Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN Kusta termasuk penyakit tertua.

Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Kata lepra ada di rebut-rebut dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew Zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya.Temyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apalagi jika dibandingkan dengan kusta, yang kita kenal sekarang. DEFENISI DAN ETIOLOGI Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang intra selullar obligat yang pertama, kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang organ lain sepeti kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikuloenditholeal, mata, otot, tulang dan testis. Kusta tidak menyerang susunan saraf pusat. Nama lain dari kusta adalah Morbus Hansen atau Lepra. EPIDEMIOLOGI Kusta disebabkan oleh Mycobacterium Leprae merupakan hasil tahan asam, 1-8 x 0,2-0,5 mikron. Cara penularannya saja belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antara, kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Mara tunas sangat bervariasi umumnya beberapa tahun, ada yang mengatakan 40 hari 40 tahun. Penyakit kusta menyerang semua jenis kelamin. Pria lebih sering dari pada wanita, walaupun pada beberapa daerah menunjukkan frekuensi kejadian yang sama. Frekuensi terbanyak pads usia 25-35 tahun. Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu. Jarang didapat dalam urin.Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. 1

Teradapat beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit antara lain lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan, keadaan sosioekonomi yang kurang, perubahanperubahan imunitas, varian yang berhubungan dengan kerentanan, serta kemungkinan adanya reservoir di luar manusia. Sehubungan dengan iklim, ternyata lepra banyak terdapat di negara yang beriklim tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Pada ras kulit hitam insidens berbentuk tuberkulosis lebih tinggi, sedangkan orang kulit putih lebih cenderung tipe Lepramatosa. KLASIFIKASI Adapun klasifikasi yang banyak digunakan untuk penelitian adalah klasifikasi Ridley dan Joplin yang membagi kusta atas 5 kelompok yaitu : 1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT) Lesi ini mengenai kulit maupun saraf . Lesi kulit dapat satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, kering, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan di tengah. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tipe yang meninggi. Gejala ini dapat disertai penebalan saraf perifer, yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal. 2. Tipe borderline-tuberkuloid (BT) Lesi ini menyerupai tipe TT yakni berupa makula anastesi atau plak yang sering disertai lesi satelit dipinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau squama tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat pada tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik. Biasanya ada lesi satelit yang terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3. Tipe borderline-borderline (BB)

Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spektrum penyakit kusta. Tipe ini disebut sebagai bentuk dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltrat. Permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberkuloid dan cenderung simetrik. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini. 4. Tipe borderline lepromatous (BL) Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit, kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula di sini lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir di dalam infiltrat lebih jelas di banding pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched-out. (Gambar 19-2) Tanda tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi di kulit. 5. Tipe lepromatous-lepromatous (LL) Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal garis muka menjadi kasar cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar 3

lime, orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi atropi testis. Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Sedangkan menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+. PATOGENESIS Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.Leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan species. Agar dapat tumbuh tumbuh diperlukan jumlah minimun M.Leprae yang disuntikan dan kalau melebihi jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan. Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi (900r), sehingga kehilangan respon imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh basil terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun belum selurunyha dipenuhi. Sebenarnya M.Leprae mempunyai patogenesis dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman yang lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidak seimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologi. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya. Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Selain 4

manusia, hewan yang dapat terkena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting. Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab. Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat. Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan. Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schaffer pada 1898. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda. Tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem ilmunnya. Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pemapasan. 5

Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan. Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa. inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah nonendemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. GEJALA KLINIS Diagnosis penyakit kusta dapat didasarkan atas gambaran klinis, bakteriologis, dan bistopatologis. Di antara ketiganya diagnosis klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakteriologis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedang histopatologi memerlukan 3-7 hari. Kalau masih memungkinkan, baik juga dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu dalam penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3-4 minggu. Penyakit kusta biasanya menunjukkan gambaran klinis yang jelas pada stadium yang lanjut. Gejala dan keluhan penyakit kusta tergantung pada beberapa hal, antara. lain 1. Multiplikasi dan diseminasi kuman Micobacterium leprae. 2. Respon imun penderita terhadap kuman Micobakterium leprae. 3. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. Adapun 3 tanda cardinal, kalau salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta, yakni Lesi kulit yang anastesi. Penebalan saraf perifer. Ditemukannya Micobacterium leprae. (bakteriologis positif)

M engenai saraf perifer yang terkena perlu diperhatikan pembesarannya, konsistensinya, dan atau tidak. Beberapa saraf superfisialis yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu : N. fasialis, N.Aurikularis magnus, N. radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, dan N. T ibialis anterior. Beberapa gejala-gejala kerusakan saraf yang dapat tampak, antara lain : N. fasialis Lagoftalmus N. ulnaris Anastesi pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Tidak mampu aduksi ibu jari. Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Ibu jari kontraktur. N- radialis Anastesi dorsum pedis manus. Tangan gantung (writ drop) Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. N- poplitea lateralis Kaki gantung (foot drop)

N.tibialis posterior Anastesi telapak kaki. Clow toes. 7

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis N.facialis Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagopthalmus Cabang bukal, mandibular, clan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. N.trigeminus Anastesia kulit wajah, komea, dan konjungtiva mata. REAKSI KUSTA Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Reaksi imun itu dapat menguntungkan namun dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong didalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam- macam itu, kita mengambil yang tampaknya paling banyak dianut pada akhir- akhir ini, yaitu: E. N. L (eritema nodusum leprosum)

E. N. L terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilamya makin besar kemungkinan timbulnya E. N. L. Secara imunopatologis, E. N. L termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibody ( IgM, IgG ) + komplemen - kompleks imun. Ternyata bahwa kadar imunologis penderita kusta lebih tinggi daripada orang sehat dan kadar pada tipe lepramatosa lebih tinggi lagi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini mungkin terjadi oleh karena pada tipe lepramatosa, jumlah basilnya jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. E. N. L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Pada pengobatan, banyak basil lepra yang maticdan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodinya serta mengakifkan komplemen membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat menyangkut dalam 8

berbagai organ. Pada kulit akan timbul gejala klinis berupa nodus, eritema, dan nyeri pada tempat predileksi dilengan dan tungkai. Bila mengenai mata akan menyebabkan gejala iridoksiklitis, pada saraf perifer gejala neuritis akut, pada kelenjar getah bening gejala limfadenitis, pada sendi gejala arthritis, pada testis gejala orthritis, dan pada ginjal gejala nefritis akut dengan adanya proteinuria. E. N. L dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologis pula. Reaksi reversal stem reaksi upgrading

Reaksi reversal atau reaksi upgrading hanya dapat terjadi pada tipe borderline ( Li, BL, BB, BT, Ti ) sehingga dapat disebut tipe borderline. Yang memegang peranan penting dalam hal ini adalah SIS. Meskipun faktor penyebabnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Ada reaksi peradangan pada tempat- tempat yang ada M. leprae, yaitu pada syaraf ( neuritis ) dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe- tipe yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS Pula. Begitu pule reaksi reversal, tejadi perubahan tipe kearah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu relative singkat, artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi eritematosa, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate menjadi infiltrative, dan lesi yang lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup, adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, oleh karena sangat menentukan pada pemberian pengobatan dengan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pengobatan dengan kortikosteroid adalah fakultatif. Kalau kita perhatikan reaksi E. N. L dan reversal itu dari segi lesi, E. N. L dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, barangkali tidak 9

ada salahnya E.N. L disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini barangkali membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus, kalau ada berarti reaksi nodular atau E. N. L, jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline. PENGOBATAN Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (diaminodifenilsulfon), Klofazimin dan Rifmpisin. Kemudian WHO juga menambahkan obat antibioika lain untuk menambah pengobatan alternative yaitu Ofloksasin, minosiklin, dan klaritromsin. Namun saat ini sudah digalakkan suatu pengobatan kusta yang digunakan untuk mencegah resistensi obat dan pengobatan ini yang digunakan untuk pengobatan kusta di Indonesia. Disebut dengan Multi Drug Treatment (MDT). Pengertian MDT sendiri adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-obat lain. Obat utama untuk penderita kusta adalah : 1. DDS (diaminodifenilsuffon) Merupakan derivate sulfon, dengan titer suntikkan lebih rendah daripada dapson oral dan terapi dan yang lama dapat menimbulkan resistensi. Karenanya obat ini tidak dapat digunakan sebagai obat runggal. Pengobatan dengan DDSA adalah DDS 100mg sehari selama 3-6 bulan. Resistensi terhadap DDS ada telah yang primer dan skunder. Resistensi primer muncul bila orang yang ditulari oleh M.Leprae yang telah resisters yang manifetasinya dapat dalam segala tipe (TT,BT,BB,BL,LL) bergantung pada SIS penderita. Pada resistensi yang rendah masih dapat ,dobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi. Sedang pada derajat dengan resistensi yang tinggi dapat diobati lagi dengan DDS. 10

Sedangkan resistensi sekunder terjadi akibat : insomnia. 2. Rifampisin Merupakan salah satu kombinasi obat DDS yang tidak dapat diberikan sebagai monoterapi karena dapat menyebabkan resistensi tetapi harus pada pengobatan kombinasi harus diikutkan. Rifampisin diberikan setiap hari atau setiap bulan. Tidak boleh diberikan setiap minggu atau 2 minggu sekali. Dosisnya 600mg setiap bulan. Efek sampingnya hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu like syndrome dan erupsi obat. 3. Klofazimin Merupakan turunan zat warna iminofenazin dan bersifat bakteriostatik dan bakterisidal lemah. sebagai obat anti kusta dosis yang digunakan ialah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari atau 3x100 mg setiap minggu. Selain itu bersifat anti inflamasi sehingga dapat digunakan sebagai terapi E.N.L dengan dosis yang lebih tinggi. Dosisnya 200-300 mg sehari. Efek sampingnya warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada selera sehingga mirip icterus. Disebabkan karena Klofazimin ialah zat warna yang dapat tertimbun di tempat tersebut. Efek samping ini hanya terjadi jka di konsumsi dalam dosis tinggi. Efek sampingnya berupa ganguan gastrointestinal (nyeri abdomen, vomitus) serta dapat terjadi penurunan berat badan. Monoterapi DDS Dosisterlalu rendah Memakai obat yang tidak teratur Pengobatan yang terlalu lama

Efek samping DDS nyeri kepala, anemia hemolitik, erupsi obat,leucopenia dan

11

Obat tambahan untuk terapi kusta adalah : 1. Ofloksasin Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadapM.Leprae in vitro. Dosisnya adalah 400 mg. efeknya mual, diare, gangguan gastrointestinal Berta angguan saraf dan pusat seperti insomnia, nyeri -kepala, nervousnes dan halusinasi. Penggunaan hati hati pads anak-anak dan ibu hamil. 2. Minoksiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin dengan efek bakteriasial lebih tinggi daripada klaritromisin dan lebih rendah dari Rifampisin. Dosis standar 100 mg. Dengan efek samping pewarnaan pada gigi bayi dan anak, kulit, membrane mukosa berbagai symptom saluran cema dan SSP. 3. Maritromisin Merupakan kelompok antibiotika mikoid yang mempunyai efek bakteriosidal. Dosis harian 800 mg. Dengan efek samping nausea, vomitus dan diare. Secara garis besar pengobatan kusta adalah : 1. Untuk multibasilar (BB,BL,LL dan semua tips dengan BTA positif) Kombinasi DDS, Rifampisin dan Klofazimin. DDS 100 mg/hari, Rifampisin 600 mg/bulan dan Klofazimin 300 mg/bulan, diteruskan dengan 50 mg/hari atau 1,00 mg mg selang sehari atau 3x100 / minggu. Pengobatan dilakukan sampai 2-3 tahun dan pemeriksaan bakteriologis setiap 3 bulan. Sesudah 2-3 tahun bakteriologis nya menjadi negative, pemberian obat dihentikan (RFT = Release From Treatment). Rica setelah pengawasan tidak ada aktivitas klinis dan pemeriksaan bakteriologi selalu negative maka dinyatakan bebas dari pegawasan (RFC = Reliefe From Control). 2. . Untuk pausibasilar (I,TT,BT) Obat yang digunakan adalah DDS 100 mg/hari dan Rifampisin 600 mg/bulan. Keduanya diberikan selama 6-9 bulan. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan setelah 6 bulan pengobatan. Pengawasan dilakukan selama 2 tahun. Jika tidak ada aktivasi klinis dan bakteriologis test negative make disebut RFC. 12

Pengobatan Reaksi Kusta Pengobatan E.N.L. Obat yang paling Bering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pads berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bile reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Kalau perlu dapat ditambahkan obat analgetik antipiretik dan sedativa, atau penderita dirawat inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, yang artinya bahwa E.N.L. akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pads dosis tertentu, jadi penderita ini harus makan kortikosteroid terus menerus. Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-hati oleh karena obat ini teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil arau masa subur. Sayan di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak dproduksi lagi. Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti E.N.L., tetapi cengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat makin dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada, kortikseroid. Juga dosisnya ditumnkan secara bertahap, disesuaikan dengan perbaikan E.N.L. keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk melepaskan dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi, untung masih bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada obat obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penanggulangan E.N.L. ini, obat obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya. 13

Pengobatan reaksi reversal Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 15-30 mg sehari, kemudian diturunkan dosisnya perlahan lahan. Pengobatan harus secepat cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Ketergantungan kortikosteroid tidak terdapat. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga thalidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal. PENCEGAHAN PENCEGAHAN CACAT Penderita kusta yang terlambat didiagnosa dan terlambat diberi MDT resiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulitmultipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilatas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak sakit lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas seharihari, baju, misalnya memasang kancing, memegang pulpen atau -nengambil benda kecil, atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan oditi dengan anemnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi berlanjut.

14

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) ada dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera, mungkin. Bila terdapat ganguan sensibilitas, penderita, diberi petunjuk sederhana misainya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarong tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam,disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah. WHO Expert Committee on Lprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No.607 (1977) telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. REHABILITASI Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskiun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya dini, selain itu dapat dilakukan erapi psikologik (kejiwaan).

15

DIAGNOSA BANDING Tipe I (macula hipopigmentasi) : Tinea Versikolor, Vitiligo, Pitiriasis Rosea, Dermatitis Seboroika, atau dengan Liken Simpleks Kronik. Tipe TT (macula eritromatosa dengan pinggir meninngi) : Tinea Korporis, Psoriasis, Ptiriasis Rosea dan Lupus Eritematosus tipe discoid. Tipe BT,BB,BL (infiltrate merah tak berbatas tegas) : Seluitis, Erysipelas atau Psoriasis. Tipe LL (bentuk nodula) : Dermatomiositosis, Lupus Eritematosus Sistemk, atau Erupsi Obat.

16

17

D FTAR PU A STA A K 1. Prof. DR. dr. Adhi Djuanda, Ilmu penyakit kulit dan kelamin, edisi IV, Fakultas kedokteran universitas Indonesia, Jakarta, 2005, 73-87. 2. Prof. Dr. Marwali harahap, Ilmu penyakit kulit, Hipokrates, Jakarta, 1998, 260-71. 3. Kusta, available at : http://id.wikipedia.org/wiki/kusta. 4. Prof Dr. R. S. Siregar, Sp. KK(K), atlas berwarna, saripati penyakit kulit, edisi 2, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2005, 154-5.

18

KATA PENGANTAR

Dengan rasa syukur kepada, TUHAN YME, karena atas berkat dan karuniaNYA, penulis telah selesai menyusun paper ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian i1mu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSU Dr. Pirngadi Medan dengan judul "MORBUS HANSEN". Pada kesempatan ini tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Surya Dharma Hamidah, Sp.KK atas bimbingan dan arahannya selama mengikuti kepaniteraan Klinik Senior di Bagian 11mu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUPM. Bahwasanya hasil usaha penyusunan paper ini masih banyak

kekurangannya, tidaklah mengherankan karena keterbatasan pengetahuan yang ada pada penulis. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan penyusunan bahan ceramah lain dikemudian kesempatan. Harapan penulis semoga paper ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan Berta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan

penatalaksanaan MORBUS HANSEN.

Medan,

September 2011

Penulis

19

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .......................................................................................................... Daftar isi ................................................................................................................... Pendahuluan .............................................................................................................. Definisi ..................................................................................................................... Epidemiologi ............................................................................................................ Klasifikasi ................................................................................................................. Patogenesis ............................................................................................................... Gejala klinis............................................................................................................... Reaksi kusta............................................................................................................... Pengobatan................................................................................................................. Pengobatan reaksi kusta............................................................................................ Pencegahan............................................................................................................... Pencegahan cacat ................................................................................... Rehabilitasi ............................................................................................

Diagnosa banding...................................................................................................... Daftar pustaka............................................................................................................

20

Anda mungkin juga menyukai