Anda di halaman 1dari 25

KARSINOMA NASOFARING (Yurike Adehline, M.

Yasin, Junus Baan)


I. PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring dan merupakan tumor ganas daerah kepala yang terbanyak ditemukan di Indonesia.(1,2) Terdapat tiga subtipe menurut klasifikasi oleh World Health Organization (WHO): 1) Squamous Cell Carcinoma (SCC), sering ditemui dalam populasi orang dewasa; 2) non-keratinizing carcinoma; 3) undifferentiated carcinoma. Tumor ini bisa menginfiltrasi ke dinding lateral, postero-superior ke basal tengkorak, palatum, kavum nasi atau orofaring. Tumor ini juga sering bermetastasis ke kelenjar limfa cervical.(1) Gejala klinis KNF adalah trismus, nyeri, otitis media, nasal regurgitasi disebabkan oleh parese palatum, tuli, dan nervus cranialis palsi. Tumor yang besar bisa mengakibatkan obstruksi nasal atau pedarahan nasal.(1) Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang disebabkan interaksi berbagai jenis faktor seperti faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein-Barr (EBV). Pasien dengan KNF menunjukkan titer antibodi yang tinggi terhadap EBV antigen dan sangat berguna sebagai marker diagnostik.(3)

II. EPIDEMIOLOGI Insiden tertinggi terdapat di Cina bagian selatan, yaitu provinsi Guandong Tengah. Ditemukan juga cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia

Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika dan kanada. Jumlah kasus paling rendah terdapat Amerika dan Eropa.(4) Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1.(5) Insidens mulai meningkat pada umur 20 tahun, puncaknya diantara 35-64 tahun dan menurun setelahnya.(4) Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.(2) Untuk diketahui bahwa penduduk di selatan Cina hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin). Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.(4)

III. ETIOLOGI Kanker Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan rokok dan penggunaan alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr (EBV), predisposisi genetik, pola makan tertentu dan inhalasi substansi tertentu dalam jangka waktu yang lama.(6) Ada penelitian membuktikan bahwa terdapat peningkatan risiko tiga kali lipat pada perokok yang merokok 30 batang rokok per hari. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada orang yang mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Resiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini.(4)

Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Ini terletak pada peranan faktor gen histocompability locus antigens atau HLA yang banyak di kalangan masyarakat/orang cina.(4) Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap dua lagi faktor yang bisa meningkatkan faktor risiko KNF di China yaitu melalui konsumsi pengobatan alami (Chinese herbal

medicine=CHB).(4)

IV. ANATOMI

Gambar 1: anatomi saluran nafas bagian atas (dikutip dari kepustakaan 7)

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral kecuali palatum molle yang secara anatomi termasuk bagian faring.

Batas nasofaring: Superior : melekat pada basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : orofaring Anterior : nasal choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : vertebra cervicalis I dan II Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang Muara tuba eustachii Fossa rosenmuller(3)

Gambar 2: bagian sagital kepala, gambaran faring setelah mukosa diangkat (dikutip dari kepustakaan 8)

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 10-12 mm dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan

tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah.(3,8)

Gambar 3: Nasofaring dari pandangan posterior (dikutip dari kepustakaan 8)

Fungsi nasofaring : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

V. PATOFISIOLOGI Karsinoma Nasofaring berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring.(1) Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang

paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfe sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. (6) Selain itu terdapat pula penyebab Karsinoma Nasofaring yang lain yaitu a. Virus Epstein-Barr Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epsteinbarr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA-1, LMP-1, dan LMP-2. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP-1.(4) b. Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (histocompatibility locus antigens) dan gen pengkode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma

nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLACw11 dan HLA-Bw46. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA.(4) c. Lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia dan amerika utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang diawetkan mengandung sejumlah besar

nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu perokok dan gas formaldehyde juga merupakan salah satu faktor yang diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma nasofaring.(4)

VI. DIAGNOSIS VI.1 GAMBARAN KLINIS Gejala KNF dapat di bagi dalam empat kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf serta metastasis atau gejala di leher.(1) Gejala nasofaring berupa epitaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus di periksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringioskop,

karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak kelihatan kerana masih di bawah mukosa.(1) Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan berupa tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri (otalgia). Sering juga pasien datang dengan gangguan pendengaran kemudian baru disadari bahwa penyebabnya adalah KNF.(1) Karena nasofaring berhubungan rogga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen Laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan juga saraf V, sehingga tidak jarang diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering di temukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain.(1) Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasoaring. Gangguan ini disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindroma unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya jelek.(1) Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, kerana sebelumnya tidak di dapatkan keluhan lain.(1)

Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal).(1)

Stadium ini ditentukan dengan sistem TNM menurut AJCC Cancer Staging Atlas, 2006.(9) T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya. TX: Tumor primer tidak bisa di nilai T0 : Tidak tampak tumor T1 : Tumor terbatas di nasofaring T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring T2b: Disertai perluasan ke parafaring T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator Tis: Karsinoma in situ N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional NX: Pembesaran kelenjar limfe tidak dapat dinilai N0 : Tidak ada metastasis ke kelenjar limfe N1 : Metastasi kelenjar limfe unilateral, dengan ukuran kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N2 : Metastasi kelenjar limfe bilateral, dengan ukuran kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula N3 : Metastasi kelenjar limfe bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6cm dan/atau terletak dalam fossa supraklavikula N3a: ukuran lebih dari 6cm N3b: di dalam fossa supraklavikula

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh MX: Metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 : Tidak ada metastase jauh M1 : Terdapat metastase jauh.

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium 0 Stadium I Stadium IIA Stadium IIB : Tis : T1 : T2a : T1 T2a T2b Stadium III : T1 T2a,T2b T3 T3 N0 N0 N0 N1 N1 N0,N1 N2 N2 N0 N1,N2 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0

10

Stadium IVA : T4 T4 Stadium IVB : semua T StadiumIVC : semua T

N0 N1,N2 N3 semua N

M0 M0 M0 M1

VI.2 PEMERIKSAAN RADIOLOGI VI.2.1 Foto Polos (sinar-X) Sebelum adanya CT-scan, radiografi polos digunakan untuk menentukan adanya karsinoma nasofaring (KNF). Pemeriksaan foto kranium dilakukan dengan posisi lateral, 25o occipito mental untuk melihat tulang tengkorak,

occipitosubmental untuk melihat adanya destruksi tulang wajah dan melihat sinus disekitar, submento-vertikal untuk melihat proses neoplasma di arc zygomaticum dan occipito-maxilar untuk melihat adanya fraktur di os.maxilla. Sekarang ini, CT dan MRI telah menggantikan foto polos untuk tujuan staging.(5) . Posisi foto polos yang bisa dibuat untuk mencari kemungkinan adanya tumor pada nasofaring) :

Gambar 4: Posisi lateral tulang kranium normal (Gambar 4 dan 5 dikutip dari kepustakaan 10)

Gambar 5: Posisi lateral abnormal

11

Gambar 6: Posisi osipito-mental 25o

Gambar 7: Posisi oksipito-mental 25o abnormal

(Gambar 6 dan 7 dikutip dari kepustakaan 10)

VI.2.2 Computer Tomography Scan (CT-scan) CT scan adalah modalitas diagnosa yang utama untuk menentukan staging tumor dan menilai ekstensi KNF, walaupun MRI kini sudah menggantikan CT sebagai pemeriksaan diagnosa KNF. KNF memiliki kecenderungan penyebaran submukosa, dan diagnosa penyakit ini biasanya lebih mudah ditemukan dengan CT scan. Pada CT Scan didapatkan fossa rosenmuller yang asimetris berupa penumpulan atau obliterasi dan diikuti dengan penebalan otot deglutitional akibat infiltrasi tumor. Salah satu kateristik KNF adalah infiltrasi dalam, jadi dapat dilihat juga obliterasi atau pergeseran cavum parafaring.(11) Tumor nasopharynx dapat menyebar kearah lateral meliputi bagian extrapharyngeal dari muskulus levator palatine, tensor palatine, lempeng pterygoid, ruang lemak parapharyngeal yang berisi percabangan nervus V3, muskulus pterygoid medial, pterygoid lateral, muskulus temporalis dan masseter

12

dan mandibular dan pada posterior lateral glandula parotis. Extensi posterior dari tumor melitupi muskulus prevertebra, clivus, bagian anterior foramen magnum, dan corpus vertebra C1 dan C2, arteri karotis, vena jugularis, nervus kranialis 9 sampai 12, plexus sympatis cervicalis, dan metastasis nodul retropharyngeal.(5) Sinus Morgagni adalah bukaan di fasia faringobasilar tempat otot levator palatine dan tuba eustachii melewati fasia tersebut untuk ke ruang mukosa nasofaring. Sinus ini terletak berhampiran dengan rhesesus faring lateral yaitu bagian sering timbulnya KNF. Pada CT scan, ruang parafaring merupakan bagian yang sering ditemukan ekstensi lateral pada 84% pasien. Tampak opaksifikasi pada telinga tengah dan mastoid air cells pada CT-scan.(5)

(a)

(b)

Gambar 8: a. Gambaran KNF dini. Penumpulan fossa rosenmuller kiri dan pembesaran otot levator palatini, b. Tumor telah menyebar melalui faringobasilar fasia melibatkan parafaring fat space. Tampak asimetris fossa rosenmuller dan obliterasi densitas lemak normal.(dikutip dari kepustakaan 11)

13

(a)

(b)

Gambar 9: a. KNF di fossa pterygopalatina, b. tumor mulai menyebar ke jaringan orbital (dikutip dari kepustakaan 3)

VI.2.3 MRI MRI (magnetic resonance imaging) dapat digunakan untuk mengevaluasi penyebaran tumor ke jaringan lunak. Tumor kelihatan hiperintens dalam sinyal T2 dibanding dengan otot. Tampak massa yang menyebabkan kompresi lateral atau obliterasi ruang parafaring, diikuti oleh invasi pada basis cranii. Ditemukan juga (1) asimetri mukosa nasofaring superfisial (2) adenopati retrofaring ipsilateral dan (3) opaksifikasi mastoid. Opaksifikasi mastoid merupakan tanda awal bagi suatu keganasan disebabkan oleh disfungsi tuba Eustachian karena infiltrasi tumor pada otot tensor veli palatini. (5,6,12)

14

Gambar 10: Axial postgodolinium T1W1,tanda triad malignan nasofaring (1) massa mukosa lateral nasofaring fossa rosenmuller (panah putih ganda), (2) lateral nodul retrofiring (panah hitam), (3) opaksifikasi mastoid (panah putih) (dikutip dari kepustakaan 12)

Gambar 11:Axial postgadolinium T1W1, jaringan lunak terisi kontras memenuhi fossa rosenmuller, terdapat metastasis nodus submandibular. (dikutip dari kepustakaan 12)

15

Gambar 12: a. tumor pada bagian kanan fossa rosenmuller (panah hitam), b. limfadenopati retrofaring (panah hitam) (dikutip dari kepustakaan 3)

VII.3 PEMERIKSAAN LAINNYA a. Biopsi Nasofaring Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai

16

nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Dengan anelgesi topikal (xylocain 10%). Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan narkosis.(1) b. Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan neurologis. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam

rongga tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.(2) c. Pemeriksaan Serologis Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.(1)

VII. DIAGNOSIS BANDING 1. Polip Nasi Biasanya massa lunak yang mengandungi banyak cairan di dalam rongga hidung, bewarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Bila ada polip pada anak di bawah usia dua tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.

17

Gambar 13: CT-scan penyumbatan hidung akibat dari polip nasi (dikutip dari kepustakaan 13)

2. Angiofibroma juvenilis Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada CT-scan dan MRI akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma, hanya erosi saja karena penekanan tumor. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.

18

Gambar 14: a. CT-scan menunjukan lesi di bahagian kanan cavum nasi dan sinus paranasalis, b. MRI scan menunjukkan infiltrasi lesi ke sinus kavernosus. (dikutip dari kepustakaan 14)

Gambar 15: angiogram menggambarkan angiofibroma sebelum emboli. (dikutip dari kepustakaan 15)

3. Tumor kelenjar parotis Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.

19

Gambar 15: terdapat massa pada kelenjar parotid kiri (adenoma pleomorfik) (dikutip dari kepustakaan 15)

4. Tumor Sinonasal Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya. Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis, etmoidalis, dan maksilaris. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan tipe histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa.

Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film menunjukkan destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa kasus dapat menunjukkan keadaan normal.Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film untuk menilai struktur tulang sinus paranasal. CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid. MRI 20

dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue, membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion, menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi.(18)

Gambar 16: Foto CT pasien dengan kanker sinus maxilla menunjukkan penghancuran tulang (anak panah) yang merupakan tanda utama keganasan ( dikutip dari kepustakaan 18)

Gambar 17: MRI kanker sinus maxilla dengan jelas dapat membedakan tumor yang membatasi sinus maxilla (dikutip dari kepustakaan 18)

21

VIII. PENATALAKSANAAN 1. Radioterapi Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat

menggunakan pesawat kobal (Co 60 ) atau dengan akselerator linier (linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan

elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi : Rantai ganda DNA pecah Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.(16) 2. Bedah

22

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal. Diseksi leher dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak ditemukan metastasis jauh.(2) 3. Kemoterapi Kemoterapi sebagai terapi tambahan (adjuvant) pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.(16) Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Antara indikasi buat terapi kemoterapi adalah, kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif. Kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis. Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh).(2)

IX. PROGNOSIS Perbedaan prognosis penyakit ini sangat mencolok (angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56% untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium IV.(2) Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 % dengan hanya radioterapi dan 58% dengan kemoradiasi.(17)

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Brennan.B, Nasopharyngeal carcinoma ( online) February 2005, March 2012 (cited), available from http:www.orfa.net/data/patho/GB/ukNPC.pdf. 2. Roezin.A,Karsinoma Nasofaring,Dalam: Marlinda Adham ,Efiaty, Arsyad.S.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,Hidung,Tenggorok,Kepala dan Leher. edisi keenam.Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2010, p123-88. 3. Vincent F.H. Chong,Neoplasms of the nasopharynx,In:

A.L.Beart,Lueven K.Sartor,Heidelberg. Editors. Head and Neck Cancer Imaging, New York, Springer-Verlag Berlin Heidelberg;2006,p 143-51. 4. Lalwani Anil K. 2001. Current diagnosis &vtreatment in otolaryngology head and neck surgery. McGraw Hill. Newyork. P.373-380 5. Simon S.Lo.L,G.Naul, Imaging in Nasopharyngeal Squamous Cell Carcinoma(online) 29.7.2011,March 2012(cited),available from

http://emedicine.medscape.com/article/384425-overview. 6. Cheri L.Canon,Face & Neck Anatomy, Head And Neck Pathology, In: Asim K .Bag, Joseph C. Sullivan III.Radiology McGrow-Hill Speciality Bored Preview,McGrow-Hill Speciality Bored Preview, McGrow-Hill Companies;2010, P 108. 7. Chapter 22,Respiratory System, In: Saladin,Anatomy&Physiology,3rd edition,McGrow-Hill Companies,2003,p844 8. Susan.S,Nasopharynx, In:Harold.E,Jeremiah C. Healy,David.J,et al. Editor,Grays Anatomy 39th edition,United Kingdom Elsevier Ltd.2008 9. Alpert. C.M, M.D.2001. Decision making in ear,nose and throat disorders. WB Saunders Company. Philadelphia. 50

24

10. R.F. Mould, Nasopharyngeal Carcinoma: treatment and outcomes in the 20th century, The British journal Of Radiology( online) April 2002 The British Institute of Radiology, March 2012(cited).p 307-24. 11. John.H, CT of Nasopharyngeal Carcinoma(online) October 1989, March 2012 (cited), p 867-69. 12. William E.,Head and Neck Imaging, In:Clyde A.Helms, Fundamentals of Diagnostic Radiology,3rd Edition,Lippincott Williams & Wilkins; 2007, p 242-251. 13. John E.McClay, Nasal Polyps ( online) 05.12.2011,March 2012 (cited) available from: http://emedicine.medscape.com/article/994274-

workup#a0720 14. Ted L. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibrom,(online) 26.07.2011, March 2012 (cited) ,available from:

http://emedicine.medscape.com/article/872580-workup 15. Scott.V, Malignant Parotid Tumor Imaging (online) , March 2012 (cited), available 27.05.2011 , from:

http://emedicine.medscape.com/article/384211-overview#a20 16. Harry A., Penatalaksanaan radioterapi pada Karsinoma Nasofaring (online) 2002, March 2012(cited), p 1-11 17. Arnold.C,Paulino,Robert.J,Nasopharyngeal 12.7.2010,March 2012 Cancer (online) from,

(cited),available

http://emedicine.medscape.com/article/988165-overview#showall

25

Anda mungkin juga menyukai