhkan banyak intervensi di banyak aspek komunitas, dan ada pendekatan unik pada pemulihan pada setiap sistem pemerintahan di dunia. Komunitas jelasjelas pulih, namun bagaimana caranya dan apa implikasinya bagi kapasitas resiliensi berikutnya tetap menjadi fokus perhatian kita. Definisi 2 : Mempertahankan Pencapaian yang Positif Definisi mayor kedua dari resiliensi diadopsi dari ilmu ekologi dan berhubungan langsung dengan konsep kapasitas cadangan. Holling, Schindler, Walker dan Roughgarden (1995) mendefinisikan resiliensi ekosistem sebagai kapasitas sebuah ekosistem untuk menyerap berbagai gangguan sebelum terjadi perubahan secara fundamental pada sebuah sistem. Yang dimaksud dengan perubahan sistem tersebut oleh Holling dan kolega yang lain seperti Adger (2000) bukanlah perubahan pada tingkat interaksi, namun perubahan yang dinamis dan nonlinear pada hubungan antar bagian-bagian dalam sebuah sistem. Ketika seseorang mencapai dan melewati kapasitasnya untuk menerima sebuah kenyataan, kami mengobservasi bukan hanya perubahan dalam tingkat kognisi, afeksi, dan perilaku namun juga perubahan dalam sifat hubungan dalam elemen-elemen responnya. Studi pada pasien nyeri kronis menyajikan sebuah ilustrasi. Dalam periode nyeri dan stres, terjad perubahan bukan hanya pada tingkat emosi negtaif namun juga hubungan antara periode positif dan negatif, yang menunjukkan ada penurunan kompleksitas dari pengalaman afeksi seseorang (Zautra, 2003, Zautra, Fasman, et al, 2005). Dari hasil ini, tampaknya peningkatan stres dan nyeri menurunkan kapasitas seseorang untuk membedakan antara emosi positif dan ketiadaan emosi negatif, yang menurunkan ketahanannya terhadap afeksi positifnya.

Anda mungkin juga menyukai