Anda di halaman 1dari 175

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, dan oleh karena itu setiap warga negara Republik Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang merata dan bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliknya tanpa memandang status sosial, etnis dan gender sehingga sebagai anggota masyarakat akan memiliki afeksi, kecerdasan dan keterampilan yang akan berguna untuk mengenal dan mengatasi masalah dirinya dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Untuk mencapai hat tersebut, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 yang mengamanatkan tiga misi pembangunan nasional, yaitu: 1) Mewujudkan negara Indonesia yang aman dan damai, 2) Mewujudkan bangsa Indonesia yang adil dan demokratis, dan 3) Mewujudkan bangsa Indonesia yang sejahtera. Untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil, dan sejahtera, bangsa Indonesia harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan nasional harus mampu dalam mewujudkan mencerdaskan pemerataan kehidupan pendidikan bangsa. Hat yang itu bermutu sebagaimana amanat penting yang harus diemban oleh pemerintah merupakan prasyarat untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas bangsa Indonesia yang sejajar dengan bangsa lain di era global, yang ditandai oteh persaingan internasional yang makin ketat. Dengan

demikian, perspektif pembangunan pendidikan masa yang akan datang tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan aspek intelektual saja melainkan juga watak, moral, sosial dan fisik perserta didik, atau dengan kata lain seutuhnya. Upaya untuk membangun manusia seutuhnya sudah menjadi tekad pemerintah sejak Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) I Tahun 1969-1974. Namun pembangunan pendidikan nasional selama ini belum mencapai hasit sesuai yang diharapkan. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) perlu memiliki strategi dan program untuk mewujudkan cita-cita yang luhur itu. Sebagai acuannya, Depdiknas menyusun Rencana Strategis. Pembangunan Pendidikan Nasional (Renstra Depdiknas) Tahun 2005-2009 yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Renstra ini menjadi pedoman bagi semua tingkatan pengelola pendidikan, mulai dari pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan satuan pendidikan, untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan pendidikan nasional serta mengevaluasi hasilnya. Renstra Depdiknas disusun dengan mengacu pada amanat UndangUndang Dasar 1945, amandemen ke-4 pasal 31 tentang Pendidikan; Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP Nomor 21 Tahun 2004 menciptakan manusia Indonesia

tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, dan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

B.

Perspektif

Pembangunan

Pendidikan

Jangka

Menengah
Pembangunan pendidikan nasional tidak dapat lepas dari perkembangan lingkungan strategic, baik nasional maupun global. Pendidikan harus dibangun dalam keterkaitannya secara fungsional dengan berbagai bidang kehidupan, yang masing-masing memiliki persoalan dan tantangan yang semakin kompleks. Dalam dimensi sektoral tersebut, pembangunan pendidikan tidak cukup hanya berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) dalam rangka menyiapkan tenaga kerja. Dalam lima tahun ke depan, pembangunan pendidikan nasional harus dilihat dalam perspektif pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam perspektif demikian, pendidikan harus lebih berperan dalam membangun seluruh potensi manusia agar menjadi subyek yang berkembang secara optimal dan bermanfaat bagi masyarakat dan pembangunan nasional. Potensi manusia Indonesia yang dikembangkan mencakup olah hati yang berkualitas dengan keimanan, ketakwaan dengan akhlak mulia, olah rasa yang berkualitas dengan seni atau estetika, olah pikir yang berkualitas dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta potensi fisik yang berkualitas dengan olah raga.

1. Perspektif Nasional
bertujuan untuk

Makro

Pembangunan

Pendidikan

Pembangunan pendidikan nasional adalah suatu usaha yang mewujudkan masyarakat Indonesia yang

berkualitas, maju, mandiri, dan modern. Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeturuh dan sungguhsungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat akan bangsa. Keberhasilan secara dalam membangun Dalam pendidikan memberikan pembangunan

kontribusi besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional keseluruhan. konteks demikian, pendidikan itu mencakup berbagai dimensi yang sangat luas: sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dalam perspektif sosial, pendidikan akan melahirkan insaninsan terpelajar yang mempunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam masyarakat. Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas masyarakat, yang mengarah pada pembentukan formasi sosial baru. Formasi sosial baru ini terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen penting dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion). Pendidikan yang melahirkan tapisan masyarakat terdidik itu menjadi kekuatan perekat yang menautkan unit-unit sosial di dalam masyarakat: ketuarga, komunitas, perkumpulan masyarakat, dan organisasi sosial yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa tembaga negara. Dengan demikian, pendidikan dapat memberikan sumbangan penting pada upaya memantapkan integrasi sosial. Dalam perspektif budaya, pendidikan juga merupakan wahana penting dan medium yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasi nilai, dan menanamkan etos di kalangan warga masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati diri bangsa. Bahkan peran pendidikan menjadi lebih penting lagi ketika arus globalisasi demikian kuat, yang membawa pengaruh nitai-nitai dan budaya yang acapkali

bertentangan dengan nitai-nitai dan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan dapat menjadi wahana strategis untuk membangun kesadaran kotektif (collective conscience) sebagai warga bangsa dan mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras, suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional. Dalam perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusiamanusia mampu yang andal untuk menjadi subyek yang penggerak memiliki pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pendidikan harus melahirkan lulusan-lulusan bermutu pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis yang memadai. Pendidikan juga harus dapat menghasilkan tenaga-tenaga profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan strategic untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa, yang menjadi prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antarbangsa di era global. Di era global sekarang ini, berbagai bangsa di dunia telah mengembangkan knowledge-based economy (KBE), yang mensyaratkan dukungan sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Karena itu, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan - education for the knowledge economy (EKE). Dalam konteks ini, lembaga pendidikan harus pula berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan (research and development), yang menghasilkan produk-produk riset unggulan yang mendukung KBE. Ketersediaan SDM bermutu yang menguasai iptek sangat menentukan kemampuan bangsa dalam memasuki kompetensi global dan ekonomi pasar bebas, yang menuntut daya saing tinggi. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat mengantarkan bangsa Indonesia meraih keunggulan dalam persaingan global.

Dalam

perspektif

politik,

pendidikan

harus

mampu

mengembangkan kapasitas individu untuk menjadi warga negara yang baik (good citizens), yang memiliki kesadaran akan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa, dan bernegara. Karena itu, pendidikan harus dapat melahirkan individu yang memiliki visi dan idealisme untuk membangun kekuatan bersama sebagai bangsa. Visi dan idealisme itu haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi nasional, yang dianut oleh seluruh komponen bangsa. Dalam jangka panjang, pendidikan niscaya akan melahirkan lapisan masyarakat terpelajar yang kemudian membentuk critical mass, yang menjadi elemen pokok dalam upaya membangun masyarakat madani. Dengan demikian, pendidikan merupakan usaha besar untuk meletakkan landasan sosial yang kokoh bagi terciptanya masyarakat demokratis, yang bertumpu pada golongan masyarakat Was menengah terdidik yang menjadi pilar utama civil society, yang menjadi salah satu tiang penyangga demokratis. Dalam lima tahun mendatang, pembangunan pendidikan bagi upaya perwujudan pembangunan masyarakat

nasional dihadapkan pada berbagai tantangan serius, terutama dalam upaya meningkatkan kinerja yang mencakup: (i) pemerataan dan perluasan akses, (ii) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing (iii) penataan governance, akuntabilitas, dan pencitraan diri, dan (iv) peningkatan pembiayaan. Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan suatu reformasi menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Reformasi politik pemerintahan ini tertuang di dalam UU No. 22/1999, yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut menandai perubahan

radikal tata kepemerintahan dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Pendidikan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kemudian dialihkan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan daerah ini pendidikan dimaksudkan yang menjadi wewenang pemerintah dan untuk meningkatkan efisiensi

efektivitas manajemen pendidikan, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja pendidikan nasional. Dalam era otonomi dan desentralisasi, sistem pendidikan nasional dituntut dan untuk melakukan dalam berbagai rangka perubahan, mewujudkan penyesuaian, pembaharuan

pendidikan yang otonom dan demokratis, yang memberi perhatian pada keberagaman dan mendorong partisipasi masyarakat, tanpa kehilangan wawasan nasional. Dalam konteks ini, pemerintah bersama dengan DPR-RI telah menyusun UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan melakukan tantangan dalam Nasional sebagai perwujudan tekad dalam pendidikan untuk menjawab berbagai dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, reformasi

bernegara di era persaingan global.

2.

Pendidikan dan Komitmen Global


Renstra Depdiknas Tahun 2005-2009 disusun dalam rangka

mempercepat sasaran Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) yang menyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hakhak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28) dan konvensi mengenai HAM yang menyatakan "Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya, setidaknya pada pendidikan dasar. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama

dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan" (Deklarasi HAM, Artikel 26). Hat ini sejalan degan pencapaian sasaran pembangunan yang disepakati dalam Kerangka Aksi Dakar Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA). Dalam sasaran Konvensi Hak-Hak Anak dan PUS, Pemerintah telah metetapkan kebijakan dasardan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) tahun 2015, yaitu mewujudkan anak yang cerdas/ceria dan berakhlak mulia melalui upaya perluasan aksesibilitas, peningkatan kualitas dan efisiensi pendidikan, anak serta partisipasi juga masyarakat. Karena itu, kebijakan pendidikan perlu mengakomodasikan hak-hak anak dan kebutuhan termasuk mempertimbangkan internasional di tingkat bidang pertumbuhan dan perkembangan anak. Dalam memenuhi komitmen pendidikan, Pemerintah melakukan perbaikan indikator kinerja PUS, dengan menekankan pada peran masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan. Namun, upaya inovatif sangat diperlukan untuk mempercepat kemajuan, khususnya untuk menjamin penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga miskin yang belum memperoleh kesempatan belajar, serta penuntasan buta aksara sebagai salah satu indikator penting dalam meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia. Terkait dengan isu gender, ditetapkan pemihakan kebijakan dan disusun program-program berbagai kendala pendidikan yang untuk mewujudkan partisipasi kesetaraan dan keadilan gender. Renstra menyusun strategi dalam mengurangi menghambat perempuan atau laki-laki untuk memperoleh kesempatan belajar pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Dalam menjalankan misi pemerataan dan perluasan kesempatan belajar pada pendidikan dasar, dibuka peluang yang sebesar-besarnya bagi laki-laki dan

perempuan agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya dalam rangka mengembangkan seluruh potensi mereka secara optimal dan seimbang. Kebijakan menghapus berbagai kesenjangan gender pada berbagai tingkat pendidikan ini telah mulai diwujudkan melalui program Pengarus-utamaan Gender (PUG) sebagai salah satu komitmen Pemerintah dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals), di samping penuntasan wajib belajar 9 tahun yang bermutu dan bebas dari biaya. Selain terkait dengan gender, kebijakan pendidikan nasional perlu juga dikaitkan dengan pemihakan terhadap warga negara miskin yang mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan, terutama bagi warga negara miskin yang berpotensi dan berkecerdasan istimewa pertu memperoleh beasiswa dan fasilitas lainnya, tanpa mengalami hambatan ekonomi secara berarti. Demikian pula, bagi warga negara yang memiliki kelainan khusus dan hambatan fisik dapat memperoleh layanan pendidikan yang bermutu sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Diberlakukannya sistem perdagangan dunia akan memberikan petuang dan tantangan datam meningkatkan mutu pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Indonesia berkomitmen pada terbukanya perdagangan dunia (WTO), termasuk dalam perdagangan jasa atau General Agreement on Trade in Services (GATS) dan bidang pendidikan merupakan satah satu sektor yang terkait dalam GATS dimaksud. Untuk mengantisipasi hat tersebut di atas, Renstra Depdiknas menekankan strategi pertuasan kesempatan pendidikan dan pelatihan bagi penduduk usia muda yang masuk datam kelompok pencari kerja, pekerja upah rendah serta penduduk kurang produktif yang jumlahnya masih cukup besar. Dalam perspektif pendidikan, masatah-masalah tersebut terjadi sebagai akibat dari tingginya

angka putus sekolah, terbatasnya akses ke pendidikan dan pelatihan bagi tutusan terutama dari kalangan masyarakat miskin, serta kurang efektifnya pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan kecakapan hidup (life skills).

C. Visi, Misi dan Tujuan Departemen Pendidikan Nasional 1. Visi


Pembangunan Indonesia di masa depan bersandar pada visi Indonesia jangka panjang, yaitu terwujudnya negara-bangsa (nationstate) Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, dan persatuan berdasarkan Pancasita dan UUD 1945. Datam kerangka visi jangka panjang yang termuat dalam dokumen: "Membangun Indonesia yang Aman, AN, dan Sejahtera" (Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla, 2004), pembangunan Indonesia pada tahun 2005-2009 mengarah pada: a) terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai; b) terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia; dan c) terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan berketanjutan, yang dilandasi keimanan, kecakwaan, dan akhlak mulia. Pembangunan pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma berfungsi optimal. pembangunan sebagai Dimensi manusia yang dan itu Indonesia memiliki mencakup seutuhnya, kapasitas tiga hal yang untuk secara paling subyek potensi

mengaktualisasikan

dimensi

kemanusiaan

kemanusiaan

elementer, yaitu: (i) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan

10

dan ketakwaan, etika dan estetika, serta akhlak mulia dan budi pekerti luhur; (ii) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkan serta menguasai teknologi; dan (iii) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis dan kecakapan praktis. Paradigma pembangunan pendidikan nasional menempatkan peserta didik pada kedudukan yang sangat sentral. Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik, yang memungkinkan ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal. Dengan demikian, pendidikan seyogianya menjadi wahana strategis bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai. Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hat ini, pemerintah mempunyai kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan dan ikut kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

11

UUD 1945 mengamanatkan mengenai pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara seperti tertuang di dalam Pasal 28B Ayat (1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri metalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia, dan Pasal 31 Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional

tersebut, Depdiknas sebagai penanggungjawab pendidikan nasional mempunyai visi sebagai berikut.

Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif Visi Depdiknas lebih menekankan pada pendidikan transformatif, yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat maju. Masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasi struktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang bertumpu pada pertanian menuju masyarakat berbasis industri. Bahkan di era global sekarang, transformasi itu berjalan dengan sangat cepat yang kemudian mengantarkan pada masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Di dalam masyarakat berpengetahuan, peranan ilmu pengetahuan dan penggunaan ICT sangat dominan. Namun, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berciri agraris belum sepenuhnya mampu memanfaatkan iptek yang mengalami perkembangan pesat dan menjadi penggerak utama (prime mover) perubahan masyarakat. Untuk adaptasi dan itu, pendidikan harus terus-menerus gerak melakukan ilmu

penyesuaian

dengan

perkembangan

12

pengetahuan modern dan inovasi teknologi maju, sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan zaman. Pendidikan bertugas untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melalui perwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik dan mencerahkan, serta proses pendidikan yang kreatif. Dengan demikian, peserta didik dapat belajar dan secara terus-menerus mulia, teknologi, agar beriman etika dan ilmu dan bertakwa serta berakhlak menguasai mampu menggali

pengetahuan perubahan berdaulat.

memiliki dalam

kepribadian tangguh, dan kaya ekspresi estetika dalam merespons dan perkembangan masyarakat perspektif persaingan global, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang

Pendidikan

bukan

hanya

mengantarkan

bangsa

menuju

masyarakat maju yang sarat dengan pendayagunaan iptek, etika dan kepribadian, serta estetika untuk mencapai keunggulan bangsa di era global, tetapi juga menciptakan kemandirian baik bagi individu maupun bangsa. Pendidikan yang menumbuhkan jiwa kemandirian menjadi sangat penting justru ketika dunia dihadapkan pada satu sistem tunggal yang digerakkan oleh pasar bebas. Sulit bagi bangsa Indonesia untuk bertahan bila tidak memiliki kemandirian karena hidupnya semakin tergantung pada bangsa-bangsa yang lebih kuat. Selain itu, pendidikan harus mengawal perubahan bangsa menuju masyarakat madani yakni masyarakat yang taat, hormat, dan tunduk pada hukum dan perundangundangan. 2. Misi Untuk mewujudkan visi pendidikan transformatif tersebut Depdiknas telah menetapkan beberapa misi sebagai berikut.

13

Mewujudkan Pendidikan Yang Mampu Membangun Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif dengan Adil, Bermutu, dan Relevan untuk Kebutuhan Masyarakat Global

Untuk mewujudkan misi tersebut, Depdiknas menetapkan beberapa strategi dan program dalam suatu skala prioritas. Salah satu bentuk dari prioritas tersebut adalah penggunaan dana APBN/APBD dan dana masyarakat yang lebih ditekankan pada upaya pemerataan oleh dan peningkatan governance mutu pendidikan efisien, yang dan didukung akuntabel. sistem yang sehat,

3. Nilai-nilai
Dalam pelaksanaan proses pembangunan pendidikan yang sesuai visi dan misi yang telah ditetapkan, Depdiknas menetapkan tata nilai yang dianut sebagai berikut. Nilai-nilai masukan (input values), yakni Nilai-nilai yang dibutuhkan dalam diri setiap pegawai Depdiknas, dalam rangka mencapai keunggulan, yang meliputi:

Amanah / Trustworthiness Profesional dan Percaya Diri Antusias dan Bermotivasi Tinggi Bertanggung Jawab Kreatif Disiplin Peduli

14

Nilai-nilai proses (process values), yakni nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam bekerja di Depdiknas, dalam rangka mencapai dan mempertahankan kondisi yang diinginkan, yang meliputi:

Visioner dan Berwawasan Menjadi Teladan Memotivasi (Motivating) Mengilhami (Inspiring) Memberdayakan (Empowering) Membudayakan (Culture-forming) Taat azas Koordinatif dan Bersinergi dalam Kerangka Kerja Tim Akuntabel keluaran (output values), yakni nilai-nilai yang

Nilai-nilai

diperhatikan oleh para stakeholders (Pemerintah, DPR, Pegawai, Donatur, Dunia Pendidikan, Masyarakat lainnya), yang meliputi:

Produktif (Efektif dan Efisien) Gandrung Mutu Tinggi/Service Execellence Dapat Dipercaya (Andal) Responsif dan Aspiratif Antisipatif dan Inovatif Demokratis, Berkeadilan, dan Inklusif Pembelajar Sepanjang Hayat

4. Tujuan
Mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta visi dan misi tersebut di atas, maka ditetapkan tujuan pembangunan pendidikan nasional jangka menengah sebagai berikut.

15

a.

Meningkatkan iman, takwa, dan akhlak mulia, serta kualitas jasmani peserta didik;

b.

Meningkatkan pengetahuan

etika dan

dan

estetika, dalam

serta

penguasaan

ilmu

teknologi

rangka

meningkatkan

kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia; c. Meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak tempat diskriminatif, tinggal, dan demokratis tanpa jenis membedakan status sosial-ekonomi,

kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual; d. Menuntaskan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun secara efisien, bermutu dan relevan sebagai landasan yang kokoh bagi pengembangan kualitas manusia Indonesia dalam pendidikan lebih lanjut; e. f. Menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta aksara dan memiliki berbagai kecakapan hidup; Memperluas akses pendidikan non-formal bagi penduduk lakilaki maupun perempuan yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta aksara, putus sekolah dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kualitas hidup; g. Meningkatkan daya saing bangsa dengan menghasilkan lulusan yang mandiri, bermutu, terampil, ahli dan profesional, mampu belajar sepanjang hayat, serta memiliki kecakapan hidup yang dapat membantu dirinya dalam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan; h. Meningkatkan kualitas pendidikan dengan tersedianya standar pendidikan nasional dan standar pelayanan minimal (SPM), serta

16

meningkatkan kualifikasi minimun dan sertifikasi bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya; i. Meningkatnyn relevansi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan melalui peningkatan hasil penelitian, pengembangan dan penciptaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh perguruan tinggi serta penyebarluasan dan penerapannya pada masyarakat; j. Menata sistem pengaturan dan pengelolaan pendidikan yang semakin efisien, produktif, dan demokratis dalam suatu governance yang baik dan akuntabel; k. Meningkatnya efektifitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan pendidikan, melalui serta peningkatan efektivitas pelaksanaan manajemen dan berbasis sekolah, peran serta masyarakat dalam pembangunan pelaksanaan otonomi desentralisasi pendidikan termasuk otonomi keilmuan; l. Mempercepat pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk mewujudkan Depdiknas yang bersih dan berwibawa; Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerangka

kebijakan pembangunan pendidikan, baik yang bersifat umum dan strategic, sehingga pada gilirannya akan dapat dituangkan program , strategi pelaksanaan, jenis kegiatan, target-target yang realistis dalam jangka lima tahun.

D.

Penyusunan Renstra dan Proses Konsultasi


RPJM yang merupakan dokumen perencanaan nasional untuk

periode lima tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden hasil pemilihan umum secara langsung pada tahun 2004. RPJM menjadi pedoman baik bagi kementerian negara dalam menyusun Renstra oleh Kementerian/Lembaga, maupun penyusunan RPJM daerah oleh Pemerintah Daerah. Depdiknas menyusun Renstra

17

Tahun 2005-2009, secara transparan dengan mengikutsertakan berbagai pihak yang terkait dan berkepentingan untuk mendorong partisipasi secara luas dan menciptakan rasa memiliki serta menumbuhkan rasa tanggungjawab bersama dalam melaksanakan program pembangunan pendidikan jangka menengah. Renstra Depdiknas disusun berdasarkan langkah-langkah

sistematis dalam proses perencanaan sektoral (sectoral planning) bidang pendidikan yang didasarkan pada isu-isu kebijakan dalam pembangunan terhadap pendidikan nasional, yang merupakan oleh jawaban yang kesenjangan yang ditimbulkan keadaan

diinginkan di masa depan (expected condition) dari keadaan empiris yang terjadi di masa sekarang (existing condition). Jawaban tersebut mencakup relevan. Penyusunan Renstra Depdiknas memperhitungkan berbagai kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, serta perkembangan iptek. Di samping memanfaatkan momentum stabilitas politik dan ekonomi makro saat ini, Renstra juga merumuskan beberapa strategi pembiayaan pendidikan jangka menengah secara bertahap dan berkesinambungan berdasarkan beberapa tema kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh Mendiknas, yaitu perluasan dan pemerataan, peningkatan mutu dan relevansi, serta perwujudan governance yang sehat dan akuntabel. Penyusunan Renstra memperhatikan beberapa masukan dari temuan pada dalam Telaahan tema Sektor Pendidikan dimaksud. (Education Renstra Sector Review, 2004) terutama mengenai penetapan kebijakan strategis seluruh kebijakan Depdiknas merancang strategi dan program pembangunan berdasarkan UndangUndang Sisdiknas dan Peraturan-Peraturan Pemerintah yang memuat
18

kebijakan

strategis,

program-program,

strategi

pelaksanaan program, dan kegiatan-kegiatan pembangunan yang

sejumlah

pokok-pokok

pembaharuan

mendasar

dalam

sistem

pendidikan nasional ke depan. Selain dari pada itu penyusunan Renstra Depdiknas memperhatikan tugas pokok dan fungsi setiap tingkat pemerintahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam kaitan dengan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pemerintahan, Renstra merupakan pedoman penyusunan rencana strategis dan operasional bagi Gubernur, Bupati/Walikota termasuk Kepala urusan Dinas Pendidikan dan dalam menyusun dan melaksanakan yang tersedia. kebijakan operasional daerah secara efektif berdasarkan urusan wajib, pilihan, sumberdaya pendukung Implikasinya, pengelolaan pelayanan pendidikan perlu memperkuat mekanisme partisipasi dan akuntabilitas publik di setiap tingkatan manajemen pendidikan. Renstra Depdiknas 2005-2009 yang konsisten dengan prinsip desentralisasi dan otonomi akan menciptakan rasa kepemilikan (ownership) dan pemahaman yang optimal atas peran masing-masing stakeholder dalam pelayanan pendidikan yang efektif bagi masyarakat. Depdiknas perlu memperjelas dan memperkuat fungsifungsi barunya dalam pelayanan pendidikan, seperti dalam penetapan kebijakan nasonal, standardisasi nasional pendidikan, pengendalian dan dan penjaminan mutu berdasarkan penilaian kinerja, serta harmonisasi dan koordinasi sesuai dengan delegasi fungsi, urusan, tanggungjawab dari masing-masing tingkat pemerintahan, satuan pendidikan, dan masyarakat. Proses penyelarasan Renstra yang telah disusun oleh

Depdiknas telah mencakup kegiatan-kegiatan pokok, antara lain: (a) pembentukan kelompok kerja Renstra oleh Mendiknas pada butan Februari 2005, (b) analisis komprehensif dan pembahasan oleh para pengambil keputusan di Depdiknas termasuk hasil temuan penelitian

19

operasional,

(c)

konsultasi

regional

yang

melibatkan

unsur

pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan mitra-mitra pembangunan pendidikan, (d) diskusi yang intensif dengan instansi terkait seperti Departemen Agama, Departemen Datam Negeri, Departemen Keuangan, BAPPENAS, dan DPR.

E. Sistematika Renstra Depdiknas 2005-2009


Sistematika Renstra Depdiknas 2005-2009 terdiri dari enam bab, sebagai berikut. Pertama, Bab I memuat latar betakang pemikiran, asumsi, aturan perundangan yang berlaku sebagai dasar untuk penyusunan Renstra Depdiknas 2005-2009 sesuai dengan tema-tema kebijakan yang telah ditetapkan. Selanjutnya, dilakukan telaahan terhadap isuisu kebijakan pendidikan, kerangka makro pembangunan serta komitmen internasional pemerintah sebagai dasar untuk merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan strategic, program dan strategi pelaksanaan, kegiatan, pembiayaan, serta sistem monitoring dan evaluasi kinerja pembangunan pendidikan nasional jangka menengah. Kedua, Bab II memuat analisis situasi pendidikan nasional dalam kaitannya dengan perkembangan lingkungan strategic yang memiliki keterkaitan fungsionat dengan sistem pendidikan nasional. Lingkungan srategis tersebut mencakup lingkungan ekonomi, politik, teknologi, dan social-budaya baik yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan seluruh komponen dalam proses pembangunan pendidikan. Telaahan terhadap lingkungan strategic ini dilakukan pada masing-masing tema kebijakan, yaitu pertuasan dan pemerataan akses, mutu dan relevansi pendidikan, serta governance dan akuntabilitas.

20

Ketiga, Bab III adalah kerangka kebijakan pembangunan pendidikan jangka menengah, baik bersifat umum maupun strategis, yang memuat pemikiran tentang pola-pola perubahan yang diinginkan serta sasaran yang realistis dalam pembangunan pendidikan nasional selama lima tahun ke depan. Dalam masing-masing tema kebijakan disusun dan diidentifikasi kebijakankebijakan yang relevan dengan tujuan untuk mencapai masing-masing sasaran yang dimaksud. Keempat, Bab IV menuangkan program pembangunan

pendidikan yang disusun sesuai dengan kerangka kebijakan jangka menengah (RPJM) ke dalam dimensi ruang dan waktu, yaitu program, strategi pelaksanaan, jenis-jenis kegiatan, dan target-target yang realistis dalam lima tahun. Dalam Bab ini pembahasan dilakukan pada masing-masing program dan unit organisasi yang bertanggungjawab dalam menanganinya. Kelima, berdasarkan jenis-jenis kegiatan dan sasaran masingmasing program, Bab V memuat strategi pembiayaan sektor sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku, kebijakan termasuk alokasi pendanaan berdasarkan prioritas masing-masing,

berdasarkan kategori: unit organisasi, fungsi dan subfungsi, program, kegiatan dan sasaran pembangunan. Keenam, Bab VI memuat strategi dan mekanisme yang akan digunakan dalam monitoring dan evaluasi kinerja serta keberhasilan pembangunan bidang pendidikan jangka menengah. Monitoring dan evaluasi kinerja tersebut mengacu pada indikator kinerja sektor sebagai agregat dari pengukuran yang dilakukan pada tingkatan program.

F.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang

21

Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Pendidikan dibagi dalam 4 (empat) periode pembangunan: 1. Periode 2005-2010 menitikberatkan pada peningkatan kapasitas dan modernisasi 2. Periode 2010-2015 menitikberatkan pada penguatan pelayanan 3. Periode 2015-2020 menitikberatkan pada daya saing regional 4. Periode internasional 2020-2025 menitikberatkan pada daya saing

BAB II ANALISIS SITUASI


Pokok-pokok kebijakan strategis, program, sasaran, serta strategi pelaksanaan pembangunan pendidikan yang dirancang dalam Renstra 2005-2009 disusun dengan mempertimbangkan keadaan dan tantangan dalam lingkungan strategis agar sasaran lima tahun ke depan lebih realistic dan konsisten dengan prinsipprinsip pengelolaan pendidikan yang efisien, efektif, akuntabet, dan

22

demokratis. Analisis lingkungan strategic yang dikaji dalam bab ini dapat ditihat baik dari tantangan internal maupun eksternal. Analisis situasi menelaah keberhasilan dan masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam tema-tema pokok kebijakan pendidikan, yaitu pemerataan dan pertuasan akses, mutu dan relevansi, serta governance dan akuntabilitas.

A.

Pemerataan dan Pertuasan Akses


Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan peringkat

Indonesia yang mengalami penurunan sejak 1995, yaitu peringkat ke-104 pada tahun 1995, ke-109 pada tahun 2000, ke-110 pada tahun 2002, ke 112 pada tahun 2003, dan sedikit membaik pada peringkat ke-111 pada tahun 2004 dan peringkat ke-110 pada tahun 2005. Penurunan indeks ini lebih banyak disebabkan oleh indikator penurunan kinerja perekonomian Indonesia sejak krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Sampai dengan tahun 2004 rata-rata lama sekolah penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,2 tahun. Sementara itu, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sekitar 90,45%. (Susenas, BPS 2004). Oleh karena itu, kebijakan pendidikan dalam peningkatan angka melek aksara, serta akselerasi pertuasan dan pemerataan akses pendidikan yang bermutu perlu lebih diintensifkan agar dapat meningkatkan kembali IPM Indonesia paling tidak ke posisi sebelum krisis. Kondisi tersebut belum memadai untuk hidup mandiri maupun menghadapi persaingan global, serta belum mencukupi pula sebagai landasan pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Mutu pendidikan secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan (the quality of intakes) yaitu kesiapan mental dan emosional anak untuk memasuki sekolah dasar. Namun, sampai

23

saat ini akses anak usia dini terhadap layanan pendidikan dan perawatan melalui pendidikan anak usia dini (PAUD) masih terbatas dan tidak merata. Dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun, baru 7,2 juta (25,3 %) yang memperoleh layanan PAUD. Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas, untuk anak usia 5-6 tahun yang jumlahnya sekitar 8,14 juta anak, baru sekitar 2,63 juta anak (atau sekitar 32,36 %) yang memperoleh layanan pendidikan di TK. Di antara anak-anak yang memperoleh kesempatan PAUD tersebut, pada umumnya berasal dari keluarga mampu di daerah perkotaan. Hat ini sekaligus menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin dan anak-anak pedesaan belum memperoleh kesempatan PAUD secara proporsional. Angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun dan usia 13-15 tahun sudah mencapai 96,8% dan 83,5%. Hat tersebut menunjukkan masih terdapat sekitar 3,2% anak usia 7-12 tahun dan sekitar 16,5% anak usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah, baik karena belum pernah sekolah, putus sekolah, atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi (BPS, anak 2004). putus Data BPS atau tahun tidak sebelumnya, menjelaskan bahwa sebagian besar (76%) keluarga menyatakan penyebab utama sekolah melanjutkan sekolah adalah karena alasan ekonomi, yang bervariasi dari tidak memiliki biaya sekolah (67,0%) serta harus bekerja dan mencari nafkah (8,7%). Tuntutan atas perluasan dan pemerataan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan dasar, sebagai dampak Program Wajar Belajar Pendidikan Dasar 9 pada Tahun, mengakibatkan menengah. semakin Sampai bertambahnya partisipasi pendidikan

dengan tahun 2004, APS penduduk usia 16-18 tahun sudah mencapai 53,5%. Meningkatnya partisipasi pendidikan menengah tersebut juga akan menimbulkan tekanan baik pada penyediaan kesempatan belajar di pendidikan tinggi maupun pada upaya peningkatan mutu
24

dan relevansi pendidikan menengah agar para lulusannya dapat memperoleh pekerjaan yang layak. Pada pendidikan tinggi (PT), partisipasi jumlah penduduk usia 19-24 tahun yang memperoleh kesempatan belajar di PT masih relatif kecil. Pada tahun 2004, APK perguruan tinggi mencapai 14,6%. Perluasan dan pemerataan pendidikan juga memberi tuntutan pada peningkatan pemerataan memperoleh pendidikan bagi siswa lulusan SD/MI yang karena kendala tertentu tidak dapat mengikuti pendidikan SMP/MTs reguler disediakan pendidikan alternatif antara lain melalui SMP Terbuka, yang pada tahun 2004/2005 jumlah siswanya mencapai 330.000 anak tersebar di 2.870 SMP Terbuka. Di samping itu, peningkatan pemerataan dan perluasan pendidikan dapat ditempuh dengan memberikan pelayanan pendidikan yang memadai pada anak-anak berkebutuhan khusus, yang berdasarkan data BPS jumlahnya sekitar 1,5 juta orang lebih tetapi yang mendapat pelayanan pendidikan baru sekitar 60.000 anak atau sekitar 4 %. Di samping itu, untuk mengatasi persoalan keterbatasan sosial, ekonomi, waktu, kesempatan, dan geografi, serta tidak dapat bersekolah pada usia sekolah, disediakan Program Pendidikan Kesetaraan, melalui Paket A dan B, yang jumlah pesertanya terus meningkat. Pada tahun 2000 jumlah peserta Program Paket A dan B sekitar 50.000 orang dan 190.000 orang meningkat pada tahun 2004 menjadi sekitar 76.000 orang dan 351.000 orang untuk Program Paket A dan B. Program Pendidikan Kesetaraan ini dapat dilaksanakan di berbagai tempat yang sudah ada, baik milik pemerintah, masyarakat maupun pribadi, seperti gedung sekolah, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), rumah ibadah, pusatpusat layak. majlis taklim, balai desa, kantor organisasiorganisasi kemasyarakatan, rumah penduduk dan tempat-tempat lain yang

25

Dilihat dari partisipasi pendidikan antara kelompok masyarakat, data menunjukkan masih terdapat kesenjangan antara penduduk kaya dan miskin, kota dan desa, laki-laki dan perempuan, dan antarwilayah. Kesenjangan kelompok penduduk kaya dan 9 miskin pada jenjang SD/MI 5 relatif kecil bila dibanding dengan jenjang SMP/MTs dan 9 SM/MA. APS penduduk usia 7-12 4 tahun dari kelompok perlimaan terkaya sekitar 98,7% dan APS 9 kelompok termiskin sudah 3 mencapai 94,0%. Sementara 9 itu, APS penduduk 13-15 tahun 2 dari kelompok perlimaan 1995 1998 2002 2003 2004 terkaya sudah mencapai 94,6%, -0--QUntilel ~ Qtbntile2 - -Quntile3 sedangkan APS kelompok Quntile4 - -X- QUntile5 ' Rata-rata perlimaan termiskin mencapai Grafik 2.1. Perkembangan APM SD/Ml 70.9%. Kesenjangan yang lebih Menurut Kelompok Pengeluaran besar terjadi pada kelompok Keluarga usia 16-18 tahun dengan kesenjangan APS antara kelompok perlimaan terkaya dan termiskin yang sangat lebar, yaitu antara 76,1% dan 32,7%.

1995 1998 2002 2003


-t-Quntilel ~

2004

Quntile2 -A ---Quntile3 o

Quntile4 - -x- QUntile5

Grafik 2.2. Perkembangan APM SMP/MTs Menurut Kelompok Pengeluaran Keluarga

Bila partisipasi jenjang pendidikan

dilihat murni SD/MI antara

dari (APM),

angka pada

kesenjangan kelompok

penduduk perlimaan terkaya dan termiskin makin menunjukkan perbedaan yang relative kecil (grafik 2.1). pada tahun 2004, APM SD/MI pada kelompok perlimaan terkaya sekitar 92,2% sementara pada kelompok perlimaan termiskin sekitar 92,0%

26

Pada grafik 2.2 menunjukkan bahwa ada kecenderungan meningkatnya APM SMP/MTs pada kelompok perlimaan termiskin hingga tahun 2002, namun kemudian mulai menunjukkan penurunan APM sehingga menjadi sekitar 47,2% dan kemudian meningkat lagi menjadi 2004. dibanding yang makin 50% Hat pada ini dengan tahun APM berbeda

kelompok perlimaan terkaya menunjukkan terus pada pada


1995 1998 2002 2003 2004 -s
3 Quintile 1 Quintile2-f-Quintile

kecenderungan meningkat, tahun yang 2004 hingga APM

kelompok ini sekitar 76,6%, mengakibatkan kesenjangan akses SMP/ MTs semakin melebar.

--0 -Quintile4 - )K- -Quintile5

Rata-rata

Grafik 2.3. Perkembangan APM SM/MA Menurut Kelompok Pengeluaran Keluarga

Perbedaan akses pendidikan pada jenjang SM/MA tahun pada kelompok perlimaan terkaya dan termiskin nampak semakin tinggi sejak tahun 2003 (Grafik 2.3). Pada tahun tersebut, APM SM/MA kelompok terkaya yaitu 64,3%, sementara untuk kelompok perlimaan termiskin adalah 18,2%. Hat ini berbeda pada tahun sebelumnya, dimana persentase untuk kelompok termiskin sudah mencapai 23,1%. Oleh karenanya, pertuasan akses terhadap pendidikan menengah bagi kelompok masyarakat miskin, tidak hanya penting untuk mewujudkan akses yang lebih merata, tetapi juga berdampak pada perluasan akses secara agregat. Pada grafik 2.4 di bawah ini, perbedaan partisipasi pendidikan antara kelompok pengeluaran terlihat. keluarga Pada pada semua jenjang SD/MI, pendidikan menjadi jenjang pendidikan

nampak bahwa kesenjangan pendidikan antara kelompok perlimaan

27

termiskin dan terkaya dalam angka partisipasi kasar (APK) relatif kecil. Pada kelas awal SD/MI (kelas 1-3) nampak perbedaan tersebut tidak ada, namun pada kelas akhir perbedaan partisipasi pendidikan makin nampak meskipun tidak terlalu besar. Bila kita amati jenjang SMP/MTs dan SM/MA, perbedaan partisipasi pendidikan terlihat makin melebar.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10

Dilihat dari APS,


0

APK, 2004

dan

APM pada tahun


2 3 4 5 gel as7 8 9 10 11 12

dapat

Grafik 2.4. Analisa Kohort Murid SD dikemukakan sampai SM Menurut Kelompok Pengeluaran Keluarga bahwa secara

nasionat

relatif

tidak ada kesenjangan gender yang signifikan pada tingkat SD/MI. Kesenjangan pendidikan justru terjadi antara daerah perkotaan dengan perdesaan, meski perbedaannya juga tidak terlatu besar. Hat ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun tersebut, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh akses pendidikan pada tingkat SD/MI sudah jauh berkurang dibandingkan dengan keadaan 20 tahun yang latu pada waktu Program Wajib Belajar SD belum dimulai. Keberhasilan wajar tersebut dimungkinkan karena ketersediaan fasilitas pendidikan yang tersebar relatif merata di seluruh pelosok tanah air. Pada jenjang SMP/MTs, secara nasional kesenjangan gender dalam pendidikan justru terjadi terhadap laki-laki sekitar 2-3%. Hasil

28

program wajib belajar telah memberi dampak pada meningkatnya partisipasi perempuan pada jenjang SLTP/MTs sebagai akibat dari perluasan pendidikan terutama di daerah perdesaan. Gejala kesenjangan gender terhadap laki-laki pada daerah perdesaan ini lebih karena faktor pragmatis, yaitu ekonomi keluarga di perdesaan agar anak laki-taki segera dapat bekerja untuk membantu memperoleh pendapatan keluarga, sementara anak perempuan dapat memperoleh kesempatan pendidikan lebih besar dibanding dengan lawan jenisnya. Secara di wilayah nasional perdesaan, tidak terjadi kesenjangan gender yang gender terhadap

signifikan pada jenjang pendidikan menengah (SM/MA) terutama juga namun kesenjangan perempuan justru terjadi di wilayah perkotaan yaitu sekitar 2-3%. Kesenjangan gender terhadap perempuan yang terjadi di wilayah perkotaan cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh nilainilai sosialbudaya yang tumbuh dan berkembang serta dianut oleh keluarga dan masyarakat. Pada umumnya masyarakat beranggapan bahwa laki-laki adalah penopang ekonomi keluarga dan oleh karena itu lebih penting untuk memberikan pendidikan yang setinggi-tingginya kepada anak laki-laki ketimbang kepada perempuan yang dianggap lebih berperan di tingkungan keluarga sebagai fungsi domestik. Pada umumnya keluarga lebih memilih anak laki-laki untuk menempati prioritas untuk bersekolah dari pada anak perempuan. Pada jenjang Perguruan Tinggi (PT), secara nasional meski terjadi kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan namun tidak terlalu besar yaitu sekitar 1-2%. Hat ini juga terjadi pada daerah perdesaan, dimana kesenjangan gender pada tingkat ini relatif kecil. Justru, kesenjangan gender terhadap perempuan terjadi di daerah perkotaan yaitu sekitar 2%. Seperti halnya dalam gejala kesenjangan gender pada tingkat SM/MA di daerah perkotaan, gejala kesenjangan gender di tingkat PT juga dipengaruhi faktor sosial-.budaya dimana masyarakat beranggapan bahwa laki-laki dianggap lebih penting

29

memperoteh pendidikan yang tinggi dibanding perempuan. Faktor nilai sosial-budaya tersebut juga berkaitan dengan faktor ekonomi, yang menyangkut ketersediaan biaya pendidikan yang terbatas dan membutuhkan pilihan dalam penyediaan kesempatan pendidikan bagi taki-taki dan perempuan. Di samping kesenjangan pendidikan dalam kaitan dengan gender di atas, sebenarnya kesenjangan pendidikan pada jenjang SLTP hingga PT terjadi antara wilayah perkotaan dan perdesaan, yaitu sekitar 15-20% (Susenas, BPS, 2004). Perbedaan akses terhadap pendidikan tersebut disebabkan antara lain oleh faktor biaya, baik biaya langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, masyarakat daerah perdesaan juga menghadapi masalah jarak tempuh antara rumah-sekotah akibat dari ketersediaan saranaprasarana pendidikan yang tidak merata. Di samping itu, untuk masih pemahaman bersekolah orangtua juga

Tabel 2.1. Kontribusi sumber kesenjangan akses pendidikan antar dan intra provinsi Sumber Kesenjangan SD/ MI SMP/ MTs 29,2 SM/ MA 27,5

mendorong anak-anak mereka dirasakan minim terutama di daerah perdesaan.

Antar 30,5 Provinsi APK Dalam 69,5 Provinsi Antar 39,2 Provinsi

70,8

72,5

Kesenjangan akses 35,8 29,9 terhadap pendidikan juga dapat dilihat menurut wilayah APM provinsi dan kabupaten/kota. Dalam 60,8 64,2 70,1 Tabel 2.1 menunjukkan Provinsi bahwa kesenjangan dalam provinsi yang menunjukkan perbedaan antara kebupaten/kota lebih tinggi dibandingkan dengan kesenjangan antar provinsi, baik untuk APK maupun APM.

30

Kesenjangan

APK

antar-provinsi

terjadi

sekitar

27,5

dibandingkan dengan kesenjangan antar-kebupaten/ kota sekitar 72,5 untuk jenjang SM/MA. Demikian juga dengan APM dengan perbedaan sekitar 29,9 untuk antar provinsi dan sekitar 70,1 untuk Hat fungsi provinsi antar-kebupaten/ menunjukkan koordinasi dalam di terutama kota. bahwa tingkat fungsi antarini
99.00 98.50 98.00 97.50 97.00 96.50 96.00 1995 1998

-*-Perempuan >-Laki-laki Perempuan+laki2

provinsi, kesenjangan

memperkecil

kabupaten/kota belum berjalan dengan optimal. Data Susenas 2003 menunjukkan APK untuk jenjang SMP/MTs berkisar antara

2002 Tahun

2003

2004

Graft 2.5 Tingkat Keaksaraan Penduduk Usia 15-24

56,8% untuk Provinsi NTT dan 100,6% untuk Provinsi DI Yogyakarta. Pada saat yang sama APK jenjang SMA/SMK/MA berkisar antara 77,5% untuk Provinsi DKI Jakarta dan 33,6% untuk Provinsi Gorontalo. Kesenjangan akses terhadap pendidikan juga dapat dilihat dari angka melek aksara. Penduduk melek aksara usia 15 tahun ke atas sekitar 90,4%, dengan perbandingan laki-laki sebesar 94,0% dan perempuan sebesar 86,8%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 94,6% dan di pendeaaan melek 15-24 usia 87%. tahun Berdasarkan yaitu sekitar kelompok 98,7%, usia yang penduduk, angka kelompok aksara terbesar adalah pada

menunjukkan keberhasilan dari Program wajib belajar 9 tahun (Grafik 2.5). Sementara angka buta aksara pada kelompok usia tersebut masih ada sekitar 1,3% yang buta aksara ( S u s e n a s , B P S 2 0 0 4 ) .

31

Masih adanya buta aksara tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) masih terjadinya anak putus sekolah, khususnya pada kelas-kelas rendah di SD, yaitu sekitar 250 ribu anak (tahun 2003) yang sebagian besar akan menjadi buta aksara, (2) sebagian dari aksarawan baru akan kembad menjadi buta aksara ( r e l a p s e i l l i t e r a c y ) karena kemampuan literasi yang telah dimiliki tidak digunakan lagi; dan (3) menurunnya perhatian pemerintah daerah dan masyarakat terhadap upaya pemberantasan buta aksara. Keadaan ini membutuhkan perubahan strategi dalam pemberantasan buta aksara dengan menggunakan pendekatan yang lebih inovatif dalam program keaksaraan untuk memberantas buta aksara secara efektif dan massal. Di samping putus sekolah, masih terdapat pula sejumlah besar anak-anak usia sekolah yang tidak dapat bersekolah sama sekali karena persoalan ekonomi sehingga jika tidak ditangani segera akan menambah jumlah buta aksara secara signifikan.

B.

Mutu, Relevansi, dan Daya Saing


Permasalahan dalam kualitas pendidikan tidak berdiri sendiri,

tetapi terkait dalam satu sistem yang saling berpengaruh. Mutu keluaran (output) dipengaruhi oleh mutu input dan mutu proses. Pembahasan dalam Bab ini didasarkan pada komponen input, proses, dan output. Input pendidikan dapat dilihat dari kesiapan murid dalam kesempatan meraih pendidikan. Namun, kenyataannya hat ini tidak terpenuhi karena sebagian siswa menderita kekurangan gizi, cacingan, maupun karena kondisi kesehatan yang tidak mendukung. Data Susenas tahun 2003 mengungkapkan bahwa dari sekitar 18 juta anak usia balita, sekitar 28% atau lima juta anak berstatus kekurangan gizi. Dari jumlah balita yang kurang gizi itu lebih dari 30% menimpa mereka yang berusia di bawah dua tahun. Pada usia

32

tersebut diketahui bahwa 50% proses pembentukan otak anak berlangsung. Hat ini akan berdampak pada kapasitas intelektual pada anak. Secara eksternal, komponen input pendidikan yang secara signifikan belum berpengaruh baik terhadap secara peningkatan dan mutu pendidikan kualitas, maupun meliputi: (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang memadai kuantitas kesejahteraan pendidik yang belum memadai, (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum didayagunakan secara optimal, dan (3) biaya pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, serta (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif. Salah satu faktor yang terpenting dalam mempengaruhi kualitas pendidikan adalah ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan. Sampai dengan tahun 2002/2003 terdapat sekitar 2,7 juta guru dari jenjang pendidikan pra-sekolah hingga menengah, baik pada sekolah negeri maupun swasta. Namun jumlah tersebut belum memadai, karena itu masih diperlukan sekitar 400 ribu orang. Walaupun ada usaha untuk pengadaan pendidik khususnya guru oleh pemerintah, tetapi upaya tersebut belum dapat memenuhi kekurangan guru di setiap jenjang pendidikan sebagai akibat banyaknya guru yang sudah mencapai usia pensiun, berhenti, mutasi, dan meninggal dunia, serta untuk mengajar di kelas-kelas atau sekolah-sekolah baru yang rata-ratanya menampung 400 ribu murid baru, terutama di SMP. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan guru, maka mulai tahun 2003 telah dilakukan pengadaan guru bantu yang mencapai jumlah 190.332 orang dan pads tahun 2004 juga dilakukan pengadaan guru bantu sekitar 71.309 orang.

33

Dari jumlah pengadaan guru bantu tersebut ditambah dengan PNS baru non-guru bantu yang berjumlah sekitar 38.533, maka total penambahan guru selama tahun 2003 dan 2004 berjumlah sekitar 300.174 orang. Bila hat ini dipenuhi untuk mengatasi kekurangan guru tahun 2002/2003 yang berjumlah 427.903 orang, ditambah dengan guru yang pensiun pada tahun 2003 yang berjumlah sekitar 29.937 orang, maka kebutuhan guru untuk tahun 2004 yaitu 157.666 orang. Namum, jumlah kebutuhan guru tersebut masih harus bertambah dengan guru yang pensiun, sehingga kebutuhan guru untuk tahun 2005 menjadi 218 ribu orang. Dalam rangka menuntaskan Program Wajar Dikdas 9 Tahun, dimana sekitar 400 ribu anak usia 13-15 tahun akan memasuki jenjang SMP/MTs dibutuhkan sekitar 25 ribu guru setiap tahun. Kekurangan guru tersebut bila ditihat dari dengan rasio guru terhadap siswa akan menjadi kontras. Pada tabel 2.2 di bawah ini menunjukkan rasio guru terhadap siswa pada jenjang SD, SMP, dan SMA tahun 2003 yaitu 21, 17, dan 14. Bila dibandingkan dengan rasio guru terhadap siswa berdasarkan standar nasional pendidikan, maka jumlah guru pada jenjang tersebut sudah sangat ideal. Rendahnya beberapa perkotaan, rasio faktor, tersebut yaitu merupakan guru indikasi yang adanya di pendayagunaan guru yang tidak efisien yang disebabkan oleh banyaknya yang menumpuk kurikulum sangat terspesialisasikan pada

pendidikan menengah, dan banyaknya sekolah dasar kecit dengan rata-rata jumlah murid di bawah 100 orang. Rasio pelayanan siswa per guru tersebut akan menjadi isu kebijakan penting dalam peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan, karena akan menghambat pemenuhan pembiayaan untuk biaya operasi satuan pendidikan dan upaya untuk meningkatkan gaji guru. Jumlah guru yang besar dan menumpuk pada tokasi tertentu ini banyak

34

dimanfaatkan untuk mendukung penyelenggaraan SMP Terbuka sebagai guru bina atau guru pamong. Saat ini dari SMP Terbuka memerlukan 30.000 orang guru bina dan 13.000 guru pamong. Guru
No 1 2 3 Janjan; Pendidikan T K SLB SD-4-Ml a. SD b. MI SMP+MTs a. SMP b. MTs
SM+MA

Siswa/ Sokolah 3 9 45 172 177 136 307 376 181 354 391 184 425 1.278 1,267 1,518 690

Siswa/ Guru 1 3 4 20 21 16 15 17 11 13 14 9 14 15 14 20 18

Siswa/ Kelas 20 4 26 26 22 39 40 35 36 38 30 36 -

Kolas/ R. Kelas 0.97 1.78 1.14 1.13 1.15 1.00 1.02 0.94 1.07 1.02 1.19 _ -

Gurtui Sekolah 3 10 8 8 9 21 22 17 27 29 20 30 88 91 78 36

a. SMA b. MA c. SMK PT+PTAI a. PT b. P TAI c. PTK

bina direkrut dari guru mata pelajaran SMP yang tugas mengajarnya betum mencapai tugas maksimat sedang guru pamong pada umumnya diambil dari guru SD/MI. Walaupun demikian kelebihan guru di sekolah-sekolah perkotaan ini masih merupakan persoalan yang perlu ditangani secara serius. Masalah guru atau pendidik lainnya adalah masih terdapatnya

kesenjangan guru dilihat dari keahliannya. Guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya (mismatch) yang masih banyak terjadi terutama pada jenjang SM swasta dan Madrasah Aliyah. Dalam kaitannya dengan kelayakan mengajar guru, data Balitbang tahun 2004 menyebutkan bawwa persentase guru yang tidak layak mengajar masih cukup tinggi, terutama pada jenjang SD yaitu sekitar 609.217 orang (49,3%) baik pada sekolah negeri maupun swasta, seperti yang tercantum pada Tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Rasio Pendidikan Tahun 2002/2003,

35

Tabel 2.3 Guru dan Kepala Sekolah Menurut Kelayakan Mengajar, Tahun 2002/2003
No. Jenjang Pendidikan 1 SD a. Layak b. Tidak Layak Jumlah
2 SMP

Negeri
584,395 558,675 1,143,070

% 47.3 45.2 92.6 43.4 23.3 66.7 38.0 15.4 53.4 19.0 14.0 33.0

SWdSta
41,315 50,542 91,857 96,385 58,832 155,217 67,051 40,260 107,311 55,631 43,283 98,914

% 3.3 4.1 7.4 20.7 12.6 33.3 29.1 17.5 46,6 37.7 29.3 67.0

Jumlah
625,710 609,217 1,234,927 299,105 167,643 466,748 154,430 75,684 230,114 83,598 63,961 147,559

50.7

49.3 100.0 64.1 35.9 100.0 67.1 32.9 100.0 56.7 43.3 100.0

a. Layak b. Tidak Layak

202,720 108,811 311,531

Jumlah
3 SM4

a. Layak b. Tidak Layak

87,379 35,424 122,803

Jumlah
4 SMK

a. Layak b. Tidak Layak

27,967 20,678 48,645

IJumlah

Proporsi guru yang berpendidikan di bawah kualifikasi minimal tersebut tentu tidak memadai jika Pemerintah ingin menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Untuk jenjang pendidikan SMP dan SM yang menggunakan sistem guru mata pelajaran banyak pula terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan guru. Pada jenjang SMP, SMA dan SMK persentase guru yang belurn memiliki kualifikasi masingmasing adalah 36%, 33%, dan 43%.

Dilihat dari sisi penghasilan, guru PNS memiliki gaji yang belum memadai bila dibandingkan dengan gaji guru di negara tetangga, seperti Malaysia, Brunai, atau Singapura, meskipun bila dibandingkan dengan gaji PNS lainnya di Indonesia gaji guru PNS relatif lebih baik karena adanya tunjangan fungsional. Kondisi yang memprihatinkan dirasakan pula oleh para guru bantu di sekolahsekolah negeri yang memiliki penghasilan di bawah upah minimum regional. Di samping permasalahan di atas, persoalan lain adalah masalah perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas

36

profesinya yang belum optimal, seperti: dipaksa pensiun dini dan perlakuan yang tidak adil terhadap guru. Sementara itu, penghargaan kepada pendidik dan Tenaga kependidikan yang berprestasi dan berdedikasi juga masih minim. Hat ini mempengaruhi produktivitas pendidik dan Tenaga kependidikan. Di samping itu, permasalahan yang juga penting dalam kaitannya dengan diberlakukannya otonomi daerah adalah belum efektif dan efisiennya manajemen guru, terutama pada pemerintah daerah. Pada pendidikan tinggi, peningkatan mutu dan kualifikasi dosen menjadi faktor yang sangat mempengaruhi proses pendidikan. Pada tahun 2003, dari 58.664 orang di perguruan tinggi negeri (PTN, proporsi dosen dengan pendidikan tertinggi S2/S3 baru mencapai 54,50%. Sedangkan pada PTS, dari jumlah 88.865 orang dosen yang ada, proporsi dosen dengan pendidikan tertinggi S2/S3 hanya 34,50 %. Tenaga kependidikan pada pendidikan non-formal (PNF) juga masih memerlukan perbaikan. Sampai tahun 2004, pamong belajar di seluruh tanah air berjumlah 3.432 orang. Pamong belajar yang berada di 5 (lima) UPT Pusat, yaitu Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) berjumlah 541 orang dan pamong belajar yang berada di 22 UPTD Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) berjumlah 443 orang. Pamong belajar yang berada di UPTD Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) kabupaten/kota berjumlah 2448 orang. Jumlah tersebut sangat tidak memadai dibandingkan dengan besarnya sasaran dan luasnya jangkuan program pendidikan non-formal. Sampai tahun 2004, berpendidikan S-2 pamong 210 belajar yang berpendidikan orang, yang lainnya masih

Diploma sebanyak 175 orang, S-1 sebanyak 2047 orang, dan sebanyak berpendidikan sekolah menengah atau lebih rendah. Dari seluruh

37

pamong belajar balai pengembangan, sebanyak 75% menguasai program PNF, maksimal 45% menguasai pengembangan program PNF dan 30% menguasai Tugas peningkatan mutu sumberdaya manusia. Sedangkan pamong belajar SKB yang memiliki jenjang pendidikan S-1 baru sebanyak 621 orang. Tugas pamong belajar SKB adalah melaksanakan percontohan dan pengendalian mutu program PLS. Tugas ini baru dikuasai oleh 65% dari jumlah pamong belajar SKB. Kemampuan lain yang harus dikuasai oleh pamong belajar SKB adalah memberikan bimbingan, pendampingan dan pemotivasian kepada masyarakat. Tugas ini baru dikuasai 45% dari jumlah pamong belajar yang ada di SKB. Tenaga fungsional lain di lingkungan pendidikan non-formal adalah penilik. Penilik diseluruh Indonesia sampai dengan tahun 2004 dan telah diimpassing berjumlah 6.651 orang. Penilik yang memiliki jenjang pendidikan S-1 baru 2.345 orang. Tugas penilik sebagai pengendali program PNF baru dikuasai oleh 35% dari jumlah penilik yang ada. Tugas lain yang belum dikuasai secara baik oleh penilik adalah penguasaan program PNF dan kepenilikan PNF. Dari aspek fisik, prasarana-sarana penunjang pendidikan belum sepenuhnya kondisinya memadai. Hal ini dapat dilihat misainya ketersediaan perpustakaan di sekolah. Secara nasional, baru 27,6% SD yang sudah memiliki perpustakaan sekolah. Di samping itu, terjadi sebaran yang kurang merata menurut provinsi. Di Yogyakarta, misainya, terdapat 72,8% SD yang memiliki perpustakaan sedangkan di Maluku Utara hanya lima persen yang sudah memiliki perpustakaan sekolah.

38

Selain kondisi fasilitas yang demikian, juga banyak ruang belajar, dan sarana belajar lain seperti laboratorium, sarana olahraga yang rusak. Pada tabel 2.4 di bawah ini, dari sekitar 865.258 ruang belajar (lokal) terdapat sekitar 500.818 lokal SD/MI (57,8%) yang rusak ringan dan rusak berat. Sementara pada jenjang SMP dari sekitar 187.480 ruang belajar terdapat 31.198 lokal SMP/MTs (17,7%) yang juga mengalami rusak ringan dan berat. Pada jenjang SM terdapat sekitar 13.777 lokal (15,6%) yang rusak ringan dan rusak berat.

Jenjang

Tabel 2.4 Kondisi Ruang Belajar, Pend. RB RR Tahun 2003 LP


1. SD 2. SMP 3. SMA 4. SMK 42,1 82,3 92,3 92,0 23,3 5,1 2.0 3,0 34,6 12,6 5,6 5,0 865.258 187.480 78.412 97.290

% Kondisi Ruang Belajar

Jumlah

Kondisi yang demikian, selain akan berpengaruh pada ketidaklayakan, ketidaknyamanan pada proses belajar mengajar, juga akan berdampak pada keengganan orangtua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah

tersebut.

Sumber: PDIP Bolitbang Depdiknas, 2003 LP= Layak Pakai, RB=Rusak Berat, Dan RR=Rusak Ringan

Fasilitas lainnya yang mempengaruhi mutu pendidikan

ialah ketersediaan buku. Secara nasional, rata-rata rasio buku per SMK adalah 0,80; 0,85; 0,65; dan siswa untuk SD, SMP, SMA, dan

39

0,25., yang belum menunjukkan rasio 1.00 satu siswa satu buku. Masalah yang lebih besar tidak hanya terletak pada ketersediaan buku tetapi juga dalam pendayagunaan buku pelajaran tersebut dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan. Kecenderungan sekolah untuk mengganti buku setiap tahun ajaran baru semakin memberatkan orangtua untuk membeli buku pelajaran, serta menimbulkan pemborosan yang tidak perlu karena buku yang ada di sekolah tidak dapat dimanfaatkan oleh siswa tahun berikutnya. Bahkan pada SMP Terbuka dimana buku modul merupakan sumber belajar utama masih sangat kurang, sehingga menganggu proses belajar mandiri. Kekurangan yang mencolok terjadi pada media penunjang yang lain, seperti laboratorium dan penunjang pembelajaran bahasa, terutama Bahasa Inggris. Hal lain dalam kaitannya sarana dan prasarana pendidikan adalah penggunaan dan pemanfaatan ICT (Information and Communication Technology atau ICT). Walaupun masih dalam

lingkup yang terbatas, pendidikan di Indonesia sudah memanfaatkan ICT dalam pengelolaan dan pembelajaran. Pendidikan kejuruan yang dikelola oleh Dikmenjur Depdiknas, misalnya, telah merintis sistem pengelolaan dan mated pembelajaran untuk siswa SMK yang disesuaikan dengan kebutuhan keterampilan oleh industri. Program komputerisasi dimulai sejak tahun 1980, dan menargetkan semua SMK di Indonesia sudah terhubung ke internet pada tahun 2006. Program yang sudah dilaksanakan hingga 2004 ialah: (a) Jaring Internet yang menghubungkan 784 SMK; (b) Jaringan Info Sekolah di 137 kabupaten/kota; (c) 31 Wide Area Network di 31 kabupaten/kota; (d) 44 ICT Center di 44 kabupaten/kota; (e) 8 Mobile Training Unit di 8 lokasi; dan (f) School Mapping yang telah dikembangkan oleh 271 SMK di seluruh tanah air. Selain itu, pustekom juga telah mengembangkan bahan betajar berbasis ICT antara lain (a) lebih dari 2000 judul program vidio pembetajaran; (b) lebih dari 5000 judul

40

program audio pembelajaran; (c) lebih dari 500 judul bahan betajar berbasis computer dan internet. Program tersebut telah dimanfaatkan oteh lebih dari 30.000 sekolah jenjang SD,SMP,dan SMA/SMK atau yang sederajat. Kemudian siaran televisi juga telah dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan pendidikan seluruh jenjang dan jalur pendidikan dengan diresmikan TV Edukasi pada tahun 2004. siaran ini telah menjangkau 80 kabupaten/kota (11.500.000 pemirsa). Namun, secara umum, pemanfaatan ICT di Indonesia masih amat tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Indikasi mengenai hat ini dapat dilihat dengan data pada tahun 2003. Kepemilikan PC per 100 orang Indonesia masih sangat rendah, yaitu baru mencapai 1,2; sementara Hongkong sudah mencapai 42,2; Jepang 38,2; Korea 55,8; Kuwait 16,1; Malaysia 16,7; Singapore 62,2; Taiwan 47,1; Thailand 4,0; dan China 2,7. Dari jumlah pemakai internet, Indonesia (2,5 juta) masih berada di bawah India (7,5 juta), Korea (26,7 juta), Malaysia (4,2 juta), dan Taiwan (10,6 juta). Dari jumlah pemasang situs internet, Indonesia (62 juta) masih berada di bawah China (160 juta), Hongkong (591 juta), India (86 juta), Korea (3822 juta), Malaysia (107 juta). Ketertinggalannya dalam pendayagunaan ICT merupakan isu kebijakan penting pembangunan pendidikan Indonesia. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, perlu diperluas dan diintensifkan pemanfaatan ICT di bidang pendidikan: pertama, untuk dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan pendidikan melalui otomatisasi pendataan, pengelolaan, dan perkantoran; kedua, pendayagunaan ICT baik sebagai materi kurikulum maupun sebagai media dalam proses pembelajaran interaktif. Faktor lain yang berkaitan dengan peningkatan mutu dan daya saing adalah anggaran pendidikan yang belum memadai, baik

41

ketersediaannya

maupun

dalam

efisiensi

pengelolaannya.

Pembangunan pendidikan selama lima tahun terakhir (2000-2004) sudah mendapat prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional yang ditunjukkan oleh penyediaan anggaran pembangunan dengan porsi terbesar dibandingkan dengan bidang-bidang pembangunan tainnya. Komitmen Pemerintah dalam metaksanakan UUD 1945 dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionat dalam alokasi anggaran pendidikan dari APBN/APBD, dan penyelenggaraan pendidikan dasar tanpa memungut biaya secara bertahap mulai diwujudkan. Namun, anggaran tersebut baru mencapai 6,6% dari APBN yang dibelanjakan oleh pemerintah pusat. Anggaran tersebut juga betum termasuk anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah daerah metalui APBD. Pemerintah dan pemerintah daerah juga betum.mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara cuma-cuma. Apabila dibandingkan negara-negara lain, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Data laporan Human Development Indeks (2004) mengungkapkan dalam kurun waktu 1999-2001 Indonesia hanya mengalokasikan anggaran pemerintah (public expenditure) sebesar 1,3% dari produk domestik bruto (PDB). Sementara itu dalam kurun waktu yang sama, Malaysia, Thailand, dan Filipina secara berturut-turut telah mengatokasikan 7,9%, 5,0%, dan 3,2% dari PDB-nya masing-masing. Namun Susenas 2003 mengungkapkan bahwa rata-rata pengeluaran per kapita untuk pendidikan telah mencapai 2,2% untuk daerah perdesaan dan 4,5% untuk daerah perkotaan atau rata-rata nasional sebesar 3,5%. Kontribusi masyarakat dalam penyediaan anggaran pendidikan masih lebih besar dari kontribusi anggaran yang diketuarkan oleh pemerintah. Hat ini menunjukkan sebuah potensi besar karena jika

42

20% dari APBN/APBD dapat diwujudkan dengan asumsi kontribusi masyarakat bersifat konstan. Satuan-satuan pendidikan dan Pemerintah Kabupaten/Kota lebih banyak mengatokasikan sebagian anggaran untuk gaji guru, sementara biaya operasi satuan pendidikan di tuar gaji hanya mencapai paling tinggi 5-10%. Akibatnya, pembiayaan untuk sarana pembelajaran, biaya pembelajaran, pengembangan staf, dan biaya perawatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah sangat kecil sehingga tidak menunjang upaya peningkatan mutu dan relevansi. Variasi antardaerah dan satuan pendidikan mengenai pengeluaran biaya pendidikan, termasuk dalam pembiayaan untuk gaji dan di tuar gaji, masih sangat besar sehingga menimbulkan potensi ketidakaditan datam pemerataan kesempatan belajar yang bermutu. Salah satu sebab rendahnya mutu lulusan adalah belum efektifnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran selama ini masih terlalu berorientasi terhadap penguasaan teori dan hafalan dalam semua bidang studi yang menyebabkan kemampuan belajar peserta didik menjadi terhambat. Metode pembelajaran yang terlalu beorientasi pada guru (teacher oriented) cenderung mengabaikan hak-hak dan kebutuhan, serta pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga proses pembetajaran yang menyenangkan, mengasyikkan, dan mencerdaskan menjadi kurang
7.92 9 8 7 6 5 3 2 ? 0 4.68 3 92

optimal.

Muatan belajar yang terlalu terstruktur dan saran beban juga mengakibatkan proses keadaan dan

^J 4

~sti ~ 9 b

Grafik 2.6 Angka Mengulang kelas SD Menurut Tingkat, Tahun 2004

pembelajaran di sekolah menjadi steril dengan

43

perubahan lingkungan fisik dan social di lingkungan. Keadaan ini menjadikan proses belajar menjadi rutin, tidak menarik, dan tidak mampu memupuk kreativitas untuk murid, guru dan kepala sekolah untuk mengembangkan pendekatan pembelajaran yang inovatif. Persoalan tersebut ditambah dengan terlalu dominannya sehingga dan tumpul. kualitas pengembangan otak kiri peserta didik, sehingga otak kanan menjadi kurang optimal
6 5 4 3 20

gagasan menjadi Rendahnya


SD SNP SNWSMC Fr 13 Lald2 Pererrpuan 0 Recta

kreatif

inovatif dari peserta didik

pembelajaran terjadi pada hampir semua jenjang dan jenis pendidikan dapat menyebabkan angka rendahnya kelas

Grafik 2.7 Angka Putus Sekolah Menurut Jenjang Pendidikan dan Jenis Kelamin, Tahun 2004

angka efisensi pendidikan, mengulang dan putus sekolah yang masih tinggi. Grafik 2.6 menunjukkan bahwa angka mengulang kelas pada SD kelas awal cukup tinggi, yaitu 7,92%. Kondisi ini menunjukkan bahwa kesiapan memasuki SD masih rendah. Dilihat kecenderungan Angka mengulang kelas menurut tingkat kelas, makin tinggi tingkat kelas makin rendah angka mengulang kelas di SD. Walaupun menunjukkan kecenderungan yang makin menurun setiap tiga tahun terakhir ini sekitar 700.000 siswa/i SD/MI dan 270.000 siswa/i SMP/MTs putus sekolah setiap tahun. Grafik 2.7 menunjukkan bahwa makin tinggi jenjang pendidikan makin tinggi angka putus sekolah, sehingga makin rendah angka efisiensi pengelolaan pendidikan. Dilihat dari perspektif gender, angka putus sekolah, sehingga makin rendah angka efisiansi pengolahan pendidikan. Dilihat dari perspektif gender, angka putus

44

sekolah

anak

laki-laki

memiliki

kecenderungan perempuan. Faktor berpengaruh rendahnya pendidikan rendahnya pendidikan

lebih

tinggi

dibandingkan dengan anak


Grafik 2.8 Nilai Ujian Nasional SMA Program IPA Tahun 2003/04 dan 2004105 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 B Ind B Ingg Mat 102003/04 02024/05 Rata2

yang

turut efisiensi adalah

terhadap

kemampuan baik dalamproses pendidikan

pengelolaan berbagai input menjalankan pengelolaan

pembelajaran maupun dalam

secara keseluruhan baik pada tingkat satuan pendidikan maupun pada pengelola pendidikan yang ada di atasnya. Hat ini dilihat dari lemahnya fungsi supervisi pendidikan, baik yang ditakukan oleh tenaga fungsional seperti pengawas sekotah untuk tingkat SD dan/atau pengawas bidang studi untuk tingkat SMP dan SMA/SMK, maupun supervisi oleh kepala sekotah sebagai manajer sekolah. Kelemahan pada aspek perencanaan, kegiatan pembelajaran, dan evaluasi hash belajar tidak termonitoring secara efektif oleh para supervisor, sehingga kelamahan-kelemahan pada proses pembelajaran tidak dapat teridentifikasi secara akurat. Sementara itu, rendahnya mutu hash belajar ditandai oleh standar kelulusan yang ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10. Ini berarti bahwa seorang siswa dinyatakan lulus apabila yang bersangkutan mampu menyerap mata pelajaran sebesar 42,5%. Dengan standar kelulusan yang rendahpun masih banyak siswa yang tidak lulus. Pada Ujian Nasional 2005 pada tingkat SMA/MA

45

ketidaklulusan mencapai 20,6%, SMK 22,2%, dan SMP/MTs/SMP Terbuka 13,4%. Walaupun angka ketidaklulusan ujian nasional (UN) tahun 2004/05 lebih tinggi bita dibandingkan dengan tahun 2003/04, namun sesungguhnya bila dilihat dari nitai yang dicapai terdapat peningkatan yang cukup berarti dari nitai rata-rata UN sebesar 5,55 tahun 2003/04 menjadi 6,76 pada tahun 2004/05. Grafik 2.8. menunjukkan peningkatan Nilai UN pada ketiga mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Mutu akademik antarbangsa melatui Programme for International Student Assessment (PISA) 2003 menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei, untuk bidang IPA menempati peringkat ke 38, sementara untuk bidang Matematika dan Kemampuan Membaca menempati peringkat ke 39. Jika dibandingkan dengan Korea, peringkatnya sangat jauh, untuk bidang IPA menempati peringkat ke 8, Membaca peringkat ke 7 dan Matematika peringkat ke 3. Mutu pendidikan non akademik juga masih bermasalah yang dapat dilihat dari peritaku dan sikap peserta didik dalam kehidupan sosiat, baik saat berada di lingkungan sekolah maupun di tuar sekolah. Dari jumtah kasus yang ada, seperti perkelahian masat, pritaku kesopanan, dan tata kehidupan lainnya, belum mencerminkan nitai-nitai budaya dan norma-norma yang berlaku. Walaupun mutu lulusan pada semua jenjang pendidikan masih rendah, namun sesungguhnya potensi peserta didik kita cukup tinggi, hat ini ditandai oleh berhasitnya siswa siswa kita meraih berbagai kejuaraan dalam olimpiade international bidang sains dan matematika. Berdasarkan data asal sekolah peserta yang berhasil menjadi juara olimpiade, ternyata pada umumnya mereka berasat dari sekolah-sekolah yang memiliki sistem pembinaan yang baik dan

46

ditunjang oleh guru-guru yang berkuatitas. Hat ini menunjukkan bahwa


Tabel2.5 Perkiraan Produk Domestik Bruto (%)

potensi

peserta

didik

kita

memiliki potensi yang baik, tetapi karena ditangani oleh suatu proses pembelajaran yang kurang

berkualitas dan belum optimal ditunjang dengan prasarana dan sarana pendidikan, maka mutu tulusannya masih rendah. Jika dilihat dalam konteks kemanfaatannya, mutu pendidikan harus dikaitkan dengan isu relevansi pendidikan. Pendidikan yang memiliki kekuatan daya saing ditandai dengan mutu pembelajaran dalam program-program pendidikan yang amat dibutuhkan oleh masyarakat. Keunggutan dan daya saing pendidikan Indonesia yang dikaitkan dengan produktivitas tenaga kerja lulusan pendidikan, Indonesia berada posisi 12 dari 12 negara di Asia (PERC, 2001). Pemeringkatan internasional tersebut tetah menitai sistem pendidikan Indonesia yang kurang relevan dengan kebutuhan pembangunan. Isu PERC yang mengaitkan kuatitas pendidikan dengan mutu tenaga kerja sebagai salah satu faktor ekonomi telah menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mengembangkan kualitas dan produktivitas pekerja. Dalam kaitannya dengan relevansi pendidikan, perspektif analisis ekonomi dan ketenagakerjaan terhadap pendidikan tetap
LAPANGAN USAHA 1. Pertanian 2. Pertambangan 3. Manufaktur 4. Utiliktas 5. Bangunan 6. Perdagangan 7.Pengangk danKom 8. Keuangan 9. Jasa-Jasa 2004 0.15 0.09 0.26 0.02 0.06 0.16 0.09 0.07 o.o9 2005 0.15 0.08 0.26 0.02 0.06 0.16 0.09 0.08 o.o9 2007 0.14 0.08 0.26 0.02 0.06 0.16 0.10 0.08 o.o9 2009 0.13 0.07 0.27 0.02 0.07 0.17 0.11 0.08 o.o9

diperlukan, namun belum lengkap atas masyarakat Indonesia Analisis ini seutuhnya. diarahkan pada dasar perspektif manusia dan pembentukan

keseimbangan Atas Dasar Harga

Konstan, struktural antara struktur ekonomi dan ketenagakerjaan di


47

satu

pihak dengan struktur pendidikan di lain pihak. Sistem

pendidikan dianggap relevan jika memiliki keseimbangan secara struktural dengan sistem ekonomi dan ketenagakerjaan. Artinya, bahwa lulusan pendidikan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan ekonomi akan di berbagai sektor. Keseimbangan struktural tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.5 dan Tabel 2.6. Dalam kurun waktu lima tahun kedepan, walaupun perubahan kontribusi sektoral terhadap produk domestik bruto (PDB) sangat kecil, namun dalam jangka panjang perubahan struktur PDB tersebut cenderung mengarah pada penguatan industri. Kecenderungan ini tampak sedikitnya dari kontribusi sektor-sektor sekunder dan tersier yang semakin tinggi seperti: Industri Pengolahan (26% menjadi 2790); Hotel dan Restoran (16% ke 17%); Pengangkutan dan Komunikasi (9% menjadi 11%), dan Keuangan (7% menjadi 8%). Sementara itu, kontribusi sektor primer, seperti sektor pertanian, terus menurun dari 43% menjadi 39% dalam kurun waktu yang sama. Penguatan secara terjadinya angkatan seimbang penguatan kerja. struktur dengan struktur Kontribusi
Tabel 2.6 Proyeksi Penyerapan Domestik Bruto (%) Atas Dasar Harga Konstan, Tahun 2004-2010 Sektor Industri 1. Pertanian 2. Pertamban an 3. Manufaktur 4. Utilitas 5. Ban unan 6. Perda an an 7. Pengangk Kom 8. Keuan an 9. Jasa-Jasa 2004 0.43 0.01 0.13 0.00 0.05 0.19 dan 0.06 0.01 0.12 2005 0.43 0.01 0.13 0.00 0.05 0.19 0.06 0.01 0.12 2007 0.41 0.01 0.14 0.00 0.05 0.20 0.06 0.02 0.13 2009 0.39 0.01 0.14 0.00 0.05 0.20 0.07 0.02 0.13

industri dari sisi PDB tidak diikuti

sektor primer dalam penyerapan angkatan kerja nasional masih dominan, yaitu 43% dan menurun sedikit menjadi 39% dalam lima tahun ke depan. Di lain pihak, Industri pengolahan sebagai penyumbang terbesar terhadap PDB hanya

mampu Sumber:diolahdarilndikatoreko

48

menyerap tenaga kerja 14% saja, sementara Sektor Pertanian yang menyumbang hanya 14% terhadap PDB menyerap angkatan kerja paling besar. Data ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural, antara ekonomi Indonesia yang sudah mulai berstruktur industri yang tidak diimbangi dengan nilai-nilai kultur masyarakat Indonesia yang secara agregat masih didominansi oleh sektor agraris dan tradisional. Struktur ekonomi dan nilai kultur pada masyarakat Indonesia yang masih dominan agraris ini masih dicirikan dengan gejala-gejala ketimpangan secara struktural dan kultural. Sektor-sektor pertanian, perdagangan, dan jasa di Indonesia masih berciri subsisten, dan padat karya (labor intensive) yang diandalkan sebagai sektor penyerap terbesar angkatan kerja berpendidikan rendah. Produktivitas pekerja sektor subsisten ini jauh lebih rendah daripada mereka yang bekerja di sektor industri. Sementara itu, sektor-sektor modern (industri pengolahan, pertambangan, dan komunikasi, serta jasa) lebih bersifat padat modal (capital intensive) sehingga lebih membutuhkan pekerja berkeahlian khusus dan profesional. Walaupun nilai upah rata-rata para pekerja sektor moderen jauh lebih tinggi namun jumlahnya belum dominant dibandingkan dengan jumlah pekerja sector subsisten. Struktur ekonomi Indonesia yang dominan agraris dan kurang produktif ini menjadi factor terbesar lambannya pertumbuhan ekonomi nasional. Atas dasar permasalahan itu, perluasan dan pemerataan pendidikan masyarakat yang harus bermutu dan relevan dengan kebutuhan dalam ditempatkan pada prioritas tertinggi

pembangunan pendidikan. Mutu dan relevansi pendidikan tercermi dari kemampuan membentuk kecakapan (competence) lulusan agar dapat menjadi pekerja produktif dengan upah yang lebih tinggi. Kesempatan pendidikan keahlian, keterampilan dan profesi harus besar dan merata dikaitkan dengan sentra-sentra pengembangan
49

ekonomi industri, pendayagunaan iptek, dan peningkatan kecakapan hidup yang sesuai dengan prinsip belajar sepanjang hayat. Salah satu dampak rendahnya kualitas pendidikan adalah rendahnya kemampuan wirausaha dari lulusannya. Lulusan pendidikan menengah dan tinggi masih cenderung memilih bekerja pada orang lain dibanding menciptakan pekerjaan secara mandiri. Data menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan penduduk semakin besar proporsi yang bekerja sebagai pekerja, buruh, atau karyawan. Dari seluruh lulusan PT yang bekerja sebagai pekerja, buruh atau karyawan mencapai sekitar 83,19. Sebaliknya, pekerjaan yang mandiri lebih banyak diciptakan oleh pekerja yang berpendidikan rendah (Lutusan SD dan SMP sekitar 21,39 dan 22,49) (Susenas, BPS, 2004). Kegiatan penelitian dan pengembangan serta publikasi hashhasitnya masih sangat terbatas. Di samping itu proses transfer pengetahuan dan teknologi juga mengalami hambatan karena masih terbatasnya buku-buku teks dan jurnal-jurnal internasional yang dapat diakses. Dengan kuatitas dan kuantitas hasil penelitian dan pengembangan yang betum memadai, sangat sedikit hasit penelitian dan pengembangan yang dapat diterapkan oteh masyarakat dan masih sedikit puta yang sudah dipatenkan dan hak kekayaan intetektual.

50

Tabel 2.7 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Status Pekerjaan Utama dan Pendidikan yang Ditamatkan (2004)

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan T/BPS T/BT SD SD SMP SMA SMK Diploma I/II Diploma III Universitas TJumlah 1

Berusaha Sendiri tanpa Dibantu 18,7 20,8 21.3 22,7 16,7 13,8 5,1 6,3 5,8 19,5

Berusaha Sendiri dengan Dibantu 39,0 33,0 27,4 19,5 12,2 8,3 2,7 3,4 3,4 23,0

Berusaha Dengan Buruh Teta 1,9 2,5 2,8 3,6 4,2 3,8 1,4 3,7 4,9 3,1

Pekerjal Buruhl Karyawan 4,5 8,9 14,8 27,0 52,7 64,0 88,9 82,0 83,1 27,2

Pekerja Belbas Pertanian 9,1 8,8 6,1 3,2 0,8 0,4 0,0 0,1 0,0 4,7

Pekerja Bebas Non. Pertanian 2,1 3,5 5,3 4,7 2,4 2,5 0,0 0,3 0,5 4,0

Pekerja Tidak Dibayar 24,7 22,5 22,2 19,3 10,9 7,2 1,9 4,1 2,2 18,5

C.

Governance, Publik

Akuntabilitas,

dan

Pencitraan

Pemerintah telah melakukan perintisan datam mengembangkan berbagai model desentratisasi pengelolaan pendidikan sejak beberapa tahun terakhir. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota menerapkan kebijakan pendidikan dalam kerangka desentratisasi, misalnya melalui a) penetapan formula dan mekanisme bantuan bagi perbaikan dan pengembangan satuan pendidikan, b) penguatan proses akuntabilitas dan education governance, c) penetapan sistem keuangan dan perencanaan sekotah, d) pengembangan kapasitas (capacity building) mutai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan satuan pendidikan. Namun dalam petaksanaannya belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Salah satu kendalanya adalah belum tersedianya sistem informasi manajemen yang akurat. Dampak positif pengelolaan pendidikan dalam era

desentralisasi mulai tampak jelas. Pertama, sejumlah provinsi dan kabupaten/kota mengambil inisiatif sendiri dalam melaksaakan
51

perubahan organisasi untuk merespon peran dan fungsi yang berubah. Kedua, tumbuhnya inisiatif dalam mengelola perubahan yang didorong oleh kekuatan internal pada tingkat satuan pendidikan dan masyarakat. Ketiga, pada tingkat pusat, reformasi struktur organisasi Departemen lebih diarahkan pada semakin besarnya fungsi manajemen mutu sebagai respon positif terhadap tuntutan perkembangan global dan kebijakan desentralisasi. Terdapat sejumlah pelajaran yang dapat diambil dari kajian terhadap dampak awal pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Bupati/Walikota memiliki posisi penting dalam merintis proses perubahan. Namun, perubahan tersebut tidak akan berdampak positif jika kapasitas daerah dalam manajemen pendidikan masih rendah. Dampak positif desentralisasi terhadap perubahan pendidikan akan beriangsung secara berkelanjutan jika perubahan tersebut dilakukan atas dasar inisiatifnya sendiri, karena akan mewujudkan komitmen daerah yang tinggi dalam pelaksanan kebijakan desentralisasi. Oleh karena itu, setiap upaya sosialisasi kebijakan strategis nasional harus dilakukan dengan keterlibatan langsung bupati/walikota, sehingga transparansi dan akuntabilitas publik dalam pengelolaan pendidikan menjadi optimal. Dampak positif lain adalah mulai tampak adanya kebutuhan legislasi dan regulasi dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Sebuah studi menunjukan bahwa implementasi kebijakan dan program di daerah sangat bervariasi, sebagai akibat dari belum jelasnya sistem insentif dan disinsentif dalam pelaksanaan urusan wajib setiap tingkat pemerintahan dalam pelayanan pendidikan. Oleh karena itu, tugas-tugas dekonsentrasi provinsi sebagai wakil Pemerintah di daerah perlu diperjelas dan segera ditetapkan dalam PP Urusan Wajib dan Urusan Pilihan sesuai UU Nomor 32/2004. Untuk sementara, urusan wajib kabupaten/kota sudah diatur dalam

52

SPM yang dietapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Nomor 129a/U/2004. Dampak yang kurang positif dari desentralisasi adalah bahwa perencanaan dan pelaksanaan program penggunaan data dan informasi yang belum didukung oleh akurat pada berbagai

tingkatan. Di masa lalu, arus data dan informasi secara langsung dikendalikan oleh pusat, sementara itu provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan hanya bertindak sebagai saluran informasi dan bukan sebagai pengguna akhir. Sampai saat ini, setiap direktorat atau unit utama masih mengembangkan sistem informasi sendiri-sendiri yang masih juga dilakukan secara terpusat. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sistem informasi dalam suatu sistem terpadu dengan fungsi yang jelas di antara masing-masing unit, dengan penekanan pada penguatan daerah dalam pengumpulan dan pengolahan data. Salah satu fungsi manajemen yang penting yaitu pengawasan terhadap berbagai program dan kegiatan yang terkait dengan upaya pemerataan dan perluasan akses serta peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan. Pengawasan yang dapat dilakukan dengan cara monitoring dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas pendayagunaan sumberdaya dalam pembangunan pendidikan dengan cara menekan sekecil mungkin terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pemberantasan KKN merupakan isu strategis dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga tidak sampai 2 (dua) bukan setelah menjadi presiden, Instruksi Presiden Nomor: 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang kemudian diperjelas dengan Keputusan Sekretaris Kabinet No. 147/Seskab/04/2005 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi telah dikeluarkan. Berkaitan dengan maraknya isu KKN dan berdasarkan data hasil pemeriksaan oleh BPK, BPKP dan Inspektorat Jenderal sejak

53

tahun 1997 sampai dengan tahun 2004, di Departemen Pendidikan Nasional juga terindikasi adanya penyimpangan terhadap sumber dana pembangunan. Selama kurun waktu tersebut telah diketemukan sebanyak 8.817 temuan/kasus yang mengindikasikan adanya korupsi dalam bentuk uang yang jumlah nominalnya cukup besar. Oleh sebab itu salah satu program penting Departemen Pendidikan Nasional dalam lima tahun yang akan datang adalah percepatan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pengawasan dan monitoring menjadi sangat penting dalam pembinaan program dan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen untuk mencegah terjadinya KKN dan meningkatkan akuntabilitas departemen. Permasalahan kapasitas pendidikan tinggi, terutama dalam masa transisi dari institusi perguruan tinggi dari yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pemerintah menuju masa otonomi satuan pendidikan tinggi yang diharapkan memiliki keleluasan dan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Perguruan tinggi yang sehat memiliki kapasitas untuk mengelola sumberdaya pendidikan secara efisien untuk mewujudkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Perguruan tinggi yang sehat memiliki kapasitas untuk merespon lingkungan yang berubah secara otonom dan unik. Kapasitas ditentukan oleh kemampuan setiap perguruan tinggi untuk melakukan menelaah informasi, memahami permasalahannya, menentukan pemecahan masalah, mengambil keputusan untuk memecahkan masalah, merencanakan, melaksanakan, dan evaluasi terhadap hasil-hasi kerjanya. Oleh karena itu, kemampuan dalam mengembangkan kebijaksanaan dan program, misalnya, pada bidang: serta keuangan, rencana ketenagaan, dan program governance, penjaminan mutu,

infrastruktur, adalah kapasitas yang perlu dimiliki oleh PT yang otonomi dan sehat.

54

BAB III
KERANGKA KEBIJAKAN PENDIDIKAN JANGKA MENENGAH

Berdasarkan analisis situasi dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan program sampai dengan tahun 2004 telah diidentifikasi sejumlah permasalahan, tantangan dan peluang untuk membangun pendidikan yang lebih demokratis dan bermutu dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Untuk itu, perlu dirumuskan kebijakan strategis, program strategis, dan sasaran yang lebih realistis melalui pendekatan pembangunan yang lebih efektif. Renstra 20052009 disusun dengan menggunakan pendekatan sektor secara keseluruhan (sector-wide approach) dalam rangka mewujudkan integrasi dan harmonisasi antarprogram. Keterkaitan antarprogram pembangunan pendidikan sangat diperlukan agar dicapai efisiensi dan produktivitas sektor secara optimal. Renstra Diknas 2005-2009 menggunakan tiga tema kebijakan utama pembangunan pendidikan, yaitu (i) pemerataan dan perluasan akses, (ii) peningkatan dalam mutu, relevansi, dan daya saing (iii) dan governance, tercermin akuntabilitas, dan pencitraan publik. Setiap tema kebijakan, program, kegiatan, sasaran,

penganggarannya.

A.

Kebijakan Umum
55

1.

Pemerataan dan Perluasan Akses Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada

upaya memperluas daya tampung satuan pendidikan sesuai dengan prioritas nasional, serta memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda baik secara sosial ekonomi, gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global, serta meningkatkan peringkat IPM hingga mencapai posisi sama dengan atau lebih baik dari peringkat IPM sebelum krisis. Untuk itu, sampai dengan tahun 2009 dilakukan upaya-upaya sistematis dalam pemerataan dan perluasan pendidikan, dengan mempertahankan APM-SD pada tingkat 94%, memperluas SMP/MTs hingga mencapai APK 97,4% atau APM 75,5% serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas hingga 5%. Penuntasan wajar dikdas 9 tahun memperhatikan pelayanan yang adil dan merata bagi penduduk yang menghadapi hambatan ekonomi maupun dan sosialbudaya atau (yaitu penduduk fisik, miskin, memiliki serta hambatan geografis, daerah perbatasan, dan daerah terpencil), hambatan kelainan emosi, mental intelektual peserta didik. Untuk itu, diperlukan strategi yang lebih efektif antara lain dengan membantu dan mempermudah mereka yang belum bersekolah, putus sekolah, serta lulusan SD/MI/SDLB yang tidak melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB yang masih besar jumtahnya, untuk memperoleh layanan pendidikan. Di samping itu, akan dilakukan strategi yang tepat untuk meningkatkan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan, khususnya pada masyarakat yang menghadapi hambatan tersebut.

56

Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun akan menambah jumlah lulusan SMP/MTs/SMPLB setiap tahunnya, sehingga juga akan mendorong perluasan pendidikan menengah. Dengan bertambahnya permintaan pendidikan menengah, Pemerintah juga melakukan perluasan pendidikan menengah terutama bagi mereka yang karena satu dan lain hat tidak dapat menikmati pendidikan SMA yang bersifat reguler, melalui SMA Terbuka dan Paket C, sehingga pada gilirannya mendorong peningkatan APM-SMA. Oleh karena SMA cenderung semakin meluas jauh di atas SMK, maka Pemerintah lebih mempercepat pertumbuhan SMK diiringi dengan upaya mendorong peningkatan program pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terus berubah. Pemerintah akan memperluas akses pendidikan tinggi untuk menjawab meningkatnya partisipasi sekolah menengah. Meningkatnya angka partisipasi PT tersebut akan diiringi oleh kebijakan yang mengarah pada pencapaian daya saing lulusan PT secara global. Secara proporsi bersamaan, jumlah dilakukan yang upaya sesuai untuk dengan meningkatkan keahlian

kebutuhan pembangunan. Salah satu upaya untuk pemenuhan tersebut diantaranya melalui peningkatan jumlah keahlian bidang vokasi melalui institusi potiteknik. Selain itu, dikembangkan program community college yang merupakan upaya harmonisasi antara pendidikan kejuruan di SMK, pendidikan non-formal berketanjutan, dan PT vokasi. Di samping itu, untuk meningkatkan APK PT dapat dicapai dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak berkebutuhan khusus untuk dapat mendapat pelayanan pendidikan yang memadai. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kapasitas fiskal Pemerintah, strategi perluasan dan pemerataan akses pendidikan tinggi lebih diarahkan pada peran partisipasi swasta dalam mendirikan
57

tembaga pendidikan tinggi baru. Namun, strategi perluasan akan dikaitkan dengan pencapaian mutu yang lebih baik dalam rangka peningkatan daya saing bangsa di era global. Untuk itu, pemerintah akan terus membenahi peraturan dan perundang-undangan serta memperkuat kapasitas kelembagaan yang terkait dengan fungsi pengendalian dan penjaminan mutu. Kebijakan perluasan pendidikan tinggi juga dilakukan searah dengan upaya membuka kesempatan bagi calon mahasiswa yang berasal dari penduduk di atas usia ideal pendidikan tinggi (>24 th) seperti karyawan, guru sekolah, tenaga spesialis industri, termasuk dalam pendidikan non-gelar dan pendidikan profesi yang dan mengutamakan penguasaan pengetahuan, keterampitan

teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja industri. Perluasan akses pendidikan tinggi juga dilakukan melalui pengembangan kapasitas pembelajaran digital jarak jauh yang semakin luas dan efektif. Universitas Terbuka dan institusi sejenis lainnya ditugaskan untuk mengimplementasikan strategi ini, dengan memanfaatkan secara optimal ICT dalam proses pembetajaran, pengelolaan, dan akses informasi. Dalam kaitan itu, Ditjen Pendidikan Tinggi memprioritaskan investasi infrastruktur ICT untuk mendukung pelaksanaan pembetajaran jarak jauh pada Universitas Terbuka dan peraturan tinggi lainnya serta Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan. Beberapa kebijakan strategis yang disusun dalam rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan adalah sebagai berikut. (a) Mempertuas akses bagi anak usia 0-6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan tahap

58

perkembangannya agar memiliki kesiapan dalam mengikuti pendidikan sekotah dasar. (b) Menghapus hambatan biaya (cost barriers) melalui pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi semua siswa pada jenjang pendidikan dasar baik pada sekolah umum maupun madrasah yang dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang besarnya dihitung berdasarkan unit cost per siswa dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan kebijakan melalui pemberian subsidi BOS biaya personal tujuan terutama bagi siswanya berasal dari keluarga miskin pada jenjang pendidikan dasar pemanfaatan untuk tersebut. Secara bertahap BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan formula (formula-based funding) yang memperhitungkan siswa miskin maupun kaya serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat. (c) Membentuk "SD-SMP Satu Atop" bagi daerah terpencit yang berpenduduk jarang dan terpencar, dengan menambahkan ruang belajar SMP di SD untuk menyelenggarakan program pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam kebijakan ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada, baik ruang kelas maupun bangunan sekolah dengan membuat jaringan sekolah antara SMP dengan SD-SD yang ada di witayah layanannya (catchment areas) serta menggabungkan SD-SD yang sudah tidak efisien lagi.

59

(d) Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7-15 tahun, baik lakilaki maupun perempuan yang tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal untuk memitiki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan di jalur nonformal maupun program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk daerah-daerah yang tidak tersedia layanan pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu, untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melatui optimalisasi daya tampung dan pengembangan SMP Terbuka model maupun melalui model layanan pendidikan alternatif yang inovatif. (e) Memperluas akses bagi penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempuan untuk memiliki kesempatan mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan

melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan kesempatan bagi penduduk buta aksara dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama dengan stakeholder pendidikan, seperti organisasi keagamaan, organisasi perempuan, dan organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan masyarakat, serta PT. (f) Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memperluas akses SMA, khususnya pada daerah-daerah yang memiliki lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain dikembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan kebijakan strategis dalam melaksanakan program pendidikan inklusif. (g) Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal. Pertuasan SMK ini dilaksanakan melalui penambahan program pendidikan kejuruan yang lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar kerja yang

60

berkembang. Di samping itu, dilakukan upaya penambahan muatan pendidikan keterampilan di SMA bagi siswa yang akan bekerja setelah tutus. (h) Memperluas daya tampung PT yang ada dengan memberikan fasilitasi pada universitas untuk membuka program-program keahlian yang dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan atau menutup sementara secara fleksibel program-program yang lulusannya sudah jenuh. (i) Memperluas kesempatan belajar pada perguruan tinggi yang lebih dititikberatkan pada program-program politeknik, pendidikan tinggi vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar pada penerapan teknologi tepat guna untuk kebutuhan dunia kerja (j) Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat bagi

penduduk dewasa yang ingin meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan hidup yang relevan dengan kebutuhan masyarakat melalui programprogram pendidikan berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan formal yang sudah ada sebagai bagian dari harmonisasi pendidikan formal dan non-formal. (k) Memperhatikan secara khusus kesetaraan gender, pendidikan untuk layanan khusus di daerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah terpadu. (l) Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi (KIE), serta konflik, perbatasan, dalam dan berbagai lain-lain, program serta secara mengimplementasikannya

advokasi kepada masyarakat agar keluarga makin sadar akan pentingnya pendidikan serta mau mengirimkan anak-anaknya

61

ke sekolah dan/atau mempertahankan anaknya untuk tetap bersekolah (m) Memanfaatkan secara optimal sarana radio, televisi, komputer dan perangkat ICT lainnya untuk digunakan sebagai media pembelajaran dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana belajar alternatif selain menggunakan modul atau tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan mengalami hambatan dalam transportasi, serta jarang penduduk.

2.

Mutu, Relevansi, dan Daya Saing


Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing di masa depan

diharapkan dapat memberikan dampak bagi perwujudan eksistensi manusia dan interaksinya sehingga dapat hidup bersama dalam keragaman sosial dan budaya. Selain itu, upaya peningkatan mutu dan relevansi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat serta daya saing bangsa. Mutu pendidikan juga dilihat dari meningkatnya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai humanisme yang meliputi keteguhan iman dan takwa serta berahlak mulia, etika, wawasan kebangsaan, kepribadian tangguh, ekspresi estetika, dan kualitas jasmani. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan diukur dari pencapaian kecakapan akademik dan non-akademik yang lebih tinggi yang memungkinkan lulusan dapat proaktif terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik ditingkat lokal, nasional maupun global. Kebijakan peningkatan mutu pendidikan diarahkan pada

pencapaian mutu pendidikan yang semakin meningkat yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). SNP meliputi berbagai komponen yang terkait dengan mutu pendidikan mencakup standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, sandar

62

pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Pemerintah program memberikan intervensi untuk kepada satuan-satuan standar dan yang (studi) pendidikan mencapai

diamanatkan oleh UU Sisdiknas. Standar-standar tersebut digunakan juga sebagai dasar untuk melakukan penilaian terhadap kinerja satuan dan program pendidikan, mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD), Pendidikan Dasar (Dikdas), Pendidikan Menengah (Dikmen), Pendidikan Non-formal (PNF), sampai dengan Pendidikan Tinggi (Dikti). Peningkatan mutu pendidikan semakin diarahkan pada perubahan inovasi pembelajaran baik pada pendidikan formal maupun non-formal dalam rangka mewujudkan proses yang efisien, menyenangkan dan mencerdaskan sesuai tingkat usia, kematangan, serta tingkat perkembangan anak. Pengembangan proses pembelajaran pada PAUD serta kelas-kelas rendah sekolah dasar lebih memperhatikan prinsip perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak anak dengan lebih menekankan pada upaya pengembangan kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual dengan prinsip bermain sambil belajar. Peningkatan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin memperhatikan pengembangan kecerdasan rasional dalam rangka memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi disamping memperkokoh kecerdasan emosional, sosial, dan spritual peserta didik. Upaya peningkatan mutu dan relevansi pendidikan secara berkelanjutan akan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan secara terpadu yang pengelolaannya dikoordinasikan secara terpusat. Dalam pelaksanaannya koordinasi tersebut didelegasikan kepada Gubernur atau aparat vertikal yang berkedudukan di provinsi. Manajemen mutu tersebut akan dilaksanakan melalui kebijakan strategis sebagai berikut.

63

(a)

Mengembangkan dan menetapkan standar nasional pendidikan sesuai dengan PP SNP No. 19/2005, sebagai dasar untuk melaksanakan akreditasi penilaian dan pendidikan, program peningkatan kapasitas upaya pengelolaan pendidikan, peningkatan sumberdaya pendidikan, satuan pendidikan, serta penjaminan mutu pendidikan.

(b) Melaksanakan evaluasi pendidikan melalui ujian nasional yang dilakukan oleh sebuah badan mandiri yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). siswa/ Ujian nasional didik mengukur berdasarkan ketercapaian kompetensi peserta

standar kompetensi lulusan yang ditetapkan secara nasional (benchmark). Hasil ujian nasional tidak merupakan satusatunya alat untuk menentukan kelulusan siswa pada setiap satuan pendidikan tetapi terutama sebagai sarana untuk melakukan pemetaan dan analisis mutu pendidikan yang dimulai dari tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional. (c) Melaksanakan penjaminan mutu (quality assurance) melalui suatu proses analisis yang sistematis terhadap hasil ujian nasional dan hasil evaluasi lainnya yang dimaksudkan untuk menentukan faktor pengungkit dalam upaya peningkatan mutu, baik antar-satuan pendidikan, antar kabupaten/kota, antarprovinsi, atau melalui pengelompokan lainnya. Analisis dilakukan oleh pemerintah bersama pemerintah provinsi yang secara teknis dibantu oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) pada masing-masing antaranya wilayah. Berdasarkan dan analisis itu, diberikan terutama intervensi terhadap satuan dan program (studi) pendidikan di melalui: pendidikan pelatihan pengembangan proses pembelajaran efektif, pemberian bantuan teknis, pengadaan dan pemanfaatan sumberdaya pendidikan, serta pemanfaatan ICT dalam pendidikan. Disamping itu untuk
64

mempercepat

tercapainya

pemerataan

mutu

pendidikan satuan

dilakukan pemberian

subsidi yang diarahkan pada

pendidikan yang belum mencapai standar nasional. (d) Melaksanakan akreditasi satuan dan/atau program pendidikan untuk menentukan status akreditasinya masing-masing. Penilaian dilakukan setiap lima tahun dengan mengacu pada SNP. Akreditasi juga dapat menggunakan rata-rata hasil ujian nasional dan/atau ujian sekolah sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan status akreditasi tersebut. Hasil akreditasi dijadikan sebagai landasan untuk melakukan program pengembangan kapasitas dan peningkatan mutu setiap satuan atau program pendidikan. Pelaksanaan akreditasi ini akan dilakukan secara independen oleh Badan Akreditas Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM), dan Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN-PNF).

3.

Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan

Publik
Tujuan jangka panjang Depdiknas adalah mendorong kebijakan sektor agar mampu memberikan arah reformasi pendidikan secara efektif, efisien dan akuntabel. Kebijakan ini diarahkan pada pembenahan perencanaan jangka menengah dengan menetapkan kebijakan strategic serta program-program yang didasarkan pada urutan prioritas. Di camping itu, disusun pula pola-pola pendanaan bagi keseluruhan sektor berdasarkan prioritas, baik dari sumber Pemerintah, orangtua maupun stakeholder lain di setiap tingkat pemerintahan.

65

Pengelolaan pendidikan nasional menggunakan pendekatan secara menyeluruh dari sektor pendidikan (sector-wide approach) yang bercirikan: (a) program kerja disusun secara kolaboratif dan sinergis untuk menguatkan implementasi kebijakan pada semua tingkatan, (b) reformasi institusi dilaksanakan secara berkelanjutan yang didukung program pengembangan kapasitas, dan (c) perbaikan program dilakukan secara berkelanjutan dan didasarkan pada evaluasi kinerja tahunan yang dilaksanakan secara sistematis dan memfungsikan peran-peran stakeholder yang lebih luas. Pemerintah melaksanakan pengembangan kapasitas institusi pendidikan secara sistemik dan terencana dengan menggunakan pendekatan keseluruhan sektor tersebut di atas. Strategi pengembangan kapasitas lebih diarahkan pada proses manajemen perubahan secara endogeneous atau perubahan yang didorong secara internal. Perubahan yang didorong secara internal akan lebih menjamin bersama. Kebijakan governance dan akuntabilitas meliputi sistem terjadinya perubahan secara berkelanjutan, menumbuhkan rasa kepemilikan, kepemimpinan, serta komitmen

pembiayaan berbasis kinerja baik di tingkat satuan pendidikan maupun pemerintah daerah, dan manajemen berbasis sekolah (MBS), untuk membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumberdaya serta memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam perencanaan, pengetolaan, dan pengawasan kinerja pendidikan ditingkatkan melalui peran komite sekolah/satuan pendidikan dan dewan pendidikan. Pemerintah bertekad mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta memberikan pelayanan yang lebih bermutu, efektif, dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat. Pemerintahan yang bersih dari KKN diwujudkan melalui internalisasi etos kerja serta
66

disiplin kerja yang tinggi sebagai bentuk akuntabilitas aparatur negara serta perwujudan kinerjanya profesionalisme untuk aparatur. Untuk itu, yang segenap aparatur yang ada di Departemen Pendidikan Nasional pertu meningkatkan mewujudkan pelayanan bermutu, merata dan adil di dalam suatu tata kelola pemerintahan yang sehat. Aparatur juga perlu mengubah mindset atas perilaku dan sikap seorang birokrat menjadi pelayan masyarakat yang profesional. Kebijakan perwujudan tata kelola pemerintahan yang sehat dan akuntabel dilakukan secara intensif melalui sistem pengendalian internal (SPI), pengawasan masyarakat, serta pengawasan fungsional yang terintegrasi dan berkelanjutan. Pemerintah mengembangkan dan melaksanakan SPI pada masing-masing satuan kerja dalam mengelola kegiatan pelayanan pendidikan sehari-hari. Pengawasan fungsional dilakukan oleh Inspektorat Jenderal, Badan Pengawas Keuangan RI, dan BPKP terhadap hasil pembangunan pendidikan, sedangkan pengawasan masyarakat dilakukan langsung oleh individu-individu atau anggota masyarakat yang mempunyai buktibukti penyalahgunaan wewenang. Sejalan dengan pembagian kewenangan antartingkat

pemerintahan berdasarkan otonomi dan desentralisasi, pemerintah pusat mengkoordinasikan manajemen mutu pendidikan, sementara pemerintah daerah berperan dalam manajemen sarana/prasarana dan operasional layanan pendidikan. Untuk peningkatan efisiensi dan mutu layanan, diperlukan pengembangan kapasitas daerah serta penataan governance pendidikan yang sehat dan akuntabet, baik pada tingkat satuan pendidikan maupun tingkat kabupaten/kota. Dalam kaitan itu, pemerintah daerah lebih berperan dalam mendorong otonomi satuan pendidikan melalui pengembangan kapasitas dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang bermutu.

67

Berdasarkan pembagian kewenangan tersebut di atas terdapat fungsifungsi baru yang harus dijalankan oleh pusat maupun daerah. Untuk itu dikembangkan mekanisme yang akan mengatur berbagai fungsi baru yang telah diidentifikasi tersebut dalam suatu struktur, sistem dan mekanisme fungsi dan yang institusi baru baru didukung yang oleh peraturan untuk perundangan yang sesuai. Berbagai identifikasi dan kajian mengenai pentingnya diperlukan pelayanan pendidikan dalam masa otonomi dan desentralisasi dilakukan secara komprehensif oleh Depdiknas. Sesuai institusional, dengan disusun kerangka kebijakan pengaturan untuk dan kerangka terjadinya

mendorong

penguatan kapasitas satuan dan program pendidikan yang ada pada setiap tingkatan pemerintahan. Penguatan kapasitas satuan atau program pendidikan diorientasikan untuk mencapai status kapasitas tertinggi suatu satuan pendidikan, yaitu jika dapat memenuhi atau di atas SNP. Pengembangan kapasitas dilakukan untuk mendorong agar sebagian besar satuan pendidikan yang masih berada di bawah SNP secara bertahap akan diperkuat sehingga mampu melampaui SNP. Bagi satuan-satuan pendidikan yang sudah memenuhi SNP, akan didorong untuk memacu mutunya lebih tinggi lagi hingga dapat mencapai standar internasional. Pada tahun 2009, Pemerintah akan mendorong peningkatan proporsi satuan pendidikan untuk dapat mencapai sama atau di atas SNP setidak-tidaknya mencapai 25% SD, 40% SMP, 50% SMA, dan 50% SMK pada tahun 2009. Pengembangan kapasitas diarahkan pada peningkatan

kemampuan Kabupaten/kota secara sistematis untuk memberikan pelayanan pendidikan yang efektif dan akuntabel sesuai dengan SNP. Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan pendidikan pada kabupaten/kota dikembangkan dan diremajakan indikator-indikator kinerja pengelolaan layanan pendidikan, baik pada jalur formal maupun non-formal yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Dalam
68

jangka

menengah

diperkuat

kapasitas

pengelolaan

layanan

pendidikan terhadap kabupaten/kota sehingga dapat menambah kabupaten/kota yang memiliki kapasitas pelayanan sesuai dengan SNP. Penguatan kapasitas pendidikan tinggi dilakukan melalui

pengembangan mekanisme untuk mewujudkan kesehatan organisasi dan otonomi masing- masing perguruan tinggi. Secara keseluruhan, upaya tersebut dilakukan dengan menetapkan sistem, mekanisme, norma-norma, dan standar yang relevan yang dapat dijadikan acuan bagi masing-masing perguruan tinggi untuk meningkatkan kesehatan institusinya. Pada tahun 2009, diharapkan mekanisme kerja institusi dan aturan perundangan yang diperlukan sudah dapat diselesaikan. Pengembangan kapasitas bagi setiap tingkat pemerintahan harus diarahkan pada peningkatan efisiensi pendidikan sebagai berikut. (1) Pada tingkat Pemerintah, prioritas pengembangan kapasitas mencakup penataan kelembagaan, penguatan sistem advokasi strategic dan monitoring, perbaikan sistem informasi kinerja dalam memetakan pencapaian SNP oleh satuan pendidikan dan pemerintah daerah. (2) Pada tingkat provinsi, pengembangan kapasitas harus lebih diarahkan pada peningkatan institusi pengelola dalam melaksanakan fungsi dekonsentrasi, yaitu kemampuan provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam mengelola pelaksanaan kegiatan yang menjadi wewenang pusat, misalnya pengendalian mutu, penjaminan mutu, evaluasi dan monitoring program, serta akreditasi. Kapasitas provinsi juga perlu ditingkatkan dalam melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan antarkabupaten/kota.

69

(3) Pada tingkat kabupaten/kota, perlu penguatan kapasitas dalam menyusun kebijakan, rencana strategic dan operasional, sistem informasi dan sistem pembiayaan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan pendidikan. Kabupaten/kota berfungsi sebagai facilitator yang memberikan kemudahan dan otonomi yang lebih Was bagi satuan pendidikan dalam upaya mencapai kemandirian. (4) Pada pendidikan tinggi, terutama dalam masa transisi dari sentralisasi menuju masa otonomi, pengembangan kapasitas dilakukan kearah mewujudkan perguruan tinggi yang memiliki keleluasaan untuk memberikan pelayanan pendidikan tinggi yang bermutu secara sehat dan akuntabel. Perguruan tinggi yang sehat memiliki kapasitas untuk merespon linkungan yang berubah secara otonom dan unik. (5) Pada satuan pendidikan, penguatan kapasitas tercermin dari kemampuan satuan pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran efektif untuk mencapai standar nasional pendidikan. Untuk itu, perlu ditingkatkan kemampuan kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya dalam memanfaatkan sumber daya pendidikan agar mendorong kegiatan belajar peserta didik secara optimal.

Dalam rangka peningkatan akuntabilitas satuan pendidikan, sistem monitoring dan evaluasi ditata melalui mekanisme pelaporan kinerja satuan pendidikan. Peningkatan akuntabilitas ditokukan melalui pemberian bantuan bagi kabupaten/kota untuk metakukan monitoring pelaksanaan kinerja block pada grants satuan yang pendidikan. tepat sasaran. Melalui Block suatu grants governance, sistem audit kinerja akan lebih difokuskan pada

70

ditengkapi dengan dana pendamping dari penerima sehingga dapat menimbulkan rasa kepemilikan dari suatu program pembangunan. Dengan strategi-strategi tersebut di atas akuntabilitas publik dapat diwujudkan secara sehat metatui peningkatan fungsi kontrot dari stakeholder pendidikan dalam rangka meningkatkan efisiensi layanan pendidikan. Diharapkan dalam lima tahun yang akan datang (tahun 2009) informasi tentang kinerja satuan pendidikan dapat diakses oleh ketuarga dan masyarakat. SMK dan pendidikan tinggi vokasi didorong untuk kerja menyediakan lulusannya layanan informasi dari untuk tentang penempatan ICT sebagai secara bagian optimal

akuntabilitas satuan pendidikan. Penerapan akan dimanfaatkan membantu merealisasikan manajemen pendidikan yang transparan dan akuntabel. Model penerapannya dapat diwujudkan melalui media on-line yang memuat informasi dan laporan perencanaan dan pelaksanaan kebijakan kepada publik atau stakeholder pendidikan lainnya. Dengan media tersebut, partisipasi masyarakat dalam bentuk usulan, kritik, atau informasi lainnya dapat diakomodasi secara lebih mudah dan terbuka kepada pembuat kebijakan.

B.

Kebijakan Strategis
Kebijakan strategis dimaksudkan sebagai kebijakan-kebijakan

yang

memuat

berbagai

kegiatan

pelaksanaan karena

pembangunan yang

pendidikan

yang

mendapat

prioritas

fungsinya

strategis untuk menjamin tercapainya kegiatan-kegiatan jangka menengah RPJM. Kebijakan strategis ini terdiri dari 37 kegiatan prioritas yang secara proporsional memenuhi tujuan pemerataan dan perluasan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta peningkatan governance dan akuntabilitas pendidikan, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
71

1.

Pemerataan dan Perluasan Akses


Kebijakan strategic untuk pemerataan dan perluasan akses

pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut: 1.1 Pendanaan Biaya Operasional Sekolah (BOS) Wajar

Pendidikan Dasar 9 Tahun; adalah kebijakan yang menempati urutan prioritas tertinggi dalam lima tahun ke depan. Hat ini sudah menjadi komitmen nasional seperti yang tertera pada Undang Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. BOS dimaksudkan untuk menutup biaya minimal operasi pembelajaran yang secara minimal memadai untuk menciptakan landasan yang kokoh bagi upaya peningkatan mutu secara berkelanjutan. Dengan kebijakan subsidi BOS tersebut, pemerintah akan mewujudkan pendidikan dasar gratis, yang diartikan sebagai bebas biaya secara bertahap 1.2 Penyediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Wajar; merupakan kebijakan strategis berikutnya, yang akan dilakukan untuk mendukung perluasan akses pendidikan dasar dalam program Wajar Dikdas. Penyediaan sarana/prasarana SD/MI/sederajat mencakup penambahan sarana untuk pendidikan layanan khusus dan rehabilitasi serta revitalisasi sarana/prasarana yang rusak. Untuk SMP/MTs/sederajat, kegiatan ini diarahkan untuk membangun unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), laboratorium, perpustakaan, dan buku pelajaran, yang diharapkan juga akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan dasar. Pembangunan USB/RKB diutamakan pada jenjang SMP/MTs/sederajat, untuk mencapai ketuntasan wajib belajar 9 tahun pada tahun 2008/2009. 1.3 Rekrutmen Pendidik dan Tenaga Kependidikan; Dikdas 9 tahun. Rekrutmen tersebut dilakukan juga

merupakan kebijakan strategic untuk mendukung program Wajar dengan

72

mempertimbangkan

kecukupan

jumlah

dan

kualifikasi

guru

profesional di berbagai jenjang dan jenis pendidikan, pemerataan penyebaran secara geografis, keahlian, dan kesetaraan gender. Pemerataan secara geografis mempertimbangkan pengaturan mekanisme penempatan dan redistribusi guru, sistem insentif guru di daerah terpencil, pengangkatan guru tidak tetap secara selektif, serta tenaga pendidikan lainnya seperti pamong belajar pada jalur non-formal. 1.4 Perluasan Pendidikan Wajar pada Jalur Non-Formal;

termasuk kebijakan strategic untuk mendukung program Wajar. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan angka partisipasi (APM/APK) pendidikan dasar melalui program Paket A dan B. Program ini sangat strategic untuk menjangkau peserta didik yang memiliki berbagai keterbatasan untuk mengikuti pendidikan formal, terutama anak-anak dari keluarga tidak mampu, daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah konflik, atau anak-anak yang terpaksa bekerja.

1.5

Perluasan

Akses

Pendidikan

Keaksaraan

bagi

Penduduk Usia >15 tahun; merupakan kebijakan dalam rangka memenuhi hak memperoleh pendidikan bagi penduduk buta aksara. Hat ini dimaksudkan mendorong penduduk usia >15 tahun untuk mengikuti kegiatan keaksaraan fungsional agar memiliki kemampuan membaca, menulis, berhitung sesuai dengan standar kompetensi keberaksaraan. Melalui kebijakan strategis ini diharapkan akan menurunkan jumlah penyandang tiga buta, yaitu buta aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar. 1.6 Perluasan Akses SLB dan Sekolah Inklusif; merupakan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan khusus dan pendidikan inklusif sehingga memperluas akses pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan belajar karena kelainan

73

fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi bakat istimewa atau kecerdasan luar biasa. 1.7 Pengembangan pendidikan layanan khusus bagi anak usia wajar dikdas di daerah terpencil/kepulauan; daerah yang berpenduduk jarang dan terpencar; daerah bencana; daerah konflik; serta daerah terisolasi dan anak jalanan; adalah kebijakan untuk penduduk yang kesulitan akses karena faktor sosial ekonomi, geografis, sarana transportasi dan komunikasi. Kelompok penduduk yang kurang beruntung karena terisolasi atau hambatan lainnya, mendapat pelayanan khusus, antara lain melalui SD/MI Kecil/Paket A, SMP/MTs kecil/Paket B, SMP Terbuka dan SD-SMP "Satu Atap", Guru Kunjung dan kelas layanan khsusus di SD (KLK), termasuk layanan dengan memanfaatkan ICT, seperti radio, televisi, komputer dan internet. 1.8 usia Perluasan 0-6 tahun. Akses PAUD; merupakan lebih kebijakan diarahkan untuk untuk

mendorong terselenggaranya pelayanan pendidikan bagi anak-anak Kegiatan pemerintah memberikan dukungan atau pemberdayaan bagi terselenggaranya pelayanan PAUD yang bermutu oleh masyarakat secara merata di seluruh pelosok tanah air. Subsidi blockgrants atau imbal swadaya akan diberikan untuk pengembangan PAUD, PAUD Model, dan berbagai bentuk integrasi PAUD ke dalam berbagai pelayanan sosial lainnya. 1.9 Pendidikan Kecakapan Hidup; merupakan kebijakan strategis bagi peserta didik yang orangtuanya miskin dan orang dewasa miskin dan/atau pengangguran. Pendidikan ini akan memberikan kompetensi yang dapat dijadikan modal untuk usaha mandiri atau bekerja mengingat masih besarnya jumlah mereka, maka kegiatan strategis ini menjadi sangat penting peranannya bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran.

74

1.10 Perluasan Akses SMA/SMK dan SM Terpadu; arah kebijakan ini lebih untuk memperluas SMK untuk mencapai komposisi jumlah SMA dan SMK yang seimbang pada tahun 2009. Perluasan SMA lebih ditekankan pada partisipasi swasta. Kebijakan ini jugs ditempuh setelah melihat kenyataan bahwa bagian terbesar (65%) penganggur terdidik adalah lulusan pendidikan menengah (Sakernas, BPS 2004), yang 1.11 dapat diartikan sebagai kurangnya keterampilan lulusan dan pendidikan menengah untuk masuk lapangan kerja. Perluasan Akses Perguruan Tinggi; Perluasan pemerataan akses pendidikan tinggi menargetkan pencapaian jumlah mahasiswa meningkat dari 14,3% (tahun 2004) menjadi 18,0% pada tahun 2009. Investasi membangun institusi baru untuk pendidikan tinggi akademik (umum) lebih didorong pada peran swasta, sementara peran pemerintah lebih pada pengembangan pendidikan vokasi dan pendidikan profesi pada perguruan tinggi yang sudah ada. Pendidikan tinggi akademik akan diperluas melalui penambahan ruang belajar, laboratorium, ruang praktikum, serta perpustakaan dalam rangka menambah daya tampung. 1.12 Pemanfatan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai sarana Pembelajaran Jarak Jauh; kegiatan prioritas ini ingin mengembangkan sistem pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, pendidikan formal dan pendidikan nonformal untuk mendukung perluasan dan pemerataan pendidikan tinggi, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal. Teknologi informasi dan komunikasi akan dimanfaatkan secara optimal dalam fungsinya sebagai media pembelajaran jarak jauh, dan juga untuk memfasilitasi manajemen pendidikan. 1.13 Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam Perluasan Akses SMA/SMA/SMK/SM terpadu, SLB, dan PT; kegiatan ini termasuk dalam prioritas kebijakan yang didasarkan pada beberapa pertimbangan : pertama, bahwa kemampuan keuangan pemerintah
75

masih terbatas untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang seluas-luasnya sementara itu ada potensi yang cukup besar pada masyarakat; kedua, kecenderungan arah pembangunan pendidikan yang ingin lebih banyak melibatkan partisipasi swasta di segala aspek penyelenggaraan, termasuk investasi, pengelolaan, dan pengawasan; ketiga, sesuai dengan amanat UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah pusat akan lebih banyak memainkan perannya sebagai fasilitator pelayanan publik yang bertugas membuat kebijakan-kebijakan strategic, yang antara lain dilakukan melalui pengendalian dan penjaminan mutu, pengembangan standar-standar, akreditasi, dan sertifikasi dalam

Pendanaan Biaya Operasi Wajar

Penyediaan sarana & prasarana pend. wajar

Rekrutmen Pendidik dantenaga Kependidikan

rangka desentralisasi pendidikan. Peran yang demikian ingin mendorong terselenggaranya pelayanan pendidikan yang mandiri (otonom), baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat (swasta). Dalam pemberian subsidi biaya operasi penyelenggaraan pendidikan, pemerintah tidak lagi membedakan antara kepemilikan negara dan masyarakat/swasta. Program strategi yang ditetapkan dalam rangka pemerataan dan
Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah terpencil/kepulauan yang berpenduduk jarang dan terpencar

memperluas

akses

pendidikan

digambarkan sebagai berikut.

76

2. Mutu, Relevansi, dan Daya Saing


Kebijakan strategic untuk peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan melalui penguatan program-program sebagai berikut: 2.1 Implementasi (SNP) dan dan Penyempurnaan Penguatan Standar Badan Nasional Standar Pendidikan Peran

Nasional Pendidikan (BSNP); merupakan Kebijakan strategis dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dengan adanya SNP dan BSNP,
Perluasan pendidikan Perluasan pendidikan Wajar akses pada akses keaksaraan

penataan

berbagai mutu

aspek

yang

menunjang

perbaikan
Perluasan akses. SMA/ SMK dan SM terpadu Perluasan akses PT Pemanfaatan IC-T sbg media pembelajaran jrk jauh Peningkatan peran serta masy. Dalam perluasan akses SMA/SMK/SM terpadu, SLB, dan PT

jalur non-formal

bagi penduduk usia >15 tahun Perluasan akses SLB clan sekolah inklusif

PERLUASAN & PEMERATAA N

akan

disusun, diuji coba dan diterapkan serta dikembangkan secara bertahap pada setiap

Grafik 3.1.Kebijakan Strategis dalam Pemerataan Perluasan Akses satuan, jenis, jenjang, dan jalur pendidikan nasional. 2.2

dan

Pengawasan dan Penjaminan Mutu secara Terpogram Mengacu pada SNP; untuk mewujudkan sistem

dengan

pengawasan dan penjaminan mutu secara berkelanjutan. Karena itu


77

perlu dikembangkan dan dikelolah mekanisme pengawasan dan pengendalian mutu pendidikan yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Kegiatan utamanya antara lain: pembentukan badan akreditasi nasional sekolah dan madrasah (BAN-SM), badan akreditasi nasional pendidikan nonformal (BAN-PNF), badan akreditasi nasional perguruan tinggi (BAN-PT); menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan dan penjaminan mutu pendidikan; menyusun dan menetapkan mekanisme pengawasan; evaluasi; dan ujian nasional untuk mengukur ketercapaian standar pendidikan yang telah ditetapkan; serta pengembangan kapasitas pengelolaan pendidikan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, serta satuan pendidikan. 2.3 SM, Perluasan dan Peningkatan Mutu Akreditasi oleh BANBAN-PNF dalam dan BAN-PT; akreditasi merupakan kebijakan satuan satuan penilaian dan kelayakan relevansi program dan/atau disetiap

strategis

pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pendidikan, kabupaten/kota, dan provinsi. Hasil penilaian akreditasi digunakan sebagai salah satu faktor untuk menentukan bentuk dan besarnya bantuan yang perlu diberikan kepada satuan pendidikan dan pemerintah daerah. 2.4 Pengembangan Guru sebagai Profesi; merupakan kebijakan yang strategis dalam rangka membenahi persoalan guru secara mendasar. Sebagai tenaga profesional, guru harus memiliki sertifikat profesi dari hasil guru uji akan kompetensi. memperoleh Sesuai imbal dengan jasa, usaha insentif, dan dan prestasinya,

penghargaan, atau sebaliknya, disinsentif atas tidak terpenuhinya standar profesi oleh seorang guru. Pendidikan profesi guru dan sistem sertifikasi profesi pendidik akan dikembangkan baik untuk calon guru (pre service) maupun untuk guru yang sudah bekerja (in service). Standar profesi guru akan dikembangkan sebagai dasar bagi penilaian

78

kinerja

guru

yang

dilakukan

secara

berkelanjutan

atas

dasar

kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan. 2.5 Pengembangan Kompetensi kualitas Pendidik pendidik clan clan Tenaga tenaga

Kependidikan;

peningkatan

kependidikan dilaksanakan dengan pemetaan profit kompetensi pendidik clan tenaga kependidikan dikaitkan dengan SNP, analisis kesenjangan kompetensi, serta penyusunan program clan strategi peningkatan kompetensi menuju pada tercapainya SNP. 2.6 Perbaikan clan Pengembangan Sarana clan Prasarana; merupakan kegiatan strategis yang ditujukan untuk rehabilitasi clan rekonstruksi sarana clan prasarana pendidikan yang rusak terutama pada pendidikan dasar untuk meningkatkan keamanan/keselamatan, kenyamanan, clan kualitas proses pembetajaran. Untuk mencapai mutu pendidikan sesuai dengan SNP dikembangkan sarana clan prasarana pendidikan terutama buku petajaran clan buku penunjang laboratorium, perpustakaan, ruang praktek, sarana olah raga, sarana ibadah, clan sarana pendidikan lainnya. 2.7 Perluasan Pendidikan dalam Kecakapan Hidup; clan merupakan relevansi

kegiatan

strategis

peningkatan

mutu

pendidikan yang mencakup pengembangan pendidikan kecakapan hidup yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik dalam berbagai satuan, jenis, jenjang, clan jalur pendidikan. Tujuannya agar keluaran pendidikan memiliki keterampilan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang terus berkembang secara mandiri. 2.8 Pengembangan Sekolah Berbasis Keunggulan Lokal di Setiap Kabupaten/Kota; pertuasan satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal oleh pemerintah daerah dilaksanakan dalam rangka melaksanakan amanat UU No. 20/2003 yang secara bertahap akan dikembangkan pada setiap provinsi clan kabupaten/kota. Dalam lima tahun ke depan, diharapkan terdapat
79

sekurangkurangnya satu satuan pendidikan di setiap jenis, jenjang, clan jalur pendidikan di setiap kabupaten/kota. 2.9 Pembangunan Sekolah Bertaraf Internasional; untuk

meningkatkan daya saing bangsa, perlu dikembangkan sekolah bertaraf internasional pada tingkat kabupaten/kota melalui kerja sama yang konsisten antara pemerintah dengan pemerintah kabupten/kota yang bersangkutan, untuk mengembangkan SD, SMP SMA clan SMK yang bertaraf internasional sebanyak 112 unit di seluruh Indonesia. 2.10 Mendorong Jumlah Jurusan di PT yang Masuk dalam 100 Besar Asia; melalui investasi yang signifikan pada sumber-sumber daya pendidikan yang utama seperti dosen, laboratorium, penelitian clan pengembangan, publikasi, perpustakaan yang memadai, serta manajemen pelayanan yang efektif dan akuntabel. Sehingga pada tahun 2009 jumlah jurusan yang masuk dalam 100 besar di Asia dapat dicapai. 2.11 Akselerasi Jumlah Program Studi Kejuruan, Vokasi, dan Profesi; investasi dilakukan untuk pengembangan satuan pendidikan pada perguruan tinggi dan sekolah-sekolah menengah kejuruan, dan pendidikan non-formal. Pendidikan kejuruan, advokasi, profesi membutuhkan kualifikasi kompetensi untuk memasuki pasar tenaga kerja, sehingga perlu ada penguatan agar selalu dapat mengacu dan memenuhi tuntutan lapangan dalam kerja, standar kerja standar kualifikasi yang nasional kerja, terus dan profesionalisme, internasional. 2.12 Peningkatan Jumlah dan Mutu Publikasi Ilmiah dan HAKI; kegiatan ini berkaitan dengan peran perguruan tinggi yang memiliki otonomi keilmuan dengan melakukan penelitian dan pengembangan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. dan produktifitas memenuhi

berubah/berkembang

80

Perguruan tinggi didorong untuk mampu memberikan pemikiranpemikiran dan temuan-temuan /inovasi yang bermanfaat, baik untuk kepentingan pengetahuan. 2.13. Teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan; kegiatan ini berupa pengembangan sistem, metode, dan mated pembelajaran dengan menggunakan ICT. Kegiatan ini juga akan mengembangkan sistem jaringan informasi sekolah, infrastruktur dan SDM untuk mendukung implementasinya, baik untuk kepentingan manajemen pendidikan maupun proses pembelajaran. Dengan menggunakan ICT dalam pendidikan siswa pada sekolah reguler, warga belajar pada pendidikan nonformal dan siswa yang memerlukan layanan pendidikan khusus, secara adil dapat memperoleh pendidikan yang bermutu dan relevan. Program strategic peningkatan mutu dan relevansi pendidikan secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut. pembangunan maupun untuk pengembangan

81

Implementasi penyempurnaan oleh BSNP

dan SNP

Penjaminan mutu secara terprogram dengan

Perluasan peningkatan akreditasi

dan mutu

mengacu Pada SNP

Perbaikan sarana dan

Mendorong Jumlah Jurusan di PT yg masuk dalam 100 besar Asia Akselerasi Jumlah Prodi Kejuruan, Vokasi, dan Profesi Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah, dan HAKI Penerapan Telematika

prasarana

Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup Pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap kabupaten/kota Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota

MUTU RELEVANSI PENDIDIKAN

DAN

3.

Governance, Akuntabilitas,
Pengembangan guru profesi sebagai

dan
Pengembangan kompetensi

dalam pendidikan

pendidik

Pencitraan Publik

dan tenga pendidikan

Grafik 3.2. Kebijakan Strategis Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Kebijakan strategic dalam rangka peningkatan governance, akuntabilitas, dan pencitraan publik pendidikan secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut: 3.1 Peningkatan Sistem BPKP Pengendalian dan BPK; internal Internal (SPI) berkoordinasi akuntabel. dengan untuk mewujudkan penting

pengelolaan pendidikan yang bersih efektif, efisien, produktif dan Sistem pengendalian sangat dikembangkan guna mendeteksi penyimpangan secara dini dan menumbuhkan tanggungjawab melalui proses evaluasi diri. Sistem ini tidak hanya dikembangkan dalam pengelolaan pendidikan ditingkat pusat, tetapi hingga tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam pelaksanaanya maka masingmasing satuan kerja baik di pusat

82

dan daerah memanfaatkan dana yang bersumber dari anggaran nondiskresi paling tidak 0,5 persen dari seluruh anggaran masing-masing satuan kerja. 3.2 Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Aparat Inspektorat Jenderal; Pada tahapan ini, menetapkan program pengembangan aparat pengawas, menjadi fokus utama disamping pengembangan sistem pengawasan Inspektorat Jenderal Depdiknas. Standar kompetensi standar auditor untuk telah disusun dan direncanakan auditor dan digunakan atau mengukur kompetensi

mendisain pengembangan kompetensi melalui pendidikan formal nonformal. Pengembangan teknik sistem pengawasan dan dilakukan melalui pengembangan pengewaasan pendekatan

pengawasan. Audit kinerja sebagai suatu teknik pengawasan dan kemitraan sebagai suatu pendekatan audit yang dikembangkan meningkatkan kapasitas pengawasan yang lebih baik. Pada saat ini audit kinerja dilaksanakan pada pengawasan perguruan tinggi. 3.3 Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Aparat

Perencanaan dan Penganggaran; kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas nasional dalam perencanaan, pengelolaan, dan penyelenggaraan pelayanan pendidikan dasar berbasis kinerja, melalui: (a) perbaikan kapasitas untuk merancang dan melaksanakan kebijakan, strategi, dan program-program Renstra Diknas 20052009, (b) pengembangan strategi manajemen kurikulum, bahan ajar dan manajemen pembelajaran untuk identifikasi, advokasi, dan dalam untuk penyebarluasan praktek-praktek terbaik (best practices) pendidikan, secara dan (c) mengembangkan Program untuk sistem kerjasama

pengelolaan pendidikan tingkat kabupaten/kota dan/atau satuan perencanaan, pengelolaan, monitoring kinerja sistem pendidikan menyeluruh. bertujuan pengembangan memberikan kapasitas teknis, pusat/provinsi bantuan

83

monitoring kinerja, dan manajemen strategis kepada kabupaten/kota dan satuan pendidikan. 3.4 Peningkatan Kapasitas dan Kompetensi Managerial

Aparat; untuk meningktkan akuntabilitas pengelolaan pendidikan perlu dilakukan pengembangan kapasitas aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pengembangan kapasitas para pengelola pendidikan dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengembangan kapasitas pengelola pendidikan pada tingkat pemerintahan (pusat, provinsi dan kabupaten/kota) dan pengelola pelayanan pada tingkat satuan pendidikan. Pengembangan kapasitas pengelola dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan pengelola dalam pelayanan pendidikan yang efektif, inovatif, efisien, dan akuntabel. 3.5 Peningkatan Ketaatan pada Peraturan Peru ndang-

undangan; beberapa kegiatan untuk mendorong dan mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi peningkatan kedisiplinan, kinerja, dan akuntabilitas seluruh aparat pengelola pendidikan, melalui: peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara. 3.6 Penataan Regulasi Pengelolaan Pendidikan; kebijakan, Menjawab pedoman, dan

berbagai permasalahan dan tantangan masa depan pendidikan, instrumen yang peraturan kalah perundang-undangan, penting untuk terus standar, dan aturan pelaksanaan teknis . lainnya menjadi prioritas tidak disempurnakan dikembangkan. 3.7 Peningkatan pada Kapasitas era dan Kompetensi pendidikan Pengelola ada gejala

Pendidikan;

desentralisasi

penurunan kualitas dan kompetensi pengelola pendidikan, baik yang berada di pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Untuk ini, berbagai bentuk dan model pendidikan dan pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut akan dikembangkan.

84

3.8 Pelaksanaan Inpres No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan KKN; Sebagai wujud pelaksanaan Inpres No. 5, maka Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun Tim Rencana Aksi Nasional Percepatan Pemberantasan Korupsi dengan Surat Mendiknas No. 027/P/2005. Rencana aksi ini dilakukan dengan melibatkan secara aktif unit utama Departemen untuk secara dini merencanakan aktifitas kegiatan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan rencana aksi yang telah ditetapkan tersebut. 3.9 Intensifikasi Tindakan-Tindakan Preventif Oleh Inspektorat Jenderal; kegiatan ini dilakukan melalui pengawasan dini, yaitu pengawasan oleh Inspektorat Jenderal untuk memeriksa program dan kegiatan yang akan berjalan dari unit kerja di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, yang bertujuan untuk mendeteksi program yang telah disusun dapat mencapai sasaran yang telah ditentukan, dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku. 3.10 Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pemeriksaan oleh ITJEN, BPKP, dengan dan BPK; Kegiatan intensifikasi pengawasan dilakukan konsep pengawasan internal tradisional, meninggatkan

dimana akuntansi dipandang sebagai perhatian utama pengawasan internal menuju konsep pengawasan modern dimana pengawasan merupakan bagian dari manajemen yang menuntut peran yang lebih daripada sebagai kontrol tetapi juga sebagai supervisor. Penggunaan dan pengembangan teknik pengawasan juga menjadi prioritas dalam program pengawasan Inpektorat Jenderal. Pengawasan kinerja menjadi tekanan pengawasan sesuai dengan basis pengelolaan keuangan negara yang berdasarkan kinerja. Kegiatan ekstensifikasi dilakukan melalui peningkatan jumlah aparat pengawasan (auditor pendidikan) dan lama hari pengawasan. Pada tahun anggaran 2005 telah ditakukan pengangkatan auditor pendidikan baru sebanyak 43
85

orang dan peningkatan jumlah hari pengawasan dalam satu periode pengawasan dari 15 hari menjadi 20 hari.

3.11 Penyelesaian Tindak Lanjut Temuan-temuan Pemeriksaan ITJEN, BPKP, dan BPK; pengawasan tidak akan ada maknanya apabila pemeriksaan tidak ditindaktanjuti. Untuk itu diperlukan pemantauan terhadap tindak tanjut yang tetah ditakukan oleh obyek pemeriksaan, untuk lanjut
Peningkatan kapasitas dan kompetensi dalam dan penganggaran Peningkatan SPI berkordinasi dgn BPKP dan Peningkatan kapasitas dan kompetensi pemeriksaan aparat itjen Pelaksanaan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan KKN Intensifikasi tindakan tindakan preventif oleh itjen Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh itjen , BPKP, dan BPK Penyelesaian tindak lanjut temuan -temuan pemeriksaan ITJEN, BPKP, dan BPK.

mengetahui apakah tindak

yang dilaksanakan telah sesuai GOVERNANCE DAN AKUNTABILITAS


v .s Penataan Regulasi Pengelolaan Pendidikan
.6 3. 1 . 1 1 0 11

Peningkatan ketaatan pada aparat peraturan perundang undangan Peningkatan kapasitas dan kompetensi Pengelola Pendidikan

Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat

3 .

dengan rekomendasi pemeriksa. Selanjutnya ditentukan pencapaian jumlah dan kualitas

atas tindak lanjut/penyelesaian temuan tersebut. Grafik 3.3 Kebiiakan Strateeis dalam Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik

86

BAB IV PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN JANGKA MENENGAH


Bab ini menguraikan program pembangunan pendidikan yang mengacu pada 15 program pembangunan pendidikan jangka menengah 2005-2009 dalam dokumen RPJM. Dari 15 program tersebut, terdapat 8 program utama, yaitu: Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, Program Pendidikan Menengah, Program Pendidikan Tinggi, Program Pendidikan Non-Formal (PNF), Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Program Manajemen Pelayanan Pendidikan, dan Program Penelitian dan Pengembangan Pendidikan. Ketujuh program lainnya dikelompokan-- ke dalam Program Lainnya, yaitu: Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara, Program Penelitian dan Pengembangan Iptek, Program Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan, Program Penguatan Kelembagaan PUG dan Anak, Program Pengelolaan Sumber Daya Prasarana Manusia Aparatur, Program dan Program Peningkatan Sarana Pimpinan Aparatur, Penyelenggaraan

Kenegaraan dan Kepemerintahan.

A.

Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)


87

Program ini bertujuan agar semua anak usia dini (usia 0-6 tahun), baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, sesuai tahap-tahap perkembangan atau tingkat usia mereka. program PAUD ini juga merupakan untuk pendidikan persiapan akses dan untuk mutu mengikuti jenjang pendidikan sekolah dasar. Secara lebih spesifik, bertujuan meningkatkan pelayanan pendidikan melalui jalur formal seperti Taman KanakKanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat, serta jalur pendidikan non-formal berbentuk Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak (TPA) /bentuk lain yang sederajat, dan jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

1.

Pemerataan dan Perluasan Akses


Pemerataan dan perluasan akses akan diupayakan bersama-

sama

oleh

pemerintah

dan

swasta,

dimana

pemerintah

lebih

berkonsentrasi pada pendidikan formal TK/RA dan mendorong swasta melakukan perluasan PAUD non-formal (KB, TPA). Perluasan oleh pemerintah antara lain juga dilakukan dengan mendirikan modelmodel atau rintisan penyelenggaraan PAUD yang disesuaikan dengan kondisi daerah/wilayah. Pada tahun 2009, pemerintah mentargetkan APK pendidikan TK mencapai 28.22% atau sekitar 2,3 juta orang, dan APK PAUD Nonformal (usia 2-4 tahun) 35% atau sekitar 4,2 juta orang. Perluasan akses PAUD akan dilaksanakan melalui kegiatankegiatan berikut. Penyediaon sarana dengan prasarana pembangunan PAUD USB TK, oleh dan

pemerintahdilaksanakan

mengembangkan model atau rintisan penyelenggaraan PAUD yang sesuai dengan kondisi lokal. Target yang akan dicapai pada tahun

88

2009 sekurang- kurangnya 1 (satu) TK, termasuk TK Pembina dan lembaga PAUD non-formal sekurang- kurangnya di setiap kecamatan. Penyediaan biaya operasional pendidikan diberikan dalam

bentuk subsidi kepada penyelenggara PAUD baik negeri maupun swasta, terutama pada lembaga yang peserta-didiknya sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Target yang ingin dicapai pada tahun 2009 adalah lebih dari 50% lembaga PAUD yang siswanya berasal dari keluarga miskin dapat dibiayai oleh pemerintah. Mendorong menumbuhkan peran minat serta masyarakat dilakukan side) untuk dalam

masyarakat

(demand

menyelenggarakan lembaga PAUD, termasuk bekerjasama dengan berbagai organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi lain serta PT melalui subsidi imbal swadaya, kemudahan perizinan, dan bantuan fasilitas. Pengembangan "TK-SD Satu Atop"; bagi SD yang memiliki fasilitas mencukupi didorong untuk membuka lembaga PAUD yang terintegrasi dengan SD (TK-SD Satu Atap) melalui subsidi pembiayaan secara kompetitif.

2.

Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing


Peningkakan mutu, relevansi, dan daya saing PAUD akan

dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut. Pengembangan menu generik pembelajaran don penilaian; merupakan kegiatan yang menyangkut pengembangan kurikulum, khususnya penilaian. mated bahan ajar, model-model pembelajaran, dan Pengembangan disesuaikan dengan tahap-tahap

perkembangan anak didik, perkembangan ilmu pengetahuan, budaya dan seni, peningkatan kualitas dan kreativitas peserta didik dan pendidik PAUD. Termasuk dalam kegiatan ini ialah pengembangan proses pembelajaran melalui pengadaan alat belajar, alat bermain, dan

89

alat

pendidikan,

serta

penyelenggaraan

akreditasi

TK.

Muatan

pendidikan pada anak-anak usia dini ditekankan pada aspek-aspek emosi, mental, dan spiritual, yang diarahkan pada penghayatan atas nilai-nilai dan karakter positif, serta kesiapan masuk sekolah. Pengembangan program PAUD model; sebagai rujukan bagi pengembangan PAUD yang diselenggarakan oleh swasta yang kualitasnya masih di bawah standar. Target pada tahun 2009 sekurangkurangnya satu program PAUD Model setiap kabupaten/kota. Peningkatan kapasitas institusi dan sumberdaya penyelenggara dan satuan PAUD; kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan manajemen secara efektif dan efisien, sehingga mampu memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal. Pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan PAUD;

pemerintah mentargetkan sekitar 59 ribu orang telah terlatih sebagai tenaga pengelola dan pendidik PAUD, dan sebanyak lebih dari enam ribu Guru, Kepala TK, dan Pembina akan mendapat pendidikan dan pelatihan sampai dengan tahun 2009. Di samping itu, diberikan subsidi bagi tenaga kependidikan PAUD non-formal satu orang di setiap lembaga perintisan. 3. Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan

Publik Peningkatan governance, akuntabilitas dan pencitraan publik di bidang PAUD diarahkan pada bagaimana partisipasi masyarakat dalam melakukan kontrol dan evaluasi kinerja PAUD dapat mengambil peran makin nyata dan efektif. Untuk itu akan ditakukan peningkatan advokasi, sosiatisasi /pemasyarakatan dan pembudayaan pentingnya PAUD kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah daerah. Penyediaan data dan sistem informasi PAUD, serta peningkatan kerjasama stakeholder pendidikan, merupakan factor pendukung

90

untuk membangun kesamaan persepsi, pencitraan yang positif, dan kebersamaan akuntabel tanggung jawab dalam pengelolaan PAUD yang

B.

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun


Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemerataan dan

perluasan pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau, baik melalui jalur formal maupun non-formal yang mencakup Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) serta Pendidikan NonFormal kesetaraan Sekolah Dasar atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs)/SMP Terbuka, dan Pendidikan Non-Formal kesetaraan SMP, atau bentuk lain yang sederajat, sehingga seluruh anak usia 7-15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, dan anak-anak yang memerlukan perhatian khusus dalam memperoleh pendidikan, dapat memperoleh pendidikan setidak-tidaknya sampai sekolah menengah pertama atau sederajat.

1.

Pemerataan dan Perluasan Akses


Program pemerataan dan perluasan akses akan dilakukan

dengan mengupayakan menarik semua anak usia sekolah yang sama sekali belum pernah sekolah, menarik kembali siswa putus sekolah, dan lulusan yang tidak melanjutkan pendidikan. Berbagai kegiatan berikut akan dilaksanakan dalam rangka melaksanakan program pemerataan dan perluasan. Pemberian bantuan biaya operasional; bantuan biaya

operasional pendidikan diberikan dalam rangka membantu sekolah mencapai proses pembelajaran secara optimal. Bantuan pembiayaan tidak membedakan sekolah negeri maupun swasta, madrasah

91

maupun sekolah umum. Target pada tahun 2009 setiap siswa pada satuan pendidikan dasar memperoleh bantuan biaya operasional. Rehabilitasi ruang kelas yang rusak; merupakan upaya

melaksanakan penyediaan sarana penunjang pendidikan yang layak untuk pendidikan dasar (SD dan SMP). Target rehabilitasi pada tahun 2007 mencapai sekitar 200 ribu ruang kelas yang rusak berat dan 300 ribu ruang kelas yang rusak ringan pada SD; sekitar 9500 ruang kelas yang rusak berat dan lebih dari 23 ribu ruang kelas rusak ringan pada SMP; lebih dari 1.500 ruang kelas rusak berat dan hampir 4500 ruang kelas rusak ringan pada SMA; hampir 3000 kelas rusak berat dan sekitar 4800 ruang kelas rusak ringan pada SMK. Unit Sekolah Baru dan RKB; penyediaan prasarana pendidikan termasuk pembangunan unit sekolah baru (USB) dan ruang Was baru (RKB) juga diupayakan dalam rangka pemerataan dan perluasan di tingkat SMP untuk menampung peningkatan jumlah lulusan SD. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan di tingkat SD, juga dilakukan dengan memanfaatkan layanan pendidikan yang sudah ada. Perintisan pendidikan dasar 9 tahun satu atap; merupakan langkah untuk mendirikan SD-SMP Satu Atap atau SMP Khusus, yaitu penambahan tingkat kelas (extended classes) untuk penyelenggaraan pendidikan menengah pertama pada setiap SD negeri yang ada di daerah terpencil, serta berpenduduk jarang atau terpencar. Untuk itu akan dilakukan pemetaan sekolah agar program pendidikan dasar satu atap dan SMP Terbuka dapat lebih optimal. Pada pendidikan luar biasa (PLB), upaya pemerataan dan perluasan akses dilakukan dengan pengembangan sekolah terpadu (SMP dan SMPLB) melalui pendidikan inklusif. Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus di Sekolah Dasar (KLK); merupakan layanan pendidikan bagi anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) yang putus sekolah atau sama sekali belum pernah
92

sekolah dasar sampai tamat. Layanan pendidikan dilaksanakan selama kurang satu tahun di luar kelas reguler pada sekolah dasar yang ada sebagai transisi untuk memasuki kelas reguler. Target pada tahun 2009 ialah setiap penduduk usia sekolah dasar memperoleh layanan pendidikan dasar. Upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan pada tingkat SD dilaksanakan untuk mencapai target meningkatnya angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun dari 99,12% (2005) menjadi 99,57% pada tahun 2009. APM SD/MI diusahakan akan meningkat dari 93,53% (2005) menjadi 93,87% pada tahun 2009. Pada tingkat SMP, target yang akan dicapai yaitu meningkatnya APS penduduk usia 13-15 tahun dari 83,32% (2005) menjadi 96,64% pada tahun 2009. APK SMP/MTs/SMPLB dan Paket B diusahakan meningkat dari 82,89% (2005) menjadi 98,09% atau 12,20 juta orang pada tahun 2009. APM SMP-MTs tahun 2005 sebesar 63,67% diusahakan meningkat menjadi 75,46% pada tahun 2009 sehingga dalam kurun waktu lima tahun akan terjadi kenaikan sebesar 14,79%. Sementara itu, pada PLB target sasaran yang akan dicapai yaitu meningkatnya APK-PLB dari 3,49% tahun 2005 menjadi 4,50% pada tahun 2009. 2. Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing

Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dasar akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut. Sebagai bagian dari kegiatan yang mendasar dan sistematis adalah pengembangan kurikulum, metode pembelajaran, don sistem penilaian. Model kurikulum yang dikembangkan perlu memperhatikan potensi peserta didik, karakteristik daerah, serta akar sosialkultural komunitas setempat, perkembangan iptek, dinamika perkembangan global, lapangan kerja, lingkungan budaya dan seni, dan lain lain. Pada jenjang pendidikan dasar, muatan kecakapan dasar (basic learning contents) perlu ditekankan, mencakup kecakapan berkomunikasi (membaca, menulis, mendengarkan, menyampaikan pendapat), kecakapan intrapersonal
93

(pemahaman diri, penguasaan diri, evaluasi diri, tanggung jawab, dsb), kecakapan interpersonal (bersosialisasi, bekerjasama, mempengaruhi /mengarahkan orang lain, bernegosiasi, dan sebagainya), kemampuan mengambil keputusan (memahami masalah, merencanakan, analisis, menyelesaikan masalah, dan sebagainya). Kapasitas profesi pendidik juga akan dikembangkan agar mereka mampu membawakan proses pembelajaran efektif, sesuai dengan standar kompetensi pendidik yang telah ditetapkan. Proses pembelajaran efektif diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, memotivasi, menyenangkan, dan mengasyikan untuk mendorong peserta didik berpartisipasi aktif, berinisiatif, kreatif, dan mandiri, sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik dan kematangan psikologis. Perbaikan sarana dan bahan belajar seperti perpustakaan, media pembelajaran, laboratorium Bahasa/IPA/Matematika, alat peraga pendidikan, buku pelajaran, buku bacaan lain yang relevan. Dengan mempertimbangkan pesatnya perkembangan pemanfaatan ICT dalam berbagai sektor kehidupan, pemerintah akan terus mengembangkan pemanfaatan ICT untuk sistem informasi persekolahan dan pembelajaran. Hingga tahun 2009, langkahlangkah yang akan dilakukan adalah: (a) merancang sistern jaringan yang mencakup jaringan internet, yang menghubungkan sekolahsekolah dengan pusat data dan aplikasi, serta jaringan intranet sebagai sarana dan media komunikasi, dan infromasi intern sekolah; (b) merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan mengolah data dan informasi persekolahan, manajemen persekolahan, konten-konten pembelajaran; (c) merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis web, multimedia interaktif, yang terdiri dari aplikasi tutorial dan learning tool; (d) mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai mated pengayaan dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan (e) implementasi sistem secara bertahap untuk mencapai secara signifikan jumlah sekolah SMP yang akan memudahkan pemfaatan untuk manajemen pendidikan dan sekaligus juga pemanfaatan ICT untuk mendukung proses pembelajaran di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2009.

94

Untuk mempersiapkan lulusan SMP/MTs yang tidak dapat melanjutkan, pendidikan kecakapan hidup (keterampilan praktis) akan diberikan agar mereka dapat bekerja dan melakukan kegiatan produktif di masyarakat. Karena keterbatasan dana pemerintah, program wajib belajar belum dapat diteruskan hingga pendidikan menengah sehingga ancaman lulusan SMP/MTs yang tidak dapat melanjutkan harus diantisipasi. Pengembangan sekolah berkeunggulan pada pendidikan dasar menargetkan paling tidak satu SD dan satu SMP pada masing-masing kabupaten/kola akan menjadi sekolah berkeunggulan lokal pada tahun 2009, dan target yang sama untuk sekolah bertaraf internasional. Sementara itu, dalam kaitan dengan pengembangan kecakapan berbahasa pada jenjang SMP, dilakukan upaya pengembangan program bilingual dengan sasaran sebanyak 430 buah sekolah hingga tahun 2009.

3.

Peningkatan

Governance,

Akuntabilitas,

dan

Pencitraan Publik
Pengembangan kapasitas Dewan Pendidikan (DP) dan Komite Sekolah (KS), serta Komite PLS merupakan kegiatan yang akan terus dilakukan dalam rangka pemberdayaan partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggungjawab mengelola pendidikan dasar. Berfungsinya kedua kelembagaan tersebut secara optimal akan memperkuat pelaksanaan prinsip good governance dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Pengembangan kapasitas juga akan terus dilakukan terhadap para pengurus sekolah atau satuan pendidikan non-formal lainnya untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan leadership menuju otonomi pengelolaan. Kegiatan ini, bersama dengan penguatan DP/KS/Komite Manajemen PLS, Berbasis merupakan Sekolah bagian (MBS) dari upaya penerapan Berbasis dan Manajemen

Masyarakat (MBM) secara maksimal.

95

Pengembangan

EMIS

(Education

Management

Information

Systems) sebagai sistem pendukung manajemen akan dilakukan untuk menunjang keberhasilan upaya mengukur sejumlah indikator penting perluasan, mutu, dan efisiensi sesuai dengan standar nasional pendidikan dasar. Termasuk dalam kemampuan EMIS ialah menggunakan indikator-indikator tersebut untuk memetakan SD/SMP atau satuan pendidikan lainnya yang masuk dalam kategori sekolah di atas SNP, sesuai dengan SNP, dan di bawah SNP pada masingmasing daerah dan wilayah. Selain itu, EMIS bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas data dan informasi pendidikan. Kondisi in sangat kondusif untuk pelaksanaan fungsi komunikasi publik dalam rangka meengembangkan pencitraan yang positip.

C.

Program Pendidikan Menengah


Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan

pemerataan pelayanan pendidikan menengah yang bermutu dan terjangkau bagi semua penduduk, laki-laki dan perempuan, melalui pendidikan Kejuruan lulusan formal: (MAK), Sekolah Sekolah Menengah lain Atas (SMA), Sekolah Program positif serta Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Aliyah atau bentuk yang sederajat. pendidikan menengah didorong untuk mengantisipasi meningkatkaa menengah Belajar pertama Pendidikan sebagai Dasar dampak 9 Tahun, pelaksanaan Wajib

penguatan pendidikan vokasional baik melalui Sekolah/madrasah umum maupun Sekolah/madrasah kejuruan dan pendidikan nonformal guna mempersiapkan lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi untuk masuk ke dunia kerja.

96

1.

Pemerataan dan Perluasan Akses


Berbagai kegiatan berikut akan dilakukan dalam rangka

melaksanakan program pemerataan dan perluasan akses pendidikan menengah. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan melalui pembangunan unit sekolah baru (USB), ruang kelas baru (RKB), laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran dan sarana belajar. Perluasan. USB SMA akan lebih diarahkan untuk lebih banyak dilakukan oleh penyelenggara pendidikan swasta dengan tetap memperhatikan standar nasional pendidikan. Sejalan dengan itu, penyediaan pendidik dan tenaga kependidikon yang lebih merata, bermutu, serta penyediaan biaya operasional pendidikan dan beasiswa kepada anak yang kurang beruntung tetapi berprestasi, juga akan dilakukan untuk mendukung perluasan.

Untuk daerah-daerah yang mampu mencapai APM SMP di atas 95% dan bermutu, pemerintah mendorong daerah-daerah tersebut untuk proaktif metakukan inisiasi program dan fasilitasi pendidikan universal 12 tahun, dalam rangka memperluas partisipasi pendidikan menengah. Target pada tahun 2009 sekurang-kurangnya satu kabupaten/kota setiap provinsi metakukan perintisan pendidikan universal 12 tahun. Pengembangan model layanan alternatif pendidikan akan dilakukan khusus untuk daerah-daerah terpencil, daerah pedalaman, dan daerah tertinggal, sebagai fasilitas untuk menampung lulusan SMP di daerah tersebut. Perluasan penyelenggaraan pendidikan kejuruan yang ditaksanakan dengan menggunakan berbagai bentuk

97

SMK, yaitu SMK Besar di kawasan Industri, SMK kelas jauh di Pesantren/institusi lain, SMK di daerah perbatasan, SMK kecil di daerah terpencil dan pedesaan, SMA Terbuka, Sekolah Menengah Terpadu. Target Angka Partisipasi Sekolah (APS) diusahakan akan mencapai 69,91% atau sebesar 7,5 juta orang pada tahun 2009, naik dari 56,04% pada tahun 2005. APK SMA-MA sebesar 54,32% (tahun 2005) akan ditingkatkan menjadi 69,34% pada tahun 2009, termasuk peningkatan APK SMLB. Program pemerataan dan perluasan akses pendidikan juga diusahakan akan dapat menurunkan angka putus sekolah, menurunnya rata-rata penyelesaian pendidikan dengan menurunkan angka mengulang kelas, menurunkan angka putus sekolah, serta meningkatnya proporsi siswa SMA/SMK/MA/MAK dan yang sederajat yang lulus ujian nasional. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja menengah di sektor manufaktur, industri pengolahan, konstruksi, pertambangan, perdagangan, jasa kemasyarakatan, pariwisata, ICT, pertanian, serta teknologi dan seni (konservatori budaya), pemerintah akan meningkatkan jumtah peserta didik SMK, yang diproyeksikan akan meningkat secara signifikan sampai dengan tahun 2009.

2.

Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing


Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan

menengah akan ditaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut. Mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi, bagan ajar, model pembelajaran, dan sistem evaluasil penilaian menuju standar nasional dan Internasional. Semua bagian dari sistem dan muatan pembelajaran dikembangkan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna dan efektif. Pada jenjang pendidikan menengah,

98

penekanan muatan kecakapan dasar (basic learning contents) mendapat porsi yang menurun sementara muatan akademik dan life skills (keterampilan) meningkat. Untuk mendorong siswa-siswa berprestasi, pemerintah juga akan melaksanakan program pembinaan dan fasilitasi untuk mempersiapkan anakanak yang berprestasi istimewa mengikuti kompetisi-kompetisi nasional /internasional seperti olimpiade sains dan matematika untuk siswa SMA, sedangkan bagi siswa SMK berprestasi mengikuti Promosi Keterampilan Siswa (PKS) tingkat nasional, Asian Skill Competition (ASC) tingkat regional dan World Skill Competition (WSC) tingkat internasional. Terkait dengan peningkatan mutu juga perlunya perbaikan kondisi ruang belajar yang rusak ringan (SMA sekitar 4400; SMK sekitar 4800) dan rusak berat (SMA sekitar 1600; SMK sekitar 3000) [PDIP-Balitbang, 2003]. Pemerintah juga akan melakukan peningkotan jumlah SMK secara proporsional termasuk upaya penataan bidang keahlion don program studi di SMK serta fasilitas magang agar relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Penataan ini dilakukan agar lutusan sekolah menengah kejuruan dapat makin memadai untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Pengembangan mutu dan keunggulan Sekolah Menengah juga diarahkan untuk mendorong sekolah potensial menuju katagori di atas standar nasional pendidikan (SNP). Sekolah-sekolah seperti ini akan terus dikembangkan menjadi sekolah berkeunggutan nasional dan internasional. Pengembangan sekolah berkeunggutan pada pendidikan menengah mentargetkan paling tidak satu SMA/SMK pada masing-masing kabupaten/kota akan menjadi sekolah berkeunggutan lokal dan internasional pada tahun 2009. Pemerintah pusat akan bekerja sama dengan daerah untuk pengembangan keunggulan

99

lokal, dan dengan luar negeri dalam pengembangan kurikulum dan standar kompetensi untuk mengembangkan kompetensi lutusan agar dapat bersaing secara global. Salah satu orientasi pencapaian standar internasional adalah bagaimana sekolah dapat didorong untuk memperoleh sertifikat ISO. Untuk mengantisipasi banyaknya lulusan SMA yang tidak dapat meneruskan ke pendidikan tinggi, pendidikan life skills (kecakapan hidup) akan diberikan pada siswa SMA. Untuk peserta yang berasal dari keluarga miskin tetapi berpotensi, Pemerintah akan memberikan subsidi beasiswa. Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah kejuruan dilakukan dengan mengembangkan program studi/jurusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, antara lain: teknologi pengolahan dan pengemasan makanan, teknologi otomotif modern, telematika, hotel dan restoran, bidang kelautan, seni etnik dan kerajinan, . industri manufaktur, serta teknologi pertanian nilai tinggi. SMK di setiap daerah juga didorong untuk mengembangkan program studi yang berorientasi pada keunggulan lokal, baik pada aspek keterampilan maupun kewirausahaan. Pendidikan kewirausahaan akan diberikan untuk membekali lulusan SMK mampu mengembangkan sendiri lapangan kerja bagi dirinya. Pengembangan kecakapan berwirausaha akan dilakukan seluas-luasnya untuk mendorong tumbuhnya wiraswastawan sebanyak-banyaknya, yang selain menjadi wahana kemandirian berusaha bagi pelaku-pelakunya, juga memberikan dampak makro yang sangat positip bagi pengembangan ekonomi nasional. Pemanfaatan ICT untuk sistem persekolahan dan pembelajaran akan dikembangkan dengan model yang sama seperti yang dilakukan pada jenjang SMP, termasuk optimalisasi pemanfaatan N edukasi sebagai mated penunjang, dengan target terpenuhinya secara signifikan pemanfaatan ICT pada SMA dan SMK di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2009. Pada tingkat pendidikan menengah, kecakapan memanfaatkan ICT merupakan nitai tambah yang penting dalam membekali calon-calon tenaga kerja terampil tingkat menengah.

100

3.

Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan

Seperti sistem dan

pada

jenjang yang

pendidikan sama, EMIS

dasar,

peningkatan partisipasi

governance, akuntabilitas, dan daya saing dilakukan dalam kerangka mekanisme dan dalam isu-isu masyarakat, Manajemen Berbasis Sekolah (DP/KS), pengembangan kapasitas, Information pengembangan Pertuasan (Education Management akan Systems). partisipasi masyarakat

didorong lebih luas dengan melibatkan dunia usaha dan industri dalam pengelolaan pendidikan kejuruan. Mengingat pendidikan menengah belum menjadi program wajib belajar, maka partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan akan diupayakan, baik dalam rangka perluasan maupun peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu, kemampuan dan kemauan untuk melakukan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, sangat strategis untuk memberikan citra kelembagaan yang positip, yang selanjutnya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada pengelola. pendidikan. Masyarakat juga diharapkan untuk proaktif dalam perencanaan, pengawasan, dan evaluasi anggaran penyelenggaraan

D.

Program Pendidikan Tinggi


Program pembangunan pendidikan tinggi (PT) bertujuan :

pertama, meningkatkan pemerataan dan perluasan akses bagi semua warga negara melalui program-program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor; kedua, meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi dalam rangka menjawab kebutuhan pasar kerja, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), untuk memberikan sumbangan secara optimal bagi

101

peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa; ketiga, meningkatkan kinerja perguruan dan tinggi dengan jalan dalam meningkatkan produktivitas, efisiensi, akuntabilitas

pengelolaan layanan pendidikan tinggi secara otonom melalui Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT).

1.

Pemerataan dan Perluasan Akses


Program pemerataan dan perluasan akses pendidikan tinggi

akan dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan berikut. Pemberian bantuan pembiayaan untuk kelompok

masyarakat yang miskin tetapi potensial agar dapat belajar di perguruan tinggi, melalui skema (a) program beasiswa (scholarship) dengan target penerima yang bervariasi dari aspek-aspek kernampuan ekonomi, gender, bakat khusus, dsb, (b) program pinjaman dana lunak melalui bunga rendah dan/atau tenggang pembayaran, (c) program voucher yang membebaskan beberapa jenis biaya pendidikan, yang variasinya terus dikembangkan sesuai kebutuhan. Membangun kemitraan antara LPTK dengan sekolah, untuk memperluas mencukupi menunjang kapasitas kebutuhan keberhasilan dalam jumlah menghasilkan dan mutu, Wajar guru yang dan dapat untuk khususnya

program

Dikdas

program

perluasan jalur/jenjang/jenis pendidikan lainnya. Pengembangan pembelajaran jarak jauh (distance learning) di perguruan tinggi, dengan proyek percontohan pada empat perguruan tinggi (PT) hingga tahun 2009, yaitu UI, UNRI, UNDANA, dan UNHAS. Diseminasi proyek ini akan dikembangkan pada UNLAM, UNM,UNP,UNHALU,UNCEN dan PTPT lainnya. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan tinggi

mentargetkan pencapaian jumlah mahasiswa sebesar 4,5 juta orang


102

pada tahun 2009. Sementara itu, APK diharapkan dapat ditingkatkan dari 14,26% pada tahun 2004, menjadi 18,00% pada tahun 2009.

2.

Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing


Program peningkatan akan mutu, relevansi, melalui dan daya saing

pendidikan berikut.

tinggi

dilaksanakan

kegiatan-kegiatan

Peningkatan Penerapan otonomi

pelayanan keilmuan

pendidikan, dimaksudkan

penelitian, untuk

dan

pengabdian pada masyarakat sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi. mendorong perguruan tinggi melaksanakan tugasnya sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kualitas/kuantitas dan diversifikasi bidang penelitian di lingkungan perguruan tinggi. Pengembangan kurikulum dan pembelajaran efektif dalam kelompok mata kuliah: iman dan takwa serta akhlak mulia, iptek, estetika, serta etika dan kepribadian. Kelompok mata kuliah iman dan takwa dimaksudkan untuk meningkatkan potensi keimanan sehingga dapat memiliki ketakwaan personal dan sosial. Kelompok mata kuliah iptek dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi pemanfaatan kuliah/kegiatan iptek dan pengembangannya; dimaksudkan untuk kelompok mata estetika meningkatkan

sensitifitas estetis dan humanisme; dan kelompok mata kuliah etika dan kepribadian dimaksudkan untuk mencerahkan kesadaran etika dan kepribadian. Peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, etika dan kepribadian, serta wawasan kebangsaan, diintegrasikan dalam proses pembelajaran semua mata kuliah. Pengembangan mengenalkan menjawab eksistensi model kebutuhan program community pendidikan pasar. college akan dilakukan yang untuk

kejuruan/vokasi college berbasis

fleksibel lokal,

Community

memfasilitasi

kejuruan/vokasi

keunggulan

103

dengan penyediaan tenaga terampil untuk industri lokal, nasional, multi-nasional, serta pengembangan kewirausahaan. Target-target yang ingin dicapai dalam pelaksanaan program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan tinggi adalah sebagai berikut.

a.

Peningkatan jumlah program studi di perguruan tinggi yang akreditasi A atau B, dari jumlah 1000 program studi pada tahun 2005 menjadi sebanyak 3000 program studi pada tahun 2009. Akan dikembangkan pula program studi /jurusan bertaraf internasional, dengan menargetkan tercapainya 32 program studi /jurusan sampai dengan tahun 2009, dengan memperhatikan kepentingan pengembangan ilmu, pelestarian budaya, serta persaingan keahlian di forum antarbangsa. Selain itu, untuk keperluan peningkatan efisiensi, akan diupayakan agar tidak ada lagi perguruan tinggi yang jumlah mahasiswanya kurang dari 100 orang.

b. Peningkatan efektivitas waktu studi sehingga angka kelulusan tepat waktu mencapai 80% untuk PTN dan 50% untuk PTS.
c.

Mengupayakan untuk tercapainya rasio output terhadap jumlah mahasiswa (enrollment) secara keseluruhan menjadi 20% untuk program sarjana dan 30% untuk program diploma.

d. Lama waktu tunggu lulusan dalam mencari dan mendapatkan pekerjaan untuk bidang-bidang keahlian tertentu diharapkan dapat dipersingkat, yaitu yang tidak lebih dari 6 bulan dapat mencapai 40%. e. Peningkatan kualitas daya saing di tingkat Asia dengan memunculkan minimal 4 perguruan tinggi yang masuk dalam 100 besar perguruan tinggi di Asia.

104

f. Peningkatan

status

perguruan

tinggi

menjadi

50%

yang

berbadan hukum pendidikan tinggi negeri pada tahun 2009, dan 40% berbadan hukum pendidikan tinggi swasta. g. Penataan proporsi bidang ilmu IPA : IPS/Humaniora yang pada tahun 2004 berbanding sebagai (30:70) diupayakan untuk 'pada tahun 2009 menjadi (50:50) di lingkungan PTN dan (35:65) di lingkungan PTS. h. Peningkatan kualifikasi dosen berpendidikan S2/S3 yang saat ini baru mencapai 54,55% untuk PTN dan 34,50% untuk PTS pada tahun 2004, menjadi 85% untuk PTN dan 55% untuk PTS pada tahun 2009. Disamping itu jumlah guru besar yang baru mencapai 3% pada tahun 2004 diupayakan dapat mencapai 10% dari jumlah dosen yang ada pada PTN pada tahun 2009.
i.

Pelatihan tenaga teknis di perguruan tinggi pada jangka waktu 5 tahun ke depan diupayakan mencapai 100 jenis pelatihan fungsional yang menjangkau 7.500 personil pendidikan Tnggi dengan rincian 70% dari PTN dan 30% dari PTS. Pelaksanaan penelitian untuk 5 tahun ke depan diusahakan dapat mencapai 1% dari seluruh anggaran Ditjen Dikti, dan menghasilkan berbagai hak atas kekayaan intelektual, termasuk permohonan patent mencapai 50 buah dan hak cipta mencapai 200 judul, baik di tingkat nasional maupun internasional, serta mendorong penelitian untuk penyelesaian masalah-masalah sosial. ICT literacy (kemampuan akses, memanfaatkan dan

j.

k.

menggunakan radio, televisi, komputer dan internet) 80% untuk kalangan mahasiswa dan dosen.
l.

Pembangunan dan penambahan infrastruktur pendidikan Tnggi sehingga tercapai pemenuhan kriteria rasio ruang kuliah 2m2 per mahasiswa, rasio ruang laboratium 9 m2 per mahasiswa, dan ruang dosen 9 m2 per dosen.

105

m. Peningkatan kapasitas dan efektivitas layanan perpustakaan kepada citivas akademika kampus melalui peningkatan penyediaan bahan bacaan wajib mata kuliah mencapai 80 % dari mata kuliah yang ditawarkan perguruan Tnggi dan layanan kepustakaan minggu. 3. Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik Program peningkatan governance, akuntabilitas, dan sekurangkurangnya mencapai 40 jam per

pencitraan publik akan dilaksanakan melalui penyusunan perangkat hukum operasional dalam pengembangan perguruan Tnggi untuk mencapai status Badan Hukum Pendidikan Tinggi (BHPT), sebagai perguruan Tnggi otonom dan akuntabel, dan bersifat nirlaba. Ditargetkan sebanyak 50% PTN dan 40% PTS akan berstatus BHP pada tahun 2009. Dalam rangka peningkatan akuntabilitas publik, penyelenggaraan pendidikan Tnggi perlu mengembangkan vitalisasi internal audit. Salah satu manfaat yang akan diperoleh dengan model BHP adalah terbangunnya kelembagaan yang lebih kondusif untuk menciptakan transparan pencitraan pengelolaan. keterbukaan dan yang positip pengelolaan, Kondisi mata ini di sehingga akan menjadi dalam lebih rangka akuntabel. mengembangkan

masyarakat,

mendorong peningkatan partisipasi melalui pembiayaan, kontrol, dan

Peningkatan kapasitas satuan perguruan tinggi dilakukan melalui berbagai program hibah kompetisi yang diselenggarakan oleh pemerintah, Hibah seperti Program Hibah Kompetisi, Program kapasitas Kemitraan, Penelitian, P3AI. Peningkatan

pengelolaan juga akan ditunjang dengan penerapan ICT, seperti pengembangan sistem informasi pendidikan tinggi.

106

E.

Program Pendidikan Non-Formal

Program ini diarahkan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang belum sekolah, tidak pernah sekolah atau buta aksara, putus sekolah dan warga masyarakat lainnya yang kebutuhan pendidikan pendidikannya formal. tidak dapat terpenuhi melalui jalur Dengan demikian, pendidikan non-formal

bertujuan untuk memberikan layanan pendidikan kepada semua warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan vokasional, serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional, sehingga pendidikan nonformal dapat pula berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Di masa mendatang program pendidikan non-formal dapat menjadi pendidikan alternatif yang dapat memenuhi standar nasional maupun internasional. Dalam usaha mencapai tujuan tersebut, berbagai program pendidikan non-formal (PNF) yang dikembangkan terdiri dari; (1) Pendidikan Kesetaraan yang diarahkan pada anak usia Wajar Dikdas 9 tahun untuk mendukung suksesnya Wajar Dikdas beserta tindaklanjutnya (setara SMU), (2) Pendidikan Keaksaraan yang diarahkan pada pendidikan keaksaraan fungsional serta penurunan penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas secara signifikan pada akhir tahun 2009, (3) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), agar peserta didik dapat berkembang sesuai dengan tingkat usianya dan berdampak pada kesiapan anak usia sekolah masuk sekolah, (4) Peningkatan Pembinaan Kursus dan Pelatihan untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat di berbagai bidang keterampilan yang dibutuhkan, diintegrasikan (5) Pendidikan berbagai Kecakapan program Hidup, yang dapat dalam pendidikan non-formal
107

sebagai upaya agar peserta didik mampu hidup mandiri, (6) Pendidikan Pemberdayaan Perempuan yang diarahkan pada peningkatan kecakapan hidup dan pengarusutamaan gender di bidang pendidikan, (7) Peningkatan Budaya Baca Masyarakat sebagai upaya untuk memelihara dan meningkakan kemampuan keaksaraan peserta didik yang telah bebas buta aksara melalui penyediaan Taman Bacaan Masyarakat, dan (8) Memperkuat Unit Petaksana Teknis Pusat dan Daerah (BP-PLSP, BPKB, dan SKB) sebagai tempat pengembangan model program PNF. Di samping hat-hat di atas, PNF juga akan metaksanakan berbagai komitmen dunia seperti Pendidikan Untuk Semua, pengarusutamaan gender, perawatan dan pendidikan pada anak-anak yang tergolong tidak beruntung.

1.

Pemerataan dan Perluasan Akses


Berbagai langkah kegiatan (a) untuk memperluas sosialisasi akses dan

pendidikan

nonformal

adalah:

peningkatan

promosi melalui berbagai media mengenai pentingnya PNF dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat dari usia dini hingga usia lanjut, yang disertai menu-menu program yang dapat menggugah, menarik, dan membangkitkan semangat untuk belajar dan/atau berperan dalam penyetenggaraan PNF; (b) mendorong dan memberdayakan masyarakat melalui berbagai Organisasi Sosial Masyarakat (Orsosmas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berorientasi pada kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya serta kelompok masyarakat terdidik, untuk dapat berperan dalam penyetenggaraan PNF; (c) memberikan bantuan pembiayaan sampai pada Kabupaten/Kota, untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya PNF bagi Pemda Kabupaten/Kota, sehingga terdorong untuk menyediakan anggaran PNF yang memadai metalui APBD; (d) mendorong terbentuknya berbagai organisasi profesi PNF di berbagai

108

tingkatan yang dapat berperan sebagai mitra dalam pengembangan PNF; (e) memperluas kerjasama dengan instansi terkait dalam penyetenggaraan PNF; (f) penyediaan, pemberian dan penyaluran blockgrants yang ditaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan berbagai program PNF; dan (g) menjalin kemitraan dengan lembaga-lembaga luar negeri yang terkait dengan pengembangan program PNF. Pengembangan pendidikan kesetaraan, yang diarahkan pada anak usia Wajar Dikdas 9 tahun melalui Paket A setara SD, dan Paket B setara SMP, serta pengembangan pendidikan menengah melatui Paket C setara SMA. Pengembangan paket kesetaraan ditakukan melalui pembukaan kelompokkelompok belajar pada sasaran yang terfokus, yaitu pada daerah yang APK-nya sangat rendah. Hingga tahun 2009, target Paket A untuk siswa putus SD kelas 4 sampai dengan 6 sebanyak lebih kurang 860 ribu anak (25% dari DO SD), dan target Paket B setara SMP akan menjangkau sekitar 3,2 juta anak (50% dari lulus SD tidak melanjutkan dan 50% kelas 1 dan 2 SMP), dan target penyelenggaraan program Paket C setara SMA sebanyak lebih kurang 200 ribu orang.

Penurunan angka buts oksara dan Pengembangan keaksaraan fungsional; merupakan kegiatan untuk meningkatkan intensifikasi akses perluasan dan kualitas pendidikan keaksaraan fungsional bagi penduduk buta aksara tanpa diskriminasi gender baik di perkotaan maupun di pedesaan dengan prioritas pada daerah yang menjadi kantong-kantong buta aksara. Target pada tahun 2009 adalah menurunnya prosentase penduduk buta aksara dari 10,21% (Susenas, BPS 2003) menjadi 5% pada akhir tahun 2009, atau secara kuantitas target yang akan dijangkau sekitar 7,5 juta orang (usia 15

109

tahun ke atas). Dalam rangka penurunan buta aksara, dilakukan berbagai program, antara lain: pengembangan kerjasama dengan lembaga/ organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, PT, dan organisasi lain yang dapat menjangkau masyarakat. Penyediaan sarana don prasarana pendidikan, dengan sasaran tersedianya sarana, prasarana, pendidik dan pelatihan tenaga kependidikan PNF yang bermutu secara memadai, serta tumbuhnya partisipasi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan nonformal melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan perintisan Pusat Sumber Belajar (PSB) Penyediaan biaya operasional; diberikan untuk peserta didik yang kurang beruntung, serta memberikan kesempatan seluasluasnya kepada masyarakat untuk melaksanakan pendidikan informal melalui pembentukan kegiatan belajar secara mandiri dan berkelompok. Pemberian biaya operasional dapat dilakukan melalui kegiatan magang, penyelenggaraan kursus yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, atau dengan beasiswa. Pengembangan budaya baca; diselenggarakan di berbagai kegiatan pembelajaran, dengan target pelembagaan 2.500 Taman Bacaan Masyarakat (TBM) pada tahun 2009.

2.

Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing


Program peningkatan mutu dan relevansi akan dilaksanakan

melalui kegiatan-kegiatan berikut. Pengembangan kurikulum; mengembangkan bahan ajar dan modelmodel pembelajaran PNF yang mengacu pada standar nasional pendidikan pengetahuan, sesuai dengan perkembangan dan seni, kemajuan termasuk ilmu model teknologi, budaya

pendidikan kecakapan hidup dan keterampilan bermata pencaharian. Terutama untuk pengembangan mated bahan ajar, pendidikan non-

110

formal akan lebih berwawasan kesetaraan dan keadilan gender. Mulai tahun 2006, ditetapkan 10 jenis dan variasi program PNF berorientasi life skills akan didukung pengembangannya. Penyediaan materi pendidikan; pengembangan media

pembelajaran dan teknologi pendidikan termasuk peralatan peraga pendidikan, buku pelajaran dan buku bacaan serta mated pelajaran yang memanfaatkan ICT ( Seperti radio, televisi, komputer dan internet). Pengembangan satuan-satuan PNF; meliputi lembaga kursus dan pelatihan, kelompok belajar, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) serta satuan pendidikan yang sejenis melalui standarisasi, penjaminan kemampuan mutu, akreditasi dan sertifikasi serta penguatan pula manajerial pengelolanya. Dilakukan

pengembangan format dan kualitas program PNF sehingga bisa diterima sebagai pengganti mata pelajaran yang relevan dengan yang ada di satuan pendidikan formal. Sampai dengan tahun 2009, ditargetkan jumlah peserta pendidikan kecakapan hidup berusia lebih dari 15 tahun mencapai 15% atau 1,5 juta orang. Pengembangan sertifikasi; menyangkut sertifikasi lembaga kursus dan pelatihan, dan pendidikan keterampitan/kecakapan hidup. Pengembangan sertifikasi dan aspek-aspek mutu lainnya mengacu pada standar profesi dan produktivitas tenaga kerja Indonesia dalam kerangka WTO. Sertifikasi diharapkan memiliki civil effect bagi peningkatan kehidupan dan produktivitas kerja pada peserta didik. Sampai dengan tahun 2009, 20% lembaga dan program PNF ditargetkan telah terstandarisasi. Pengembangan model unggulan; merupakan kegiatan untuk mengembangkan model-model unggulan dan model kompetitif PNF dalam PAUD, kesetaraan, keaksaraan, dan kecakapan hidup.

111

Sebanyak 25% Kabupaten/Kota ditargetkan sudah memiliki model PNF unggulan pada tahun 2008.

3.

Peningkatan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan

Publik Prinsip pendidikan fundamental nonformat dari penyelenggaraan peran atau pelayanan partisipasi

adalah

aktifnya

masyarakat dalam kemandirian dan kreativitas yang dinamis untuk membantu mengangkat derajat dan taraf hidup masyarakat yang kurang beruntung. Oleh karenanya, berhasilnya penyelenggaraan PNF yang efektif, efisien dan akuntabel, berada pada tanggung jawab bersama antara masyarakat penyelenggara dan pemerintah daerah setempat. Karena prinsip penyelenggaraan yang partisipatif ini, pencitraan kelembagaan yang transparan clan akuntabel menjadi kebutuhan mutlak yang harus dapat dipenuhi oleh setiap penyelenggara pendidikan nonformal. Dalam penyelenggaraan PNF yang lebih banyak melibatkan partisipasi fasilitasi masyarakat, dan pemerintah pusat berperan memberikan bantuan pengendalian/penjaminan mutu, metalui

pembiayaan clan programprogram sosialisasi clan pelatihan. Beberapa langkah pemerintah (Depdiknas) dalam peningkatan governance, akuntabilitas, dan pencitraan penyelenggaraan PNF adalah sebagai berikut. Penatoan dan pengembangan sistem pendataon dan informasi manajemen; diperlukan untuk mendukung pengetolaan clan koordinasi PNF baik pada tingkat pusat, daerah, maupun pengelola dan penyelenggara PNF, serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas data dan informasi mengenai PNF. Usaha ini memerlukan sinergi tripartit, yaitu: ahli pendidikan, ahli substansi, dan ahli media /informatika.

112

Pengembangan kapasitas; diberikan kepada pengelola clan penyetenggara PNF di semua tingkatan, baik di pusat maupun daerah (BPPLSP, BPKB, SKB, clan PKBM). Sampai dengan tahun 2009, Ditjen PLS clan 5 (lima) BPPLSP ditargetkan meraih sertifikasi ISO 9001. Advokasi, sosialisasi, don fosilitasi; diperlukan untuk memberikan informasi, kampanye, dan bantuan dalam rangka meningkatkan dan memperluas partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan PNF yang efektif dan akuntabel.

F.

Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan


Program peningkatan mutu pendidik clan tenaga kependidikan

bertujuan untuk meningkatkan kecukupan jumlah pendidikan clan tenaga kependidikan, meningkatkan kemampuannya, meningkatkan kemampuan melaksanakan administrasi, pengetolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan.

1.

Perluasan dan Pemerataan Akses


Peningkatan pemerataan dan rasio pelayanan pendidik dan

tenaga kependidikan untuk Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Non-Formal, dilakukan melalui beberapa kegiatan berikut: (a) pengembangan sistem perencanaan berdasarkan kebutuhan dan persediaan pendidik dan tenaga kependidikan; (b) pengembangan sistem dan mekanisme rekrutmen dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan yang merata secara geografis, tepat jumlah, tepat kualifikasi/keahlian, dan gender; (c) peningkatan jumlah pendidik di wilayah/daerah yang kekurangan, seperti pengaturan mekanisme penempatan dan

113

redistribusi guru, penambahan guru baru, perubahan status pendidik dari satu jenjang ke jenjang lainnya, integrasi guru/tutor mata pelajaran sejenis, sistem insentif guru di daerah terpencil, memberikan subsidi bagi guru tidak tetap (GTT) swasta, pengawas/penilik/ pamong belajar, dan guru daerah terpencil; (d) mendorong perluasan jurusan LPTK pada bidang yang masih kekurangan seperti guru MIPA, Bahasa Inggris dan teknologi kejuruan; (e) mendorong perluasan Program Akta bagi lulusan sarjana non-kependidikan; (f) penambahan jumlah tenaga kependidikan secara proporsional, seperti pengawas sekolah, pegawai tata-usaha, laboran, pustakawan, Pengembang Sumber belajar, arsiparis, operator komputer, dsb, melalui penambahan tenaga baru, penempatan tenaga non-kependidikan menjadi tenaga kependidikan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Pengadaan guru diadakan khusus untuk pemenuhan kekurangan guru dalam rangka pemerataan dan perluasan akses; skenario insentif mungkin diperlukan untuk meningkatkan daya tarik guru-guru bekerja di daerah-daerah yang sulit atau bahkan biaya upgrading guru-guru yang sudah ada (SD/MI) untuk dapat mengajar SMP di sekolah-sekolah layanan khusus SMP Khusus. Sasaran yang akan dicapai dalam lima tahun ke depan adalah rasio peserta didik per pendidik dan tenaga kependidikan relatif merata pada setiap kabupaten/kota, dan akan diupayakan dapat mencapai standar nasional. Sementara itu, dalam lima tahun mendatang akan dilakukan pengangkatan pengawas yang tepat sasaran sebanyak lebih kurang 1.300 orang pengawas, dan pengangkatan penilik dengan kualifikasi S1 sebanyak lebih kurang 1.600 orang. Pemerintah juga akan mengangkat guru baru, untuk mengatasi kekurangan guru yang jumlahnya sekitar 300.000, sebagai pengganti guru yang akan pensiun, dan dalam rangka perluasan akses untuk

114

penuntasan wajib belajar 9 tahun, serta perluasan pendidikan menengah umum dan kejuruan. Mengingat sasaran pendidikan non-formal di desa-desa cukup tinggi, perlu diangkat guru PNF/tutor purna waktu untuk desa-desa terpencil dan/atau desa-desa yang konsentrasi sasaran PNF-nya besar. Untuk mendukung tugas penilik, selain dad pengangkatan guru PNF secara bertahap diperlukan juga tenaga tidak tetap (TLD) dengan rasio 1 TLD per 5 (lima) desa. PNF Selanjutnya secara untuk meningkatkan jangkauan pelayanan bertahap

ditingkatkan jumlah pamong belajar sehingga mencapai standar nasional pendidikan.

2.

Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing


Program peningkatan mutu, relevansi, dan saya saing akan

dilaksanakan dalam kegiatan-kegiatan berikut: a) pengembangan standar kompetensi dan sertifikasi profesi pendidik; b) pengembangan sistem dan mekanisme perekrutan, promosi dan mutasi pendidik dan tenaga kependidikan sebagai profesi, yang memungkinkan mekanisme kompetensi penghitungan menunjang pendidikan mutasi (intas daerah; melalui: oleh c) pengembangan kompetensi kompetensi, d) promosi yang pendidik, ditunjukkan kredit pemetaan hasil tenaga uji

secara periodik, pendidikan berkelanjutan untuk mencapai standar angka sebagai e) fungsional; ICT

pengembangan sistem insentif dan disinsentif profesi guru untuk mutu untuk pembelajaran; peningkatan pemanfaatan dalam dalam kompetensi guru

pembelajaran (seperti radio, televisi, komputer dan internet); f) pengembangan kapasitas sumberdaya pendidik & tendik pada PPPG, LPMP, BP-PLSP dan BPKB serta SKB; g) pengembangan mekanisme penilaian kinerja, akuntabilitas, dan pe(atihan pendidik; h) pengembangan sistem renumerasi pendidik dan

115

tenaga kependidikan yang sesuai dengan jabatan fungsionalnya; i) penyusunan menjalankan berprestasi sistem profesi dan Ft dan mekanisme kesejahteraan luar biasa; perlindungan profesi serta dalam dan pendidik k)

tenaga kependidikan; j) pemberian penghargaan kepada guru yang berdedikasi pemberian disinsentif pada pendidik yang melanggar etika profesi. Target pada tahun 2009 sebanyak 10% guru PAUD termasuk TK, 10% guru SD, 15%guru SMP, 20% guru SMA/SMK, sudah memenuhi kompetensi guru sebagai tenaga profesi.

3.

Peningkatan

Governance,

Akuntabilitas,

dan

Pencitraan Publik
Usaha adalah: daerahl satuan a) meningkatkan pengembangan yang pendidikan, meliputi mata ajar governance, sistem akuntabilitas, clan jumiah b) dan

pencitraan dalam pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikan pendataan informasi clan pengelolaan pendidik clan tenaga kependidikan di pusat clan pemetaan clan wilayah; kualifikasi/kompetensi, usia, pangkat/golongan pendidik menurut penyusunan mekanisme pengelo(aan guru, tutor, clan pamong belajar sebagai profesi, seperti sertifikasi, registrasi, clan kode etik keprofesian; c) pengembangan sistem pengelolaan kelembagaan profesi pendidik

116

di pusat, daerah clan masyarakat; d) pembinaan profesi guru yang memiliki kekuatan hukum clan tertuang dalam UU Guru yang segera diundangkan; serta e) penyelesaian secara tuntas masalah guru bantu.

G.

Program

Penelitian

dan

Pengembangan

Pendidikan
Program Penelitian clan Pengembangan Pendidikan bertujuan untuk: (1) mengembangkan konsepsi pembaruan sistem pendidikan nasional clan memasyarakatkannya seiring dengan pengembangan clan persaingan di era globalisasi; (2) melakukan penelitian kebijakan pada tingkatan makro clan pengembangannya pada tingkat mikro; (3) meningkatkan kualitas penelitian serta pengembangan inovasi pendidikan agar hasilnya dapat menjadi acuan bagi pengembangan kebijakan clan atau program pembangunan pendidikan; (4) mengembangkan kurikulum yang relevan, konsep pembelajaran yang inovatif, clan penjaminan kualitas yang mendukung daya saing bangsa; (5) meningkatkan keandalan sistem informasi pendidikan di tingkat nasional yang secara efisien clan efektif menjadi landasan perumusan clan kebijakan Depdiknas; (6) mengembangkan sistem penilaian clan pengendalian intensitas mutu pendidikan nasional; (7) meningkatkan di clan bidang (8) model clan kualitas kualitas kerjasama pendidikan serta tiga internasional nasional;

pendidikan yang berdasarkan kesetaraan clan mengarah kepada peningkatan nasional, pendidikan clan mengembangkan standar nasional pendidikan, melaksanakan ujian mengembangkan melalui melaksanakan pilar akreditasi clan sertifikasi.Program penelitian clan pengembangan dilaksanakan pembangunan pendidikan nasional sebagai berikut:

117

1.

Perluasan dan Pemerataan Akses


Program strategis penelitian clan pengembangan yang akan

dilaksanakan dalam rangka menunjang pemerataan clan perluasan akses pendidikan antara lain adalah: (1) penelitian tentang petaksanan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, pendidikan khusus, clan layanan khusus; (2) pengembangan model inovatif pelayanan pendidikan dalam rangka pelaksanaan Wajib Belajar, pendidikan khusus, dan layanan khusus; (3) pengembangan model pendidikan yang fleksibel, efisien, dan efektif sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan lingkungan; (4) pengembangan model kurikulum dan pembelajaran untuk pendidikan khusus dan layanan khusus; (5) pengembangan sumber belajar efektif yang tersedia di lingkungan; (6) pendayagunaan dan pelayanan data dan informasi, serta profit mutu pendidikan dan pengembangan sistem informasi pendidikan; dan (7) pemanfaatan dan pengembangan ICT untuk sistem pendataan dan pembelajaran. 2. Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Program strategis penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan dalam rangka menunjang peningkatan mutu dan relevansi pendidikan antara lain adalah: (1) metaksanakan kajian isu aktual dan strategic pendidikan; (2) meningkatkan kapasitas Pusat dan Daerah dengan dalam lembaga penelitian penelitian kebijakan dan bidang pendidikan; lain terkait; (3) (4) mengembangkan jejaring penelitian, kurikulum, penilaian, dan inovasi institusi mengembangkan pusat informasi hasil penelitian dan pengembangan pendidikan; (5) mengembangkan model-model pembelajaran, layanan pendidikan, pemberdayaan sumber daya pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat; (6) mengembangkan model-model sekolah dan madrasah inovatif; (7) mengembangkan model-model kurikulum

118

tingkat satuan pendidikan untuk pendidikan dasar, menengah, khusus dan non-formal, kurikulum bertaraf internasional, dan kurikulum berdasarkan keunggulan lokal; (8) melakukan sosialisasi kurikulum baru untuk sekolah perintisan serta provinsi dan kabupaten/kota; (9) melakukan evaluasi berkelanjutan pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan dasar, menengah, khusus dan nonformal; (10) melakukan pemberdayaan SDM secara profesional dalam pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan dasar, menengah, khusus dan non-formal; (11) melakukan analisis kebijakan kurikulum untuk pendidikan dasar, menengah, khusus, dan non-formal; (12) menyediakan data dan informasi pendidikan di berbagai jenis, jenjang, dan satuan pendidikan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (13) mengembangkan sistem pangkalan data dan jaringan pendataan serta informasi di berbagai jenjang, jenis, dan satuan pendidikan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (14) mengembangkan sistem informasi yang berbasis teknotogi dan sistem pendataan berbasis masyarakat; (15) metaksanakan proyeksi dan analisis data pendidikan; (16) melakukan pemetaan mutu dan analisis penjaminan mutu berdasarkan ujian nasional dan hasil akreditasi; (17) melakukan penelitian/studi dan evaluasi mutu pendidikan secara nasional maupun internasional; (18) menyelenggarakan pencapaian ujian nasional yang efisien untuk lulusan; (19) memfasilitasi mengukur kompetensi penyusunan

menyusun standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan oleh BSNP; dan (20) mengembangkan dan melaksanakan akreditasi dan sertifikasi; dan (21) penelitian pendayagunaan ICT untuk pendidikan.

3.

Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik

119

Program strategis penelitian dan pengembangan yang akan dilaksanakan dalam rangka menunjang peningkatan governance, akuntabilitas, dan pencitraan pendidikan antara lain adalah: (1) menyempurnakan mekanisme tata kerja antar lembaga di bidang penelitian kuantitas dan SDM pengembangan; bidang (2) meningkatkan dan kualitas dan (3) penelitian pengembangan;

meningkatkan kerjasama antar lembaga penelitian dan pengembangan pada tingkat nasional, regional dan internasional; (4) meningkatkan kualitas, efisiensi dan efektivitas manajemen secara akuntabel dalam rangka mengembangkan pembaharuan kualitas sistem dan pelayanan regulasi pendidikan;_(5) pendidikan; (6) melakukan

meningkatkan relevansi program-program unggulan dengan tuntutan kebutuhan pelayanan pendidikan pada tingkat nasional, regional dan internasional; (7) mengelola hasilhasil penelitian dan pengembangan sebagai basis data dan informasi untuk acuan pembayaan kebijakan pendidikan nasional; (8) mengembangkan sistem kinerja pelaksanaan kurikulum untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan; (9) meningkatkan kualitas data dan informasi berbasis sistem teknologi informasi secara nasional dalam pelayanan penelitian dan pengembangan pendidikan nasional secara akuntabel, efektif, dan efisien; (10) melaksanakan national assessment pendidikan dasar dan menengah secara berkala dalam rangka akuntabilitas pelaksanaan program pendidikan; dan (11) meningkatkan kerjasama dan keterkaitan sinergis secara berkelanjutan dengan lembaga di tingkat nasional, regional dan internasional dalam mewujudkan kualitas, efisiensi dan efektivitas manajemen.

H.

Program Manajemen Pelayanan Pendidikan


Program ini bertujuan: (1) meningkatkan kapasitas lembaga-

lembaga di pusat dan daerah, mengembangkan mekanisme good

120

governance, meningkatkan koordinasi antar-tingkat pemerintahan, mengembangkan kebijakan, melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan pembangunan pendidikan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan (2) pengembangan dan penerapan sistem pengawasan pembangunan pendidikan termasuk sistem tindak lanjut temuan hasil pengawasan terhadap setiap kegiatan manajemen pembangunan pendidikan pendidikan dengan termasuk pelaksanaan otonomi dan desentralisasi dan otonomi pendidikan; dan (3) penyempurnaan meningkatkan desentralisasi pengelolaan pendidikan kepada pengelola pendidikan dan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan secara efektif dan efisien, transparan, bertanggung jawab, akuntabel serta partisipatif yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan. Beberapa langkah kegiatan yang akan dilaksanakan adalah: (1) penataan dan pengaturan kembali pengelolaan pendidikan dalam era desentralisasi; (2) penyusunan sistem dan mekanisme perencanaan dan pengelolaan pendidikan dalam era desentralisasi; unit (3) penyusunan kebijakan peningkatan kapasitas pengelola

pendidikan dalam rangka mewujudkan governance yang sehat dan akuntabel; (4) penyusunan anggaran pendidikan dan pembiayaan satuan pendidikan yang berbasis kinerja; (5) pengaturan inventarisasi dan sistem dokumentasi sarana, prasarana dan aset pendidikan; (6) penataan sistem diklat fungsional untuk peningkatan mutu aparatur secara berkelanjutan; dan (7) penguatan sistem informasi dan pelayanan pendidikan Depdiknas dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (seperti radio, televisi, komputer dan internet) secara efisien. Dalam dilakukan rangka perbaikan pengembangan pelayanan sistem pengawasan, masyarakat perlu

kepada

dengan

meningkatkan transparansi agar terhindar dari citra aparat atas praktek-praktek pelayanan yang berindikasi Korupsi, Kolusi, dan
121

Nepotisme (sesuai dengan Inpres No.5 Tahun 2004). Selama ini dipersepsikan dengan sangat kuat oleh masyarakat bahwa sumber KKN terbesar dianggap berada di instansi pelayanan masyarakat. Perbaikan pelayanan itu akan dilaksanakan melatui kegiatankegiatan berikut. Pertama; penataan kembali struktur organisasi Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan penkembangan organisasi Departemen Pendidikan Nasionat. Sejalan dengan demokratisasi, partisipasi dan kontrol masyarakat terhadap pemerintah akan semakin besar, sehingga diperlukan keterbukaan dari birokrasi. Untuk mencegah terjadinya kekeliruan persepsi atau kecurigaan masyarakat terhadap berbagai kebijakan dan tindakan pelayanan, struktur organisasi dinas perlu diperbaiki, misalnya dengan membentuk Subdin atau Seksi Hubungan Masyarakat yang secara aktif dan terbuka menjelaskan setiap langkah kebijakan pelayanan. Sebagai mitra pemerintah, masyarakat juga perlu diberikan penyuluhan, pembinaan, dan ajakan. untuk berperan aktif dalam perumusan pelayanan. Kedua; peningkatan kapasitas aparat pemerintah yang

menitikberatkan 2 (dua) aspek, yaitu: (1) perubahan mind-set, sikap mental dan perilaku sebagai pelayan masyarakat yang bebas KKN; (2) aspek teknis untuk memberikan kemampuan dan penguasaan terhadap tugasnya secara profesional dan handal. Dalam usaha merubah mind-set, sikap mental dan perilaku, perlu dilakukan advokasi yang menggarisbawahi penjelasan bahwa sebagai pelayan masyarakat, mereka dibiayai dengan uang rakyat sehingga semangat profesionalisme atas dasar prinsip menerima dan memberi (take and give) selalu melandasi kegiatan pelayanan sehari-hari. Dan perlu ditekankan pula bahwa dalam era modernisasi /globalisasi, cara berpikir dan sikap-sikap feodalistis sudah tidak relevan lagi.

122

Ketiga; menciptakan sistem pelayanan yang murah, cepat, terbuka dan menyenangkan. Indikator keberhasilan pelayanan adalah kepuasan masyarakat atas pelayanan yang murah (bahkan gratis), cepat, terbuka, ramah dan kooperatif. Untuk itu, perlu dilakukan pemangkasan birokrasi dan penerapan prinsip-prinsip efisiensi menuju pelayanan yang berorientasi pada "kepuasan pelanggan". Keempat; menciptakan sistem pengawasan yang efektif dan objektif yang dapat mencegah praktek-praktek pelayanan yang berindikasi KKN. Sistem yang dimaksud harus mencakup pula rencana tindak-lanjutnya yang nyata dan efektif dapat dilaksanakan Kelima; pemberdayaan masyarakat untuk mendorong

diciptakannya pelayanan yang baik. Usaha ini dapat dilakukan dengan memberikan peran tertentu kepada masyarakat dalam perumusan sistem pelayanan dan pengawasan. Keenam; pengembangan pemanfaatan ICT untuk mendukung peningkatan peran dan fungsi pelayanan. Sistem yang dikembangkan diusahakan untuk dapat memenuhi dua hal, yaitu: (a) kebutuhan manajemen atas sistem pendataan dan informasi yang akurat, up-todate, dan mudah diakses; (b) kebutuhan masyarakat atas data dan informasi pelayanan pendidikan. Program manajemen pelayanan merupakan sarana untuk

sinkronisasi dan koordinasi tujuh program utama Departemen, yang dilakukan dalam prinsip alokasi anggaran yang tepat dan efisien, sesuai skala prioritas yang dijabarkan dalam tiga tema kebijakan. Untuk keperluan evaluasi pencapaian efektivitas pembiayaan, perlu pedoman penyusunan anggaran berbasis kinerja. Ketujuh; untuk menopang pengelolaan yang efisien, ditata kembali sistem dan mekanisme inventarisasi dan dokumentasi sarana, prasarana dan aset pendidikan, termasuk pengelolaan

123

dokumen dan arsip Depdiknas yang saat ini mengadapi kesulitan. Kegiatan ini dapat memanfaatkan peran ICT yang dapat mentransformasikan pendataan dan kearsipan konvensional ke sistem digital. Kedeiapan; Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (PBKH). Program PBKH ini bertujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan siswa, baik yang berhubungan dengan aspek keterampilan dasar, maupun wawasan teknologi dalam rangka membangun masyarakat yang mampu memfasilitasi kehidupan dirinya dan melek teknologi. Oleh karena itu program ini meliputi dua bidang, yaitu: (1) Program PKH Pra-vokasional; dan (2) Program Pendidikan Berwawasan Teknologi Dasar. Program PKH Pra-vokasional merupakan bagian dari pendidikan kecakapan hidup. Program PKH pra-vokasional adalah serangkaian kegiatan dalam rangka pengembangan kecakapan vokasional dasar dan kecakapan vokasional penunjang. Pengembangannya disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar dan kebutuhan peserta didik. Program Pendidikan Berwawasan Teknologi Dasar merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran yang berorientasi pada teknologi, sehingga siswa atau peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan, sikap. dan keterampilan berpikir teknologis. Beberapa implementasi dari program ini, antara lain sebagai berikut. (1) Program PKH Pra-vokasional di SMP merupakan program pembelajaran yang: (a) berisi bekal keterampilan dasar, praktis, dan sederhana: (b) manfaatnya dalam langsung dapat dinikmati; (c) diselenggarakan rangka mengembangkan potensi

kewirausahaan; dan (d) bertujuan agar siswa (peserta didik) dapat memperoleh kesempatan beraktivitas produktif. Oleh karena itu, misi utama program PKH Pra-vokasional adalah membangkitkan dan mengembangkan kecintaan serta apresiasi siswa terhadap keterampilan dasar, menanamkan etos dan nilai kerja, - yang
124

diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk mengembangkan diri yang sesuai dengan tuntutan hidup dan masyarakat lingkungannya. (2) Program Pendidikan Berwawasan Teknologi Dasar berbentuk kegiatan pembelajaran tentang teknologi yang mencakup teknologi konstruksi, konversi energi, informasi dan komunikasi, transportasi, bioteknologi, serta teknologi produksi. Program ini diselenggarakan di SD dan SMP umum, dalam rangka mendukung dan memperkuat pencapaian kompetensi siswa dari muatan kurikulum.

I.

Pengembangan

Budaya

Baca

dan

Pembinaan

Perpustakaan
Program ini bertujuan untuk mengembangkan budaya baca, bahasa, sastra Indonesia dan daerah, pada masyarakat termasuk peserta didik guna membangun masyarakat berpengetahuan, berbudaya, maju dan mandiri. Beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain adalah;

Pertama; kampanye dan promosi budaya baca melalui media masa


dan cara-cara lainnya dalam rangka meningkatkan budaya baca secara meluas baik di kalangan persekolahan dan institusi pendidikan lainnya yang relevan, serta masyarakat luas.

Kedua; perluasan dan peningkatan kualitas pelayanan perpustakaan


melalui: (a) penambahan dan pemeliharaan koteksi perpustakaan dan taman bacaan masyarakat ( termasuk koteksi pustaka elektronik); (b) pengadaan sarana dan revitalisasi perpustakaan ketiling dan perpustakaan masyarakat; (c) mendorong tumbuhnya perpustakaan masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada di masyarakat; (d) peningkatan peran serta masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha dalam menyediakan fasilitas membaca sebagai sarana belajar sepanjang hayat; (e) pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan pengetola perpustakaan, termasuk perpustakaan yang berada di satuan pendidikan; (f) peningkatan diversifikasi fungsi perpustakaan untuk mewujudkan perpustakaan sebagai tempat yang menarik, terutama bagi anak dan remaja, untuk belajar

125

dan mengembangkan kreativitas; (g) pemberdayaan tenaga pelayan perpustakaan sebagai pusat sumber belajar (PSB) dengan mengembangkan jabatan fungsional; (h) Pengembangan berbagai model layanan perpustakaan seperti pustakawandigitatisasi, otomatisasi dan perpustakaan etektronik. Ketiga; pemantapan sistem nasional perpustakaan dalam

rangka mewujudkan sistem perpustakaan yang memitiki kaitan fungsional dengan berbagai institusi pendidikan. Keempat; peningkatan sinergi antara perpustakaan nasional, provinsi, kabupaten/kota dengan perpustakaan sekolah dan taman bacaan masyarakat melalui; (a) peningkatan jaringan perpustakaan dari tingkat pusat sampai daerah, satuan pendidikan, dan taman bacaan masyarakat; (b) peningkatan kerja sama perpustakaan nasional, perpustakaan daerah, dan taman bacaan masyarakat, dalam memberikan pelayanan pada masyarakat berdasarkan standar kelayakan. Kelima; pembinaan dan pengembangan bahasa untuk

mendukung berkembangnya budaya ilmiah, kreasi sastra, dan seni.

J.

Program Penetitian dan Pengembangan Iptek


Program ini bertujuan untuk meningkatkan fokus dan mutu

kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan dasar, terapan, dan teknotogi sesuai dengan kompetensi inti dan kebutuhan pengguna. Pelaksana program ini terutama adalah Badan Penelitian dan Pengembangan, Ditjen Dikti, dan lembaga penelitian perguruan tinggi. Kegiatan-kegiatan yang akan ditaksanakan antara lain adalah; pertama, penelitian dan pengembangan di bidang pangan, energi, manufaktur, bioteknologi dan informatika; kedua, penelitian dan pengembangan program tematis; ketiga, pengembangan teknotogi proses untuk mendukung peningkatan

126

produksi /produktivitas; keempat, pengembangan riset dasar dalam rangka pengembangan itmu pengetahuan; kelima, penelitian dan pengembangan di bidang pengukuran, standarisasi, pengujian dan mutu; keenam, penelitian untuk mendukung kebijakan pemerintah di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, hukum; ketujuh, pengkajian dan penelitian hibah bersaing.

K.

Program-Program Lainnya
Program-program lainnya mencakup beberapa program

penunjang yang menggambarkan fungsi-fungsi pendidikan dalam keterkaitannya dengan sektor lain, seperti perpustakaan, aparatur, pengembangan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknotogi, dan sejenisnya. 1. Program Penguatan Kelembagaan Pengarusutamaan

Gender dan Anak Program ini bertujuan untuk memperkuat sistem/mekanisme kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender, termasuk sistem pendataannya, meningkatnya peran dan partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan perempuan di berbagai bidang pembangunan, tingkat nasionat dan daerah. Kegiatan-kegiatan yang akan ditaksanakan antara lain; pertama, pengembangan mated dan pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender (KKG); kedua, peningkatan kapasitas dan jaringan kelembagaan pemberdayaan perempuan dan anak di tingkat provinsi dan ketiga, kabupaten/kota, penyusunan termasuk Pusat Studi dalam Wanita/Gender; berbagai kebijakan

rangka penguatan kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Pengarusutamaan Anak (PUA), di tingkat nasional dan daerah melalui penyusunan position paper dan Rencana Aksi nasional dan
127

Rencana Aksi Daerah (RAD) PUG, yang merupakan integrasi dari penyusunan Rencana Aksi Pendidikan untuk Semua (RAN-PUS); keempat, penyusunan mekanisme perencanaan, pemantauan, dan evaluasi PUG dan PUA di tingkat nasional dan daerah; kelima, pengembangan model pendidikan keluarga berwawasan gender dan anak (PKBG); keenam, pengembangan model pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG); ketujuh, pengembangan gender sebagai body of knowledge and science; kedelapan, pengembangan pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikan berwawasan gender. 2. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan

Negara mengefektifkan sistem pengawasan, audit kinerja dan keuangan, serta sistem akuntabilitas dalam mewujudkan aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN. Berdasarkan kebijakan yang baru, penyusunan indikator kinerja unit pengelola pendidikan yang didasarkan pada standar nasional pendidikan dilakukan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan yang efektif. Program strategis dalam program ini termasuk dalam tema kebijakan peningkatan SPI untuk governance berkoordinasi Tahun dan akuntabilitas, BPKP dan yaitu BPK, peningkatan pelaksanaan dengan

peningkatan kapasitas dan kompetensi pemeriksaan aparat Itjen, Inpres No.5 2004 tentang percepatan pemberantasan KKN, intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Itjen, intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP dan BPK, serta penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen, BPKP, dan BPK. Selain itu, program strategis yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas, kompetensi, dan komitmen aparat ialah peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat dalam perencanaan dan penganggaran, peningkatan ketaatan aparat pada

128

peraturan perundang-undangan, serta peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan. Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara dan Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur sesuai dengan matra Peningkotan Giovernance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik dijabarkan dalam berbagai kegiatan sebagai berikut. Pertama; berkoordinasi peningkatan BPKP SPI dan (Sistem BPK; Pengendalian kegiatan itjen Intern) dalam

dengan

peningkatan SPI ini selain perbaikan internal juga melalui koordinasi dengan pihak eksternal seperti BPK, BPKP, dan Bawasda. Berbagai rapat regional diselenggarakan dalam rangka menyamakan persepsi dan pemahaman terhadap pengawasan, pelaksanaan pengawasan, dan tindak lanjut hash pengawasan. Demikian pula kegiatan pengawasan terpadu antara itjen dengan pengawas sekolah dan penilik pendidikan luar sekolah serta satuan pengawas internal pada unit kerja diselenggarakan dalam rangka sinergi pelaksanaan pengawasan terhadap implementasi kebijakan pendidikan di daerah. Kedua; peningkatan kapasitas dan kompetensi pemeriksaan aparat Itjen; kegiatan yang terkait dengan hat ini adalah building) pengembangan kelembagaan pengawasan (capacity

terhadap fungsi-fungsi pengawasan yang lebih komprehensif dan akuntabel yang mencakup pengawasan aspek keuangan, substansi, dan ketenagaan. Seiring dengan pengembangan kapasitas fungsi pengawasan, sejak tahun 2004, auditor itjen telah terintegrasi dalam satu jabatan fugsional, yakni Auditor Pendidikan. Auditor itjen yang sebelumnya terkotak-kotak dalam bidang keuangan, substansi, dan kepegawaian, kini telah terpadu dan pelaksanaan pengawasan tidak parsial melainkan lebih utuh, mencakup seluruh aspek, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban.

129

Ketiga; intensifikasi don ekstensifikasi pemeriksaan oleh ITJEN, BPKP, dan BPK; intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan yang dilakukan oleh MEN dalam tahun 2005 berupa penambahan sasaran pengawasan yang pada tahun 2004 tidak seluruh obyek pemeriksaan ditargetkan untuk diperiksa, maka dalam tahun 2005 seluruh institusi di lingkungan Depdiknas direncanakan untuk diperiksa seluruhnya. Sebagai ilustrasi, jika pada tahun 2004 sebanyak 82 PTN hanya direncanakan diperiksa 65 PTN dan realisasinya hanya 51 PTN, maka pada tahun 2005 seluruh PTN akan diperiksa semua. Demikian pula ' 12 kantor Kopertis yang hanya 4 kantor yang diperiksa, maka pada tahun 2005 ditargetkan untuk diperiksa semuanya. Sedangkan LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) yang pada tahun 2004 hanya 20 LPMP yang diperiksa, maka pada tahun 2005 diharapkan seluruh LPMP di setiap provinsi dapat diperiksa. Adapun intensifikasi pemriksaan MEN berupa penambahan frekuensi pengawasan, di mana pada tahun 2004 frekuensi pengawasan dan pemeriksaan (Wasrik Rutin) ke daerah hanya sebanyak 4 kali, maka pada tahun 2005 frekuensi Wasrik Rutin ke daerah ditingkatkan sebanyak 7 kali dengan sasaran seluruh entitas dapat terperiksa. Ketujuh frekuensi Wasrik Rutin tersebut terdiri dari pemeriksaan dana dekonsentrasi di provinsi dan kabupaten/kota sebanyak 4 kali, pemeriksaan PTN 2 kali, dan pemeriksaan lembaga non-dikti (LPMP, PPPG, BPPLSP, BPMR, BMTV, Balai/Kantor Bahasa, dan BPT Grafika) masing-masing sekali diperiksa dalam tahun 2005. Keempat; intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh ITJEN; tindakan preventif yang dilaksanakan ITJEN yaitu bahwa dalam pelaksanaan pengawasan, ITJEN tidak hanya melakukan pemeriksaan terhadap program dan kegiatan yang telah dilaksanakan, akan tetapi juga memeriksa rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Sebagai contoh misalnya, ketika ITJEN melakukan pemeriksaan pada periode April dan Mei 2005 yang lalu, di mana kegiatan obyek yang diperiksa

130

pada tahun 2005 praktis belum ada karena anggaran/DIPA belum diterima, maka pemeriksaan selain terhadap pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan tahun 2004, juga terhadap perencanaan atau persiapan kegiatan yang dilakukan oleh obyek yang diperiksa untuk tahun 2005. Kelima; penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan ITJEN, BPKP, dan BPK; selain intensitas monitoring tindak lanjut temuan pemeriksaan ditingkatkan, pada tahun 2005 diprogramkan untuk dilakukan rapat konsultasi di 6 regional yang tiap regional terdiri dari 5 provinsi. Rapat yang diselenggaran oleh ITJEN tersebut dihadiri oleh obyek yang diperiksa dengan mengundang BPKP dan BPK. Tujuan rapat regional tersebut adalah untuk membahas hasil temuan ITJEN, BPKP, dan BPK sehingga dapat dicapai kesepahaman dan kesepkatan antara obyek yang diperiksa dengan pemeriksa mengenai percepatan tindak lanjut hash pemeriksaan. Keenam; pelaksanaan lnpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi; dalam tahun 2005 ini telah diprogramkan kegiatan Rapat Nasional yang membahas tentang Pelaksanaan lnpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam kegiatan tersebut akan disosialisasikan bentuk-bentuk pelaporan dan format-format beserta tata cara pengisiannya yang terkait dengan program percepatan pemberantasan korupsi. Rapat nasional tersebut direncanakan akan dihadiri oleh seluruh wakil dari unit kerja di lingkungan Depdiknas, baik unsur Pusat maupun Daerah. Kegiatan ini dijadwalkan setelah bulan Oktober 2005, yaitu setelah APBN-P 2005 disetujui dan disahkan serta dapat direalisasikan anggarannya. Ketujuh; peningkatan kapasitas dan kompetensi manajerial aparat; peningkatan kapasitas dan kompetensi manajerial aparat dilakukan melatui berbagai kegiatan baik yang bersifat internal

131

maupun eksternat. Di lingkungan ITJEN telah dilakukan sebanyak 6 jenis pendidikan dan pelatihan teknis dari 11 jenis diktat yang diprogramkan datam tahun 2005. Selain itu, ITJEN juga mengirim para staf dan auditor untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh BPKP yang terkait dengan jabatan fungsional auditor. Sebagai perwujudan dari pembinaan atau fasilitasi di bidang pengawasan sesuai dengan semangat otonomi dan desentralisasi pendidikan, ITJEN pada tahun 2005 telah mencanangkan pengawasan terpadu dengan para pengawas sekotah dan penitik pendidikan tuar sekotah, khususnya dalam rangka atih pengetahuan tentang pengawasan dana block grant, hibah, subsidi, atau imbal swadaya di bidang pendidikan, sehingga dihrapkan kapasitas dan kompetensi manajeriat aparat pengawasan di daerah akan semakin meningkat. Untuk mendukung terlaksananya upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi manajeriat aparat, ITJEN juga menyusun Standar Prosedur Operasonal Pengawasan Pendidikan, Pedoman Audit Kinerja, Studi Kebijakan Pengawasan Pendidikan Nasionat, dan Standar Kompetensi Auditor Pendidikan. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk membekati para aprat pengawasan dengan pengetahuan dan keterampilan serta pedoman yang handat dalam petaksanaan pengawasan dan pemeriksaan. Kedelapan; peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat dalam perencanaan dan penganggaran; perencanaan merupakan langkah awal yang sangat penting datam suatu kegiatan. Tanpa perencanaan yang matang, suatu program atau kegiatan akan kehilangan arah dan pada gilirannya akan kehilangan makna. Demikian pula penganggaran, adalah kegiatan yang tak terpisahkan dengan perencanaan. Oteh karena itu, perencanaa yang rasional disertai dengan penganggaran yang realistis akan menghasilkan kegiatan yang berhasil guna dan berdaya guna. Upaya ITJEN Depdiknas untuk meningkakan kompetensi aparat pendidikan dalam

132

perncanaan penganggaran dilakukan melatui kegiatan audit kinerja. Dalam audit kinerja, selain dapat ditengarai adanya penyimpangan, juga dapat dideteksi apakah perencanaan program dan kegiatan telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, memperhatikan sumber daya yang tersedia, dan menghasilkan produk yang sebanding dengan inputnya. Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja obyek yang diperiksa adalah menggunakan instrumen yang telah dikembangkan oteh MEN dan berdasarkan isian instrumen tersebut diberikan penilaian atas kinerja unit yang diperiksa. Audit kinerja ini telah dilakukan di berbagai perguruan tinggi negeri dan pada tahun 2005 ini mulai dikembangkan dan diterapkan dalam pemeriksaan terhadap unit kerja selain PTN. Kegiatan lainnya dalam upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat dalam perencanaan dan penganggaran adalah Evaluasi LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) tingkat departemen sesuai dengan SK Meneg PAN Nomor 239/1X/6/8/2003 yang menyatakan bahwa pimpinan instansi agar menugaskan aparat pengawasan internal di lingkungan masing-masing untuk melaksanakan evatuasi LAKIP. Dalam kegiatan evaluasi tersebut ITJEN berupaya untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi aparat dalam perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Kesembilan; peningkatan ketaatan aparat pada peraturan perundangundangan; kegiatan prioritas ITJEN dalam menegakkan peraturan perundangundangan yang berlaku dilaksanakan melalui pengawasan dan pemeriksaan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa sesuai dengan Keppres 80 Tahun 2003. Dalam pemeriksaan operasional atau pemeriksaan komprehensif, auditor ITJEN memeriksa aspek keuangan pada setiap kuasa pengguna anggaran dan bendahara. Inspektorat Jenderal juga menelaah dasar hukum setiap prosedur pengadaan barang dan jasa apakah telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misainya

133

pengadaan secara penunjukan langsung. Dalam hat penegakan disiplin pegawai negeri sipil di lingkungan Depdiknas, selain dilakukan melalui pengawasan dan pemeriksaan rutin, juga dilakukan melalui peningkatan pemeriksaan khusus, yaitu pemeriksaan atas dasar perintah dari pimpinan, pengaduan masyarakat, atau berdasarkan isu strategis yang berkembang dalam masyarakat pada saat ini. Pada tahun 2005 ini, ITJEN memprogramkan pemeriksaan khusus dengan frekuensi meningkat dan dukungan personel yang cukup memadai sehingga diharapkan dapat mengantisipasi berbagai petanggaran, baik yang berupa kerugian negara/kewajiban penyetoran ke kas negara maupun pengenaan sanksi disiplin berdasarkan PP 30 Tahun 1980. 3. Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan Program pelaksanaan penyelenggaraan ini tugas bertujuan pimpinan kenegaraan untuk dan dan membantu ketancaran dalam Kegiatan-

fungsi

manajemen

kepemerintahan.

kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain: (a) menyediakan fasilitas kebutuhan kerja pimpinan; (b) mendukung kelancaran pelaksanaan perjalanan, kerja tugas belanja dan dan fungsi dan (d) kantor kenegaraan lainnya; dan (c) kepemerintahan seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, lembaga; belanja menyelenggarakan koordinasi dan konsultasi rencana dan program kementerian mengembangkan sistem, prosedur dan standarisasi administrasi pendukung pelayanan; dan (e) meningkatkan fungsi manajemen yang efisien dan efektif. 4. Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur

134

Program ini bertujuan untuk meningkatkan sistem pengelolaan dan kapasitas sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan dan pembangunan. Kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan antara lain: (a) menata kembali sumber daya manusia aparatur sesuai dengan kebutuhan atas jumlah dan kompetensi, serta perbaikan distribusi PNS; (b) menyempurnakan sistem manajemen pengelolaan sumber daya manusia aparatur terutama pada sistem karir dan remunerasi; (c) meningkatkan kompetensi sumber daya manusia aparatur dalam pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya; (d) menyempurnakan sistem dan kualitas mated penyelenggaraan diktat PNS; (e) menyiapkan dan menyempurnakan berbagai peraturan dan kebijakan manajemen kepegawaian; dan (f) mengembangkan profesionalisme pegawai negeri melalui penyempurnaan aturan etika dan mekanisme penegakan hukum disiplin lainnya. 5. Program Peningkaton Sarana don Prosarana Aparatur

Negara Program ini bertujuan menyediakan prasarana dan Sarana pendukung petaksanaan tugas administrasi pemerintahan yang memadai pada unit kerja penyelenggara negara. Kegiatan-kegiatan yang akan ditaksanakan antara lain: (a) meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendukung pelayanan; (b) meningkatkan fasilitas pelayanan umum dan operasional termasuk pengadaan, perbaikan mendukung dan perawatan gedung dan dan peralatan; kecepatan serta (c) peremajaan dan pemeliharaan transportasi dinas operasional untuk mobilitas, ketepatan operasional petayanan umum.

135

BAB V STRATEGI PEMBIAYAAN

Pendanaan pendidikan nasional disusun dengan mengacu pada aturan perundangan yang berlaku, kebijakan Mendiknas, programprogram tahun ke pembangunan depan, masih pendidikan dan sasarannya, serta imptementasi program dalam dimensi ruang dan waktu. Dalam lima pelaksanaan akan programprogram berbagai pembangunan keterbatasan pendidikan menghadapi

sumberdaya, baik sarana-prasarana, ketenagaan, maupun anggaran pendidikan dari sumber APBN. Oteh karena itu, strategi pembiayaan disusun untuk menyiasati keterbatasan sumberdaya tersebut agar pelaksanaan program pembangunan pendidikan dapat memberikan andil yang signifikan terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasionat seperti yang diamanatkan oteh UU No. 20/2003. Mengingat terbatasnya anggaran pemerintah untuk

pendidikan, strategi pembiayaan pendidikan nasional dalam lima tahun ke depan disusun dalam skala prioritas. Penetapan prioritas pembangunan Pemerintah pendidikan didasarkan dari pada: a) keberpihakan yang kurang terhadap anak-anak keluarga

beruntung karena faktor-faktor ekonomi, geografi, dan sosial-budaya,


136

untuk memperoleh pendidikan yang bermutu; b) tuntutan prioritas karena adanya perubahan kebijakan pendidikan, termasuk dalam pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, pada setiap satuan, jenjang dan jenis pendidikan baik pada jalur formal maupun non-formal, serta untuk menjawab komitmen internasional dan kepentingan nasionat; dan c) prediksi perkembangan kemampuan keuangan negara dan potensi kontribusi masyarakat terhadap pendidikan. Kebijakan kemampuan desentralisasi daerah pendidikan menuntut dan peningkatan pengelolaan

dalam

perencanaan

pembangunan pendidikan di daerahnya. Oleh karenanya, pemerintah daerah harus dapat menyusun strategi pembiayaan untuk dapat mencapai target-target program yang disusun dalam perencanaan pembangunan pendidikan untuk lima tahun ke depan. Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam berbagai aspek manajemen penyelenggaraan pendidikan itu merupakan bagian dari strategi implementasi Renstra Depdiknas. Renstra 2005-2009 yang disusun oleh pemerintah pusat harus dijabarkan oleh setiap unit utama yang ada di Depdiknas (4 Ditjen, Setjen, Itjen, dan Balitbang) menjadi Renstra unit utama untuk lima tahun ke depan. Renstra unit utama memuat perencanaan program yang akan dilaksanakan secara berkala setiap tahun untuk dapat mencapai target 15 program RPJM di tahun 2009, karena target-target tahunan unit utama pada dasarnya merupakan penjabaran dari target lima tahun Renstra. Selanjutnya, pemerintah daerah harus menjabarkan programprogram pemerintah pusat yang harus dilaksanakan di daerah dalam rencana strategis lima tahun (Renstrada) 2005-2009. Berdasarkan Renstrada, pemerintah daerah membuat perencanaan pembiayaan pembangunan pendidikan untuk lima tahun ke depan untuk mencapai target-target program di daerahnya hingga tahun 2009. Strategi pembiayaan disusun dengan memperhitungkan proyeksi: (i)
137

pendapat asli daerah (PAD); (ii) Dana perimbangan yang meliputi dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK); (iii) Dana Otonomi Khusus dan penyeimbang; serta (iv) perkiraan alokasi dan belanja Dana pemerintah Tugas pusat berupa (DTP). dana Sumber Dekonsentrasi Pembantuan

pendanaan lainnya yang dapat diperhitungkan adalah bantuan luar negeri, khususnya untuk pembiayaan program-program prioritas. Karena keterbatasan keuangan pemerintah pusat, dan juga kendala daerah meningkatkan PAD, kesenjangan pendanaan (fiscal gap) di daerah akan sangat mungkin terjadi. Terjadinya kesenjangan itu diakibatkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan pendanaan untuk mencapai target-target program yang telah ditentukan. Untuk menutup kesenjangan pendanaan, pemerintah daerah harus memperhitungkan sumber-sumber pendanaan lain yang mungkin dapat diupayakan, seperti bantuan luar negeri (donor) dan kontribusi masyarakat yang harus ditelaah per program. Semua kemungkinan skenario pembiayaan tersebut harus tertuang dalam Renstrada 2005-2009, sebagai pedoman pelaksanaan program pembangunan pendidikan di daerahnya, dalam rangka mendukung pencapaian target-target nasional program pembangunan jangka menengah 2005-2009.

A.

Fungsi Pembiayaan Pendidikan 2005-2009


Pembiayaan pembangunan pendidikan disusun dalam rangka

melaksanakan ketentuan perundangan serta kebijakan Pemerintah dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Pembiayaan pendidikan, dalam kurun waktu 20052009, disusun dalam rangka melaksanakan fungsifungsi sebagai berikut: (1) memperjelas pemihakan terhadap masyarakat miskin dan/atau masyarakat kurang beruntung lainnya; (2) memperkuat otonomi clan clesentralisasi pendidikan; serta (3) sebagai

138

insentif clan disinsentif bagi peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. 1. Memperjelas Pemihakan terhadap Masyarakat

Miskin Pemihakan terhadap masyarakat miskin dilakukan dengan

menghilangkan berbagai hambatan biaya (cost barrier) bagi orangtua peserta didik dalam rangka meningkatkan jumlah peserta didik SD clan SMP yang berasal dari keluarga miskin sehingga wajib belajar 9 tahun dapat diselesaikan. Hambatan tersebut terdiri dari tiga jenis pembiayaan pendidikan yang selama ini dibebankan kepada orangtua peserta didik, yaitu: biaya operasi satuan pendidikan, biaya pribadi, dan biaya investasi. Dengan semakin kecilnya hambatan biaya khususnya bagi keluarga miskin, diharapkan seluruh anak usia sekolah dapat mengikuti pendidikan paling tidak sampai dengan pendidikan dasar sembilan tahun. Pemerintah akan mulai menghilangkan hambatan biaya seluruh item biaya operasi satuan pendidikan di luar gaji pendidik clan tenaga kependidikan. Untuk melaksanakan amanat Konstitusi clan UndangUndang No. 20/2003, Pemerintah secara bertahap membebaskan seluruh beban biaya operasi satuan pendidikan negeri clan swasta, menuju pendidikan dasar bebas biaya. Walaupun orangtua siswa dibebaskan dari biaya operasi satuan pendidikan, namun masih banyak keluarga paling miskin yang tidak mampu memenuhi biaya pribadi untuk anaknya sehingga tidak dapat pergi ke sekolah. Untuk mengantisipasi menurunnya APK SMP karena hambatan biaya pribadi, Pemerintah menyediakan subsidi beasiswa yang disalurkan melalui biaya satuan pendidikan ke sekolah untuk menutup biaya pribadi bagi siswa miskin agar tidak terhambat masuk sekolah. Subsidi beasiswa juga dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi sekolah (enrollment).

139

Hambatan biaya lainnya adalah biaya investasi seperti lahan, prasarana pendidikan, sarana pendidikan, dan modal kerja yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang dapat mendorong terwujudnya mutu proses pembelajaran di sekolah. Pada tahun 2005, sebagian pemerintah dan pemerintah daerah menanggung dari biaya investasi satuan pendidikan milik besar

pemerintah. Biaya investasi tersebut difokuskan pada perbaikan prasarana dan sarana pendidikan (gedung, ruang ketas, dan sarana belajar) yang mendesak untuk direhabilitasi agar dapat melindungi guru dan siswa melaksanakan proses belajar dengan baik. 2. Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Pendidikan Undang-undang No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, mengatur sistem pembiayaan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut UU tersebut sumber keuangan APBD adalah PAD, DAU, dan Dana Bagi Hasil (DBH). Dengan mempertimbangkan kemampuan yang berbeda antara daerah, DAU diberikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi (equalizing melalui ketimpangan funds) kemampuan keuangan antardaerah yang Tugas melalui penerapan DAK, formula dan

mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Selain itu, instrumen pendanaan Dekonsentrasi, membantu Pembantuan, setiap departemen pembiayaan

pembangunan sektornya di daerah. Ketiga pola pembiayaan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat keuangan daerah, baik dalam rangka pelaksanaan kebijakan khusus yang menjadi prioritas nasional (pola DAK), maupun kewenangan pusat yang dilimpahkan dan ditugaskan ke daerah (Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan). Fungsi pembiayaan pendidikan dalam kerangka desentralisasi dan otonomi pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi

140

dan efektifitas pengelolaan dan penyelenggaraan urusan pendidikan. Seperti disebutkan dalam UU No. 32 /2004 tentang Pemerintahan Daerah, sektor pendidikan adalah salah satu yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah. Depdiknas akan terus membantu Kabupaten/Kota dalam pembiayaan pembangunan sektor pendidikan melalui ketiga pola pendanaan itu untuk mengatasi kekurangan kemampuan pembiayaan (fiscal gap) bagi sektor pembangunan pendidikan, sampai tercapainya kondisi pemerintah daerah mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan itu, melalui peningkatan dan dan PAD, dan/atau peningkatan alokasi DAU. Bersamaan Kabupaten/Kota dengan dalam komitmen kemampuan pengelolaan perencanaan

pembangunan terus ditingkatkan melalui pengembangan kapasitas (capacity development). Subsidi pembiayaan dan pengembangan kapasitas pada prinsipnya diarahkan untuk makin memperkuat pelaksanaan desentralisasi dan kemandirian pemerintah Kabupaten/Kota (otonom). Pelaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan harus terus mendorong pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) dan satuan pendidikan untuk dapat mencapai otonomi pengelolaan pendidikan. Pemerintah bersama pemerintah provinsi akan mengambil peran sebagai mitra pemerintah Kabupaten/Kota, melalui instrumen subsidi pembiayaan dengan pola Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Dana Dekonsentrasi pemerintah pusat diberikan kepada provinsi untuk membiayai pelaksanaan kewenangan pusat yang dijalankan oleh provinsi sebagai wakil pemerintah di daerah. Penggunaan dana dekonsentrasi misalnya dalam rangka pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan, termasuk kegiatan evaluasi, akreditasi, sertifikasi dan pengembangan kapasitas. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan

141

khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar nasional yang diharapkan. Penggunaan DAK antara lain untuk pembiayaan dalam rangka pelaksanaan kegiatan rehabilitasi bangunan-bangunan SD yang rusak berat yang akan diselesaikan pada tahun 2008, dan pembangunan sarana untuk memperkuas akses dalam rangka menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Pemberian DAK memerlukan dana pendamping dari daerah yang bersangkutan sekurangkurangnya 10% dari besarnya DAK. Tujuan menyertakan dana pendamping adalah untuk menumbuhkan rasa kepemilikan daerah atas aset yang dibangun dengan subsidi DAK tersebut. Dana tugas pembantuan bertujuan untuk menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan pemerintah yang ditugaskan kepada daerah. Pelaksanaan kewenangan yang harus berupa kegiatan fisik itu dijalankan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ditetapkan oleh Gubenur, Bupati, atau Walikota. 3. Fungsi Insentif don Disinsentif bagi Peningkatan Mutu

Pendidikan Pembiayaan pendidikan harus mampu menjadi insentif dan disinsentif bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Kapasitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam mengelola sumber-sumber daya pendidikan sangat menentukan keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Fungsi insentif dan disinsentif bagi peningkatan mutu akan dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mendorong tumbuhnya prakarsa, kreativitas, dan aktivitas pemerintah daerah dan satuan pendidikan dalam meningkatkan kapasitasnya untuk meningkatkan mutu.

142

Insentif dan disinsentif diberikan dalam bentuk subsidi (block grant) berdasarkan kriteria seperti: tujuan yang akan dicapai dalam pemenuhan standar nasional pendidikan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan, akuntabilitas dalam pengelolaan serta manfaat yang diperoteh. Evaluasi peningkatan mutu pendidikan akan dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang mengacu pada standar nasional pendidikan. Depdiknas dapat bekerjasama dengan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atau lembaga akreditasi/ sertifikasi koordinasi merupakan dalam menyusun sistem evaluasinya. dan pusat, maka Mengingat mutu mekanisme tugastugas kewenangan pengendatian pemerintah penjaminan

pemberian block grant untuk pelaksanaan Fungsi insentif dan disinsentif dilaksanakan melalui pola pendanaan Dekonsentrasi.

B.

Rencana Pembiayaan
Rencana pembiayaan yang akan dijelaskan dalam bagian ini

mencakup pembiayaan pembangunan pendidikan oteh pemerintah dan pembiayaan program prioritas Depdiknas sesuai dengan RPJM. Pembiayaan pendekatan memberikan pembangunan ideal gambaran pendidikan perlu yang menggunakan untuk dapat sebenarnya pembiayaan dijelaskan yang

besarnya

anggaran

diperlukan untuk membangun pendidikan yang bermutu sesuai dengan tujuan reformasi pendidikan dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Hat ini menyangkut konsekwensi upaya mencapai standar-standar nasional pendidikan sesuai PP No.19/2005, seperti standar pengelolaan, standar kompetensi guru, standar sarana/prasarana, dsb. Rencana pembiayaan pembangunan pendidikan dan program prioritas sampai dengan tahun 2009 adalah sebagai berikut.

143

1.

Pembiayaan Pembangunan Pendidikan Rencana pembiayaan pembangunan pendidikan dihitung

berdasarkan struktur pembiayaan pemerintah yang terdiri Biaya Operasional dan Biaya Investasi. Biaya Operasional terdiri atas Bioya Administrasi Pusat, Provinsi, don KabupotenlKota, dan Bioyo Operasional Pendidikan (PAUD, Dikdas, Dikmen, PNF, Dikti, clan PMPTK). Biaya Investasi terdiri atas komponen pembiayaan program yang diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yaitu peningkatan mutu (quality improvement), pengembangan sarana/prasarana (facility development), dan pengembangan kapasitas pengelolaan (capacity development). Beberapa program yang termasuk dalam alokasi pembiayaan peningkatan mutu adalah program advokasi /komunikasi publik, perluasan dan mutu PAUD, pengembangan PT, mutu dan SD/SMP/SMA/SMK, pengembangan governance

pengembangan /manajemen guru. Program yang termasuk dalam alokasi dana pengembangan sarana/prasarana adalah pembangunan gedung baru, rehabilitasi dan sumberdaya pendidikan. Program yang termasuk dalam alokasi dana pengembangan kapasitas adalah peningkatan manajemen termasuk Termasuk manajemen kabupaten/kota dalam alokasi dimulai sampai clan ini dana dari manajemen satuan untuk provinsi, pendidikan membiayai dengan ialah

monitoring,

evaluasi

peningkatan

akuntabilitas.

pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan. Perhitungan biaya operasional tahun 2005 menggunakan

besarnya biaya satuan per siswa per tahun menurut jenjang, dari sekolah dengan mutu ratarata berdasarkan studi Abbas (2004) dan McMahon (2003). Sedangkan perhitungan biaya operasional tahun 2009 menggunakan besarnya biaya satuan per siswa per tahun menurut jenjang dengan mutu yang sangat baik dalam studi yang sama.

144

Perhitungan biaya investasi didasarkan pada kebutuhan biaya untuk pengadaan lahan, sarana dan prasarana, serta pengembangan sumberdaya manusia. Seperti telah disinggung di depan, baik biaya operasional maupun biaya investasi dihitung sesuai dengan komitmen Pemerintah Pendidikan. kontribusi untuk Hat swasta mengupayakan ini yang berarti pencapaian proyeksi pada Standar Nasional telah kualitas pembiayaan peningkatan

memperhitungkan optimalisasi penggunaan dana pemerintah dan berorientasi manajemen, termasuk proporsi kontribusi swasta/pemerintah (nongovernment/government shares) yang makin tinggi pada jenjang Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi tetah (post-basic
3. 4. S. 1. 2. Tabel 5.1 Perkiraan Jumlah Kebutuhan Dana Pemerintah dan Dana yang belum Terpenuhi (dalam trillun rupiah) Dana Operasional Non-Diskresi Dana Investasi Dlskresl Jumlah Kebutuhan Pembiayaan Perkiraan Sumber APBN/D Dana belum 39.5 47.3 54.2 60.8 68.4 terpenuhi Caravan: Proyeksi anggaran Derdasarkan tanun 2005 dengan dasor Rp65 triliun dan kenaikan 5% 65.0 68.3 72.7 75.2 79.0 104.5 115.6 126.9 136.0 147.4 25.4 28.9 32.7 34.2 37.9 79.0 86.6 94_1 101,8 109,5

education). Proyeksi juga memperhitungkan variabel 5.1 memuat pengaruh ekonomi makro. Tabel

rencana pembiayaan dengan metode perhitungan di atas. Nomor 1, 2, dan 3 masing-masing merupakan besaran Biaya Operasional, Biaya Investasi, dan Total keduanya. Masing-masing sudah memperhitungkan asumsi inflasi 7% untuk Biaya Operasional, 10% untuk Biaya Investasi. Nilai total adalah kebutuhan pembiayaan pembangunan pendidikan kita dalam lima tahun ke depan. Sementara itu, sumber pembiayaan pendidikan 2005 yang berasal dari APBN/APBD diperkirakan sebesar 65 triliun, di luar dana kontribusi masyarakat. Berdasarkan perkiraan tersebut, proyeksi dana yang belum terpenuhi pada tahun 2005 diperkirakan sebesar 39.5 triliun. Bila kenaikan anggaran APBN/D hanya 5% per tahun,

145

maka besarnya sumber pembiayaan pada tahun 2009 diperkirakan sebesar 79 triliun, dan besarnya dana yang belum terpenuhi menjadi 68,4 triliun. Untuk mengetahui kemungkinan pemenuhan kekurangan dana (fiscal gap), sumber-sumber dana yang dapat diperhitungkan di luar pemerintah ialah tambahan pembiayaan dari pemerintah daerah, masyarakat (untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi), dan donor luar negeri. Tabel 5.2 menampilkan dana tersebut. skenario Nomor kemungkinan 1 adalah total pemenuhan kebutuhan

kekurangan

pembiayaan 2005-2009; Nomor 2 merupakan perkiraan anggaran yang telah disepakati antara pemerintah dan Panja DPR 2005-2009 ; Nomor 3 adalah kekurangan kebutuhan dana 2005-2009, setelah dikurangi anggaran hasil kesepakatan Panja DPR; Nomor 4 adalah selisih dari perkiraan sumber APBN/D untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dengan anggaran hasil kesepakatan Panja DPR dari tahun 2005 s/d 2009, yang berturutturut meningkat sebesar 10% (2006), dan 5% (2007-2009); Nomor 5 merupakan asumsi besarnya pemenuhan oleh donor luar negeri, sebesar 5% dari total kebutuhan pembiayaan 2005-2009; Nomor 6 adalah perkiraan besarnya dana kontribusi masyarakat pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi (postbasic education) 2005-2009; Nomor 7 merupakan jumiah dari proyeksi sumber APBN/APED (Nomor 4), perkiraan donor luar negeri (Nomor 5), dan perkiraan kontribusi dana masyarakat (Nomor 6).

146

Tabel 5.2 Perkiraan jumlah kekurangan dana yang mungkin dapat dipenuhi oleh pemerintah daerah, masyarakat, dan bantuan luar negeri (donor) 2005-2009
Dalam Tnliun Rupiah

KETERANGAN
1 2 3 4 5

2005
104.5 24.9 79.6 40.1 5.2 14 59.3

2006
115.6 33.8 81.8 44.1 5.8 15.8 65.7

2007
126.9 43.4 83.5 46.3 6.3 17.7 70.4

2008
136.0 54 82.0 48.6 6.8 19.6 75.0

2009
147.4 65.5 81.9 51.1 7.4 22.2 80.6

Total kebutuhan pembiayaan Kesepakatan Panja Kekurangan kebutuhan Proyeksi Kontribusi Pem.Daerah Perkiraan Donor Luar Negeri KontribusiDana Masyarakat Jumlah poin 4,5,6 Kekurangan (fiscal gap)

e
7

20.3

16.1

13.1

7.0

1.3

Dari jumlah pada nomor 7 (jumlah perkiraan kontribusi pemerintah daerah, kontribusi donor luar negeri, dan kontribusi masyarakat), diperoleh kekurangan dana (fiscal gap) berturut-turut sebesar (datam Rupiah) 20,3 triliun (2005); 16,1 tritiun (2006); 13,1 triliun (2007); 7,0 triliun (2008); dan 1,3 triliun (2009). Sejalan dengan meningkatnya kemampuan keuangan dari berbagai sumber itu, fiscal gap juga makin membaik walaupun sampai dengan tahun 2009 jumlahnya masih 1,3 triliun rupiah. Beberapa alternatif untuk menutup fiscal gap ialah dengan mengupayakan peningkatan sumber pendanaan dari pemerintah daerah, partisipasi pendanaan yang makin besar dari masyarakat, atau meningkatkan bantuan luar negeri (donor).

147

2.

Rencana Pembiayaan Program Prioritas Berdasarkan kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah pada

tahun 2004, diperoleh skenario kenaikan secara bertahap anggaran pendidikan berdasarkan proyeksi kapasitas fiskal pemerintah hingga mencapai 20% dari Belanja Pemerintah. Rencana kenaikan tersebut berturut-turut (mulai 2006) adalah 12% (33,8 triliun), 14,7% (43,4 triliun), 17,4% (54 triliun), dan 20,1% (65,5 triliun). Dengan skenario tersebut, anggaran pendidikan dialokasikan kepada masing-masing program sesuai dengan urutan prioritas yang telah ditetapkan oleh Depdiknas dan sesuai RPJM. Setiap program pembangunan pendidikan yang tercantum dalam RPJM memiliki tingkat prioritas yang berbeda. Prioritas anggaran, selain ditentukan untuk mengatasi masalah-masalah yang mendesak, juga dimaksudkan untuk melanjutkan upaya yang telah dilakukan sebelumnya dalam mengembangkan dasar-dasar bagi pencapaian tahapan berikutnya, dalam kerangka pencapaian tujuan pembangunan mencapai kebijakan pendidikan jangka jangka panjang. Prioritas sesuai Depdiknas program dengan telah dijabarkan lebih lanjut dalam kegiatan strategis dalam rangka sasaran-sasaran Departemen menengah Nasional. Pendidikan

menetapkan 37 kegiatan strategic yang terbagi dalam tiga tema pembangunan pendidikan, yaitu pemerataan clan perluasan akses (13 kegiatan), mutu, relevansi, dan daya saing (13 kegiatan), dan Governance, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik (11 kegiatan). Dalam pelaksanaan anggaran, pembiayaan 37 kegiatan strategis dibebankan pada 15 program pembangunan pendidikan. Tabel 5.3 berikut memuat rencana anggaran 15 program pembangunan pendidikan, dimana secara keseluruhan nilai nominal anggaran mengalami kenaikan hingga tahun 2009, mengikuti skenario kenaikan anggaran berdasarkan kesepakatan pemerintah

148

dengan Panja DPR. Penyusunan alokasi anggaran tahun 2005 bersumber dari rancangan APBN-P 2005, sedangkan untuk tahun 2006 disusun berdasarkan rencana penganggaran Depdiknas yang ingin diusulkan ke DPR. Angka-angka alokasi anggaran tahun 20072009 merupakan proyeksi yang dihitung dengan basis anggaran berdasarkan kesepakatan Depdiknas dengan Panja DPR. Setiap program diproyeksikan dengan asumsi pertumbuhan berdasarkan target alokasi di tahun 2009. Pendanaan biaya operasional Wajar pendidikan dasar 9 tahun menempati pemerintah prioritas dalam pertama, untuk wajib mewujudkan belajar 9 komitmen yang menuntaskan tahun,

ditargetkan akan selesai pada tahun 2009. Total anggaran untuk Program Wajar Dikdas 9 Tahun pada tahun 2005 adalah sekitar 12,1 triliun rupiah, yang diperuntukkan bagi pembiayaan bantuan operasional satuan pendidikan (BOS) SD/MI-SMP/MTs sederajat; penyediaan sarana clan prasarana pendidikan, termasuk perbaikan gedung/ruang kelas; perluasan akses SLB clan sekolah inklusif; serta pengembangan sekolah wajar layanan khusus.

149

BOS landasan

dimaksudkan yang kokoh

untuk bagi

menutup upaya

biaya

minimal mutu

operasi secara

pembelajaran yang secara minimal memadai untuk menciptakan peningkatan berkelanjutan. Komponen pembiayaan yang termasuk dalam BOS adalah uang formulir pendaftaran, buku, pemehharaan, ujian sekolah clan ulangan, honor guru/tenaga kependidikan honorer, serta kegiatan

Tabel 5.3 Proyeksi Anggaran Depdiknas Menurut Program, Tahun 2005-2009


TAMUN Na 1 2 3 4 5 6 7 4 9 10 Program :00s 2006 2007 2ooa 2009 1,605, 2,007 1,079,5 Pmdldaun End Usla O3n1 253,060 961.020 974 468 07 19 16,106,9641 Wah6 aebjr Pmdldlun Oar 9 Tahun 12.097.78 15,297,85 4 7 18,042,835 691,587 7,794, 5,447. 6,781, 8,918,0 Pm6d,lkm 1Amryah 2,772.160 756 214 735 82 7,300. 9,500, 12,900,00 15,500,00 P9ndldlk&n Tlnhl 6,793,215 000 000 0 0 1,153, 1,620, 2.631, 4,647,0 P~Idlk.N9n-Prmal 718,417 600 912 30 50 Peolrgk.Mut.Pdid*danTapkependl 3,161,5431 S,9Q,4 7,SU,S 9,612.0 d*rl 3,675,000 10 So 70 2,077, 2,681,2 AlanalaemPelayananPmdidikul 192,523 741,4631 1,482,220 912 64 Penelltlm dm PerywMSnpn 46.390 738,0W 414.000 540,000 65S,ow Prldldlkan Pmlogk. Pmplvavn den Akunta6Mtr 28,501 117 166, 1,032 229,645 721,502 AP, NOBara Penelltlan clan Penjen*anpo Opt 40,000 40,000 42,600, 45.769 48,319 11 Pence+156.Bud.,,Sau6Pe1n61rur1P 70,2751 114,043 144,796 217,197 125,6 Pmpatan 1emba13am PUG clan 12 erwstahaan 17,300 17,100 25,950 38,925 58,188 P anj 13 Mak laaan Sumbee oaea Marlusla 5,000 5,000 10.000 20.000 40,000 Aparatur 14lPaMnIkatanSaranaPrasranaAprwu 112,215 132,849 166.824 179,797, 191,434, 15 rPmTlm9 432,468 506,946 661,202 704,160 749,952 Ppmm1lmegsram6k~Mahan 26,200,87 73,600,00 47,400 54,000,00 66,500,00 lumlah 2 0 ,000 0 0 24.900,00 33.800,00 41.400.0001 $4,000,0001 kasmakwanPAMJA 0 0 65,500,0001 Catatan : 1. Sebesar Rp 4,15 tri0un dari kompensasi BBM tahun 2005 masuk pada Program Waiar Dikdas 9 Tahun 2. Untuk tahun 2006-2009 dipredlksi dana kompensasl BBM setiap tahun sudah teranggarkan pada APBN untuk Program Waiar Drkdas 9 Tahun 3. Alokasl D1kti belum lermasuk Pendapatan Negara Bukan Paiak IPNBPI

kesiswaan. Secara bertahap, BOS atau subsidi dikembangkan menjadi school funding formulation yang memperhitungkan kemampuan masyarakat kaya can miskin, serta harga setempat. Dengan kebijakan subsidi BOS tersebut, pemerintah akan mewujudkan pendidikan dasar bebas biaya terbatas. Selain itu, pemerintah tetap akan memberikan subsidi biaya personal bagi sekolah yang sebagian besar siswanya berasal dari keluarga miskin dan daerah bermasalah.

150

Anggaran Wajar Dikdas 9 Tahun diperuntukkan juga untuk penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Penyediaan dan sarana/prasarana SD/MI/sederajat mencakup rehabilitasi

revitalisasi sarana/prasarana yang rusak. Sekitar 200 ribu unit akan selesai direhabilitasi tahun 2008, sementara sekitar 300 ribu unit ruang Was yang rusak ringan dibebankan kepada APBD kabupaten/kota. Untuk SMP/MTs/sederajat, kegiatan penyediaan sarana/prasarana antara lain diarahkan untuk membangun unit sekolah baru (USB) dan ruang kelas baru (RKB). Pembangunan USB/RKB hanya dilakukan pada jenjang SMP/MTs/sederajat, untuk lebih mendorong peningkatan APM SMP/MTs/sederajat makin mendekati angka APM SD/MI/sederajat yang sudah lebih baik. Program Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang dianggarkan sekitar 3,1 triliun (2005), selain untuk rekrutmen guru dalam rangka program Wajar Dikdas, juga akan digunakan untuk pembiayaan kebijakan strategis yang termasuk dalam tema peningkatan mutu, relevansi, don daya saing, yaitu pengembangan guru sebagai profesi dan pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua kebijakan yang strategis untuk membenahi persoalan guru tersebut akan terus berlanjut dengan anggaran 9,6 triliun pada tahun 2009. Pendidikan Non-Formal (PNF) dianggarkan sekitar 348 miliar (2005) yang antara lain digunakan untuk pembiayaan kebijakan strategis berikut, baik yang termasuk dalam tema pemerataon don perluasan akses pendidikan, maupun peningkatan mutu, relevansi, don daya saing. Kebijakan yang dimaksud ialah Perluasan Akses Pendidikan Wajar Non-Formal dan Pendidikan Keaksaraan bagi penduduk usial5 tahun ke atas, serta Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup (life skills), yang merupakan bagian dari 36 program strategis. Kebijakan strategis pendidikan keaksaraan ingin mendorong penduduk usia >15 tahun yang memiliki tiga buta, yaitu
151

buta aksara latin dan angka arab, buta bahasa Indonesia dan buta pengetahuan dasar, mengikuti pendidikan keaksaraan fungsional. Program ini menargetkan penurunan penduduk buta aksara menjadi 5% penduduk pada tahun 2009. Jumlah penduduk buta aksara akan dikurangi sekitar 7,5 juta orang selama lima tahun, atau rata-rata sebanyak 1,5 juta orang setiap tahunnya. Untuk itu, diperlukan dana sebesar 2,6 triliun untuk melaksanakan program keaksaraan fungsional selama lima tahun, atau membutuhkan dana sekitar 500 miliar setiap tahun. Sampai dengan tahun 2009, anggaran PNF terus ditingkatkan hingga mencapai sekitar 4,6 triliun. Pendidikan PAUD dianggarkan sekitar 253 miliar (2005), diperuntukkan bagi kebijakan strategis yang termasuk dalam tema pemerataan don perluasan akses, yaitu Perluasan akses PAUD. Anggaran tersebut berangsur-angsur meningkat hingga mencapai 3 triliun pada tahun 2009. Pendidikan Menengah dianggarkan sekitar 2,8 triliun (2005) don akan ditingkatkan hingga 8,9 triliun pada tahun 2009, yang antara lain untuk membiayai kebijakan strategis yang termasuk dalam tema pemeratoon don perluosan akses pendidikon, serta peningkatan mutu, relevansi, don daya saing, yaitu Perluasan Akses SMA/SMK dan SM Terpadu; Perluasan Pendidikan Kecakapan Hidup; Profesi. Program Pendidikan Tinggi yang dianggarkan 6,4 triliun (2005), diperuntukkan bagi kebijakan strategis yang termasuk dalam tema pemeratoon don perluosan okses, yaitu program Perluasan Akses PT don Pemanfaatan ICT sebagai media pembelajaran jarak jauh, serta tema peningkatan mutu, relevansi, don daya saing, yaitu program yang mendorong jumlah program studi untuk masuk dalam 100 besar Asia, don peningkatan jumlah don mutu publikasi ilmiah don Hak Atas Pengembangan Sekolah Berkeunggulan (lokal dan internasional); Akselerasi Jumlah Program Studi Kejuruan, Vokasi, dan

152

Kekayaan Intelektual (HAKI). Anggaran Pendidikan Tinggi terus ditingkatkan hingga mencapai 15,5 triliun pada tahun 2009. Program Manajemen Pelayanan Pendidikan dianggarkan sekitar 392,5 miliar (2005), digunakan untuk pembiayaan kebijakan strategis yang termasuk dalam tema Governance, Akuntabilitas, don Pencitroan Publik, yaitu Peningkatan Kapasitas don Kompetensi Aparat dalam perencanaan don penganggaran; serta Peningkatan Kapasitas don Kompetensi Manajerial Aparat. Program yang penting dalam peningkatan kemampuan pengelolaan pendidikan ini akan terus ditingkatkan anggarannya hingga mencapai sekitar 2,7 triliun pada tahun 2009. Program Peningkatan Pengawasan don Akuntabilitas Aparatur Negara yang dianggarkan 28,5 miliar pada tahun 2005 akan terus ditingkatkan hingga mencapai 321,5 miliar pada tahun 2009. Anggaran program akan digunakan untuk pembiayaan kebijakan strategis yang termasuk dalam tema Governance, Akuntabilitas, don Pencitroon Publik, yaitu Peningkatan SPI yang berkoordinasi dengan BPKP don BPK; Peningkatan Kapasitas don Kompetensi Pemeriksaan Aparat ITJEN; Pelaksanaan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan KKN; Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh itjen; Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh itjen, BPKP, dan BPK; serta Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan ITJEN, BPKP, dan BPK. Program Penelitian dan Pengembangan Pendidikan yang

dianggarkan 86,4 miliar (2005), dan meningkat hingga 655 miliar (2009), diharapkan dapat meningkatkan mutu penelitian untuk mendukung kebijakan. Anggaran programprogram lainnya (2005), yaitu program Penelitian dan Pengembangan Iptek (40 miliar), Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan (70,3 miliar), Penguatan Kelembagaan PUG dan Anak (17,3 miliar),
153

Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur (5 miliar), Peningkatan Sarana Prasarana Aparatur (112,2 miliar) serta Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan (432,5 miliar), juga ditingkatkan bertahap hingga tahun 2009, agar dapat memberikan dukungan yang makin efektif untuk berhasilnya program-program lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan strategis lainnya yang belum disebutkan di atas, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/SM terpadu, SLB, dan PT, serta Penerapan Telematika dalam pendidikan, sudah termasuk dalam pola-pola pendanaan beberapa program yang relevan pada jenis dan jenjang pendidikan masingmasing.

154

BAB VI SISTEM MONITORING DAN EVALUASI


(Bab ini perlu dikaji ulang, terutama butir D)

Sistem monitoring dan evaluasi (Sistem Monev) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Renstra Departemen Pendidikan Nasional. Tujuan Monev adalah untuk mengetahui tingkat pencapaian dan kesesuaian antara rencana yang telah ditetapkan dalam Renstra Depdiknas 2005-2009 dengan hasil yang dicapai berdasarkan kebijakan yang dilaksanakan melalui kegiatan dan/atau program pendidikan nasional di setiap satuan, jenjang, jenis, dan pendidikan secara berkala. Monev yang dilakukan ditempuh dalam melalui konteks proses desentralisasi pendidikan,

perancangan, perencanaan, dan pelaksanaan pendidikan di tingkat pusat dan daerah. Proses ini sekaligus. sebagai upaya pemberdayaan sekaligus peningkatan kapasitas dan kapabilitas aparat Monev di berbagai tingkatan secara sinergis dan berkesinambungan, datang. Monev dilakukan oleh lembaga yang lebih tinggi terhadap lembaga yang lebih rendah sampai ke satuan pendidikan. Monev
155

sehingga

desentralisasi

pendidikan

dapat

dilaksanakan dengan baik dalam waktu lima tahun yang akan

dapat dilakukan oleh unitunit utama dalam Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Cabang Dinas Provinsi, Pendidikan Dinas Pendidikan satuan Kabupaten/Kota, Kecamatan,

pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) dan/atau Badan Akreditasi Daerah Sekolah/Madrasah (BAD-S/M) serta Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP). Acuan utama dalam mengukur kesesuaian standarisasi yang tercantum dalam Renstra dan/atau Renstrada 2005-2009 adalah Standar Nasional Pendidikan (SNP). Apabila dalam pelaksanaan Monev ditemukan masalah atau penyimpangan, maka secara langsung dapat dilakukan bimbingan, saran-saran dan cara mengatasinya serta melaporkannya secara berkala kepada stakeholders. Stakeholders dalam penyelenggaraan pendidikan nasional adalah orangtua siswa, masyarakat luas, Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Satuan Pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan para Donatur baik milik pemerintah maupun swasta dan birokrat dari berbagai tingkat pemerintahan serta dari luar negeri. Melalui Monev dapat diketahui berbagai hal yang berkaitan dengan tingkat pencapaian tujuan (keberhasilan), ketidakberhasilan, hambatan, tantangan, dan ancaman tertentu dalam mengelola dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan satuan pendidikan.

A.

Prinsip datam Metaksanakan Monev


Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan berdasarkan

prinsipprinsip sebagai berikut: 1) tujuan dan hasil yang diperoleh dari Monev jelas; 2) pelaksanaan Monev dilakukan secara objektif dan harus dilakukan oleh petugas yang memahami konsep, teori dan proses serta pengalaman dalam melaksanakan monev agar hasilnya sahih dan terandal; 3) pelaksanaannya dilakukan secara terbuka
156

(transparan)

sehingga

dapat

diketahui

oleh

siapapun

yang

berkepentingan dan dilaporkan kepada stakeholders secara luas melalui berbagai cara; 4) partisipatif, artinya melibatkan berbagai pihak yang dipandang perlu dan berkepentingan secara proaktif; 5) akuntabel, komprehensif, artinya yaitu pelaksanaannya secara mencakup internal seluruh dan objek harus agar dapat 6) dapat dipertanggungjawabkan eksternal;

menggambarkan secara utuh kondisi dan situasi sasaran Monev; 6) tepat waktu, yaitu pelaksanaannya harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan pada saat yang tepat agar tidak kehilangan momentum yang sedang terjadi; 7) berkesinambungan, yaitu dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan; 8) berbasis indikator kinerja, yaitu kriteria/indikator yang dikembangkan berdasarkan 3 (tiga) tema kebijakan Depdiknas; 9) efektif dan efisien, artinya target Monev harus dicapai dengan menggunakan sumber daya yang ketersediaannya terbatas dan sesuai dengan yang direncanakan.

B.

Landasan Hukum dalam Petaksanaan Monev


Monev yang dilaksanakan berdasarkan beberapa landasan

hukum di bidang pendidikan atau peraturan perundangan lain yang terkait dengan pendidikan, yaitu: 1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP); dan 4) berbagai peraturan perundangan terkait lainnya. Selain merujuk pada berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada, perlu juga mempertimbangkan beberapa draft UndangUndang dan Peraturan Pemerintah seperti Undang-Undang

157

Badan Hukum Pendidikan (BHP), Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Pendidikan Nasional.

C. Pelaksana Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi dapat ditakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan.

1.

Monitoring dan Evaluasi oleh Pemerintah Sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah,

monev dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah serta institusi lain yang berkompeten. Dalam konteks pemerintah, monev dimaksudkan untuk menggati masukan, data, dan informasi yang dijadikan dasar dalam perumusan kebijakan nasional. Kebijakan nasional itu terutama yang berkaitan dengan hat-hat sebagai berikut: a) Pengembangan dan penetapan acuan kurikulum nasional. b) Pengembangan dan perumusan standarisasi mutu dan

relevansi pendidikan. c) Pengembangan dan pelaksanaan pemeratan dan perluasan kesempatan pendidikan. d) Peningkatan daya saing output dari kebijakan, kegiatan dan program pendidikan oleh pemerintah di tingkat regional maupun internasional e) Pengembangan dan perumusan kebijakan mekanisme

pengawasan, evaluasi, dan monitoring


f)

Pemberian kekurangan

masukan dalam

bagi

Pemda

tentang

kelebihan

dan

implementasi kebijakan

nasional yang

tertuang dalam Renstrada 2005-2009. g) Peningkatan kapabilitas dan kapasitas aparat daerah dalam menjabarkan Renstra Depdiknas menjadi Renstrada 20052009, yang implementasinya disesuaikan dengan kondisi,

158

potensi, dan kebutuhan daerah. Dengan demikian, Pemda dan satuan pendidikan dapat melaksanakan rencana strategic selama lima tahun ke depan dan mampu mengelola program secara efektif, efisien, akuntabel, transparan, dan produktif.
h)

Penyusunan anggaran pendidikan yang memihak pada orang miskin dan satuan pendidikan. Untuk itu, pemerintah berkewajiban melakukan Monev atas anggaran yang berasal dari APBN yang berbentuk DAK, DTP, dan Dekon. Sesuai dengan PP Nomor perlu 25 Tahun 2000 Pasal 2, Ayat (3), pemerintah menyusun pedoman pembiayaan

penyelenggaraan pendidikan. i) Perwujudan aparatur pemerintah, pemerintah daerah dan satuan pendidikan yang bebas dari KKN, yang ditandai oleh menurunnya jumlah kasus-kasus KKN yang terjadi. j) Peningkatan citra publik pemerintah Indonesia terutama

dalam bidang pendidikan. k) Memberi masukkan bagi BSNP, BAN-S/M, BAD-S/M, BAN-PT, BAN-PNF, BADPNF, Lembaga Sertifikasi Kompetensi tersebut penjaminan dan peningkatan melaksanakan kinerja badanbadan akreditasi, dalam mutu,

standarisasi,

pengawasan mutu, monitoring dan evaluasi program, kegiatan dan hash belajar tingkat nasional. 2. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Pendidikan Tingkat

Provinsi Tujuan Monev yang dilakukan oleh pemerintah provinsi adalah untuk (1) mengukur tingkat pencapaian target pembangunan pendidikan pada provinsi bersangkutan sesuai dengan Renstrada 2005-2009; dan (2) memperbaiki dalam kinerja aparatur pendidikan Pemda makin kabupaten/kota, kecamatan dan satuan pendidikan agar kapabilitas kapasitas penyelenggaraan

159

meningkat; (3) meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda dan menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (4) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur pemda provinsi dalam melaksanakan tugas Monev. Di samping itu, Monev juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala (triwulanan, semesteran, dan tahunan) berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Monev yang dilakukan aparatur Pemda ada Provinsi dalam terhadap provinsi kinerja tersebut seluruh dengan kabupaten/kota yang

berdasarkan laporan dari kabupaten/kota kepada pemda provinsi. Kesemuanya itu merupakan masukkan penting bagi Depdiknas dalam menyusun laporan dan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional. Monev terhadap peningkatan mutu dan relevansi yang dicapai oleh setiap kabupaten/kota dilaksanakan oleh BAN-S/M, BAN-PNF, yang difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Nasional Provinsi dan Dewan Pendidikan tingkat provinsi. Acuan utama dalam melaksanakan standarisasi, akreditasi, penjaminan mutu, pengawasan mutu dan Monev adalah Standar Nasional Pendidikan (PP Nomor 19/2005) beserta peraturan pemerintah lainnya yang telah dijelaskan di atas. Tim Monev tingkat provinsi merupakan unsur utama dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi pendidikan provinsi yang juga merupakan bagian dari jaringan sistem informasi pendidikan nasional.

3.

Monitoring

dan

Evaluasi

oleh

Dinas

Pendidikan

Kabupaten/Kota Tujuan Monev yang dilakukan oleh pemerintah daerah

kabupaten/kota adalah untuk (1) mengukur tingkat pencapaian

160

target pembangunan pendidikan pada kabupaten/kota tersebut sesuai dengan Renstrada aparatur meningkat; dan Kabupaten/kota Pemda (3) 20052009; dan (2) memperbaiki pendidikan efisiensi, kinerja makin kecamatan satuan

pendidikan agar kapabilitas dan kapasitas dalam penyelenggaraan meningkatkan sistem efektivitas, pengelolaan transparansi akuntabilitas

program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda serta untuk menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (4) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur pemda kabupaten/kota dalam melaksanakan tugas Monev. Di samping itu, Monev juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala Dinas Pendidikan Kabupaten/kota (triwulanan, tengah tahunan, dan tahunan) kepada Dinas Provinsi. Data dan informasinya diperoleh dari Monev yang dilakukan aparatur Pemda kabupaten/kota terhadap kinerja seluruh aparatur pemerintah di tingkat kecamatan dalam kabupaten/kota tersebut dan dari laporan Dinas Pendidikan Kecamatan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/kota. Peran Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dalam Monev sebagai pelaksana utama yang secara berkala melakukan Monev untuk mengetahui secara cepat berbagai hat yang terjadi di wilayahnya, sebagai hash dari implementasi kebijakan teknis dan administratif yang tercantum dalam Renstrada kabupaten/kota. Dalam melaksanakan Monev Dinas Pendidikan perlu menyertakan berbagai pihak yang terkait, seperti Dewan Pendidikan, Kandep Agama, para Camat, dan Komite Sekolah/PLS dalam kabupaten/kota tersebut. Dinas Pendidikan hash yang dan kabupaten/kota Monev pihak dan lain dipandang perlu juga berkewajiban saran-saran Bupati/Wali Monev untuk untuk Kota, tingkat melaporkan perbaikan stakeholders memberikan kepada yang

terkait.

kabupaten/kota harus mampu menyajikan data, informasi dan peta

161

pendidikan secara aktual, lengkap dan rinci di setiap kecamatan maupun informasi dan data pendidikan secara keseluruhan di kabupaten/kota tersebut. Tim Monev tingkat kabupaten/kota merupakan unsur penting dalam penyusunan dan implementasi sistem informasi pendidikan kabupaten kota dan merupakan bagian dari sistem informasi pendidikan provinsi yang secara proaktif dan berkala memberikan data dan informasi ke sistem informasi provinsi. Monev terhadap peningkatan mutu dan relevansi yang dicapai oleh setiap satuan pendidikan di tingkat kecamatan dilakukan oleh BAD-S/M dan BAD-PNF dengan difasilitasi oleh Dinas Pendidikan di kabupaten/kota tersebut. Acuan utama dalam melaksanakan standarisasi, akreditasi, penjaminan mutu, pengawasan mutu dan Monev adalah Standar Nasional pendidikan (PP Nomor 19/2005) beserta peraturan pemerintah lainnya yang telah dijelaskan di atas.

4. Monitoring dan Evaluasi oleh Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Tujuan Monev yang dilakukan oleh Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan adalah untuk (1) mengukur tingkat pencapaian target pembangunan pendidikan pada kecamatan tersebut sesuai dengan target yang telah ditetapkan dalam Renstrada Kabupaten/kota 20052009; (2) memperbaiki kinerja satuan pendidikan agar kapabilitas dan kapasitas dalam penyelenggaraan pendidikan makin meningkat; (3) meningkatkan efektifitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas sistem pengelolaan program dan kegiatan pendidikan untuk meningkatkan prestasi kerja aparatur Pemda serta untuk menekan sekecil mungkin terjadinya KKN; dan (4) meningkatkan kemampuan dan kesanggupan aparatur pemda Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan dalam melaksanakan tugas Monev. Di samping itu,

162

Monev juga dimaksudkan untuk menyusun laporan berkala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan (triwulanan) tengah tahunan, dan tahunan) kepada Dinas Pendidikan kabupaten/kota. Data dan informasinya diperoleh dari Monev yang dilakukan aparatur Pemda kecamatan terhadap kinerja seluruh aparatur di setiap satuan pendidikan dan berasal dari laporan petugaqs di setiap satuan pendidikan. Monev di tingkat kecamatan ditekankan agar dapat menyajikan data dan informasi pendidikan secara aktual, lengkap dan rind di setiap desa/satuan pendidikan serta, data dan informasi pendidikan secara keseluruhan di kecamatan tersebut. Tim Monev kecamatan secara berkala dan proaktif memberikan data dan informasi pendidikan di kecamatan tersebut ke sistem informasi pendidikan tingkat kabupaten/kota.

5.

Monitoring dan Evaluasi oleh Satuan Pendidikan Peran satuan pendidikan dalam Monev ada tiga hat, yaitu

sebagai (1) pelaku utama dalam mengevaluasi satuan pendidikan yang hasilnya dikemas dalam bentuk pengembangan data dan informasi pendidikan; (2) pemberi masukan dan penyusun laporan kepada Dinas pendidikan kecamatan tentang kondisi di satuan pendidikannya; dan (3) pelaku utama dalam menindaklanjuti hash Monev dalam bentuk program nyata di satuan pendidikan bersangkutan. Fungsi Monev dalam satuan pendidikan adalah untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pada satuan pendidikan yang bersangkutan secara berkala, yang hasilnya dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja. Laporan dari masing-masing tingkat pemerintahan merupakan pertanggungjawaban hasil kinerja tahunan sebagai bentuk akuntabilitas publik atas pencapaian kinerja dalam tahun tertentu

163

atau dari tahun ke tahun, yang secara keseturuhan merupakan pencapaian target Renstra Depdiknas 2005-2009 selama lima tahun. Sistem Monev yang ada di setiap tingkat pemerintahan sampai dengan satuan pendidikan merupakan satu kesatuan Monev yang saling menentukan kualitas dan sating tergantung satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, Monev yang bersifat top down perlu dijaga mutunya karena akan menentukan kualitas Monev di setiap tingkat pemerintahan dan kualitas sistem pendataan dan informasi Departemen Pendidikan Nasional. 6. Monitoring dan Evaluasi oleh Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP (BSNP) dan Lembaga sejajar Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) merupakan mitra Departemen Pendidikan Nasional dalam pengembangan, pemantauan, dan pengendalian mutu pendidikan nasional. BSNP merupakan badan independen dan mandiri yang berkedudukan di pusat yang bertugas melaksanakan penilaian pencapaian standar nasional pendidikan melalui ujian nasional. Tujuan dilakukannya Monev oleh BSNP ialah untuk mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi pencapaian Standar Nasional Pendidikan. Sedang Monev yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan ialah untuk pemetaan pencapaian standar nasional, mengembangkan model interfensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga mencapai standar nasional dan membantu BANS/M, BAN-PNF, dan BAN-PT dalam melakukan akreditasi satuan, pendidikan.

164

D. Mekanisme Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional


Monev mencakup aspek: 1) pemerataan dan perluasan akses; 2) penjaminan mutu, relevansi pendidikan dan daya saing, 3) governance, akuntabilitas dan pencitraan publik. Lembaga-lembaga yang melaksanakan Monev yaitu lembaga-lembaga penjaminan mutu seperti BSNP, BAN, LPMP, aparat Pemerintah (Depdiknas), aparat Pemerintah Daerah (Dinas Pendidikan Nasional provinsi dan Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten/kota, serta satuan pendidikan itu sendiri. Namun demikian, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga independen lainnya untuk yang peduli terhadap Monev, pendidikan juga diperkenankan melakukan bekerjasama dengan

pemerintah dan pemerintah daerah maupun mandiri. Monev untuk meningkatkan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan dilakukan oleh lembaga-lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan tugas tersebut, yaitu Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), BAN-S/M, BAD-S/M, BAN-PNF, BAD-PNF, BAN-PT dan LPMP. Evaluasi terhadap kompetensi peserta didik lulusan dari

pendidikan tingi, pendidikan formal, pendidikan kejuruan, vokasi, PNF dilaksanakan atas kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar tingkat relevansi lulusan dengan lapangan kerja yang tersedia semakin tinggi karena standar yang digunakan oleh LSP dan BNSP merupakan standar kompetensi nasional dan internasional.

E.

Indikator Kinerja Pendidikan Nasional Monev dilakukan terhadap kinerja satuan organisasi yang

mencakup aspek teknis, administrasi dan pengelolaan kegiatan dan/atau program pendidikan tersebut. Monev yang dilakukan pada
165

hakekatnya untuk mengukur kesesuaian pencapaian indikator kinerja atau target kerja yang ditetapkan dalam rencana jangka menengah (2005-2009) dengan target yang dapat dicapai melalui strategi pelaksanaan tertentu. Oleh sebab itu, indikator kinerja yang digunakan memiliki kriteria yang berlaku spesifik, umum, jelas, relevan, dapat dicapai, dapat dikuantifikasikan, dan dapat diukur secara obyektif serta fleksibel terhadap perubahan/penyesuaian. Mengingat bidang pendidikan mempunyai program

pembangunan pendidikan yang beragam, maka indikator kinerja yang diukur dapat bersifat fisik (misalnya: pembangunan prasarana dan sarana fisik, angka partisipasi siswa, angka mengulang kelas, dan angka putus sekolah) maupun nonfisik, misalnya, peningkatan nilai Ujian Nasional, serta kecerdasan dan perilaku peserta didik. Berdasarkan sifat dari masing-masing jenis indikator kinerja maka diperlukan cara dan alat ukur yang berbeda sesuai dengan sifat dan bentuk indikator yang akan diukur. Dalam bidang pendidikan, ada empat jenis indikator kinerja yang biasa digunakan sebagai acuan dalam Monev atau pengukuran kinerja organisasi, yaitu: 1. Indikator masukan, yang mencakup antara lain kurikulum, siswa, dana, sarana dan prasarana belajar, data dan informasi, pendidik dan tenaga kependidikan, gedung sekolah, kelompok belajar, sumber belajar, motivasi belajar, kesiapan anak (fisik dan mental) dalam belajar, kebijakan dan peraturan serta perundang-undangan yang berlaku. 2. Indikator proses, yang meliputi antara lain lama waktu belajar, kesempatan mengikuti pembelajaran, lama mengikuti pendidikan, pembelajaran, jumlah mutu yang proses putus sekolah, efektivitas metode pembelajaran, dan

pembelajaran yang digunakan.

166

3.

Indikator keluaran, yang terdiri antara lain jumlah siswa yang lulus atau naik kelas, nilai-rata-rata ujian, mutu lulusan yang naik kelas, dan jumlah siswa yang menyelesaikan pembelajaran/naik kelas berdasarkan jenis kelamin.

4.

Indikator

dampak,

yang

antara

lain

berupa

kemampuan/jumlah siswa yang melanjutkan sekolah, jumlah siswa yang bisa bekerja di perusahaan atau usaha mandiri, jumlah angkatan kerja berdasarkan tingkat pendidikan, dan pengaruh para lulusan terhadap mutu angkatan kerja/lingkungan sosial, peran serta siswa dalam pembangunan lingkungan dan pengaruh atau peran lulusan pendidikan dan pelatihan terhadap kehidupan masyarakat secara luas. Indikator kinerja yang dapat diukur dalam Monev juga dapat diklasifikasikan pendidikan, berdasarkan indikator tiga (1) tema kebijakan dan nasional perluasan yaitu pemerataan

kesempatan; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, dan (3) governance, akuntabilitas dan pencitraan publik (Lihat Tabel 6.1 atau Tabel 6.2). Program dan/atau kegiatan pendidikan yang baik memiliki lima kriteria yang bisa disingkat dengan SMART (Specific, Measureble, Achieveble, Realistic, Timebound). Kriteria tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan indikator kinerja pendidikan yang terukur dan yang dapat dicapai sebagai target/sasaran masing-masing program. Dalam bidang pendidikan sangat banyak jenis indikator yang dapat digunakan sebagai cakupan dalam melaksanakan Monev (Lihat Tabel 6.2). Dari berbagai indikator tersebut dapat diringkas dan diperoleh indikator kunci/prioritas yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan dalam mencapai target Renstra Depdiknas 2005-2009. Penyusunan indikator kunci ini untuk melihat tingkat pencapaian terhadap

167

Tab Indikator Kunci/Prioritas Untuk Mengukur Keberhasilan Dalam el implementasi Kebijakan, Program dan Kegiatan dan Target tahun 2009
N SASARAN INDIKATOR 2004 APK Pra Sekolah APK SD/PaketA/SDLB APK SMP/PaketB/SMPLB APK SMA/PaketA/SMALB APK PT Prosentase Buta Aksara >15 th Indeks Disparitas APK PAUD Indeks Disparitas APK SD Indeks Disparitas APK SMP Indeks Disparitas APK Indeks Disparitas APK PT Rata-rata UN SD Rata-rata UN SMP Rata-rata UN SMA/SMK Jumlah Prodi masuk 100 Besar Rasio jumlah murid SMK/SMA APK SMK APK Pendidikan Tinggi Profesi APK Pendidikan Tinggi Vokasi Jml peserta pend.Kecakapan Jumlah kasus temuan oleh Jml Rp Kerugian neg. Temuan BPK, BPKP,Itjen Jumlah Rupiah temuan yang diselesaikan 23,8% 2005 24,42% TARGET 2006 25,31 % 114,89 86,89 57,20 15,57 7,55 6,00 2007 115,18 90,62% 61,25% 16,38% 6,70% 2008 26,27% 27,24%

Perluasan 1 Pendidikan

Pemerataan

114,88% 114,59 80,36% 82,89% 51,42% 54,32% 14,62% 15,00% 8,74% 8,21% 9,76 8,00

115,47 1 94,36% 65,29% 17,19% 5,85%

3 Mutu Pendidikan 4 Relevansi Pendidikan

6,71 6,30 5,31 65,76% 18,16% 0,756% 0,378% 14,238% 3.800 28,089 M

6,85 6,45 5,50

7,00 6,75 5,80 69,0 0% 19,5 0,75 0,46 15,0

5 Governance

67,00 % 19,00 0,756 0,420 14,58 274 22,51 0M 2.321 10.403 M M

prioritas kebijakan, program dan kegiatan Departemen Pendidikan Nasional dalam mengimplementasikan program dan kegiatan pendidikan bersama dengan Pemda Provinsi dan kabupaten/kota serta peran serta masyarakat luas. Indikator kunci/prioritas yang dimaksud seperti tergambar pada Tabel 6.1.

168

169

Tabel 6.2 Indikator Yang Lebih Rinci untuk Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi Pendidikan Indikator Nasional Tema Kebijakan Pendidikan I. Perluasan dan Pemerataan 1. APK PAUD 2. 3. 4. 5. Tingkat Pengukuran Nasional, provinsi, dan

APK SD/sederajat kabupaten/kota APM SD/sederajat APS SD/sederajat APK SMP/sederajat 6. APM 7. APS SMP/sederajat 8. APK SM/sederajat 9. APM SM/sederajat 10. APS SM/sederajat 11. APK Mahasiswa 12. APM Mahasiswa 13. Persentase transisi SD ke ke SMA dan SMA ke PT. 14. Persentase Menyelesaikan pendidikan di SD, SMP,SMA, dan sederajat serta di 15. Kesetaraan gender di dan jenjang pendidikan. 16. Rasio APK/APM kota desa 17. Angka partisipasi siswa pendapatan keluarga di pendidikan. 18. Angka melek aksara usia, gender, desa-kota dan kelompok pendapatan 19. Angka melanjutkan lulusan SMA/SMK 20. APK anak yang memerlukan perhatian khusus(baik pendidikan khusus atau inklusi) 21. Angka partisipasi lembaga kursus menurut keterampilan 22. Partisipasi masyarakat Taman Bacaan masyarakat (TBM)

170

II. Mutu, Relevansi, dan Daya Saing

1.

Rasio siswa : guru di SD,SMP,SMA,SMK 2. Rasio guru yang memiliki sertifikat profesi 3. Persentase guru berdasarkan tingkat pendidikan 4. Persentase/Angka Mengulang kelas 5. Persentase/Angka putus sekolah 6. Rasio siswa : kelas/sekolah

Nasional, provinsi, dan kabupaten/kota

7. Rasio siswa: buku pelajaran 8. Rasio sekolah : perpustakaan 9. Rasio sekolah: lab. Bahasa, Lab. IPA, Lab. kimia, Lab. biologi, lab. Fisika, dan fasilitas olahraga 10. Rata-rata nilai UN dan US siswa a. SD/Sederajat b. SMP/Sederajat c. SMA/Sederajat 11. Persentase rata-rata lulusan: a. SD/Sederajat b. SMP/Sederajat c. SMA/Sederajat 12. Jumlah sekolah yang berkeunggulan lokal 13. Jumlah sekolah dengan taraf intemasional 14. Jumlah kursus dengan taraf intemasional 15. Jumlah PT dengan taraf intemasional 16. Rasio PTN dan PTS yang terakreditasi A atau B. 17. Persentase PROM yang masuk 10 besar Asia. 18. Persentase siswa SMK: Siswa SMA 19. Rasio dosen

171

III. Governance, Akuntabilitas, clan Pencitraan Publik

26. Persentase lokal/ruang kelas yang rusak berat di SD, SMP, clan SMA/SMK. 27. Persentase melek huruf fungsional orang dewasa 28. Jumlah hak paten penelitian dari Peneliti di Indonesia 29. Mempertahankan prestasi peserta Olimpiade Internasional yang sudah baik. 30. Meningkatnya prestasi pelajar 1. Persentase kenaikkan anggaran Nasional, provinsi, clan pendidikan setiap tahun kabupaten/kota 2. Persentase penyerapan anggarana pendidikan setiap tahun 3. Persentase penyelesaian aparat pengawasan 4. Persentase kontribusi pada pembiayaan pada menengah clan tinggi 5. Rasio biaya gaji dengan operasional di luar gaji 6. Persentase Komite Sekolah Dewan Pendidikan yang berfungsi dengan baik. 7. Jumlah satuan pendidikan lembaga pendidikan yang memperoleh sertifikat ISO 8. Persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Renstra 9. Persentase Kabupaten/Kota Yang melakukan audit Kinerja clan keuangannya 10. Persentase melakukan review kinerja 11. Persentase mempunyai kesepakatan 12. Persentase Komite Sekolah rapat sebulan sekali 13. Persentase Sekolah yang melakukan audit kinerja clan keuangan 14. Persentase Pendidik clan yang memiliki penilaian 15. Persentase PTN yang sudah

172

otonomi 16 . 17 . 18 . 19 . 20 . Persentase anggaran Dikdas dibanding pendidikan Jumlah rupiah Persentase diselamatkan Jumlah sangsi Jumlah keluhan clan ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah Meningkatnya appresiasive publik terhadap kebijakan dan program pemerintah Indikator-indikator tersebut di atas merupakan ukuran kinerja sektor dan program pendidikan yang akan digunakan sebagai bahan untuk monitoring dan evatuasi pembangunan pendidikan jangka menengah. Suatu sistem monitoring petaksanaan program pendidikan pertu ditengkapi dengan mekanisme pendataan, analisis data, dan pelaporan. Demikian puta tangkah tindak lanjutnya pertu ditaksanakan pada masing-masing program setiap tahun. Hasilhasit monitoring tahun tersebut merupakan bahan untuk metakukan evatuasi pertengahan masa dan evaluasi akhir pembangunan pendidikan jangka menengah pegawai yang terkena uang negara yang Temuan Indikasi Korupsi Jumlah kerugian negara dalam Total anggaran Persentase PT yang melakukan audit kinerja dan keuangan Rasio biaya kompensasi Guru: Biaya Dikdas Persentase biaya publik per-siswa (%) dari. GDP per kapita) Rasio biaya publik untuk pendidikan Total GDP Kontribusi anggaran untuk pendidikan o Pemerintah pusat o Pemda o Masyarakat

173

126

DAFTAR PUSTAKA 1. Balitbang Departemen Pendidikan Nasional: Proyeksi Guru Tahun 2003/2004 - 2009/2010. Jakarta : Batitbang, Depdiknas, 2004 2 ------,Proyeksi Pendidikan Tahun 2003/2004 - 2009/2010. Jakarta Balitbang, Depdiknas, 2004 3. 4. 5. 6. ------,RPP tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005 ------, RPP tentang Pendidikan Dasar Menengah. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005 ------, RPP tentang Badan Hukum Pendidikan. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005 ------, RPP tentang Wajib Belajar. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005 7. ------, RPP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan. Jakarta Balitbang, Depdiknas, 2005 8. ------, Ujian Nasional SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK, Tahun Pelajaran 2004/2005. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005 9. ------, Evaluasi Pelaksanaan Program Tahun 2004 - 2005 dan Rencana Program 2006. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005

10. ------, Wajah Pendidikan Bangsa : Hasil Survay Pendidikan Nasional 2003 Tingkat Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2005 11. Bappenas, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta Bappenas,2005 12. BPS, Bappenas & UNDP, Laporan Pembangunan Manusia Indonesia Ekonomi dari Demokrasi, Membiayai Pembangunan Manusia Indoenesia. Jakarta : BPS, Bappenas dan UNDP, 2004
174

13.

Depdiknas, Kumpulan Hasil Presentasi Unit Utama Depdiknas pada Rapat Kerja Nasiona( Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta Depdiknas, 2005

14. 15.

------, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Balitbang, Depdiknas, 2003 ------, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Balitbang, Pendidikan. Jakarta : Sesjend, Depdiknas, 2005-08-22

16. 17.

Depnakertrans, Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004 - 2009. Jakarta Depnakertrans, 2005 ------, Rencana Tenaga Kerja Nasional Tahun 2005. Jakarta Depnakertrans, 2004

18. 19.

Ditjen PLSP Depdiknas, Program Pendidikan Luar Sekolah Tahun 2006. Jakarta : Ditjen PLS, 2005 Ghozali, Abbas, dkk, Analisis Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Balitbang, Depdiknas, 2004

20. 21.

Mc Mahon, Education Sector Review. Jakarta: Balitbang, Departemen Pendidikan Nasional, 2002 SAKERNAS BPS, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Labor Force Situation in Indonesia. Jakarta : BPS, 2004

22. 23.

Setjen. Depdiknas, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Anggaran di Lingkungan Depdiknas. Jakarta, 2005 Sudibyo, Bambang, Kebijakan Pembangunan Pendidikan Nasional: Disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta 2005

24.

UNESCO, The Dakkar for Action ; Education For Me ; Meeting Our Collective Commitment. France: Unesco, 2000

175

Anda mungkin juga menyukai