Anda di halaman 1dari 6

Akibat UU Perkawinan tidak Seimbang Akomodir Adat Bali dan Ajaran Hindu.

KASUS perceraian diatur UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, ada problem di balik aturan hukum positif terutama ketentuan yang mengatur masalah perceraian ini. Reaksi kritis disulut para pemangku masyarakat adat di Bali. UU ini dinilai tidak mengakomodir keseimbangan penghargaan terhadap eksistensi hukum adat Bali dan agama Hindu. Aturan ini menegaskan perceraian sah setelah ada putusan pengadilan. Tetapi, ketentuan ini tidak menyertakan peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya dialami warga yang tertimpa musibah perceraian. Walau putusan pengadilan mengesahkan gugatan perceraiannya, tetapi tidak diketahui sebagian besar krama desa dan tidak segera dapat diketahui prajuru desa pakraman. Forum Pesamuhan Agung ke-3 Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali yang berlangsung 15 Oktober 2010 di Gedung Wiswasabha Kantor Gubernur Bali mengeluarkan sikap kristisnya. Selain merespons bentuk perkawinan biasa, nyentana, dan pada gelahang, juga masalah upacara patiwangi dalam perkawinan beda wangsa, forum ini juga merumuskan pernyataan sikap atas ketentuan UU Perkawinan tersebut. Berikut isi rumusan selengkapnya. Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, ada kalanya pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali, sehingga perlu segera disikapi. Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal 12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod. Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan wanita dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat Bali, agama Hindu, sedangkan perceraian baru dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan UndangUndang Perkawinan. Apabila diperhatikan uraian tersebut, tampak jelas Undang-Undang Perkawinan tidak

memberikan penghargaan yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian. Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan. Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan. Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian, terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan. Selain itu, ada penyampaian salinan putusan perceraian atau akta perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan ajaran agama Hindu. Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharma mantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian. Selain itu, ada akibat hukum jika terjadi perceraian suami-istri. Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinan nyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakan swadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal. Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsip pedum pada (dibagi sama rata). Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan

keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa. sam

KESETARAAN DALAM HUKUM ADAT BALI


OLEH : Luh Putu Anggreni, SH Mempertahankan hukum adat Bali, termasuk hukum keluarga, yang dilandasi ajaran agama Hindu, dengan menyusun rumusan kesatuan tafsir tentang hukum adat Bali, pernyataan diatas merupakan salah satu program unggulan daripada Majelis Utama Desa Pekraman,hasil Pesamuhan Agung 15 Okt 2010. Agenda diatas tentunya mesti berbarengan diprogramkan dengan sosialisasi hasil pesamuhan agung lainnya,terutama yang berhubungan dengan kedudukan hukum perempuan dalam keluarga dan waris,serta mengenai aturan adat dalam perkawinan maupun perceraian. Mengenai kedudukan perempuan bali dalam keluarga terutama dalam persoalan pewarisan, adalah bentuk kemajuan luar biasa yang diakomodir oleh Majelis Utama Desa Pekraman.Perjuangan ini terasa begitu panjang ketika banyak persoalan perempuan Bali pada awalnya sangat kurang adanya penghargaan dari pihak suami dan keluarga suami, ketika perempuan tanpa bekal masuk pada keluarga suami saat awal perkawinan.Sudah terbiasa kita dengar bahwa perempuan Bali kawin tanpa membawa apa-apa dan ketika berceraipun pulang hanya membawa kain dibadan,walaupun saat perkawinan perempuan Bali kerja keras membanting tulang , semua kekayaan Perempuan adalah milik suami dan keluarganya. Kalaupun perempuan membawa bekal saat perkawinan itu juga hanya sekedar belas kasihan/ hadiah orangtua yang tidak mau anaknya terbebani secara ekonomi ketika awal menjalani kehidupan rumah tangga.Yang diberikan kepada anak perempuan biasanya harta bergerak seperti perhiasan atau paling banter motor yang dibelikan orang tua saat dia masih gadis.Sehingga para orangtua yang sayang sama anak perempuannya lebih banyak berusaha maksimal menyekolahkan anak perempuan setinggi-tingginya sebagai bekal yang paling dianggap berharga,karena bekal pengetahuan tidak akan pernah habis dan harapannya bisa dimanfaatkan sebagai bekal ketrampilan untuk menjalani hidup dengan keluarga barunya nanti. Saat ini Perempuan Bali sudah berhak mewaris namun hanya terhadap harta orangtuanya/ gunakaye, bukan harta warisan leluhur dan yang berhak diwariskan hanyalah setengah dari warisan anak laki-laki setelah sepertiga dipersiapkan untuk due tengah. Yang perlu dipertanyakan adalah karena warisan di Bali sifatnya berupa hak dan kewajiban, perempuan Bali juga dituntut untuk lebih membantu orang tua kandungnya sebagai konsekwensi warisan yang diterimanya. Faktanya selama ini perempuan Bali tanpa warisanpun selalu sigap membantu orangtuanya,apalagi saat orangtuanya sakit atau butuh bantuan.Cuma kalau sebelumnya masih sembunyi-sembunyi untuk menjaga diri dari keluarga suami, sekarang ini kemungkinan lebih mendapat pengertian bahwa seorang anak wajib berbakti kepada orangtua walaupun sianak sudah menikah. Adanya aturan adat terkait masalah perkawinan maupun perceraian, juga membawa angin segar bagi perempuan .Selain bentuk perkawinan biasa dan sentana rajeg yang sudah biasa dilakukan di Bali, ada bentuk perkawinan yang baru dipopulerkan dan diputuskan dalam pesamuhan agung 2010.Berdasarkan hasil penelitian para pakar adat di Bali, ternyata dari tahun 1945 sudah dijumpai adanya konsep perkawinan Pade Gelahang/ mewarang bareng.sebagai solusi ketika perkawinan biasa dan perkawinan sentane rajeg tidak memungkinkan untuk dijalankan. Terutama ketika

pasangan yang sepakat untuk menikah ternyata sama-sama merupakan anak tunggal yang diharapkan jadi penerus pewaris dalam keluarga orangtuanya.Perkawinan pade gelahang kuncinya harus ada kesepakatan dan prinsip paksa,lasia dan satia yang menjadi pedoman dan pegangan pasangan dan keluarga kedua belah pihak. Mengenai perceraian dalam hukum adat juga menjadi perhatian, ketika saat ini sangat banyak terjadi perceraian yang sama sekali tidak diketahui oleh para prajuru adat sebagai pengayom krama desanya ,karena biasanya perceraian langsung aksesnya ke Pengadilan. Saat ini Prajuru desa pekraman mewajibkan agar krama desanya yang ingin bercerai melapor dulu keprajuru agar bisa dimediasi sebelum memutuskan betul-betul mau bercerai. Kesepakatan dalam adat memungkinkan lebih terjadinya perdamaian dan solusi terbaik bagi kedua belah pihak dan membangun pengertian keluarga besar masing-masing . Diharapkan,kalaupun terjadi perceraian ada kesepakatankesepakatan yang memuaskan para pihak, misalnya masalah harta bersama dan anak-anak dapat diselesaikan diluar pengadilan.Melalui proses mediasi yang dilakukan oleh prajuru desa pekraman, biaya perceraian yang tinggi dan konflik yang muncul antar keluarga di pengadilan bisa lebih diminimilasir.Masalahnya adalah apakah saat dimediasi oleh Prajuru desa pekraman ,ada pendamping bagi pihak perempuan dan ada saksi yang bisa dihadirkan dari kedua belah pihak sehingga bisa berlangsung secara fair dan adil bagi kedua belah pihak? juga berkaitan dengan sumber daya daripada prajuru desa pekraman apakah sudah punya kemampuan dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu sebagai mediator di komunitasnya? Ada harapan dari majelis uatama desa pekraman terhadap peran pengadilan agar lebih mengakomodir hasil keputusan adat , karena masih banyak warga masyarakat merasa segan berurusan dengan pengadilan ketika mengetahui biaya tinggi dan prosesnya rumit.Padahal ini menjadi masalah baru ketika masyarakat yang sudah mempunyai akta perkawinan saat bercerai hanya menyelesaikan secara adat saja.UU Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa sahnya putusan perceraian hanyalah melalui keputusan Pengadilan, tentunya akan berimplikasi buruk kalau pasangan yang telah mempunyai akta perkawinan kemudian melalukan perceraian hanya secara adat.Saat melakukan perkawinan untuk yang kedua kalinya.akan terjadi keruwetan dalam proses pencatatan akta perkawinan berikutnya,begitu juga berakibat pada pembuatan akta anak. Akhirnya seringkali terjadi kasus-penyelundupan hukum atau pemalsuan-pemalsuan identitas anak.Padahal hak anak untuk memproleh identitas diri dilindungi UU Perlindungan anak, dan memalsukan identitas anak adalah perbuatan yang melanggar hukum. Begitu banyak persoalan yang harus diurai ketika hasil Pesamuhan Agung yang menyangkut kedudukan perempuan dan anak,masalah perkawinan dan perceraian menjadi sebuah keputusan adat yang mestinya dipahami oleh krama desa nya. Harapan aktivis perempuan Bali adalah segera tersosialisasikannya hasil pesamuhan ini pada prajuru desa pekraman hingga tingkat klian banjar, sehingga adanya harapan agar para prajuru adat di Bali paham dan melaksanakan isu kesetaraan dalam hukum adat ,bisa berjalan dan dipanuti oleh krama adat di ABali.

menuruuut Hukum Adat Bali


Harta Benda Perkawinan Harta benda perkawinan merupakan hal yang penting karena merupakan modal yang dapat

dipergunakan oleh suami atau istri untuk membiayai kehidupan rumah tangganya ataupun dalam kehidupan sosial dan keagamaannya. Mengikuti penggolongan Undang-undang No. 1 tahun 1974, harta benda perkawinan meliputi : 1. Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan berlangsung (pasal35ayat1). Dalam masyarakat Bali terdapat perbedaan penggunaan istilah untuk jenis harta ini yaitu ada yang menyebut dengan istilah druwe gabro, arok sekaya,dan lain-lain. Istilah yang lazim digunakan dalam awig-awig desa adatadalah pegunakaya atau gunakaya. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan (pasal 35ayat2). Dalam masyarakat Bali anak wanita bukanlah ahli waris sehingga istri tidak mungkin memperoleh harta karena warisan. Menurut hukum waris adat Bali anak wanita hanya mungkin menerima pemberian harta dari orang tuanya berdasarkan pemberian yang sifatnya sukarela yang disebut jiwadana. Harta bawaan istri disebut tetadan, sedangkan harta bawaan suami lazim disebut tetamian. Perceraian a. Perceraian diatur oleh undang-undang perceraian dalam masyarakat Bali, khususnya dalam awig-awig desa adat lazim disebut nyapian atau palas perabian. Apabila perkawinan putus karena kematian suami, istri akan tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suami dengan status sebagai balu(janda) dan tetap melaksanakan swadharmaning balu. Hal ini konsisten dengan prinsip yang dianut dalam sistem kekeluargaan kepurusa yaitu dengan perkawinan seorang istri sudah menjadi bagian dari keluarga suami. Masalah perceraian sudah diatur secara nasional melalui Undang-undang Perkawinan. Undangundang ini menganut prinsip mempersukar perceraian. Faktor yang menentukan terjadinya perceraian menurut hukum yang berlaku sekarang adalah adanya Keputusan Pengadilan. Diluar prosedur itu tidak terjadi perceraian, artinya apabila perceraian hanya dilakukan secara adat dengan disaksikan prajuru adat (pemimpin adat) tidak memutuskan hubbungan perkawinan. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akiibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat (pasal 44 ayat 2). Panitra Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. b. Akibat Hukum Perceraian 1. akibat perceraian terhadap status suami istri Dalam masyarakat Bali status bekas suami dan bekas istri adalah nyapian untuk menyebut janda atau duda cerai. Status ini akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban mereka dalam masyarakat sebagai kerama banjar atau kerama desa. Bekas suami tetap melanjutkan kedudukannya sebagai kerama banjar tetapi kewajibannya disesuaikan dengan keadaannya yaitu hanya dikenakan ayahan lanang saja. Pada umumnya bekas istri akan kembali kerumah orang tuanya dan apbila ia diterima kembali dengan baik oleh keluarganya maka statusnya adalah mulih deha sehingga hak dan kewajiban dirumah orang tuanya kembali sebagaimana ketika ia belum kawin. 2. akibat perceraian terhadap kedudukan anak Mmenurut hukum adat Bali, perceraian tidak mengakibatkan perubahan status dan kedudukan pada anak. Anak tetap berkedudukan hukum pada keluarga bapaknya sehingga ia mengemban hak dan kewajiban dilingkungan keluarga bapaknya. Jika seorang anak terlalu lama ikut ibunya, maka hak

dan kewajiban anak dalam keluarga bapaknya dapat menjadi gugur. 3. akibat perceraian terhadap kedudukan harta benda perkawinan Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas mengenai akibat perceraian terhadap harta benda perkawinan. Berdasarkan pasal 37 pengaturan hal ini, khususnya terhadap harta bersama, diserahkan kepada hukumnya masing-masing, termasuk hukum adat. Menurut hukum adat Bali, harta bawaan masing suami atau istri akan kembali kepada masingmasing pihak apabila terjadi perceraian. Sekarang hakim tidak lagi melihat faktor pihak yang bersalah dalam perceraian untuk menentukan hak masing-masing terhadap harta. Sepanjang dapat dibuktikan bahwa harta itu adalah harta bersama atau pegunakaya, maka harta tersebut dibagi dua samarata.

Anda mungkin juga menyukai