Anda di halaman 1dari 26

1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terrorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil/non kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil daripada perang . Dari segi bahasa, istilah teroris berasal dari Perancis pada abad 18. Kata terrorisme yang artinya dalam keadaan terror ( under the terror ), berasal dari bahasa Latin terrere yang berarti gementaran dan detererre yang berarti takut. Terrorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai September Kelabu, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Center dan gedung Pentagon. Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun bertonton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para terroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke

World Trade Centre merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia. Osama bin Laden dan jaringan internasional Al-Qaeda sering disebut-sebut sebagai dalang di balik tragedi kemanusian yang spektakuler tersebut. Bangsa Indonesia yang sedang dilanda krisis multidimensional juga tak luput dari target aksi terrorisme. Istilah terrorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang toksin, secara disengaja dengan tujuan membunuh, melukai atau melumpuhkan musuh. Pada kenyataannya bioterrorisme tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan dan tanaman (CDC, 2007, FAS, 2010). Penggunaan bibit penyakit sebagai senjata biologis telah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Pada abad ke-14 pasukan Tartar melontarkan mayat korban penyakit pes ke benteng musuh (Whitby, 2002). Tahun 1763 Inggris menggunakan selimut yang telah terkontaminasi cacar untuk menginfeksi penduduk Indian (Nadasi, 2007). Saat Perang Dunia I kuman antraks dan glander digunakan Jerman untuk menyerang hewan ternak Sekutu. Pada Perang Dunia II Jepang mengembangkan program pembuatan senjata biologi di China yang meneliti berbagai agen biologi yang berpotensi sebagai senjata (Croddy, 2001, Sheeran, 2002). Serangan bioterrorisme pertama di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1983 saat pengikut Rajneeshee menggunakan bakteri Salmonella yang kemudian menginfeksi 751 orang di Oregon (Bellamy, 2001). Pada 1993 kelompok Aum Shinrikyo menyebarkan antraks di Tokyo, tidak ada korban meninggal. Serangan bioterrorisme yang terakhir adalah kiriman amplop yang mengandung spora antraks lewat pos pada tahun 2001, akibatnya sebanyak 22 orang dilaporkan terinfeksi dan 5 diantaranya meninggal (Lane, 2005).

Protokol Geneva pada tahun 1925 telah melarang penggunaan senjata biologis tetapi penelitian dan pembuatannya setelah itu tidak berkurang. Pada tahun 1972 sebanyak 140 negara menandatangani Konvensi Senjata Biologis yang melarang penelitian, pembuatan dan penyimpanan senjata biologis, karena dapat membunuh jutaan manusia dan menghancurkan sektor ekonomi dan sosial. Meskipun demikian, diperkirakan masih ada 17 negara masih membuatnya. Beberapa peristiwa serangan bioterrorisme oleh kelompok teroris dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa bioterrorisme masih merupakan ancaman semua negara sehingga harus dilakukan persiapan untuk mencegahnya (Nadasi, 2007). Penyakit infeksi yang diakibatkan bioterrorisme dapat menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang besar, kepanikan masal dan kekacauan sosial. Serangan bioterrorisme juga menyebabkan kerugian materi yang besar, akibat lumpuhnya ekonomi karena kepanikan masyarakat, biaya vaksin atau obat-obatan profilaksis yang harus diberikan dan proses dekontaminasi yang harus dilakukan (Bellamy, 2001). Serangan bioterrorisme mungkin tidak disadari sampai timbul korban dalam jumlah besar. Hal ini disebabkan karena penyebarannya yang dilakukan secara diam-diam, adanya tenggang waktu antara paparan dengan munculnya gejala penyakit, dan sebagian besar dokter/paramedis tidak pernah menjumpai kasus penyakit antraks, pes, cacar dan penyakit lain akibat serangan bioterrorisme serta adanya kesulitan dalam pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa (Bellamy, 2001). Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang macam-macam bioterrorisme, bagaimana mengenalinya, penanganan serta langkah-langkah pencegahannya yang dapat dilakukan. 1.2 Tujuan Umum

Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memaparkan konsep tentang bioterrorisme. 1.2.1 Tujuan Khusus a. Mengetahui sejarah biotererorisme b. Mengetahui ancaman yang mungkin ditimbulkan bioterorism c. Mengetahui klasifikasi agen senjata biologi. 1.3 Manfaat a. Menambahkan wawasan bioterorism pada penulis b. Diharapkan makalah ini dapat menjadi sumber pustaka bagi penulis berikutnya c. Diharap pihak pemerintah, masyarakat dan pihak lain yang berwenang dapat memahami bioterrorisme, dengan dampak kerusakannya yang luas serta pembuatan dan penyebarannya yang mudah, merupakan ancaman bagi ketahanan nasional terutama dalam bidang perekonomian.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Bioterrorisme adalah penyebaran senjata biologis, yaitu virus, bakteri atau toksin, secara disengaja dengan tujuan membunuh, melukai atau melumpuhkan musuh. Pada kenyataannya bioterrorisme tidak hanya menyerang manusia, tetapi juga hewan dan tanaman (CDC, 2007, FAS, 2010). 2.2 Epidemiologi Tahun-tahun terakhir abad 20 dan awal abad 21, beberapa negara mendapat berbagai ancaman terrorisme dengan berbagai bentuk teror baik fisik, mental, maupun tindakan kekerasan berupa perusakan, penyebaran penyakit dan pembunuhan. Terrorisme dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan tertentu baik politik, ekonomi ataupun kepentingan kekuasaan lainnya. Dalam dekade ini, seiring berkembangnya sains, terrorisme dilakukan dengan menggunakan agen hayati (mikroorganisme) sebagai sumber penyebab penyakit yang mematikan (CDC, 2007). Peperangan dengan agen hayati bukanlah ancaman baru dan pada masa yang akan datang akan menggantikan perang konvensional (perang nuklir dan sejenisnya). Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan mikrobiologi, persenjataan biologis makin mendapat perhatian besar karena menjadi lebih canggih dan menakutkan. Hal ini karena kemampuan membunuhnya lebih efektif daripada bentuk persenjataan api atau nuklir. Dikatakan lebih efektif karena senjata biologis bersifat membunuh dan mematikan manusia dan makhluk hidup lainnya, bukan sekadar merusak sarana fisik serta penyebarannya yang relatif lebih mudah dan dapat bersifat mewabah dalam jangka panjang (Bellamy, 2001). Dalam peperangan hayati, bakteri patogen dan virus sangat bermanfaat karena banyak anggotanya sangat mudah untuk dikembangbiakkan dan disebarluaskan. Mikroorganisme yang umum digunakan sebagai agen misalnya:

1. Bacillus anthracis, penyebab penyakit antrax, 2. Clostridium botulinum, penghasil racun botulinum yang sangat

mematikan,
3. Virus smallpox, penyebab penyakit cacar/variola, 4. Yersinia pestis, penyebab wabah penyakit pes.

Mikroorganisme ini dapat disebarkan dengan aerosol yang disemprotkan dari udara serta mudah menyebar luas serta menginfeksi secara sederhana dan cepat (CDC, 2007). Terrorisme dengan menggunakan senjata biologi ataupun bahan kimia sebenarnya telah lama dilarang dalam peperangan karena efek jangka panjangnya sebagaimana senjata nuklir. Pelarangan penggunaan persenjataan kimiawi dan hayati telah disepakati dalam berbagai perjanjian internasional, serta mempertegas negara-negara mana yang menuruti perjanjian persenjataan itu dan memberi sanksi bagi yang melanggar. Perjanjian pelarangan senjata biologis pertama kali ditandatangani di Jeneva pada tahun 1925 (CDC, 2007). Dalam peringkat antarabangsa, bioterrorisme memang masalah besar sepanjang sejarah manusia. Salah satu laporan awal mengenai bioterrorisme di abad 6 sebelum masehi, ketika tentara Asiria meracuni sumur air musuhnya dengan sebangsa jamur penghasil racun. Laporan yang lebih modern menunjukkan,sekitar tahun 1520 seorang Jendral Spanyol yang memimpin penaklukan Inca memberikan pakaian yang mengandung kuman cacar kepada orang Inca (Bellamy, 2001). Pada perang dunia kedua, tentara Uni Soviet dilaporkan menggunakan kuman yang mengakibatkan penyakit tularemia kepada unit Angkatan Bersenjata Jerman yang mengakibatkan Jerman mengalami kerugian yang sangat banyak. Di lain pihak, Jerman juga mengembangkan senjata biologis. Namun fungsinya hanya terbatas untuk sabotase ekonomi dan pertanian. Jerman tidak pernah serius mengembangkan patogen untuk menyerang manusia, tapi hanya untuk menghancurkan pertanian dan peternakan musuh-musuhnya (Bellamy, 2001).

Beberapa dekade lalu pada abad pertengahan wabah penyakit telah menyerang bangsa Eropa. Akan tetapi wabah itu tidak dipengaruhi gejala-gejala alam, tetapi agaknya wabah ini dipengaruhi oleh variabel-variabel modern seperti keinginan politik, ekonomi, dan militer. Atau dengan kata lain, sebuah sabotase dengan agen biologis (CDC, 2007). Penyalahgunaan peran mikroorganisme seperti bioterrorisme ini berdampak sangat luas. Dampaknya dapat mengenai sektor politik maupun ekonomi, keamanan, kesehatan dan bahkan peradaban suatu bangsa. Sebagai contoh, negara adidaya seperti Amerika Serikat harus menjatahkan dana sebesar lebih kurang 1.500 juta dolar untuk upaya penanggulangan dampak bioterrorisme (CDC, 2007). Bioterrorisme merupakan ancaman berskala internasional yang harus diantisipasi oleh setiap negara, termasuk Indonesia. Sekalipun mungkin Indonesia tidak dianggap sebagai negara target, tetap harus mengantisipasi dampak ikutan yang mungkin terjadi akibat terbawanya tanpa sengaja agen biologik oleh seseorang dari tempat lain. Tanpa kesiapan yang memadai, selain gangguan keamanan, Indonesia dapat mengalami gangguan kesehatan masal yang serius baik pada manusia, hewan maupun lingkungan yang akan juga mengakibatkan dampak ekonomi yang berat (CDC, 2007). Di Indonesia mungkin belum ditemukan kasus serangan dengan menggunakan senjata biologis yang membunuh manusia secara massal tapi ada indikasi bioterrorisme dalam hal pertanian dan peternakan. Salah satu kasus populer yang diperkirakan merupakan hasil dari kegiatan bioterrorisme adalah kasus tersebarnya virus flu burung di Indonesia yang sempat menyebabkan perekonomian anjlok akibat tingkat penjualan produk unggas menurun drastis. Juga masuknya sejumlah jenis biji-bijian dan hewan dari luar negeri secara ilegal yang mungkin saja mengandung bibit penyakit hewan maupun tumbuhan yang dapat mewabah di Indonesia (Bellamy, 2001). Dalam menghadapi ancaman bioterrorisme, diperlukan keterlibatan aktif berbagai pihak. Pihak keamanan memiliki peran sangat penting dalam

mengendalikan dan memelihara keamanan umum agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan. Pihak kesehatan memegang peran penting dalam penanganan penderita dan pengendalian bahan biologik yang bersangkutan agar tidak menyebar luas. Pihak laboratorium diperlukan kemampuannya untuk membantu mendeteksi, mengidentifikasi dan menelusuri asal muasal bahan biologik yang dipergunakan. Karena sifatnya penuh kedaruratan, maka kegiatan-kegiatan diatas memerlukan payung hukum khusus agar dapat dilaksanakan dengan baik. Tampak jelas disini bahwa kerjasama antar instansi terkait merupakan suatu keharusan untuk mendapatkan hasil yang optimal (Bellamy, 2001) . 2.3 Karakteristik Senjata biologis yang digunakan dalam bioterrorisme mempunyai ciri-ciri : (a) bersifat patogen/dapat menimbulkan penyakit (b) mudah diproduksi (c) bersifat stabil (d) mempunyai angka morbiditas dan mortalitas tinggi (e) tidak mempunyai vaksin yang efektif (f) menyebabkan kepanikan (g) dapat menular antar manusia (h) mempunyai dosis infeksius kecil dan sangat menular dalam bentuk gas/aerosol dan (i) diagnosis sulit ditegakkan dalam waktu singkat (Noeller, 2001; Lane, 2007). Organisme yang digunakan sebagai agen penyakit terutama virus, biasanya tidak terlihat oleh mata telanjang, tidak berbau dan tidak menimbulkan sensasi khusus selama terjadi kontak (Nadasi, 2007). Senjata biologi yang baik memiliki waktu inkubasi yang cukup panjang di dalam tubuh penderita sehingga penyakit dapat ditularkan dan menyebar secara luas sebelum dapat terdeteksi (Steward, 2005).Serangan menggunakan senjata biologi biasanya digunakan secara diam-

diam. Gejala dan tanda biasanya muncul belakangan tergantung masa inkubasi organisme dan gejala klinisnya (Noeller, 2001). Serangan bioterrorisme lebih efektif disebarkan lewat udara sehingga metode ini sering digunakan. Jika dilepaskan di udara terbuka, penyebarannya dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Hujan akan mengurangi efektifitas agen penyakit sedangkan angin dapat menyebarkannya menuju arah yang tidak dikehendaki (Issue Brief, 2006).Target bioterrorisme adalah tempat luas dan ramai sehingga mempunyai derajat kontaminasi tinggi. Dapat juga digunakan agen biologis lebih dari satu yang disebarkan di tempat sama dengan tujuan memperlambat penanganan (Taylor, 2003). Paparan bioterrorisme mungkin tidak disadari sampai beberapa hari dan saat pasien mulai merasakan gejala penyakit mungkin telah terjadi penularan secara sekunder dan akan terjadi epidemi dalam skala luas (Bellamy, 2001). Suatu wabah harus dicurigai sebagai serangan bioterrorisme bila angka kejadiannya meningkat dengan cepat, terdapat peningkatan jumlah luar biasa terutama pasien dengan demam, gangguan pernapasan dan gejala gastrointestinal, peningkatan penyakit endemis pada waktu, tempat dan pola yang tidak biasa, angka kejadian penyakit tersebut lebih rendah pada orang-orang yang berada di dalam ruangan (indoor), pasien-pasien dengan penyakit tertentu berasal dari lokasi yang sama, penyakit tersebut menyebabkan kematian dalam jumlah besar dan pasien memberikan gambaran suatu penyakit yang relatif tidak biasa dan yang berpotensi digunakan sebagai bioterrorisme (Hoffmann, 2002). Dibandingkan serangan dengan senjata militer, bioterrorisme mempunyai kelebihan yaitu biaya produksinya lebih murah karena alat dan bahan yang dibutuhkan lebih sederhana serta memerlukan waktu pembuatan yang lebih pendek. Senjata biologis juga lebih menguntungkan karena dapat dibuat vaksin atau penawar senjata biologi yang telah diciptakan lalu kemudian dijual dengan harga tinggi. Bioterrorisme juga lebih disukai karena penyebarannya tidak terdeteksi sehingga musuh tidak menyadarinya (Davis, 2004). Gejala penyakit yang timbul akibat serangan bioterrorisme juga tidak dapat segera dideteksi, tergantung masa

10

inkubasinya. Disamping itu, penyakit yang timbul dapat berkembang biak dan menyebar ke individu lain secara alami sehingga terjadi infeksi sekunder (Eitzen, 1997). Kerugian bioterrorisme adalah penyebarannya memerlukan perhitungan kondisi cuaca yang tepat karena perubahan arah angin dapat mengakibatkan senjata biologis berbalik menyerang diri sendiri. Pelaku yang menyebarkan senjata biologi harus dilengkapi dengan alat pelindung karena berisiko terinfeksi. Radiasi matahari dan perubahan cuaca dapat menyebabkan agen biologi menjadi tidak aktif dan tidak berfungsi dengan baik (Chauhan, 2004, McGovern, 2001). Kemajuan bioteknologi dapat disalahgunakan untuk mengembangkan senjata biologis yang berbahaya. Hal ini dapat dilakukan dengan memodifikasi organisme untuk memproduksi toksin berbahaya, melakukan rekayasa genetik agar suatu agen biologis lebih tahan dan stabil pada kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan serta memiliki resistensi terhadap antibiotik, vaksin dan terapi yang sudah ada (DaSilva, 1999). Proses produksi senjata biologis dapat dibagi menjadi beberapa langkah, yaitu : 1) Pemilihan agen biologis yang akan digunakan, bila akan menggunakan toksin maka diperlukan metode pembuatannya 2) Selanjutnya adalah proses perkembangbiakan hingga mendapatkan jumlah yang cukup, pada tahap ini juga dilakukan seleksi dan modifikasi yang merubah sifat/karakteristik tertentu dari mikroorganisme 3) Agen biologis kemudian siap untuk dikirim (FAS, 2010).

Agen biologis yang dipilih berdasarkan patogenisitas, masa inkubasi, virulensi, letalitas dan transmisibilitasnya. Juga dipertimbangkan dapat tidaknya penyakit akibat agen biologis tersebut untuk dilakukan pengobatan dan vaksinasi. Agen biologis dapat diperoleh dari lingkungan alam seperti tanah, air, hewan yang

11

terinfeksi dan laboratorium mikrobiologi.

Alternatif lain adalah dengan

membuatnya sendiri. Toksin dapat dibuat dengan cara menambahkan kode DNA pada bakteri. Kemajuan bioteknologi memungkinkan mensintesis virus tertentu berdasarkan genomnya atau berdasarkan material dasar seperti DNA. Modifikasi agen biologis dilakukan melalui tehnik seleksi dan rekayasa genetik untuk meningkatkan patogenisitasnya, mempercepat masa inkubasi dan resistensinya terhadap pengobatan yang sudah ada. Perubahan ini dapat membuat sistem kekebalan tubuh, vaksinasi dan pengobatan yang diberikan menjadi tidak berguna. Pengiriman agen biologis memerlukan persiapan agar patogen tetap efektif di luar lingkungannya. Perubahan suhu, radiasi ultraviolet matahari dan kekeringan dapat menurunkan aktifitasnya. Beberapa patogen seperti antraks tidak terpengaruh kondisi tersebut sehingga dapat bertahan berpuluh tahun, sedangkan patogen lainnya memerlukan proses lebih lanjut meliputi pengeringan beku (lyophilization), formulasi menjadi larutan yang stabil, pembekuan (deep freezing), powdering dan milling, setelah stabil agen biologis siap untuk disebarkan. (FAS, 2010, Lane, 2007).

2.4 Klasifikasi Klasifikasi senjata biologi dapat dilakukan berdasarkan taksonomi, inang (host), sindrom yang ditimbulkan, efek yang dihasilkan, cara penyebarannya dan respon praktis atau menurut sifat fungsionalnya (Chauhan, 2004). Yang sering

12

digunakan

adalah

klasifikasi

menurut Centers

for

Disease Control

dan

Prevention (CDC), Amerika Serikat. CDC membagi menjadi 3 kategori senjata biologis yang digunakan untuk serangan bioterrorisme berdasarkan kemudahan penyebaran, beratnya penyakit dan jumlah kematian yang ditimbulkan (CDC, 2007). Kategori A adalah bibit penyakit (mikroorganisme atau toksin) yang mempunyai risiko tertinggi, karena mudah disebarkan atau ditularkan dari manusia ke manusia, menimbulkan kematian yang tinggi, berpotensi menyebabkan dampak luas dan kepanikan pada masyarakat, dan membutuhkan tindakan pencegahan khusus. Kategori B adalah mikroorganisme yang merupakan prioritas sedang (moderate) karena penyebarannya bersifat moderate, menyebabkan angka kesakitan tingkat sedang dan angka kematian rendah, Sedangkan kategori C adalah mikroorganisme yang merupakan prioritas ketiga, termasuk bibit penyakit yang baru muncul dan dapat dikembangkan di masa yang akan datang karena bersifat mudah didapat, mudah diproduksi dan disebarkan, mempunyai potensi kecacatan dan kematian yang tinggi dan dampak kesehatan yang luas (CDC, 2007, Lane, 2005).

Tabel Klasifikasi senjata biologis potensial berdasarkan Center for Disease Control and Prevention (CDC), Amerika Serikat.

Kategori A

Kategori B

Kategori C

13

Variola virus Bacillus anthracis Francisella tularensis Yersinia pestis Viral Hemorrhagic Fever Ebola virus Marburg virus Lassa virus Junin virus Clostridium botulinum toxin

Coxiella burnetti Brucella sp. Burkholderia mallei Salmonella sp. Shigella dysenteriae Escherichia coli 0157:H7 Vibrio cholerae Cryptsoridium parvum Eastern encephalitis virus Western encephalitis virus Venezuelaiencephalitis virus Staphylococcus enterotoxin Epsylon enterotoxin (Clostridium perfringens)

Nipah virus Hantaviruses Yellow fever Tick encephalitis viruses Mycobacterium tuberculosis (multiresistent) SARS coronavirus

2.5 Senjata Biologis Potensial Pengenalan dini merupakan hal yang terpenting. Serangan bioterrorisme yang dilakukan secara diam-diam hanya dapat terdeteksi bila tenaga medis waspada dan terlatih mengenali penyakit infeksi yang berpotensi digunakan dalam bioterrorisme (Noeller, 2001). Kebanyakan penyakit yang disebabkan akibat bioterrorisme memberikan gejala tidak spesifik (Bellamy, 2001). Sedangkan laboratorium mempunyai kemampuan terbatas dalam penegakan diagnosa dan akan menyebabkan keterlambatan penanganan (Noji, 2001). Berdasarkan gambaran klinis awal pasca paparan, terdapat 4 kelompok kumpulan gejala yang muncul akibat serangan bioterrorisme, yaitu (a) Gagal napas akut yang disertai demam, dapat muncul pada orang yang terpapar antraks inhalasi dan pes (plague),

14

(b) Ruam kulit akut yang disertai demam yang terdapat pada penyakit cacar dan kelompok penyakit demam berdarah akibat virus, (c) Gangguan neurologis, dijumpai pada paparan toksin botulinum dan (d) Gejala yang menyerupai influenza Tularemia (CDC, 2001). Diagnosa suatu epidemi merupakan suatu bioterrorisme biasanya terlambat karena hanya sedikit tenaga medis, terutama dari negara maju yang pernah melihat kasus cacar, antraks atau pes (Noji, 2001). 1. Antraks Antraks tipe inhalasi dapat ditularkan lewat inhalasi spora mempunyai masa inkubasi 1-6 hari, gejala klinis ditandai flulike syndrome dengan gejala tidak spesifik seperti demam, sesak napas, batuk, nyeri kepala, muntah, kelemahan badan, serta nyeri dada dan perut. Selanjutnya gejala makin memberat ditandai dengan sesak napas, hipoksia, sianosis, stridor dan akhirnya terjadi syok dan kematian (Noeller, 2001). Gambaran yang khas adalah pelebaran mediastinum dan efusi pleura pada foto toraks . Antraks inhalasi tidak menular antar manusia dengan angka mortalitas mencapai 55% (Lane, 2005). Diagnosa antraks inhalasi didasarkan atas klinis yang mendukung, pelebaran mediastinum, meningitis hemoragis, dan efusi pleura hemoragis. Diagnosa definitif ditegakkan berdasarkan kultur darah, hapusan darah dengan pengecatan Gram, ELISA dan PCR. Kultur dan pengecatan Gram sputum tidak berguna karena tidak terjadi proses pneumonia. Pada kasus yang telah dicurigai antraks, pemberian terapi dilakukan tanpa menunggu konfirmasi diagnostik (Noeller, 2001). 2. Pes Pes (plaque) dapat disebarkan melalui aerosol yang mengandung pada paparan bakteri penyebab

kuman Yersinia pestis yang menyebabkan pes tipe pneumonia dengan gejala pneumonia berat seperti batuk produktif dengan sputum bercampur darah (hemoptysis) disertai demam tinggi, sesak napas dan sianosis. Dalam 1-6 hari akan

15

terjadi gagal napas dan syok. Pemeriksaan foto toraks didapatkan gambaran infiltrat dan konsolidasi. Penyakit ini mudah menular lewat percikan liur (droplet). Pengenalan dini penyakit ini sangat penting karena pes tipe pneumonia berakibat fatal bila terapi tidak diberikan selama 24 jam sejak muncul gejala (Bellamy, 2001). Bila tidak diberikan antibiotik, angka mortalitasnya mencapai 85% dan kematian biasanya terjadi dalam 2-6 hari (Lane, 2005). Diagnosa pes tipe pneumonia berdasarkan gejala klinis pneumonia dan pada foto toraks tampak gambaran infiltat paru dan konsolidasi (Lane, 2005). Diagnosa ditegakkan dengan kultur sputum, darah dan aspirasi kelenjar getah bening bila terdapat bubo. Pada pengecatan gram, terlihat basil gram negatif dengan pengecatan bipolar dan tampak safety pin yang khas (Schlossberg, 2007). 3. Cacar Penyakit cacar (smallpox) disebabkan oleh virus Variola dengan masa inkubasi 1214 hari. Pada masa prodromal dijumpai gejala malaise, demam, muntah dan nyeri kepala. Setelah 2-4 hari muncul ruam kulit terutama di wajah, leher, tangan dan kaki berupa makula yang berkembang menjadi papula lalu vesikula dan akhirnya pustula yang kemudian menyebar secara sentripetal yaitu dimulai di wajah dan ekstremitas menuju badan (Lane, 2005). Bedanya dengan cacar air (Varicela) adalah bahwa perkembangan lesi cacar (Variola) di seluruh badan terjadi bersamaan (Bellamy, 2001). Cacar sangat menular lewat jalur respirasi melalui percikan ludah (droplet) dan secara langsung melalui sekret yang dikeluarkan lesi kulit maupun selaput lendir penderita. Komplikasi termasuk ensefalitis, pnuemonia, selulitis, artritis dan keratokonjungtivitis. Angka kematian mencapai 30%, terbanyak pada anak kecil dan lanjut usia (Taylor, 2003). Cacar harus dicurigai pada ruam yang khas. Diagnosa ditegakkan dengan ELISA, PCR dan isolasi virus dari kerokan kulit dan swab orofaring. Bila terjadi wabah, diagnosis dapat dibuat berdasarkan gambaran klinis (Noeller, 2001). Pemeriksaan cairan vesikel dengan mikroskop elektron dapat dilakukan tetapi tidak spesifik (Schlossberg, 2007).

16

4. Tularemia Tularemia yang disebabkan bakteri Francisella tularensis merupakan zoonosis yang dapat menyebar pada manusia. Setelah masa inkubasi selama 2-10 hari akan muncul gejala yang tidak spesifik seperti demam, lemah, nyeri dada, batuk non produktif dan penurunan berat badan. Tularemia tipe pneumonia harus dicurigai pada pasien dengan pneumonia, dengan adenopati hilar dan efusi pleura. Diagnosa pasti berdasarkan kultur darah, swab faring, sputum, kumbah lambung dan lesi pada kulit atau konjungtiva, didapatkan kuman kokobaksil gram negatif dan mungkin terlihat pada hapusan darah tepi. PCR dan imunohistokimia dapat dilakukan bila memungkinkan tetapi tidak banyak membantu pada infeksi akut karena muncul lebih lambat dan bertahan selama beberapa tahun dan dipengaruhi pemberian antibiotika. 5. Demam Berdarah Virus Demam berdarah akibat virus disebabkan empat grup yaitu filovirus, arenavirus, bunyavirus dan flavivirus. Kebanyakan virus ini ditularkan melalui vektor, kecuali Ebola dan Marburg yang vektornya belum diketahui. Gejala demam berdarah yang disebabkan virus berbeda-beda sesuai spesies virus yang menyerang tetapi secara umum meliputi demam tinggi, nyeri otot yang disertai tanda-tanda perdarahan ringan sampai berat, misalnya ptekie, trombositopenia. Perdarahan yang luas dapat menyebabkan DIC dan syok (Bellamy, 2001). Demam berdarah akibat virus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan serologi, PCR dan isolasi virus. 6. Toksin Botulinum Paparan satu gram toksin botulinum dapat digunakan untuk membunuh sekitar satu juta manusia. Paparan toksin ini ditandai dengan gejala disartria, disfagia, mata kabur, diplopia, ptosis dan fotofobia yang kemudian memberat menjadi paralisa otot yang progresif, desenden dan simetris dan dapat menyebabkan gagal napas sebagai penyebab kematian.

17

Paparan toksin botulinum harus dicurigai pada pasien dengan kombinasi gangguan saraf pusat yang disertai paralisa, terutama bila terdapat gejala gastrointestinal dan terjadi pada sekelompok orang di lokasi yang sama. Diagnosa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan toksin pada serum, tinja, muntahan, cairan lambung dan makanan yang dicurigai. Bila dicurigai disebarkan secara aerosol, hapusan mukosa hidung harus diperiksa. Pemeriksaan elektromiografi (EMG) tidak dapat digunakan untuk diagnostik.

2.6 Penanganan Penanganan korban yang dicurigai akibat bioterrorisme meliputi terapi spesifik sesuai penyakit yang muncul pada individu yang terpapar maupun tertular, profilaksis dan dekontaminasi. Pasien yang terinfeksi antraks diberikan antibiotika spektrum luas seperti penisilin, siprofloksasin dan doksisiklin, sampai hasil sensitifitas kuman diketahui. Antraks inhalasi tidak menular antar manusia sehingga tidak memerlukan prosedur isolasi khusus. Streptomisin, tetrasiklin dan doksisiklin telah disetujui sebagai terapi pes. Berbeda dengan antraks inhalasi, pasien dengan pes tipe pneumonia harus diisolasi ketat. Perawatan pasien yang diduga cacar harus dilakukan dengan isolasi ketat. Belum ada terapi spesifik, penanganan terfokus pada perawatan suportif. Penelitian tentang Cidofovir sebagai antiviral pada kasus cacar saat ini sedang dilakukan. Antibiotika spektrum luas dapat diberikan sampai hasil sensitifitas diketahui. Streptomisin dan doksisiklin direkomendasikan sebagai terapi tularemia. Obat yang lain adalah gentamisin, kloramfenikol dan siprofloksasin. Tularemia tidak memerlukan isolasi khusus. Penanganan pasien demam berdarah akibat virus belum ada yang efektif sehingga penanganan utamanya adalah suportif. Pada infeksi arenavirus (Lassa dan New World) dapat diberikan ribavirin.

18

Penanganan botulismus adalah suportif dan mungkin memerlukan intubasi, ventilasi mekanis serta nutrisi parenteral. Pemberian antitoksin kuda dapat menurunkan kadar kerusakan saraf dan beratnya penyakit (Lane, 2007). Profilaksis bioterrorisme adalah penggunaan obat dan/atau vaksin untuk mencegah penyakit atau mengurangi beratnya penyakit pada manusia yang terpapar bakteri atau virus yang digunakan dalam bioterrorisme. Profilaksis harus diberikan segera setelah paparan supaya efektif. Profilaksis diberikan pada orang yang berada di lokasi yang sama saat penyebaran agen biologis dan mempunyai kontak erat dengan orang yang terinfeksi bukan orang yang hanya terpapar (MDH, 2006). Profilaksis berupa antibiotika oral dan/atau vaksin antraks dapat diberikan pada orang yang terpapar yaitu mereka yang berada di area paparan antraks. Pada pes tipe pneumonia hanya diberikan antibiotika oral, doksisiklin atau siprofloksasin karena belum ada vaksin untuk pes. Sedangkan untuk penyakit cacar, vaksin cacar (vaccinia) bila diberikan tidak terlalu lama setelah paparan dapat mencegah penyakit sedangkan antibiotika tidak diberikan karena tidak efektif. Pada tularemia, untuk profilaksis diberikan antiobiotika doksisiklin atau siprofloksasin pada individu yang terpapar sedangkan vaksinasi tularemia tidak ada (Lane, 2007). Profilaksis untuk demam berdarah akibat virus tidak direkomendasikan bila tanpa gejala, pemberian ribavirin jika terdapat gejala penyakit dalam waktu 21 hari paska paparan arenavirus, bunyavirus atau virus yang tidak diketahui (Schlossberg, 2007). Untuk paparan toksin botulinum dapat diberikan toksoid botulinum tetapi belum dilakukan pada populasi yang besar (Lane, 2007). Dekontaminasi dapat dilakukan dengan meletakkan pakaian dari pasien yang dicurigai sebagai korban serangan bioterrorisme dalam kantong kedap udara (misalnya plastik) dan aman, menggunakan air dan sabun untuk memandikan korban untuk desinfeksi semua yang tersebut diatas digunakan pemutih (Sodium hipoklorit 6.0-6.15%) dengan konsentrasi 0,6% (1 takar pemutih dicampur dalam 9 takar air). Sebagai alternatif untuk botulism, pes dan cacar adalah menggunakan deterjen pembunuh kuman. Untuk kasus cacar, seluruh linen dan pakaian harus diautoclave dan dicuci dalam air panas dan pemutih. Petugas kesehatan harus

19

menggunakan gaun, sarung tangan dan masker selama melakukan dekontaminasi (Hoffmann, 2002).

2.7 Pencegahan Strategi untuk mencegah serangan bioterrorisme adalah 1) Antisipasi setiap potensi produksi, penyimpanan, pengiriman/pengangkutan dan penggunaan agen biologis bertujuan teror oleh instansi yang berwenang. Kesadaran publik dan kewaspadaan masyarakat akan memperkecil kesempatan untuk menggunakan agen biologi untuk terrorisme. 2) Meningkatkan kemampuan sistem kesehatan di berbagai tingkatan dalam mencegah, mendeteksi dan merespon bioterrorisme. Berdasarkan pengalaman, dokter adalah orang pertama yang mengenali tanda-tanda serangan bioterrorisme atau setidaknya merupakan orang pertama yang mengetahui adanya korban yang disebabkan oleh agen biologi berbahaya. Harus diberikan pemahaman kepada tenaga medis untuk dapat mendeteksi setiap infeksi yang mencurigakan, bagaimana menangani korban bioterrorisme dan cara melaporkan kepada lembaga yang berwenang. Lembaga tersebut harus dapat menilai tingkat kedaruratan dan mampu memberikan arahan praktis secepat mungkin tandap menunggu terjadinya kepanikan di masyarakat. 3) Menghindari kepanikan dalam merespon suatu serangan yang diduga bioterrorisme. Kepanikan dapat menurunkan sensitivitas dan kemampuan dalam mengatasi bioterrorisme. Hal ini dapat dicegah dengan pelatihan dan evaluasi kasus pada setiap komponen sistem perawatan kesehatan sehingga pada saat terjadi kasus nyata tidak terjadi reaksi yang berlebihan dan dapat menghasilkan tindakan penanganan kasus yang terukur dan terkontrol. 4) Meningkatkan komunikasi dan koordinasi antar lembaga yang berwenang. Hal ini akan mengurangi kesalahan penanganan dan menciptakan sistem peringatan dini pada masyarakat luas.

20

5)

Mencari akar penyebab terrorisme seperti masalah ideologi, keadilan dan perdamaian. Penyelesaian hal tersebut merupakan pencegahan paling efektif terrorisme (Karwur, 2010).

BAB 3 PEMBAHASAN

Sebagaimana yang kita tahu, Indonesia tidak mempunyai tatacara penanganan bioterrorisme. Jadi, kita boleh mencontohi strategi atau tatacara penanganan (pedoman) yang dianuti di beberapa negara, misalnya Amerika Serikat dan Korea Selatan. Amerika Serikat mengambil satu langkah yang efektif, efisien dan rasional dalam melindungi rakyat terhadap ancaman bioweapon. Terdapat satu kelompok

21

kerja yang berfungsi sebagai deteksi dan pelaporan kasus-kasus bioterrorisme. Setiap ada kasus penyakit yang diakibatkan oleh mikroorganisme yang berpotensi menjadi bioweapon seperti mana yang tercantum dalam tabel CDC, pihak rumah sakit wajib melaporkan kepada Departemen Kesehatan setempat. Seterusnya, Departemen Kesehatan melaporkan pada Kementerian Kesehatan dan mereka akan mengambil langkah selanjutnya, yaitu melaporkan kepada CDC. Gabungan ketigatiga unit ini telah menubuhkan satu kelompok kerja yang dinamakan Laboratory Research Network atau LRN. LRN mempunyai rangkaian laboratorium yang dilengkapi dengan fasilitas biocontainment, tenaga ahli dan tanggungjawab yang tinggi di mana laboratorium ini mampu mendeteksi jenis sampel (agen biologis) yang dikirimkan secara cepat dan terkoordinasi di bawah kondisi kerja yang aman. Amerika Serikat juga mempersiapkan tenaga medis dengan menerbitkan buku berjudul Survial Handbook for Chemical, Biological and Radiological Terrorism di mana buku ini menjadi pedoman kepada tenaga medis dalam rangka menghadapi serangan bioterrorisme. Baru-baru ini, Korea Selatan telah menerbitkan buku panduan dalam menghadapi kemungkinan serangan bioterrorisme dari Korea Utara. Buku ini membahas tentang tindakan dan dukungan medis kepada petugas kesehatan dan juga kementerian pertahanan. Pihak Korea Selatan telah mengkategorikan tingkat kegawatan dalam menghadapi ancaman bioterrorisme menjadi empat tingkat : a) Waspada ( Biru) b) Siaga (Kuning) c) Tinggi (Jingga) d) Parah (Merah) Dalam buku ini, juga dinyatakan tindakan-tindakan yang harus diambil oleh petugas kesehatan maupun militer dalam menangani bioterrorisme yang mencakupi fasilitas evakuasi dan pencegahan mengikut tingkat keparahan seperti di atas.

22

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan a. Bioterrorisme merupakan penyebaran senjata biologis, yaitu virus, bakteri atau toksin, secara disengaja dengan tujuan membunuh, melukai atau melumpuhkan musuh. b. Sejarah bioterrorism bermula ketika abad 6 sebelum Masehi, ketika tentara Asiria meracuni sumur air musuhnya dengan sebangsa jamur penghasil racun.

23

c. Ketahanan nasional Indonesia terancam dalam berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, pendidikan,politik dan sebagainya.

4.2 Saran Diharap dari pembuatan makalah ini dapat diajukan kepada pihak Kementerian Kesehatan agar dapat bekerjasama dan menyiapkan pendanaan,fasilitas, pedoman dan persiapan agar pihak KKP Kelas 1 Medan dapat membuat pencegahan awal dari aspek karantina dan menghalang masuknya penyakit-penyakit dari luar ini.

DAFTAR PUSTAKA Bellamy RJ, Freedman AR, 2001. Bioterrorism. QJ Med Vol 94, 227-34 CDC, 2001. Investigation of Anthrax Associated With Intentional Exposure and Interim Public Health Guidelines. p. 2086-90 Cieslak TJ, Christopher GW, Eitzen EM, 2005. Bioterrorism Alert for Health Care Workers. Bioterrorism and Infectious Agents : A New Dilemma for the 21st Century, 217-36

24

Croddy, Eric, 2001. Chemical and Biological Wargare : A Comprehensive Survey for the Concerned Citizen, Springer, 219-24 DaSilva, EJ, 1999. Biological warfare, bioterrorism, biodefence and the biological and toxin weapon convention. Electronic Journal of Biotechnology 2 (http://www.biodefense.org) Davis, JA, Schneider, BR, 2004. The gathering biological warfare storm, Praeger, 57-58 De Rugy V, Pena CV, 2002. Responding to the Threat of Smallpox Bioterrorism : An Ounce of Prevention Is Best Approach. Policy Analysis 434, 1-16 Eitzen, Edward M, 1997. Use of Biological weapons, in Textbook of Military Medicine : medical aspects of chemical and biological warfare. Washington: Office of the Surgeon General. U.S. Dept. of the Army; 1997. p. 439 Federation of American Scientists (FAS), 2009. Introduction to Biological Weapons, (http://www.fas.org/programs/bio/introtobw.html#intro) Issue Brief, 2006. Bioterrorism, Prepared by North Carolina Association for Biomedical Research. p. 1-10 Jernigan JA , Stephenes DS, et al, 2001. Bioterrorism-Related Inhalation Anthrax : The First 10 Cases Reported in the US. p 1-15 Karwur, FF, Mangimbulude, J, 2009. Strategies for the Prevention of Bioterrorism. Lane CH, Fauci AS, 2007. Bioterrorisme and Clinical Medicine in Harrisons Principles of Internal Medicine 17th ed. P.1279-88 McGovern, TW, Christopher, GW, 2001. Biological Warfare and Its Cutaneous Manifestations (http://www.telemedicine.org/biowar/biologic.htm)

25

Minnesota Department of Health, 2009. Infectious Disease Epidemiology, Prevention and Control (www.health.state.mn.us) Nadasi E, Varjas T, Prantner I, Virag V, Ember I, 2007. Bioterrorism : warfare of the 21th century. Gene Therapy and Molecular Biology Vol 11, 315-20 Noeller TP, 2001. Biological and chemical terrorism : Recognition and management. Cleveland Clinic Journal of Medicine Vol 68, 1001-15 Noji, EK, 2001. Bioterrorism : A New Global Environmental Health Threat. Global Change and Human Health Vol 2, 2-10 OBrien KK, Higdon ML, Halverson JJ, 2003. Recognition and Management of Bioterrorism Infections. American Family Physician Vol. 67, 1927-34 Russell PK, 1999. Vaccines in Civilian Defense Against Bioterrorism. Emerging Infectious Diseases Vol 5, 531-33 Schlossberg D, 2007. Infections Related to Bioterrorism. Infectious Diseases in Critical Care Medicine, 535-52 Sheeran, Timothy J, 2002, Bioterrorism, in Encyclopedia of Environmental Microbiology, ed. Gabriel Bitton. New York: John Wiley & Sons, Inc. Stewart, Charles Edward, 2005, Weapons of mass casualties and terrorism response handbook, Jones and Bartlett Publishers, Inc, 84 Taylor FX, 2003. Bioterrorism and Homeland Security. Triwibowo, 2006. Penyakit Sampar. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, dkk. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, hlm. 1822-24 Whitby M, Street AC, Ruff TA, Fenner F, 2002. Biological agents as weapon : smallpox and botulism. MJA Vol 176, 431-33

26

Yusuf H, 2006. Antraks. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, dkk. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, hlm. 1853-55

Anda mungkin juga menyukai